Minggu, 04 Agustus 2013

Pengalamanku

Pengalaman ini berawal ketika aku kuliah di universitas di daerah Setiabudhi Badung. Aku nge-kost di daerah Geger Kalong yang saat itu identik dengan DT-nya Aa Gym yang menjadikan tidak terbesit olehku akan mengalami pengalaman yang seru ini.

Aku nge-kost di sebuah rumah pasangan suami-istri. Mereka mempunyai anak satu namun karena sudah berumah tangga maka anaknya itu sudah tidak tinggal di rumah itu. Tempat kost-ku mungkin berada agak jauh dari kampus dibandingkan dengan tempat kost-kost yang lain dan suananya lebih sepi dan tenang. Mungkin karena itu pula aku memilih kost-an itu disamping harganya yang lebih murah daripada kost-kostan yang lain. Hanya terdapat 3 kamar yang di sewakan di belakang bangunan utama yang ditinggali oleh pemilik kost tersebut. Pemilik kost tersebut Pak Dedi yang bekerja di sebuah perusahaan operator telepon seluler dan istrinya Bu Rina yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Pak Dedi berumur sekitar 45 tahunan dan Bu Rina sekitar 38 tahunan.

Pekerjaan Pak Dedi yang suka mengurusi proyek-proyek pembangunan BTS di daerah-daerah menjadikannya sering keluar kota, mungkin dari itu juga makanya rumah mereka di kostkan, biar Bu Rina tidak kesepian kalau ditinggal keluar kota katanya. Bu Rina mungkin bisa dibilang sudah cukup berumur bahkan sudah menjadi nenek dari anak putrinya semata wayang. Namun dari wajahnya masih terlihat segar dan manis, mungkin waktu mudanya memang cantik.

Waktu awal aku ngekost disana, aku menganggap Bu Rina seperti kebanyakan ibu rumah tangga lainnya, bahkan aku menganggap sebagai wanita yang alim karena penampilan sehari-harinya selalu menggunakan jilbab dan baju gamis yang longgar sehingga tidak pernah terlihat sedikit pun lekuk tubuhnya dari luar. Pada awal-awal aku biasa saja, mungkin hanya senyum kalau bertemu atau berucap sapa sewajarnya. Bu Rina biasanya sering ngobrol dengan Putri, penghuni kost yang lain.

Keadaan mulai berubah ketika memasuki smester ke-3, penghuni di kost-an itu hanya tinggal aku karena Putri telah lulus dan sudah tidak tinggal di situ lagi, sedangkan kamar yang satunya lagi memang sudah lama kosong, mungkin karena jaraknya yang jauh dari kampus sehingga kurang peminatnya.

Suatu pagi hari rabu, aku dapat jam kuliah siang. Sambil nunggu kuliah, aku hanya santai-santai di kost-an sambil baca buku. Lalu datang Bu Rina menjemur pakaian, kebetulan tempat jemuran berada di depan kamarku, jadi sempat juga kuperhatikan Bu Rina yang sedang menjemur pakaian. Tidak seperti biasanya, saat itu Bu Rina menghampiriku setelah selesai menjemur pakaiannya.

“Tidak kuliah, Din?” tanyanya mengawali percakapan.

“Jadwalnya siang, Bu.” jawabku.

“Gimana tinggal di sini, betah gak?” tanyanya lagi.

“Betah kok, bu, tempatnya bersih, tenang, murah lagi.” jawabku sambil sedikit tertawa.

“Ya mungkin buat nak udin sih tenang, tapi buat Ibu sih sepi, apalagi setelah anak ibu menikah dan ikut suaminya, makanya rumahnya ibu kost-kan.” kata Bu Rina.

“Owh… tapi kenapa ibu gak jual aja bu rumahnya trus ibu beli rumah yang tempatnya ramai gitu?” aku balik bertanya.

“Ini rumah warisan orang tua ibu, dan diamanatkan supaya tidak boleh dijual, makanya ibu tetap bertahan.”

“Ya bagus lah, bu, kan saya juga jadi dapat kost-an yang murah.” candaku.

“Ah, kamu bisa aja, Din.” kata Bu Rina sambil tersenyum. “Udah dulu ya, Din, Ibu mau beres-beres rumah dulu.” lalu dia masuk ke rumahnya.

Hari itu aku merasa sesuatu yang beda, mungkin sudah gak ada Putri teman ngobrolnya yang dulu, jadi Bu Rina mencari teman ngobrol yang lain. Semakin hari aku semakin sering ngobrol berduaan dengan Bu Rina tapi hanya obrolan-obrolan biasa sekitar lingkungan tempat tinggal, aktifitas sehari-hari, hanya sebatas itu. Namun hampir setiap hari atau saat Bu Rina sedang tidak ada kerjaan selalu saja datang untuk ngobrol denganku.

Hingga pada suatu hari Pak Dedi dapat tugas keluar jawa untuk proyek BTS-nya. Saat itu aku baru saja pulang kuliah. Waktu itu tiba-tiba hujan, karena Bu Rina sedang tidak ada di rumah maka aku mengangkat jemurannya biar tidak kehujanan. Sepulangnya Ibu Rina, aku langsung mengantarkan jemurannya tadi, namun ketika aku kembali ke kamarku, tanpa kusadari ternyata celana dalam bu Rina ketinggalan secara tidak sengaja. Duh, bingung juga jadinya. Mau kuantarkan pasti malu lah hanya mengantarkan satu celana dalam Bu Rina, tapi kalau tidak kuantarkan pasti Bu Rina bakalan berpikiran negative kalau aku sengaja menyembunyikan celana dalamnya. Ah, daripada nantinya jadi macam-macam lebih baik aku antarkan saja.

Tok.. Tok.. kuketuk pintu belakang rumah Bu Rina. Muncul lah Ibu Rina. “Eh, nak Udin.” sapanya ramah seperti biasa.

“Maaf, bu, ini ada jemurannya yang tertinggal tadi.” kataku sambil memberikan celana dalamnya dengan menahan malu.

“Oh ya, makasih, Din.” terlihat wajah Bu Rina juga nampak malu karena celana dalamnya aku pegang. “Udah makan, nak Udin?” Bu Rina mengalihkan pembicaraan.

“Udah bu, makasih.” jawabku bohong.

“Ah, pasti belum, ibu juga tahu kamu tuh suka makannya malam, ayo temenin ibu makan.” ajaknya.

“Udah kok, bu. Beneran.” aku coba menolak.

“Ayo sini temenin ibu makan, gak baik loh nolak rezeki.” katanya sambil menarik tanganku, memaksa untuk masuk.

Tak kuasa menolak, aku pun menuruti permintaan Bu Rina. Aku masuk dan mengikutinya yang membawaku ke meja makan.

“Silahkan duduk, nak Udin.” kata Bu Rina.

“Iya, makasih, bu.” aku pun duduk diikuti dengan Bu Rina yang ikut duduk. “Loh, bapak kemana, bu?” aku bertanya melihat hanya kami berdua yang ada di ruangan itu.

“Tadi bapak ada tugas mendadak ke Bengkulu, padahal Ibu susah masak, jadinya ga ada yang makan, makanya Ibu ajak nak Udin makan sekalian, biar gak mubazir.” jawabnya.

