Minggu, 04 Agustus 2013

Tidak Terduga

Dianti tidak tampak seperti perampok atau pembunuh, wajahnya yang gemuk kekanak-kanakan dan menyenangkan menipu semua orang. Tapi wanita itu tahu kalau terpaksa ia siap membunuh hari ini. Ia akan mengetahuinya dengan pasti pada pukul sepuluh lewat sepuluh menit.

Wanita berdada besar tersebut mengenakan celana khaki, jaket kulit berwarna biru pucat, dan sepatu sneaker putih. Tidak satu pun dari orang-orang yang berlalu lalang pagi itu yang memerhatikan dirinya saat ia berjalan dari tempat parkir ke deretan pepohonan tropis yang lebat, tempat ia bersembunyi.

Ia berada di luar kantor Irwan Danny Musri, seorang pengusaha jam mewah yang juga kekasih dari artis sinetron Desy Ratnasari. Kantor itu dijadwalkan buka pukul sepuluh. Info itu ia dapatkan dari sang suami, yang bekerja di rumah Desy sebagai sopir pribadi.

Tepat pukul sepuluh, Dianti mendekat. Ia keluar dari tempat persembunyiannya di pepohonan tropis di bawah papan iklan McDonald’s yang menawarkan menu baru. Dari sudut itu, ia tidak bisa dilihat oleh pegawai wanita yang baru saja membuka pintu depan yang terbuat dari kaca dan melangkah keluar sejenak.

Beberapa langkah lagi dari karyawan itu, Dianti mengenakan topeng karet Gorilla hitam, salah satu topeng yang paling banyak dijual di pasaran dan mungkin yang paling sulit dilacak. Ia mengetahui nama karyawan itu, dan mengucapkannya dengan jelas saat ia mencabut pistol dan menekannya ke punggung wanita cantik itu.

“Masuklah, mbak Vicky, dan kunci pintu depannya lagi! Kita akan menemui bosmu, Irwan Danny Musri.” Dianti mengancam. Ia telah melatih kata-kata itu berulang kali -kata demi kata- bahkan jeda dan intervalnya. Suaminya mengatakan bahwa dalam perampokan, penting sekali menjalankan rencana berdasarkan urutan-urutan yang spesifik, tidak boleh ada yang terlewat.

“Aku tidak ingin membunuhmu, mbak Vicky. Tapi aku tidak akan segan melakukannya kalau kau tidak mematuhi perintahku. Mengerti?!” ia membentak.

Vicky menganggukkan kepalanya yang berambut hitam panjang begitu kuat hingga kacamatanya yang lebar hampir terjatuh. “Ya, aku mengerti. Tolong jangan sakiti aku.” katanya dengan napas tercekat. Ia berusia petengahan dua puluhan, berpenampilan menarik untuk ukuran perkotaan. Setelan blus biru ketat dan sepatu ber-hak tinggi yang dikenakannya membuat ia tampak begitu menarik.

“Tunjukkan ruangan Pak Irwan, mbah Vicky. Kalau aku tidak keluar dari sini dalam sepuluh menit, kau akan mati! Aku serius! Jangan dikira aku tidak akan melakukannya karena aku seorang wanita. Akan kutembak kau dan Irwan seperti menembak anjing!” ancam Dianti dingin. Ia menyukai perasaan berkuasa ini. Dengan pangkal tangan kirinya, ia menyuruh Vicky agar segera melangkah.

Detik-detik yang berlalu sangatlah berharga. Suaminya telah menjelaskan mengenai jadwal perampokan yang ketat saat mereka bercinta minggu kemarin. “Menit-menit itu penting, Dianti!” kata laki-laki itu sambil menciumi lehernya dan menusukkan penisnya semakin cepat.

“Ehm, iya...” Dianti merintih, tapi tidak sanggup untuk membalas. Remasan dan pijitan sang suami di gundukan payudaranya membuat ia menggelepar keenakan.

“Detik-detik itu penting!” kata pria itu lagi sambil menggenjotkan tubuhnya semakin keras. Penisnya yang panjang keluar masuk di vagina Dianti dengan begitu lancar dan cepat.

“Ehm... mas, oughhh!!” desah Dianti makin tak karuan. Apalagi sekarang, sambil menggoyang, laki-laki itu juga mencucup dan menjilati putingnya dengan penuh nafsu.

“Pokoknya, semuanya harus sempurna!!” meski bukan orang yang romantis, tapi penis laki-laki itu lumayan besar dan panjang, hingga membuat Dianti menahan nafas saat sang suami melesakkan batangnya semakin dalam ke relung vaginanya.

“Mas, oughhhh...” ia merintih dan menggelinjang. Dianti mencoba mengimbangi gerakan laki-laki itu dengan menggerakkan pinggulnya memutar, mencoba menyamakan ritme dan irama tusukannya.

“Yang lebih penting lagi... ahhh!!” gerakannya itu membuat sang suami mendesis keenakan. Dianti juga merasakan nikmat yang amat sangat. Saat suaminya melanjutkan, “... kita pilih majikan kita sebagai target!” ia menyahutinya dengan jeritan dan pekikan liar yang menggetarkan jiwa.

“Aarghhhh... mas! Aku keluar!!” tubuhnya melenting ke atas, sementara cairan cintanya membanjir keluar membasahi liang kemaluannya. Dianti tampak terengah-engah dengan mata tertutup saat suaminya masih terus bergerak menyetubuhi dirinya.

“Intinya, perampokan itu harus berjalan cepat, tepat, sesuai, dan sempurna! Seperti ini!!” tutup laki-laki itu sambil menghentakkan pinggulnya dan membenamkan penisnya yang panjang dalam-dalam ke belahan vagina Dianti.

“Ehm, mas!!” rintih Dianti saat merasakan semburan sperma sang suami di lubang kemaluannya.

Setelah semuanya usai, laki-laki itu bergulir dari atas tubuh Dianti dan memejamkan mata penuh kepuasan. Sementara Dianti bangkit dari ranjang, melilitkan handuk ke tubuhnya yang telanjang, dan menghampiri meja untuk melihat sekali lagi pistol kecil yang sekarang berada dalam genggamannya. Dengan benda itulah, Dianti akan mencoba peruntungannya.

Mengikuti Vicky dari belakang, Dianti berhenti di depan sebuah pintu. Letaknya ada di lantai dua gedung tersebut. Terdengar dengungan pelan komputer dari dalam, selebihnya hening. Saat Vicky membuka pintunya, terlihat Irwan Danny Musri yang sedang duduk di belakang meja besar mengkilat. Ia segera menodongkan pistol kepada laki-laki itu, sementara Vicky ia suruh jongkok di lantai. Wanita itu dengan patuh melakukannya.

“Buka lemari besimu, atau kuhancurkan kepalamu hingga menjadi serpihan.” ancam Dianti agak sedikit menjerit.

“A-aku tidak punya lemari besi.” kata Irwan memprotes. “Kalaupun punya, tidak bakal ada isinya. Aku menyimpan semua hartaku di bank!”

Dianti menunjuk telinganya, memberi isyarat pada laki-laki itu agar mendengarkan. Tapi mendengarkan apa? Saat itulah, hape Irwan tiba-tiba berbunyi. “Angkat. Itu untukmu!” kata Dianti, suaranya agak teredam topeng gorilla yang ia kenakan. “Dengarkan baik-baik, dan kuharap kau bisa bertindak bijak.” tambahnya.

Dengan tangan gemetar, Irwan menerima telepon itu. Suara merdu yang sudah familier di telinganya, terdengar berkata kalut sambil menangis. “Mas, turuti apapun yang diminta orang itu, atau aku dan Nasywa akan dibunuh!! Tolong, dia mau memper...”

TIITTT!!! Hubungan terputus. Suara panik Desy menghilang.

“Desy? Desy!” jerit Irwan bingung. Ia segera berpaling pada Dianti. ”Tolong, jangan sakiti mereka. Akan kuturuti semua keinginanmu.” Irwan masih tidak bisa percaya bahwa ini benar-benar terjadi.

“Lemari besinya, Pak Irwan. Hanya itu yang aku inginkan.” kata Dianti sambil menunjuk lukisan bunga di dinding, tempat dimana lemari besi itu berada.

Irwan agak kaget mengetahui wanita itu bisa menebak tempatnya dengan benar. “Bagaimana...”

“Buka sekarang!” bentak Dianti garang.

Irwan langsung mengkerut ketakutan. “B-baik. Akan kulakukan.” Nyaris tanpa berpikir, ia segera membuka lemari besinya. Desy dan Nasywa, nama-nama itu menggaung keras dalam benaknya.

Laki-laki itu membutuhkan waktu kurang dari dua menit untuk membuka tempat penyimpanan yang terbuat dari baja mengkilap dengan tebal hampir sejengkal itu. Di balik bentuknya yang mungil, ternyata bagian dalamnya begitu luas. Uang bertumpuk-tumpuk terlihat jelas di sepanjang sisinya, jauh lebih banyak daripada jumlah uang yang pernah dilihat Dianti seumur hidupnya.

“Ambil! Ambil semuanya! Tapi lepaskan Desy dan Nasywa!!” kata Irwan menghiba.

“Pasti, Pak Irwan.” sahut Dianti, lalu menoleh kepada Vicky. “Hei, kau! Bantu aku disini. Masukkan semuanya ke dalam tasku.”

Vicky berdiri dengan takut-takut dan melakukan apa yang diminta oleh Dianti. Ia membuka tas punggung besar yang dibawa oleh wanita itu dan mulai mengisinya dengan uang milik sang majikan. Di sisi lain, Irwan tampak sangat marah sekali dengan kejadian itu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Vicky memindahkan semua uang di dalam brankas ke tas Dianti, lalu menyerahkannya setelah tas itu terisi penuh. Dianti menerimanya sambil tersenyum lebar di balik topeng. “Terima kasih. Sekarang, tugas baru untuk kalian...”

“Jangan macam-macam! Kau sudah menerima uangnya!” bentak Irwan penuh geram. “Lepaskan Desy dan...”

Dianti mengacungkan pistolnya, membuat laki-laki itu langsung terdiam ketakutan. “Aku yang berkuasa disini.” Dianti berkata dingin. “Ikuti semua perintahku, maka kalian berdua akan selamat. Begitu juga dengan pacarmu dan anaknya!” ia menggeram di balik topengnya, lalu menoleh pada Vicky yang terduduk meringkuk di atas sofa. “Hei gadis cantik, tidak keberatan kan kalau kau membuka bajumu?!”

Vicky menoleh dan membelalakkan matanya. Ia menggeleng cepat sambil menangis. “Tidak! Tidak!”

***

Desy tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami hal seperti ini, bahkan dalam mimpipun ia tidak pernah membayangkannya.