Kami pun makan bersama sambil mengobrol berdua. Mulai dari masalah makanan, hoby, tempat kost-an dan lain-lain. Selesai makan aku hendak pamit, meski masih betah ngobrol dengan Bu Rina tapi tak enak juga berduan dalam satu rumah. Apalagi sudah hampir malam, mungkin juga Bu Rina mau melakukan aktivitas lainnya.

“Sudah dulu yah, bu, sudah malam.” aku pamit.

“Nyantai aja, nak Udin, temenin Ibu dulu kenapa.” tapi Bu Rina melarang.

“Ah, gak enak, bu. Kalau dilihat orang kan gak enak.” aku berdalih.

“Ah, tenang aja, lagian ga akan ada orang yang lihat. Mau ibu bikinin kopi?”

“Gak usah, bu, makasih.”

Namun Ibu Rina tetap membikinkan kopi dan mengajakku untuk melanjutkan obrolannya di sofa di depan TV. Kami pun melanjutkan obrolan tadi namun kali ini Bu Rina menanyakan hal tentang aku.

“Kamu sudah punya pacar, Din? Kok ibu perhatikan kamu gak pernah ngajak perempuan ke sini, padahal kan usia seumur kamu pasti lagi asyik-asyiknya pacaran?”

“Saya gak punya pacar, bu, lagi konsentrasi kuliah dulu.”

“Tapi kalau pacaran pasti udah pernah kan?”

“Gak juga, bu, paling kalau sekedar suka sih pernah, tapi kalau pacaran belum.”

“Masa sih secakep kamu belum pernah pacaran, Din? Kalau begitu sama donk kaya ibu.”

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Dulu ibu tuh nikah muda, usia 15 tahun ibu sudah dijodohkan, malahan waktu itu baru pertama bertemu Bapak tapi ibu langsung dinikahkan. Usia 16 tahun ibu sudah punya anak.”

“Oh, pantes masih muda Ibu udah punya cucu, kan Ibu masih cantik, gak kelihatan kaya nenek-nenek.” jawabku sambil becanda.

“Ah, kamu bisa aja, Din.” Bu Rina tersipu malu.

“Tapi meskipun belum pernah bertemu akhirnya Ibu cinta juga kan sama bapak?”

“Gak tau juga yah, Din, mungkin selama ini Ibu hanya berusaha menjadi seorang istri yang baik. Kalau dibilang cinta mungkin ibu hanya menjalani tugas saja. Mungkin juga ibu bertahan hanya demi anak saja.”

“Maksud ibu bertahan?”

“Yah, mungkin kalau ingin hati ibu itu ingin berpisah. Bapak itu tidak pernah mau ngertiin ibu, keras kepala, kadang kalau keinginannya gak sesuai suka main kasar.”

“Sabar aja yah, bu.” aku mencoba menghibur.

“Loh, kok ibu malah jadi curhat sama kamu sih, Din, maaf yah.”

“Ah, gak pa-pa kok, bu, sapa tau aja bisa ngurangi beban ibu.” dengan spontan kupegang tangan Bu Rina.

“Gak tau kenapa yah, Din, akhir-akhir ini hari-hari ibu terasa berbeda, seperti ada hal baru yang ibu rasain yang tak pernah ibu rasain dulu.”

Aku juga merasa yang berbeda. Suatu perasaan yang tak bisa ku pahami. Kalau sedang ngobrol dengan Bu Rina hati terasa tenang, terasa nyaman. Untuk beberapa saat kami tertegun mata kami saling memandang. Pandangan yang tak biasa yang membawa kami untuk beberapa saat berada di alam yang berbeda.

Bu Rina melepaskan genggaman tanganku, tapi tanpa kuduga dia langsung memelukku. Aku hanya bisa terdiam karena kaget. Lalu aku memberanikan diri membelai kepalanya yang masih tertutup jilbab. Untuk beberapa saat kami berpelukan, lalu Bu Rina mengangkat kepalanya dan kami saling bertatap mata lagi. Seperti sudah kompakan, bibir kami pun langsung melaju hingga saling bersentuhan.

Cuuup… satu kecupan. Dan diteruskan dengan kecupan-kecupan lain hingga kami saling mengulum bibir dan bermain lidah. Sungguh nikmat kurasakan, bibirnya yang tipis manis dan ludahnya yang hangat melambungkan birahiku hingga saat itu juga penisku mulai berdiri.

Namun tiba-tiba Bu Rina seperti tersentak. “Maaf kan ibu ya, Din, ibu kelewatan.” katanya sambil cepat-cepat melepaskan ciuman dan menarik pelukan.

“Ah, nggak kok, bu. Saya juga gak bisa menahan.” aku menjawab. Mungkin ada rasa malu pada dirinya, namun dari wajahnya, aku dapat melihat hal yang sama denganku. Birahi yang meninggi…

Kami terdiam, tanpa kusadari tatapan Bu Rina tertuju pada celanaku, dia memperhatikan perubahan penisku yang membesar. “Maaf, bu, gak bisa nahan.” dengan malu kututupi celanaku dengan kedua tangan.

Bu Rina hanya tersenyum.

“Ah, ibu curang, gak kelihatan, gak seperti aku.” aku coba bercanda untuk menutupi rasa maluku.

“Kamu juga kan tadi sudah lihat celana dalam ibu, sudah pegang lagi.” sahut Bu Rina, matanya masih tertuju pada tonjolan penisku.

“Tapi kan itu gak ada isinya, bu. Kalau aku kan isinya yang menonjol yang dilihat ibu.”

“Apa kamu mau lihat juga celana dalam yang ada isinya? Nih ibu kasih.” Aku terkaget ketika tiba-tiba bu Rina berdiri dan menganggat baju gamisnya sampai ke pinggang hingga bisa kulihat celana dalam warna krem yang menempel pada pantatnya yang montok. Aku hanya melongo sambil menatap indahnya pantat Bu Rina tanpa berkedip. Lalu tiba-tiba bu Rina naik ke pangkuanku dan langsung mencium bibirku. Aku hanya mengikuti karena ini yang pertama bagiku dan aku tak tahu harus bagaimana.

Semakin lama hisapan Bu Rina kurasa semakin kencang, lalu tiba-tiba Bu Rina memasukkan lidahnya ke mulutku sambil mendesah… ”Ssshhh… ssshhh...!” Ya ampun, nikmat sekali aku rasa saat lidah kami saling bersentuhan dan bermain-main. Sambil menggesek-gesekkan vaginanya ke penisku, bu Rina memegang tanganku dan mengarahkannya ke tonjolan buah dadanya, mengisyaratkan untuk diremas. Aku pun mulai meremas-remas payudara sebelah kanan Bu Rina hingga desahannya semakin kuat.

Bu Rina membuka kaos oblong yang kukenakan dan dijilatinnya putingku dan sesekali menggigitnya. Aku hanya terdiam, tubuhku serasa merinding. Jilatannya semakin bawah ke pusarku dan langsung dibukanya celana jeans yang kukenakan. Penisku langsung menyembul keluar karena telah bangun dari tadi. Tanpa disentuh langsung dimasukkannya benda itu ke dalam mulutnya. Aku tersentak.

“Aww…!” erangku, keenakan
.
Bu Rina mengeluarkan penisku dari mulutnya. “Kenapa, Din?” dia bertanya.

“Ngilu, bu. Tapi enak yah?” jawabku cengingisan. “Ibu buka juga dong bajunya, masa aku aja yang telanjang.” lanjutku.