Pagi itu ia sedang berdandan di kamar ketika dirasakannya angin sejuk semilir masuk, tanda kalau pintu kamar ada yang membuka. “Nasywa?” tanpa menoleh, ia memanggil nama putri tunggal hasil pernikahannya dengan Sammy Hamzah, seorang pengusaha kaya. Memang biasanya anak itu yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu untuk berpamitan sebelum berangkat ke sekolah.

Tapi tidak ada sahutan.

Merasa heran, Desy segera menolehkan kepalanya. Saat itulah, seseorang tiba-tiba membekap mulutnya dengan sapu tangan. “Hmpphm!!” Desy berusaha memberontak, tapi dekapan orang itu begitu kuat. Ia tidak bisa melepaskan diri. Yang ada malah tubuhnya yang menjadi lemas. Bau obat bius terasa menyengat dari sapu tangan orang tersebut. sebelum Desy sempat menyadari apa yang terjadi, ia sudah kehilangan kesadaran dan pingsan tak lama kemudian.

***

“Cepat, aku tidak punya banyak waktu!” Dianti membentak dengan garang melihat kelambanan Vicky dalam merespon perintahnya.

“I-iya, baik.” jawab gadis itu lirih, terlihat sangat ketakutan sekali. Tangannya bergetar hebat saat dia mulai melepas kancing bajunya secara perlahan. Di sebelahnya, Irwan tampak tak berkedip menatapnya. Seperti menunggu dengan penuh harap agar Vicky segera membuka kain kemejanya.

“Lihat! Bosmu sudah tidak sabar tuh!” tunjuk Dianti dengan pistolnya sambil tertawa mengejek. “Dasar laki-laki mesum. Dalam situasi seperti ini, masih saja mikir cabul!”

Irwan segera memalingkan mukanya, “Tidak! Aku...” tapi kemontokan payudara Vicky yang menggantung padat di depannya, membuat dia mau tak mau melirik kembali. Sekretarisnya itu kini sudah membuka bajunya, memamerkan buah dadanya yang putih dan mulus, yang meski masih tertutup beha, tapi terlihat sangat menggoda dan menggiurkan.

“Hahaha... dasar munafik!” Dianti mengejek lagi. Duduk santai di sofa, ia terus mempermainkan kedua orang sanderanya. “Sekarang giliranmu, Pak Irwan. Buka celanamu!” ia berkata dingin.

“Hah! Apa?!” Irwan ingin memprotes, tapi acungan pistol dari Dianti langsung membuatnya terdiam. “B-baik, akan kubuka.”

***

Desy tersadar tak lama kemudian, tapi ia tidak tidak bisa bergerak. Tubuhnya terikat di ranjang dengan tubuh setengah bugil. Hanya beha dan celana dalam yang masih menutupi tubuh sintalnya. “Hmm... ah, dimana aku? Ughhh...” keluh Desy ketika mencoba untuk bangun. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru terbuka untuk memperjelas pandangannya.

“Tidak usah menghabiskan tenaga untuk melawan, Bu. Percuma!” kata suara serak dari arah samping ranjang.

Desy terkesiap, dia segera menolehkan pandangannya kesana, “Mursyid? Apa yang kau lakukan disini?! Lepaskan aku! Lepaskan!”

Pria yang dipanggil Mursyid tersenyum dingin. “Jangan berontak, Bu. Saya cuma ingin kerjasama ibu.”

“Bajingan kau! Jadi begini balasannya setelah aku menolongmu?!” Desy membentak dengan muka merah padam menahan amarah.

“Maafkan, Bu. Bukan maksud saya menyakiti ibu.” Lelaki itu berkata sabar. “Tapi sebaiknya ibu diam saja, atau ibu tidak akan pernah bertemu Nasywa lagi.” ancamnya.

Mendengar nama anaknya disebut, Desy langsung menangis sambil memaki-maki lebih keras lagi. “Lepaskan! Jangan sakiti dia, bajingan! Dia tidak mengerti apa-apa!”

Mursyid menanggapi dengan tersenyum kecil. “Itu semua tergantung ibu. Asal ibu mau bekerjasama, aku jamin, Nasywa akan baik-baik saja.”

Desy menatap sopirnya itu dengan garang. Betapa bodohnya dia, hanya berbekal cerita sedih dari Mursyid, ia bersedia menerima laki-laki itu menjadi sopir, tanpa perlu repot-repot menyelidiki latar belakangnya terlebih dahulu seperti yang biasa ia lakukan. Jadi begini ini akibatnya, laki-laki itu ternyata bajingan. Sekarang ia mengancam Desy agar mau menuruti segala keinginannya demi keselamatan Nasywa. Mengumpat dalam hati, Desy menyesali apa yang sudah ia perbuat.

“Bagaimana, Bu?” tanya Mursyid, masih tetap dengan suara rendah. “Waktu saya tidak banyak.” Dia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh lewat tujuh menit, kemudian berkata lagi. “Kuberi ibu waktu dua menit untuk berpikir. Setelah itu, jangan salahkan saya kalau kepala Nasywa terpisah dari tubuhnya. Saya bisa dengan mudah menggoroknya seperti menyembelih ayam.” suara Mursyid terdengar datar, tampak tidak bergetar sedikit pun. Sepertinya laki-laki itu sudah sering melakukannya.