Bu Rina tersenyum dan mencium penisku, lalu dia mulai membuka bajunya satu persatu. Dibukanya jilbab yang ia pakai hingga terlihat rambutnya yang lurus panjang terurai. Cantik sekali, untuk pertama kali aku lihat bu Rina tanpa kerudung. Dibukanya juga baju gamis dan celana panjang tipis yang melindungi kakinya, hanya menyisakan celana dalam dan BH saja. Terlihat tubuhnya yang montok dengan payudara dan bokong yang besar, meski terlihat sedikit kendur namun tidak mengurangi sedikitpun keindahannya. Lalu dibukanya BH warna krem hingga payudaranya yang bulat besar menyembul keluar dengan puting merah kecoklatan. Dan yang terakhir, bu Rina melepaskan celana dalamnya perlahan-lahan, terlihat bulu-bulu tipis yang tampak dicukur rapi dengan bokong yang besar dan seksi. Baru pertama kali aku melihat wanita telanjang bulat di depanku.

“Nih, udah sama telanjang, mau diapain sekarang?” tanya Bu Rina menggoda.

“Hmm.. gak tau juga mau diapain, bu.” jawabku jujur.

“Uh, dasar! Sini punya kamu dulu, Din, Ibu mainin.” bu Rina langsung memegang penisku yang semakin tegang. “Tahan yah, Din, nanti juga ngilunya jadi nikmat.”

Bu Rina menjilati penisku, dia mengulum dan menghisap-hisapnya. Tampak jauh beda dengan Ibu Rina yang selama ini aku lihat dengan watak yang tenang dan kalem, namun kali ini Bu Rina terlihat begitu semangat dan menggebu-gebu.

“Ahh… bu, enak banget! Terus, bu, jangan berhenti…!” erangku sambil memegangi kepalanya. Aku masih belum berani menyentuh tubuhnya.

Bu Rina pun semakin kencang mengulum penisku dan sesekali juga meremas-remas bijiku. “Gantian yah, Din.” pintanya saat dirasa penisku sudah sangat licin dan basah.

Ia pun duduk di sofa dan membuka kakinya, dengan perlahan Bu Rina menuntun kepalaku ke arah lubang vaginanya. Bisa kulihat dengan jelas benda berbelahan sempit miliknya yang berwarna merah dan sudah sangat basah. Awalnya aku sungkan, namun dengan bu Rina, lama-kelamaan aku pun menikmatinya. Kuciumi bulunya yang tipis dan kujilat perlahan-lahan lubangnya.

“Aahhh... aaahhh… sssttt... shhh…” hanya desahan dari Bu Rina yang kudengar saat kumasukan lidahku ke lubang vaginanya. “Iya, sayang, terus! Sshhhs… Itu itilnya juga ya, sayang!“

Berbunga-bunga aku dipanggil sayang oleh Bu Rina. “Itil tuh yang mana, bu?” aku bertanya belum paham.

“Itu tuh yang seperti kacang tapi kecil.” jawabnya parau.

Oke, aku menemukannya, ada di atas bibir vagina bu Rina. Tanpa bicara lagi langsung aku jilati benda mungil bernama itil itu. “Ouw yah, terus sayang...! isep yang kuat! Owwhhh… sssshhh…” bukan hanya desahan kali ini, tapi juga erangan keluar dari bibir manis Bu Rina.

Rintihannya terdengar dahsyat. Bu Rina memegang rambutku, mengisyaratkan agar aku lebih kencang menghisap-hisap itilnya. Tubuh Bu Rina yang montok dan semok menggeliat dan menggelinjang-gelinjang semakin kencang dan tak beraturan. Kupegangi pinggulnya agar itilnya tetap dalam hisapanku.

“Oowwhhhhh…. Sayaaang!” erang panjang Bu Rina. Kurasakan cairan hangat keluar dari lubang vaginanya. “Hhhh... hhh… Ibu sudah keluar, sayang.” katanya sambil terengah-engah. “Sini, masukin punya kamu, Din!” Bu Rina memegang penisku dan menuntunya masuk ke lubang vaginanya.

Cleebb! Kudorong penisku hingga masuk menembusnya. Terasa hangat dan ketat kurasakan. ”Goyang, Din. Gerakkan maju mundur, tapi jangan sampai lepas.” perintahnya. Mulai kugoyang pinggulku sambil kupegangi pinggang ramping Bu Rina. Payudaranya yang membulat besar, yang terlihat sungguh sangat menggiurkan, masih belum berani kupegang.

“Owh yeah, sayang… hmmmm... sshhh.. yeah...” Bu Rina kembali mendesah. Kupercepat gerakanku yang terus menghujam vaginanya. “Owhhh… ahhhhh… oowwssshhhhhh…“ desahannya terdengar semakin memilukan. ”Aarrgghhhhhhhh...!” kembali Bu Rina mengerang panjang, dan kali ini cairan hangat terasa menyembur di batang penisku. Ternyata dia telah kembali orgasme.

“Kamu juga keluarin dong, sayang.” rayu bu Rina genit dengan muka memerah dan berkeringat.

“I-iya, bu.” aku memang merasa seperti kebelet namun kutahan dari tadi. Aku masih ingin menikmati rasa ini sedikit lebih lama. “Ntar kalau keluarnya di dalam gimana, bu?” tanyaku sambil terus menggoyang.

“Gak pa-pa, sayang, Ibu sudah di KB kok. Mau gaya lain gak, sayang?” tawarnya.

“Gaya gimana, bu?” tanyaku yang memang belum pengalaman.

Bu Rina mengeluarkan penisku dan langsung nungging. Kulihat pantatnya yang masih kencang, mulus dan besar, lalu dituntunnya lagi penisku masuk ke lubang vaginanya. “Hmm, nikmat, sayang!” erang Bu Rina saat kutusuk tubuh montoknya dari belakang.

“Iya, bu. Nikmat baget…” aku mengangguk mengiyakan. Ternyata gerakan nungging ini membuatku tak tahan. Semakin cepat kugoyang Bu Rina, semakin terasa nikmat kedutan di ujung penisku. “Aaahhh….” aku mengerang keenakan.

“Ooowhhh… shhhh…” desis Bu Rina tak kalah nikmat.

“Aku mau keluar, sayang.” tanpa sadar, aku ikut memanggil Bu Rina dengan sebutan sayang.

“Aku juga, sayaaaang…!“ Bu Rina menjerit panjang.

“Ahhhh…” aku menggeram. Lalu crottt.. crottt.. crottt.. aku pun meledak, spermaku berhamburan memenuhi liang kewanitaannya.

“Ahhh… shhh… nikmat, sayanggg…” Bu Rina menyambutnya dengan semburan yang tak kalah dahsyat. Dia kembali orgasme untuk yang ke sekian kalinya.

Aku pun terkulai lemas di lantai sambil menyandarkan tubuhku ke sofa. Bu Rina turun dari sofa dan ikut berbaring di lantai dengan kepala diletakkan di pahaku. Untuk sesaat kami hanya tertegun diam tanpa kata. Setelah nafas kami kembali teratur, aku segera mengenakan kembali pakaianku, begitu juga dengan Bu Rina. Kami berpelukan dan berciuman sesaat sebelum akhirnya berpisah malam itu.