Desy jadi gentar melihatnya. Meski tidak rela, ia pun akhirnya berkata. ”B-baik! Akan kulakukan apapun yang kamu inginkan! Tapi aku mohon, jangan sakiti Nasywa. Kalau mau membunuh, bunuh saja aku!” hiba Desy diantara tangisnya.

Mursyid tertawa penuh kemenangan, “Hehehe... aku yakin ibu dapat bertindak bijaksana.” Dia lalu memberikan hape pada Desy. “Sekarang, telepon pacarmu yang juragan arloji mewah itu, bilang agar menuruti apapun perintah istriku. Kalau tidak, kau dan Nasywa akan kubunuh.”

Desy menerima hapenya dengan gemetar. Dipencetnya nomor Irwan yang ada di urutan teratas. Tepat pukul sepuluh lewat sepuluh, telepon tersambung. Desy langsung menjerit penuh ketakutan, “Mas, turuti apapun yang diminta orang itu, atau aku dan Nasywa akan dibunuh!! Tolong, dia mau memper...”

Tapi sebelum dia selesai ngomong, Mursyid sudah keburu mengambil hape itu, dan mematikannya dengan melemparnya ke dinding hingga hancur berkeping-keping. “Cukup!” ditatapnya Desy dengan garang. “Siapa suruh ngomong banyak,hah?!” bentaknya murka.

Desy menatap laki-laki itu dengan tubuh gemetar. “Maaf, ampun, aku... Jangan sakiti aku!” hibanya dengan tangis semakin keras ketika dilihatnya Mursyid yang bergegas naik ke atas ranjang. “Tolong! Ampuni aku! Jangan! Mau apa kau?!” jerit Desy ketakutan.

“Katanya ibu mau diperkosa? Ayo, kita lakukan sekarang!” sahut Mursyid sambil menyeringai mesum, membuat Desy beringsut menggeser tubuhnya ke belakang dengan segala kemampuannya.

“Jangan. Jangan sentuh aku!” jeritnya sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan yang membelit tubuh mulusnya, tapi percuma, tetap tidak bisa. Yang ada malah cup behanya yang tersingkap karena tertarik ikatan di perutnya.

“Aaahh!!” Desy dan Mursyid melenguh berbarengan. Desy kebingungan karena bulatan payudaranya terlihat, sementara Mursyid begitu terpesona melihat betapa putih dan mulusnya benda bulat padat itu.

Sebelum Desy sempat menyembunyikannya lagi, dengan cepat Mursyid mengulurkan tangan dan memeganginya. “Ehm... Bu, susumu empuk sekali.” desahnya dengan tangan meremas-remas gemas. Dipijit-pijitnya daging empuk itu untuk merasakan betapa lembut dan kenyal bulatannya. Putingnya yang mengganjal di sela-sela jari, ia pilin-pilin dengan dua jari.

“Ahhh... jangan!” Desy merintih semakin keras. Sebagai wanita baik-baik, ia merasa dilecehkan oleh perbuatan Mursyid. Tapi apa daya, ia cuma bisa menjerit dan berteriak, tanpa bisa melawan sedikit pun. Tubuhnya yang terikat membuat Desy hanya bisa berbaring tak berdaya. Bahkan saat Mursyid menarik keluar buah dadanya yang sebelah kiri, ia juga cuma bisa menjerit pasrah.

Mata Mursyid makin melotot melihat dada montok Desy yang kini terburai dua-duanya. Laki-laki itu menatapnya tak berkedip dengan mulut melongo lebar. “Indah sekali, Bu! Indah sekali!” gumamnya sambil mengelus dan memijit-mijitnya lembut. Benda itu terasa begitu empuk dan kenyal.

“Jangan, Mursyid! Aku mohon, jangan!!” rengek Desy sekali lagi saat Mursyid kembali memijit dan memilin-milin putingnya. Meski berteriak tidak rela, tapi puting itu perlahan menjadi kaku dan keras.

Melihat hal itu, Mursyid menghentikan remasannya. “Susumu nikmat sekali, Bu. Bikin nagih!” bisiknya sambil menurunkan muka dan mulai menciumi puting Desy. Dengan lidahnya, ia menjilati puting itu dengan penuh nafsu. Mursyid sudah mengidam-idamkan hal ini sejak lama. Hatinya bahagia sekali bisa memangsa buah dada yang selalu menggoda hari-harinya itu.

Desy yang masih tidak rela tubuhnya dipermainkan, kembali menjerit pilu. “Bajingan kau, Mursyid! Lepaskan! Jangan lakukan ini kepadaku!” ia berusaha berguling ke kiri dan ke kanan, tapi himpitan tubuh Mursyid membuatnya tidak bisa bergerak bebas.

Yang ada, gerakan itu malah membuat Mursyid merintih keenakan. Himpitan payudara Desy pada mukanya membuat laki-laki itu bagai dipijit dan diurut oleh daging hangat yang empuk. Nikmat sekali rasanya. “Susumu enak sekali, Bu. Rasanya sebanding sama bentuknya” kata Mursyid mengagumi payudara Desy yang cukup besar dan bulat sempurna, dengan puting mungil berwarna coklat kemerahan yang terasa sudah sangat mengeras tajam.

Desy yang tersinggung oleh kata-kata itu, kembali melawan. Ia tidak rela tubuh indahnya dinikmati oleh laki-laki rendahan seperti Mursyid. Pejabat saja rela antri dan bayar mahal untuk membawanya ke tempat tidur! Ini bajingan kudisan malah enak-enakan nenen ke putingnya tanpa bayar sepeserpun. Dasar sial!! Desy berusaha mendorong tubuh Mursyid agar menjauh dari dirinya, tapi sekali lagi, usahanya itu cuma berujung sia-sia.

Mursyid tertawa puas melihatnya. Ia terus mencium dan menjilati payudara Desy saat berkata, “Percuma melawan, Bu. Ibu adalah milikku saat ini!” sambil digigitnya puting susu wanita kelahiran Sukabumi itu kuat-kuat.

“Auw!!” Desy menjerit kesakitan. Ia sudah akan menampar laki-laki kurang ajar itu saat menyadari kalau tangannya masih terikat erat. Jadi dia cuma bisa memaki-maki saja untuk melampiaskan rasa kesalnya. “Bajingan! Brengsek! Biadab! Awas, kubunuh kau!”

Tidak menghiraukan, Mursyid terus menggarap dada montok milik Desy. Rupanya ia begitu ketagihan dengan benda putih mulus itu. Tak henti-hentinya ia memijit dan meremas-remasnya, juga mencucup dan menghisapi putingnya, bahkan melahap seluruh permukaannya yang halus mulus, bagai ingin menelan seluruh bulatan daging itu. Anehnya, tindakannya itu justru membuat Desy terdiam dan tidak memberontak lagi. Wanita itu tampak mulai meresapi sensasi kenikmatan yang diciptakan oleh Mursyid.

Tahu kalau majikannya sudah mulai terbuai, Mursyid makin mengintensifkan serangannya. Sambil terus meremas dan memilin-milin, ia menurunkan tubuh dan berlutut di depan paha Desy. Diciuminya paha itu sebentar sebelum mulutnya hinggap di selangkangan Desy yang masih tertutup celana dalam. Bisa dirasakannya kalau lubang itu sudah agak basah. Dan karena pemberontakan Desy tadi, membuat celdamnya jadi agak miring ke samping. Membuat Mursyid dengan mudah dapat melihat sebagian lubang kelamin wanita cantik itu.

“Rajin dicukur ya, Bu?” sapa Mursyid sambil mencolek bibir vagina Desy yang mengintip keluar. Bisa dilihatnya permukaan kemaluan Desy yang licin tanpa bulu, terlihat begitu gundul, namun jadi sangat indah.

“Diam kamu! Dasar bajingan!” Desy masih belum menerima perlakuan Mursyid pada dirinya. Padahal di lain pihak, tubuhnya mulai menikmati sentuhan dan ciuman laki-laki itu. Ego besar lah yang membuat Desy berbuat seperti itu. Dasar miss No Comment!!

Tak mau menyerah, Mursyid meneruskan serangannya. Ia menunduk dan menjelajahi selangkangan Desy yang basah menggunakan lidahnya. Ia mencium, menjilat dan menghisap vagina artis yang sudah melahirkan satu orang anak itu. Tapi meski begitu, memeknya masih kelihatan mungil dan sempit. Mungkin karena banyak duit, jadi Desy bisa merawat kewanitaannya, mengembalikan benda itu seperti semula, minimal mendekati seperti saat dia masih perawan dulu. Mursyid beruntung mendapatkannya.

“Jangan!” sergah Desy saat Mursyid berusaha merenggangkan kaki jenjangnya lebar-lebar.

“Tidak apa-apa, Bu. Begini lebih enak.” Dengan mahir, Mursyid menggunakan lidahnya untuk menjilati klitoris Desy yang masih tersembunyi malu-malu. Dia mencucup dan menyentil-nyentil daging kaku itu dengan ujung lidahnya, membuat Desy yang ingin memprotes jadi melenguh keras kegelian.

“Jangan, Mursyid! Aghhhh.... gila kamu! Jangan! Hentikan!!”

***

Vicky menahan nafas saat melirik ke arah majikannya. Celana panjang sekaligus celana dalam Irwan sudah copot, penisnya yang sudah kaku dan keras tampak menggelantung indah di antara pangkal paha laki-laki itu. Meski ukurannya tidak sebesar milik Dani, suaminya, Vicky bisa memastikan kalau penis itu lebih kaku dan panjang. Bulu jembutnya juga lebih lebat, seperti tidak pernah dicukur sama sekali. Membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya, Vicky jadi menelan ludah dibuatnya. Bagaimanakah rasanya penis itu? Ahh, kenapa dia malah jadi penasaran...

Dan pertanyaan itu terjawab tak lama kemudian, saat Dianti berkata dengan pistol tetap teracung ke arah mereka berdua. “Pegang penis itu, mbak Vicky. Kocok. Lalu hisap sampai muncrat!”

Tanpa perlu diperintah dua kali, Vicky melakukannya. Perlahan ia memegang penis Irwan dan mulai mengocoknya. Dia lebih memilih melakukan ini daripada disakiti oleh perampok bertopeng Gorillla di hadapannya. Toh ini juga mendatangkan kenikmatan baginya. Tidak merugikan sama sekali.

“Oughhh... Vicky!” rintih Irwan sambil memejamkan matanya saat Vicky mulai menelan dan menjilati penisnya. Sudah lama ia memimpikan hal ini, bisa bercinta dengan sekretarisnya yang cantik itu. Yang ironisnya malah terjadi di saat mereka sedang disandera seperti sekarang. Tapi Irwan tidak menyesali, yang penting baginya adalah bisa merasakan tubuh montok Vicky meski itu mereka lakukan di bawah todongan pistol.