Aku tertegun di kamar kost-anku, perasaanku tak menentu, pikiranku kacau balau. Aku masih belum percaya dengan kenikmatan yang baru saja kurasakan, namun di sisi lain ada perasaan takut dengan apa yang telah terjadi. Mungkinkah suatu hari suami Bu Rina akan mengetahui atau kah sikap Bu Rina akan berubah terhadapku. Tidak bisa dipungkiri meski usia Bu Rina dua kali lebih tua dariku tapi ada perasaan yang special terhadapnya.

Esoknya aku menjalani aktivitas seperti biasa, bangun pagi dan berangkat ke kampus. Seperti biasa juga kulihat Bu Rina sedang menjemur pakaian di depan kamar kostku. Namun ada yang tidak biasa pagi ini, biasa nya Bu Rina selalu mengunakan jilbabnya bahkan sedang menjemur sekalipun namun pagi ini kutemui Bu Rina menjemur tanpa jilbabnya, bahkan hanya menggunakan daster tipis. Aku berjalan menuju luar, Bu Rina hanya memandang sesaat, tanpa sapa bahkan tanpa senyum. Sungguh aneh aku rasa, biasanya kalau aku lewat Bu Rina selalu menyapa atau setidaknya tersenyum.

Di kampus, pikiranku melayang, pelajaran kuliah tak ada yang masuk. Pikiranku terus tertuju pada Bu Rina, apakah Bu Rina menyesali apa yang telah aku dan dia lakukan sehingga sikapnya dingin begitu. Aku tak bisa terus membiarkan pikiranku menerka-nerka. Sehabis mata kuliah pertama aku langsung pulang, aku memberanikan diri bertanya pada Ibu Rina.

Tanpa masuk ke kamar kost, aku langsung menuju pintu rumah Bu Rina. “Pagi, bu.” sapaku, kebetulan pintu belakang rumah Bu Rina tidak tertutup.

“Masuk aja, Din.” terdengar sahutan dari dalam rumah. Kutemui Bu Rina yang sedang menonton TV dengan masih mengggunakan daster merah muda yang tadi pagi.

Setelah dipersilahkan duduk, aku pun memulai percakapan. “Maaf, bu, ada yang ingin kubicarakan.” Bu Rina hanya terdiam dan nampaknya dia juga tahu akan arah pembicaraanku. “Maaf ya, bu, kalau aku lancang, aku mau bertanya tentang yang kemarin.”

“Memangnya kenapa, Din?”

“Maaf ya, bu, dengan yang kemarin.”

“Kenapa minta maaf?”

“Sepertinya Ibu menyesali dengan yang terjadi kemarin.”

“Hmm…” Bu Rina terdiam sejenak sambil menarik nafas. “Ibu gak menyesal kok, Din, justru ibu merasa malu sama kamu.”

“Loh, kok malu sama aku, bu?”

“Yah, kamu masih muda, masa ibu yang sudah tua ini suka sama kamu.”

“Yah, aku juga gak tahu, bu, tapi aku juga merasakan perasaan yang aneh terhadap ibu, entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut karena kemarin sikap ibu menjadi berubah dingin seperti tadi.”

“Ibu bukan dingin, Din, ibu juga bingung harus gimana. Apalagi tadi pagi ibu sudah sengaja menggunakan baju ini tapi kamu terus berjalan tanpa melirik sama sekali.”

“Oh, jadi untuk aku ya, bu?”

“Gak tau kenapa bangun tidur tadi ibu ingin merasakan kembali seperti kemarin, jadi ibu langsung menggunakan baju ini, eh tapi kamunya lurus terus gak ngelirik sekalipun.”

“Seperti kemarin gimana, bu, bukannya ibu sering seperti itu?”

“Yah, ibu memang sering berhubungan intim seperti itu, tapi yang kemarin beda banget.”

“Beda gimana, bu?”

“Seumur-umur ibu baru ngerasain keluar lebih dari 1 kali dalam sekali main, kalau sama suami ibu paling cuma sekali, bahkan sering juga ga keluar sama sekali.”

Aku tidak bisa komentar sama sekalai, aku hanya bisa pandangi wajah Bu Rina saat bicara, gerak bibirnya yang tipis memancarkan pesona yang mendalam dan menaikkan hasratku untuk melumatnya.

“Kenapa, Din?” dia bertanya.

“Ah, gak pa-pa, bu.” aku terkaget. “Hmm, daster ibu masih sama, berarti dari pagi ibu belum mandi donk.” aku coba alihkan pembicaraan.

“Ah, kamu, Din, ibu kan jadi malu.” wajah cantik bu Rina bersemu merah.

“Tapi meski belum mandi ibu tetap cantik kok.” kataku.

“Ah, masa sih, ibu kan sudah tua gini. Ya sudah lah, ibu mandi dulu.” bu Rina langsung beranjak masuk ke kamar mandi, entah kenapa dia langsunag mandi tanpa menungguku pulang dulu dan entah kenapa juga pintu kamar mandinya dibiarkan terbuka gitu.

“Maaf, bu, kok pintunya gak ditutup?” tanyaku dari luar.

“Ah, kamu, Din. Gak ngerti aja, cepetan masuk sini.” timpalnya dari dalam.

Aku pun masuk ke kamar mandi, Bu Rina tiba-tiba langsung memelukku dan mencubuku seperti seorang yang sedang kesurupan sampai-sampai bibirku digigitnya. Nampaknya sudah dari pagi hastratnya dipendam. Dibukanya daster merah mudanya dan ternyata sudah tanpa BH dan CD sehingga telanjang bulat lah dia.

“Jilati memekku, Din.” pintanya sambil menaruh bokong di atas closet duduk yang tertutup.

Memek? Pikirku, aneh kata itu bisa terucap dari mulut Ibu Rina yang selama ini selalu santun dalam bertutur kata. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju arah memeknya yang sudah mengaga. Kurasakan cairan di dalamnya, ternyata sudah basah. Kugoyangkan lidahku membelai klitorisnya dan dengan seketika tubuh Bu Rina menggeliat dan mendesah.

“Aaaahh… terus, sayang.” tangannya memegang kepalaku dan sesekali menjambak rambutku ketika rangsanganku makin menghebat. Kuangkat kakinya ke pundakku agar semakin leluasa aku bereksplorasi di bagian selangkangan Bu Rina. Sesekali aku jilati lubang pantatnya yang berwarna coklat hingga tubuh Bu Rina pun menggeliat dengan hebatnya.

“Aaahh…” terdengar teriakan Bu Rina. “Pelan-pelan, sayang.” ternyata dia kaget saat kugigit klitorisnya.

“Eh, iya, bu. Gantian ya, bu.” aku pun berdiri sambil membuka bajuku, dan tanpa kuminta, Bu Rina langsung membuka celana dan CD-ku hingga langsung menyembul lah penisku dengan kencangnya. Tanpa menunggu lama, Bu Rina langsung memasukkan penisku ke mulutnya, perlahan tapi pasti gerakannya membuatku merinding nikmat. Dijulurkan lidahnya dan dijilatinya inci demi inci batang penisku, mulai dari biji zakar sampai kepalanya, terus begitu bolak-balik. Terlihat wajahnya begitu menikmati layaknya anak kecil makan es krim.

“Auw!” aku tersentak kaget saat tiba-tiba kepala penisku digigitnya. Namun kulihat Bu Rina malah tersenyum nakal.