“Ya, bagus. Terus! Hisap terus sampai keluar!” seru Dianti dari tempat ia duduk.

“Ehm... Vicky, enak sekali! Ahh...” desis Irwan sambil tangannya memegang kepala wanita cantik itu dan mengusap-usap rambutnya yang panjang dengan lembut. Dia mendorong penisnya lebih keras agar bisa masuk lebih jauh ke dalam mulut Vicky yang hangat dan basah.

“Ehmph!” Vicky menutup mata dan mencoba menahan diri agar tidak tersedak. Bersama suaminya, ia tidak pernah melakukan hal seperti ini. Oral adalah hal tabu bagi mereka berdua. Bagi Dani, suaminya, kemaluan adalah tempat yang jijik dan kotor, yang tidak seharusnya dicicipi oleh mulut. Itulah kenapa suaminya tidak pernah meminta dihisap. Setelah saling raba dan saling cium, mereka akan langsung bersetubuh, tanpa berbuat sesuatu yang aneh-aneh lagi.

Dan sekarang, saat melakukannya untuk yang pertama kali, rasanya ternyata tidak sejijik yang dibayangkan oleh Vicky. Penis Irwan tidak membuatnya mual dan muntah, bahkan yang aneh, ia malah seperti menyukainya. Vicky ingin terus melahap dan menghisap batang panjang itu, sampai keluar!

Oleh karena itulah, ia jadi sedikit kecewa saat Irwan melenguh dan menjerit keras tak lama kemudian. “Vicky... oughhhh! Aku keluar!!” sperma laki-laki itu menyembur keluar banyak sekali, memenuhi seluruh rongga mulutnya. Vicky langsung meludahkan semuanya. Untuk yang satu ini, ia masih belum terbiasa. Sperma masih terlalu menjijikkan untuk ia telan!

“Vicky, maafkan aku!” lirih Irwan sambil menjatuhkan tubuhnya di lantai. Dipeluknya wanita cantik yang sudah dua tahun menjadi sekretarisnya itu.

Vicky sendiri tidak menjawab. Ia seperti melamun menatap penis sang majikan yang masih berkedut-kedut dan sedikit menumpahkan cairan. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Wajahnya yang jelita hanya berjarak dua jengkal dari penis besar itu.

Irwan melihat ke arah sofa dimana tadi Dianti duduk. Tumben wanita itu diam? Tapi dia langsung kaget saat menyadari kalau Dianti ternyata sudah tidak ada. Entah kapan wanita itu pergi. Rupanya begitu enaknya mereka berdua hingga tidak menyadari saat Dianti diam-diam melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. Rupanya perampok bertopeng Gorilla itu sengaja mengerjai mereka berdua.

“Dia sudah pergi,” Irwan berkata sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan mesra Vicky.

Tapi sekretarisnya itu tetap melingkarkan tangan di pinggangnya, bahkan berbisik, “Apakah bapak tidak ingin memegang payudaraku?” Vicky menunjuk payudara montoknya yang masih terbuka lebar, lengkap dengan puting merah mudanya yang mengacung tegak ke depan.

“Vicky, aku...” Irwan tidak sanggup berkata-kata. Tawaran wanita itu mustahil untuk dielakkan.

“Bapak boleh memegangnya jika ingin,” kata Vicky lagi sambil membimbing tangan kasar Irwan agar hinggap di bagian atasnya.

“Vicky,” Irwan memanggil nama perempuan cantik itu saat tangannya mulai meremas dan memijit lembut.

“Ehm... Pak!” dan Vicky membalasnya dengan kembali mengusap-usap dan mengocok penis Irwan yang terasa mulai melembek.

***

Dianti membuka pintu depan sambil memanggul tas ranselnya yang penuh berisi uang di punggung. Dia masih sempat mendengar jeritan Irwan yang keenakan saat mencapai orgasme. “Vicky... oughhhh! Aku keluar!!”

Tersenyum karena sudah berhasil melaksanakan rencananya, Vicky melepas topeng gorillanya dan mengantonginya, sebelum melangkah keluar menuju tempat parkir. Wajahnya yang bulat tampak memerah dan berkeringat karena terlalu lama tersembunyi di balik topeng.

Dianti merasa ingin berlari secepat mungkin ke mobilnya, tapi ia berjalan dengan tenang, seakan-akan tidak peduli sama sekali di siang musim panas yang terik ini. Bahkan ia mengeluarkan hapenya dan mulai menghubungi seseorang sambil terus berjalan.

***

“Ya, halo?” Mursyid menerima telepon sambil menikmati sepongan Desy pada batang penisnya. Didengarnya suara seseorang di seberang sana; suara merdu Dianti yang mengabarkan keberhasilan rencana mereka.

“Kau memang pintar, sayang!” puji Mursyid blak-blakan. “Tunggu saja di rumah, aku sebentar lagi menyusul.”

Setelah telepon ditutup, ia segera mengangkat tubuh montok Desy yang sudah bugil tapi masih terikat, dan membaringkannya telentang di atas tempat tidur. “Sudah siap, Bu? Aku masukkan sekarang ya!” kata Mursyid sambil menggesek-gesekkan ujung penisnya di bibir lubang vagina Desy yang merah merekah.