“Gantian tuh…” bisiknya.

“Ah, ibu nakal.” kataku sambil kucubit pipinya.

Bu Rina pun berdiri sambil terus memegangi penisku, dituntunnya aku duduk di atas WC dan ia pun langsung naik ke pangkuanku sambil menuntun penisku masuk ke dalam lubang vaginanya.

“Aaaaahhh…” sambil mendesah, kulihat matanya terpejam saat penisku masuk menerobos vaginanya. Terasa kehangatan menyelimuti batang penisku, nikmat sekali. Bu Rina mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya naik turun, sesekali juga digoyangkan berputar. Didekatkannya dadanya sehingga payudaranya menempel tepat di wajahku, kujilati putingnya dan sesekali kugigit, namun kali ini bukan jeritan yang keluar dari mulut manis Bu Rina, tapi desahan yang semakin mendera.

“Owhhh... ahhhh… nikmat, sayang.” jeritnya. Dituntunnya tanganku ke pantatnya. Sumpah, seksi banget pinggulnya, walau sudah berumur namun pantatnya belum turun sama sekali dan seperti jarang terjamah. Kuremas-remas daging bulat itu sambil sesekali kuelus-elus paha mulusnya.

“Hmm… yeah, begitu, sayang!” nampaknya Bu Rina menikmati ketika aku memainkan lubang anusnya. Kucoba untuk memasukan jariku kesana, namun tidaklah mudah karena begitu rapatnya, hanya ujung kukuku saja yang dapat menerobos masuk.

Tak lama kemudian kudengar desahan panjang yang mulai tak asing. “Aaahhhhhhh…” tubuh montok Bu Rina menggeliat dengan hebatnya yang menandakan dirinya sudah mencapai orgasme. Penisku terasa nikmat tercengkeram jepitan vaginanya, dan ujung jari telunjukku pun ikut terjepit lubang pantatnya.

“Udah keluar, bu?” tanyaku.

“Iya, sayang.” jawab bu Rina dengan nafas yang belum beraturan. “Sebentar ya, sayang.” katanya sambil merebahkan tubuhnya ke dadaku. Kupeluk dia dan kubelai rambutnya yang panjang lurus terurai dan sesekali kukecup keningnya dengan penis yang masih menancap dalam di lubang vaginanya.

“Nikmat baget, sayang, sampai aku lemas gini. Mau gantian, sayang?” tanyanya mesra.

“Hmm, terserah ibu saja deh.” jawabku.

“Gantian ya, kamu yang ngegoyang aku. Tapi sebelum itu, boleh minta sesuatu gak?”

“Minta apa, bu?” tanyaku.

“Kalau kita lagi berdua, jangan panggil ibu dong, panggil aja Rina atau apalah.” katanya sambil memainkan pentil dadaku.

“Ah, ntar gak sopan, bu.” aku berkilah.

“Kamu sayang aku gak? Kalau sayang, jangan panggil ibu dong.” dia meminta lagi.

“Iya, Rinaku sayang.” kukecup bibirnya dan saat itu juga wajahnya tersipu merona. “Terusin yuk, bu... eh, Rina sayang.”

Bu Rina menatap wajahku, lalu ia turun dari pangkuanku dan gantian, sekarang dia yang duduk di atas WC dengan mengangkangkan kedua kakinya. Kuhujamkan penisku ke vaginanya dalam-dalam lalu kukocok dengan cepat hingga desahan Bu Rina pun kembali keluar.

“Ahhh... sayaang!” nampaknya Bu Rina mencapai oragame lagi, begitu cepat, tidak sampai tiga menit.

“Lho, sudah keluar lagi, sayang?” aku bertanya heran.

“He-eh.” bu Rina mengangguk malu-malu.

“Kok cepet banget?” sambil terus kutusukkan penisku untuk menggenjot tubuh sintalnya.

“Iya, gak tau nih. Kalau sama kamu, aku jadi cepet banget.” muka bu Rina tersipu. “Kamu juga keluarin donk sayang.” dia meminta.

“Kalau begitu, Rina sayang, nungging yah...” kataku selanjutnya.

Bu Rina pun langsung nungging dengan tangan bertumpu pada bak mandi. Kuhujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. “Aaaahhh…” wanita itu menjerit nikmat. Begitu juga denganku.

Kupercepat kocokanku sambil kuremas payudaranya, terdengar suara pok.. pok.. pok.. saat hujamanku mengenai pantatnya yang seksi. Lubang anusnya yang berkerut-kerut membuatku tergoda untuk memainkannya. Kutekan-tekan dengan jempolku dan kucoba mencoloknya. Sedikit demi sedikit jempolku masuk ke lubang pantanya dan saat itu juga kurasakan vaginanya menjadi bertambah kencang mencengkeram penisku. Desahan Bu Rina sekarang sudah mulai berubah menjadi erangan.

“Aarrgghhhhh... sayang! Aku mau lagi…” jeritnya.

“Iya, sayang mau apa?” jawabku tanpa menghentikan hujamanku.

“Mau…. ke-keluar… aarrgghhhhh…” saat itu juga penisku terjepit dengan kerasnya. Sekali lagi Bu Rina orgasme. Aku yang juga sudah tak tahan, menyusul tak lama kemudian. Penisku meledak, menyemburkan mani ke dalam vaginanya. Croot.. crooot.. croooot.. terasa cairan hangat mengalir dari ujung penisku.

“Arghhh... Rina sayang!” erangku keenakan. Aku tersungkur di lantai kamar mandi, demikian juga dengan bu Rina. Namun itu tak lama, karena selanjutnya kami mandi bareng. Saling menyirami, saling menggosoki tubuh masing-masing dengan sabun, dan membilasnya sampai bersih.

“Bisa minta tolong gak, sayang?” tanya bu Rina saat menyeka tetesan air di tubuh mulusnya dengan handuk.

“Minta tolong apa, sayang?” tanyaku balik.

“Aku lemes. Gendong aku ke kamar ya?” pintanya dengan manja.

“Apa sih yang nggak buat Rinaku sayang.” tanpa basa-basi, langsung kuangkat tubuh molek Bu Rina menuju kamarnya.

Di dalam, kami tidak langsung memakai baju. Kami berdua tidur terlentang di kasurnya Bu Rina, rasa capek menghinggapiku dan tanpa kusadari aku pun tertidur, dengan tubuh telanjang Bu Rina berada di pelukanku.

***

Aku terperanjat dari tidurku, kulihat jam di dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam, ternyata sudah dua jam aku terlelap tidur. Kupandangi diriku, masih tampak telanjang namun sehelai selimut sudah menutupi tubuhku. Kulihat sampingku dan sekeliling kamar, ternyata Bu Rina sudah tidak ada. Aku beranjak dari tempat tidur, dengan selimut yang kubelitkan, aku menuju kamar mandi hendak cuci muka dan mengambil pakaianku yang masih tertinggal di sana. Ketika keluar kamar mandi, kudapati Bu Rina sedang menyiapkan makanan di meja makan.

“Udah bangun ya? Makan dulu yuk, sayang.” sapanya dengan senyuman manis.

“Eh, iya, bu.” jawabku malu-malu.

“Eits…” jari telunjuknya mengangkat sambil mendelik ke arahku.

“Eh, iya, sayang.” nampaknya aku masih belum terbiasa tidak memanggilnya ibu. Kupandangi bu Rina dengan seksama, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia nampak berbeda. Rambutnya yang lurus dibiarkan terurai sampai setengah punggungnya. Wajahnya yang manis tambah semakin cantik saja dengan riasan tipis yang menawan. Tubuhnya yang montok terlihat jelas setiap lekukannya, meski tidak langsing lagi namun terlihat kencang terawat. Bu Rina hanya mengenakan pakaian tidur transparan warna putih dengan motif bunga yang panjangnya sepaha dan mengunakan CD yang juga transparan. Tampak jelas payudaranya terlihat karena tidak mengenakan BH. Pantatnya tercetak indah pada pakaian tidurnya.

“Kok ngelihatnya kaya gitu banget sih?” tanya bu Rina.

“Kamu cantik banget.” aku hanya bisa terpana.

“Ah, masa sih?” Bu Rina tersipu malu.

Aku menghampirinya dan duduk di kursi meja makan yang sudah tersedia hidangan. Bu Rina lalu mengambilkan nasi dan lauknya serta memberikan kepadaku. Selanjutnya bu Rina duduk di pangkuanku. “Suapin aku ya, say.” pintanya manja.

“Ih, kaya bayi aja deh.” jawabku sambil meremas payudaranya gemas.

“Lha, kan tadi udah dimandiin, ya sekarang tinggal disuapinnya dong.”

Kami pun makan bersama dan saling suap-suapan, sesekali kami bercanda. Nampak indah aku rasa hari itu. Demikian juga dengan Bu Rina, wajahnya memancarkan keceriaan yang seperti mengembalikannya ke masa mudanya.

“Tidur di sini ya, sayang?” pintanya.

“Emang bapak kapan pulangnya?” tanyaku.

“Seminggu lagi baru pulang, kamu di sini aja ya temenin aku.”

“Hmm, kalau dengan suami, Rina suka seperti ini gak?”

“Seperti ini gimana?”

“Ya, manja-manjaan gini?”

“Hmm.. Boro-boro, aku manja dikit aja udah dibilang kaya anak kecil, justru yang ada malah aku dimarahi. Emang kamu gak suka ya aku kaya gini?” wajanya cemberut.

“Ya suka lah, sayang.”

“Hmm.. jadi gimana, mau tidur di sini kan?”

“Iya deh. Mau tidur sekarang?” tanyaku.

“Hmm, main dulu ya?” jawab bu Rina sambil tersenyum.

“Main apa, Rin?” jawabku pura-pura gak tau.

“Tuh dedenya sudah bangun lagi…” Bu Rina menggodaku.

“Ah, kamu tahu aja.” kuremas lagi payudaranya.

“Ya tau donk, kan ada yang ngeganjal nih di bawah. Ke kamar yuk!” ajaknya.

“Ayo, sapa takut.” kutanggapi ajakannya.

“Ya ayo.” bu Rina tersenyum-senyum.

“Ya turun donk, sayang.” mana bisa jalan kalo dia masih pangku seperti ini.

“Gak mau. Pengennya diangkat lagi.” manjanya mulai keluar lagi. Entah kenapa manjanya ini yang sangat aku sukai.

Kami pun beranjak ke ranjang di kamar, kurebahkan tubuh montok Bu Rina ke atas kasur. Tanpa basa basi kuciumi bibirnya, kulumat penuh nafsu. Demikian juga dengan Bu Rina, membalas ciumanku dengan nafsu yang bergelora juga. Kumasukan lidahku ke mulutnya, lidahnya pun menyambut lidahku, lidah kami bergulat dengan menggebu, sesekali lidahku dihisapnya. Tanganku pun gak mau kalah, kuremas payudaranya yang 38D, kupilin-pilin putingnya. Desahannya kian menjadi, kujilati lehernya, kukeluarkan payudaranya dari baju tidurnya dan sampailah jilatanku di putingnya. Nampaknya kali ini Bu Rina sudah tak tahan dengan pemanasan lama-lama.

“Langsung masukin, Say.” dia meminta.

“Sekarang?” tanyaku heran.

“Iya, cepet, sayang.” tangan bu Rina langsung mengarahkan penisku ke vagina. Dengan digosok-gosokkan sebentar, penisku langsung dihujamkannya. Dipeluknya tubuhku sampai aku menindih tubuhnya, diciuminya mulutku dengan penuh nafsu. Aku hanya menggenjotnya dan mengikuti permainan yang Bu Rina mau. Tubuhnya menggeliat, dilepaskannya ciuman mulutku lalu kakinya diangkat ke pundakku. Pada saat itu, aku rasakan jepitan vagina yang luar biasa, dan tak lama kemudian tubuh Bu Rina menggeliat dengan hebatnya dan erangan kerasnya pun keluar.

“Aahhhhhh… sayang, aku keluar!” tubuh bu Rina lemas seketika, dan aku pun menghentikan genjotan. Kucium keningnya dan berbaring di sampingnya, memberi waktu bagi wanita cantik itu untuk mengunpulkan tenaga kembali.

“Say…” suaranya lirih di telingaku.

“Iya,” jawabku.

“Kamu belum keluar ya?”

“He-eh.” jawabku. “Sudah siap untuk nerusin lagi?” sambungku.

“Ayo, tapi minta yang belakang ya?”

“Sambil nungging gitu?” tanyaku.

“Iya, tapi lubang yang satunya lagi. Tadi waktu di kamar mandi pas kamu mainin itu enak banget rasanya.”

“Lubang pantat??” tanyaku heran.

“Iya, sayang. Mau ya?” pintanya setengah memohon. Bu Rina pun langsung mengambil posisi nungging, aku bingung gimana harus memulai yang satu ini. Kucoba masukkan kepala penisku ke lubang pantat Bu Rina namun setelah beberapa kali berusaha tetap gak bisa. Lubang itu terlalu kecil dan rapat.

“Coba mainin dulu, Say.” kata bu Rina.

Tanpa menjawab, aku pun segera memainkan jariku di lubang pantatnya. Kutekan-tekan perlahan, kugunakan ludahku untuk melumasinya karena kering. Perlahan-lahan ujung jariku masuk dan Bu Rina pun mengerang sambil menggeliat. Kutekan jari telunjukku sehingga masuk semua ke lubang pantatnya, dia pun langsung menjerit mengerang. “Aaaahhhhh…”

“Kenapa, Say, sakit ya?” tanyaku.

“Hu-uh.” jawab bu Rina singkat.

“Mau diterusin gak?”

“Terusin aja, Say, nanti lama-lama juga nikmat.”

Kukeluarkan jariku, kucoba memasukkan kembali penisku ke lubang pantat bu Rina. Meski tidak selancar seperti masuk ke vagina, namun kali ini penisku berhasil masuk. Tapi kali ini aku terkaget-kaget, kulihat darah merah keluar dari sekitar lubang pantatnya. Kulihat Bu Rina hanya terpejam menggigit bibirnya sambil menahan erangan.

“Gimana nih, Say, berdarah gini?” aku tak tega untuk mulai menggoyang.

“Terusin aja, Say, tanggung.” jawab bu Rina. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kalau dia merasakan sakit di pantatnya, namun rasa penasaran yang begitu besar mengalahkan rasa sakitnya. Namun sebaliknya dengan aku, kurasakan nikmat sekali, penisku terasa dicengkeram kuat, lebih nikmat daripada dimasukkan ke lubang vagina.