Tidak menjawab, Desy hanya melebarkan pahanya agar laki-laki itu mudah melakukannya. Sebenarnya ia sudah sejak tadi menginginkan hal ini, tapi Mursyid selalu saja mengulur-ulur waktu, seperti sengaja mempermainkan gairahnya. Padahal sejak klitorisnya dihisap, Desy sudah kalah sepenuhnya. Ia tidak lagi melawan dan memberontak, tapi juga tidak merintih dan mengerang keenakan. Wanita itu hanya diam, menikmati apapun yang dilakukan oleh Mursyid. Ia tidak ingin terlihat seperti wanita gampangan, tapi juga tidak ingin rasa nikmat ini hilang begitu saja. Jadilah Desy seperti robot yang selalu menuruti apapun permintaan Mursyid tanpa berani bertanya sedikitpun. Bahkan saat laki-laki itu menciumnya, Desy juga tidak menolak.

Bibir mereka bertemu. Mursyid melumat bibir Desy begitu mesra, begitu lembut, seperti ingin merasakan tekstur dan bentuknya. Lidah mereka juga saling membelit dan menyapa, membuat air liur mereka bergabung dan bercampur menjadi satu. Mursyid terus memainkan bibirnya sambil tangannya kembali mengelus-elus buah dada Desy yang bulat membusung.

Desy sedikit menggelinjang saat ciuman Mursyid bergerak menyusuri batang lehernya. Tanpa ia sadari, tangan kirinya membimbing penis laki-laki itu agar segera menusuk lubang vaginanya. Rupanya Desy sudah sangat tidak tahan. Ia menyapukan ujung kejantanan Mursyid di bibir vaginanya yang sudah panas membara.

“Bu Desy,” ucap Mursyid sambil mendorong penisnya masuk.

“Ehm...” Desy mendesis nikmat manakala merasakan batang besar Mursyid menggesek ketat di dinding vaginanya. Dan benda itu terus meluncur hingga terbenam seluruhnya.

Mursyid mendiamkannya sesaat sambil mengamati ekpresi wajah sang korban. Desy balas menatapnya tajam, terlihat sama-sama terbakar birahi. Dengan anggukan kecil, ia memberi ijin pada Mursyid agar mulai menggoyang. Tersenyum mengiyakan, laki-laki itu mulai menarik dan mendorong pinggulnya perlahannya.

Rasanya sungguh nikmat sekali. Mursyid sangat menikmati jepitan dan gesekan vagina Desy di batang penisnya. Pelan, halus, dan penuh perasaan, ia terus menggoyangkan pinggulnya untuk menyetubuhi wanita cantik itu. Mereka melayang bersama, melenguh bersama, dan menjerit juga bersama-sama. Kocokan Mursyid yang pelan dan lembut terasa makin nikmat seiring dengan ciuman mesra laki-laki itu di leher dan bibir Desy yang tipis.

”Ughhh...” melenguh keenakan, Desy tidak menolak saat Mursyid mengajaknya berganti posisi. Tanpa melepaskan tautan kelamin, mereka bergulingan di ranjang. Kini Desy yang berada di atas, menduduki penis Mursyid yang menancap dalam di liang vaginanya, dan bergoyang dengan penuh nafsu meski tubuhnya masih terikat.

Mursyid memandanginya dengan mesra sambil mengelus-elus dan meremas pelan buah dada Desy yang bergoyang-goyang indah di depannya. Ia menyibak rambut Desy yang tergerai menutupi wajahnya agar ia bisa terus menatap wajah perempuan cantik itu saat Desy merintih dan mengerang keenakan.

Desy terus menaik-turunkan tubuhnya sambil sedikit memutar pinggulnya untuk mengocok penis Mursyid yang memenuhi lubang vaginanya. Desahan dan rintihan bersahutan diantara mereka berdua. Mursyid mengimbangi goyangan Desy dengan menekan pantatnya kuat-kuat agar penisnya bisa tertanam lebih dalam, lalu memutar pinggangnya, sambil mempermainkan puting Desy dengan jari-jari tangannya.

”Ehmmh,” Desy mendesah semakin keras menikmatinya permainannya. Ia tampak semakin bergairah. Goyangan tubuhnya terasa kian cepat dan gencar, hingga tak lama kemudian, jerit kenikmatan keluar dari mulut manisnya tanpa ia sadari. ”Oughhhhh!!!” Otot-otot vaginanya berdenyut keras, meremas dan menjepit penis Mursyid begitu ketat saat wanita itu orgasme. Cairan kewanitaan menyembur banyak sekali dari lubang vaginanya. Saat Desy berdiri, cairan itu tumpah ruah membasahi tubuh dan sebagian kaki Mursyid.

”Gimana, Bu? Nikmat bukan! Jangan panggil aku Mursyid kalau aku tidak bisa memuaskan ibu.” kata Mursyid sambil kembali menancapkan penisnya dan menggoyang tubuh lemas Desy dari atas.

Meski masih kecapekan, tapi rasa geli dan nikmat akibat gesekan penis Mursyid di liang vaginanya, membuat Desy perlahan merintih dan menggeliat. Ia mendesah-desah di dekat telinga laki-laki itu. Mursyid mendekapnya makin erat sambil terus menggoyang. Tubuh mereka menyatu, saling menindih dan menghangatkan satu sama lain.

Saat itulah, Desy berbisik. ”Tolong, lepas ikatanku. Aku tidak akan lari. Tidak enak rasanya bercinta dengan kondisi seperti ini.”

Karena kasihan, dan juga yakin kalau Desy akan menetapi janjinya, Mursyid pun melepaskan ikatannya. ”Ooough… enghhh!!” Desy langsung melenguh tertahan saat penis Mursyid kembali bergesekan dengan dinding vaginanya, menumbuk klitorisnya, hingga menyebabkan tubuhnya menggelinjang dan bergetar pelan.