Pelan, kukocok penisku, namun tak secepat seperti di vagina. Lubang pantat bu Rina yang begitu rapat menjadikan penisku terbatas dalam bergerak. Aku juga sengaja tidak mempercepat gerakanku agar bu Rina tidak semakin sakit. Hanya 5 menit, penisku langsung mengeluarkan isinya. Cengkeraman pantat bu Rina yang kuat menjadikan penisku tak dapat menahan sperma seperti biasa. Kurasakan nikmat yang begitu dasyat, namun dari tanda-tandanya, aku tidak melihat kalau bu Rina mencapai orgasme.

“Udah keluar nih, kamu belum ya?” tanyaku.

“Hu-uh.” jawabnya singkat, mungki masih merasakan sakit di pantatnya.

“Gimana dong?”

“Gimana apanya?”

“Kamu kan belum keluar.”

“Ah, gak pa-pa.”

“Sakit ya, Say?” kupeluk dari belakang tubuh Bu Rina yang masih tengkurap. Entah kenapa ada perasaan bersalah karena telah membuatnya kesakitan.

“Gak pa-pa kok, Say. Ntar sakitnya juga ilang, sama kaya waktu pertama kali memekku diperawanin.” kata bu Rina.

Aku tak membalas lagi ucapannya. Aku hanya memeluknya dan membelai rambutnya dengan sayang. Malam itu pun untuk pertama kalinya aku tertidur semalaman dengan seorang wanita dalam pelukanku.

***

Entah berapa kali dalam seminggu itu aku berhubungan badan dengan Bu Rina, tidak bisa dihitung sepertinya. Tidak pagi, siang, atau malam, pokoknya kalau mau, langsung saja kami berhubungan badan. Tidak hanya kebutuhan batinku saja yang terpenuhi, Bu Rina pun selalu menyiapkan makanan dan mengurus keperluanku.

Setelah suaminya pulang, kami tak lantas berhenti berhubungan badan. Pada siang hari, kami selalu mencuri-curi waktu untuk saling memuasakan birahi. Bukan hanya birahi, rasa sayang pun kian menjadi, bahkan menjadi cinta. Tak jarang juga saat Bu Rina sedang dengan suaminya, timbul rasa cemburu di dadaku. Mungkin ini terlarang, bahkan dosa, namun semua itu seakan sirna saat tubuhku dan tubuh Bu Rina bersatu. Aku sudah seperti suaminya di siang hari dan kalau suaminya sedang tugas keluar kota, dia menganggapku suami sepenuhnya. Hubungan sembunyi-sembunyi ini terus kami lakukan sampai aku lulus kuliah.

Setelah aku lulus, tak ada lagi alasanku untuk menetap di kost-an Bu Rina. Aku juga tak punya alasan untuk mengujunginya, nanti bisa menimbulkan kecurigaan. Namun hubunganku dengan Bu Rina tidak sepenuhnya terputus. Kami masih suka bertemu melepas kerinduan yang selalu diteruskan dengan melepas birahi dengan bercinta. Mungkin hanya dua minggu sekali atau pada situasi yang memungkinkan, namun karena frekuasi yang berkurang itu menjadikan hubungan seks kami menjadi lebih nikmat.

***

Asap mengepul dari mulutku setelah rokok kuhisap. Sudah hampir 15 menit aku duduk menunggu di depan hotel melati murahan di kota Bandung. Dari arah gerbang hotel datanglah sosok yang sudah aku nanti dari tadi. Wanita dengan baju muslim, lengkap dengan jilbabnya dan tas kecil yang ditentengnya. Tanpa keluar sepatah katapun, kami langsung menuju kamar di belakang yang sudah aku pesan tadi. Setelah masuk kamar, pintu langsung aku kunci. Kami langsung berpelukan. Hampir 5 menit lebih kami berpelukan erat. Rasa rindu yang menggebu dua insan yang saling mencinta bersatu dalam sebuah pelukan.

Kukecup keningnya. “Kangen, Say.” kata itu yang pertama terucap dari mulutku.

“Sama,” bu Rina menjawab lirih. Hampir sebulan kami tidak bertemu. Suami Bu Rina telah pensiun dan juga mereka habis berlibur ke luar kota.

“Gak ilang juga…” bisikku.

“Ilang apanya?” Bu Rina bertanya.

“Cantiknya.”

“Ah, bisa aja kamu, Say. Kamu gimana kabarnya?” Bu Rina balik bertanya.

“Baik.” aku menjawab.

“Kalau dede nya?”

“Hmm, kangen ya sama dedeku?” kucubit pipinya.

Saat itu juga kami langsung berpelukan. Bibir kami menari-nari saling melumat, lidah kami bergumul dengan hebatnya dan ludah kami bercampur. Tanganku mulai merayap menuju gundukan daging di dadanya. Dengan penuh nafsu kuremas payudara itu. Tangan Bu Rina pun tak mau kalah, diremas-remasnya pula tonjolan di celanaku, yah penisku yang telah bangun dan minta dikeluarkan dari celana.

Satu per satu kami saling melepas pakaian sampai kami telanjang bulat. Bibirku terus menjilati mulut, pipi, telinga, leher, dan payudaranya. Di daerah payudara, jilatanku cukup lama. Kumainkan puting coklat Bu Rina yang sudah mengeras. Desahan terus keluar dari mulut Bu Rina yang manis tipis. Jilatan lalu kuterukan ke perutnya. Di pusarnya, lidahku menari-nari. Dan terus turun semakin ke bawah, menuju bulu rambut kemaluan Bu Rina.

Seolah mengerti, Bu Rina membuka kakinya sehingga terlihatlah vaginanya yang sempit dan legit. Tercium aroma khas yang menyengat, namun aroma itulah yang aku rindukan. Lidahku terus berkelana, klitorisnya yang menyembul menjadi sasaranku selanjutnya. Keras terasa di lidahku, semakin menggeliat pula tubuh Bu Rina saat lidahku menyentuh klitorisnya. Selanjutnya lubang vagina, lidahku menari-nari masuk keluar lubangnya. Kugigit juga bibir vagina Bu Rina yang seperti jengger pada ayam.

Hampir 5 menit lidahku menari-nari di daerah vagina, dan akhirnya sampai juga pada moment yang kutunggu-tunggu. Yah, bu Rina orgasme. Ada perasaaan bahagia, senang, bangga saat aku bisa membuat wanita cantik itu orgasme.

“Aku sudah keluar, Sayang!” bu Rina berbisik lirih dengan nafas yang belum teratur. Dia lalu beranjak bangun, mengerti dengan tugasnya selanjutnya. Sambil berlutut, dihisapnya penisku dengan lahap. Hampir semua batangku dijelajahi dengan lidahnya, buah zakarku juga dikulum di mulutnya.

“Terus, sayang…” ucapku. Bu Rina semakin cepat dengan kulumannya.

Aku yang sudah horny, segera menelentangkan tubuh Bu Rina di atas ranjang. Tanpa basa-basi, langsung kutancapkan penisku ke vaginanya. ”Ahhh… “ Bu Rina merintih saat penisku menerobos masuk kemaluannya.