“Enak sekali memekmu, Bu. Apakah punya janda memang seenak ini?!” tanya Mursyid sambil terus melakukan hujaman keras dan dalam pada vagina Desy yang sempit. Tangannya meremas-remas payudara perempuan setengah baya itu, sambil mulutnya tak lupa memagut bibir Desy yang tipis.

Serangan Mursyid yang begitu gencar membuat tubuh montok Desy terguncang-guncang dan terlempar-lempar kesana kemari. Ia menurut dan diam saja saat laki-laki itu mengajaknya balik ke posisi semula; Desy di bawah, sedangkan Mursyid di atas.

“Ahh… Bu, aku suka sekali sama tubuhmu!!” Mursyid semakin meracau tak karuan. Dari atas, ia bisa menghunjamkan batang penisnya yang panjang kuat-kuat hingga kadang sampai mentok ke mulut rahim artis cantik itu. Desy yang menerimanya, segera melingkarkan kaki untuk mendekap pinggang Mursyid, meminta pria itu agar menggenjot dan menyetubuhinya lebih keras lagi.

Di tengah pergumulan hebat itu, sesekali bibir mereka bertemu. Mereka saling mengecup dan berpagutan mesra. Tangan Mursyid yang nakal kembali meraih payudara Desy dan meremas-remasnya dengan penuh nafsu. Sementara di bawah, penisnya keluar masuk dan meluncur semakin cepat.

Hingga akhirnya tak lama kemudian, Desy merasakan cairan hangat menyembur deras mengisi lorong vaginanya. Tubuh Mursyid mengejang sambil mulutnya melenguh puas, ”Oughhh... bu, aku keluar!!” Genjotannya terasa semakin melemah sampai akhirnya ambruk menindih tubuh mulus Desy beberapa detik kemudian. Sambil menciumi sang artis yang merem melek keenakan, Mursyid meraih payudara montok milik Desy dan meremas-remasnya dengan lembut.

***

Di rumahnya, Dianti menunggu kedatangan sang suami dengan tidak sabar. Biasanya Mursyid adalah lelaki yang tepat waktu, lalu kenapa sekarang bisa jadi telat seperti ini? Apakah ada yang memperlambatnya? Dia sudah akan meneleponnya lagi ketika didengarnya pintu depan terbuka.

”Maaf, sayang. Jalanan macet.” kata Mursyid sambil mencium pipi bulat Dianti penuh rasa cinta.

”Ayo, kita tidak punya banyak waktu.” Dianti menggandeng tangan pria itu menuju garasi. Dengan uang hasil merampok Irwan Danny Musri, mereka berniat melarikan diri ke Amerika Selatan dan hidup tenang disana. Semua sudah siap, mulai dari tanda pengenal palsu hingga tiket pesawat. Bahkan pesawat mereka akan terbang setengah jam lagi.

Mengikuti istrinya, Mursyid tersenyum ketika melihat tumpukan uang yang ada di dalam tas. ”Berapa jumlahnya?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.

”Cukup untuk hidup selama 100 tahun,” jawab Dianti, dan memasang sabuk pengaman ke tubuhnya. Mereka pun meluncur menuju bandara untuk meninggalkan negeri yang carut marut ini, yang tidak pernah memberi kesempatan kepada orang-orang semacam mereka untuk hidup lebih baik.

***

Di kamarnya, Desy tersadar setelah hampir satu jam terlelap. Pertempuran dengan Mursyid benar-benar menguras tenaga dan staminanya. Baru kali ini ia bercinta hingga remuk redam seperti ini. Kuat sekali orang itu! batin Desy dalam hati, tanpa sadar mengagumi sosok orang yang telah memperkosanya. Meski masih mengantuk, Desy memaksakan diri untuk bangun dan melangkah pelan menuju kamar mandi. Dia mengguyur tubuhnya yang telanjang di bawah shower dan menggosok giginya yang terasa kotor akibat menjilati penis Mursyid, orang yang tidak sedikitpun ia bayangkan akan menggaulinya. Untuk membersihkan tubuhnya dari sisa-sisa pertempuran, Desy mandi sedikit lebih lama dari biasanya.

Saat itulah, sesuatu menarik perhatiannya; sebuah kertas surat! Dengarkan hape-mu!! Hanya itu yang tertulis di atasnya. Desy mengeryit, tapi segera menyudahi acara mandinya. Masih dengan tubuh telanjang, ia berjalan cepat menuju meja dan menyambar Blackberry-nya.

Suara yang muncul terdengar berisik, seperti ada yang menindih HP itu dan berteriak-teriak di atasnya. Oh, tunggu dulu! Bukan berteriak, tapi menggeram dan merintih-rintih!! Dan Desy sangat familier dengan suara itu. ”Mas Irwan?” panggilnya tanpa sadar.

Dan Irwan menjawab panggilannya dengan berteriak kencang, ”Ohh, Vicky... aku keluar lagi! Oughh... hhh... hhh...”

Lemas, Desy menjatuhkan hape itu. Vicky? Sekretaris Irwan? Jadi mereka...

“Bajingan! Bodoh! Aku memang bodoh!” keluh Desy dengan tubuh gemetar. Sama sekali tidak menyadari kalau ini adalah jebakan terakhir yang ditinggalkan oleh Mursyid dan Dianti.