Kuangkat kaki Bu Rina ke pundakku, aku tahu posisi itu lah yang paling disukai oleh Bu Rina, katanya penetrasinya lebih terasa. Setahap demi tahap kocokanku semakin kencang, demikian pula dengan desahan Bu Rina. “Ahhh... aku mau keluar lagi, sayang.” jeritnya.

Mendengar itu, semakin cepat pula kocokanku. Hingga akhirnya, “AAAGGHHHHHHHHH...!!!” tubuh Bu Rina menggeliat kencang, tangannya meremas kain seprei. Aku tahu, dia sudah orgasme lagi.

“Hah.. hah.. hah..” nafasnya masih belum beraturan, namun tidak aku beri kesempatan berlama-lama. Aku segera membangunkannya dan meminta berganti posisi. Kini aku yang telentang, Bu Rina langsung menaikiku dan menuntun masuk penisku ke vaginanya. Seperti anak kecil yang menaiki kuda, Bu Rina terus mennggenjotku. Payudaranya yang sudah sedikit kendur ikut bergoyang naik turun mengikuti irama tusukanku. Sambil sesekali membetulkan rambutnya yang terurai, mulut Bu Rina tak berhenti mengeluarkan desahan. Tanganku pun ikut aktif memainkan klitorisnya untuk menambah kenikmatan. Dan hanya 5 menit berselang, orgasme ketiga Bu Rina.

“Aahhhh… nikmat, sayang!” tubuh Bu Rina terkulai lemas di atasku, penisku masih berada di dalam vaginanya. Kupeluk dia, kuciumi pipinya. Bu Rina berbisik di telingaku. “Anal yuk, sayang?”

Aku hanya mengangguk menyetui permintaannya. Bu Rina langsung menungging, lubang pantatnya sekarang sudah longgar dan tidak serapat dulu sehingga tidak perlu waktu lama, penisku pun sudah berada di dalam pantatnya.

“Nikmat, sayang. Terus, aku milikmu!” Kalau sudah anal, memang bukan hanya desahan, namun mulut bu Rina pun tak berhenti meracau. “Pukul pantatku, plissss…” dia meminta.

Plak.. Plak… Plaaaak… Kupukul pantat bu Rina yang montok dengan telapak tanganku. Warna putih mulus pantatnya kini berubah menjadi memerah.

“Kurang keras, sayang! Yang keras mukulnya! Lebih keras lagi!” pintanya lagi.

Plaaak… Plaaakk… semakin keras pukulanku, dan semakin kencang pula kocokanku di pantatnya. “Aahhhhhh…” Bu Rina menjerit. “aku keluar, sayang! arghhhhh…” tubuhnya berkedut-kedut saat dari dalam liang vaginanya menyembur cairan hangat yang banyak sekali hingga membasahi lantai.

“Aku juga, Say!” crot.. crot.. crot..!! spermaku menghujam di dalam pantat Bu Rina dan saat kukeluarkan penisku, nampak spermaku berceceran keluar dari lubang pantatnya. Bu Rina tengkurap lemas, sementara aku terbaring terlentang di sampingnya. Untuk beberapa saat, kami terdiam karena kecapekan. Kusibakkan rambutnya hendak mencium pipinya, namun aku terkaget ketika melihat air mata menetes dari mata Bu Rina.

“Kenapa menangis, Say?” tanyaku heran.

“Ini untuk yang terakhir kali, Sayang.” jawab bu Rina Lirih.

“Kenapa terakhir?” aku semakin heran, apa dia sudah bosan? “Ibu sudah gak menginginkan aku lagi?”

“Nggak. Bukan begitu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu, tapi ini harus.” tangisannya menjadi. “Aku akan pindah ke Makasar.”

“Tapi aku gak mau pisah.” aku tidak bisa menerima keputusannya. “Kenapa?” aku menuntut penjelasan.

“Aku cinta kamu, Din, tapi aku gak mau menghancurkan hidup kamu, masa depan kamu, selamanya kita tidak mungkin bisa bersama.”

Aku hanya tertegun, hatiku hancur berkeping-keping.

“Selamanya aku cinta kamu, Din. Maafkan aku…” kata bu Rina untuk terakhir kali.

***

Lima tahun sudah perpisahanku dengan bu Rina. Kami tidak pernah berkomunikasi, tidak ada kabar sedikitpun. Mungkin ia sengaja demikian dan aku juga tidak mencari jejaknya karena hanya akan membuat perasaanku sakit. Yah, setelah 5 tahun berpisah, perasaanku terhadap Bu Rina tidak hilang sehingga selama lima tahun ini juga aku tidak berhubungan khusus atau pacaran.

Aku bisa menahan perasaan, tetapi tidak dengan birahiku. Kebiasaanku berhubungan badan dengan Bu Rina rupanya telah menjadi candu yang selalu ingin terpuaskan. Mungkin selama enam bulan syahwatku bisa tertahan, namun lambat laun birahiku berontak minta dilampiaskan. Akhirnya WTS lah yang menjadi sasaran pemuas birahiku, tidak perlu hubungan khusus atau perasaan, asal ada uang birahi pun terpuaskan.

Sudut-sudut kota Bandung sudah kujelajahi untuk memuaskan birahiku. Mulai dari Saritem yang terkenal, Tegalega, stasiun KA, sampai ke gang-gang yang kumuh. Aku sudah hapal betul tempat-tempat yang aman untuk memuaskan birahi. Mulai yang kurus sampai yang gendut seperti gajah, mulai ABG anak SMA sampai nenek-nenek yang banyak kriputnya, mulai yang tarif 2 juta sampai yang 50 ribu telah aku coba, namun tak ada satu pun yang seindah Ibu Rina.

Umurku sekarang sudah 29, usia yang sudah layak untuk berumah tangga. Keluargaku selalu mendorongku untuk menikah karena umurku yang sudah cukup dan pekerjaanku yang sudah tetap dengan penghasilan yang lumayan. Beberapa kali mereka mencoba mencarikan calon istri buatku namun aku selalu menolak. Bukan karena kurang cantik atau kurang apapun, tapi aku memang tidak bisa menikah tanpa adanya perasaan.

Hingga suatu saat, ketika reuni akbar di sekolahku dulu, aku bertemu dengan seorang wanita. Risna namanya, adik kelasku beda 2 angkatan. Aku dulu memang akrab dengan dia, bahkan dekat sekali, tapi selama itu, aku hanya menganggap dia tak lebih sebagai adik. Dari acara reuni itu, kami saling tukar nomor telepon, kami pun lebih sering berhubungan. Sebenarnya dari dulu aku mengetahui kalau Risna memendam perasaan kepadaku, namun karena waktu itu aku hanya konsentrasi sekolah maka aku selalu mengabaikan hal-hal yang seperti itu.

Risna belum menikah, bahkan dari pengakuannya, dia belum pernah pacaran sama sekali. Mungkin terasa aneh ketika wanita umur 27 tahun belum pernah pacaran, tapi itulah dia. Setelah lulus SMA dulu, dia tidak melanjutkan kuliah, tapi lebih memilih langsung bekerja untuk mengobati sakit bapaknya dan membiayai sekolah dua adiknya. Dua tahun yang lalu bapaknya meninggal karena sakit, dan sekarang adik-adiknya sudah pada lulus sekolah, mungkin sudah saatnya dia untuk mencari pasangan hidup, namun sialnya justru aku lah yang menjadi sasarannya.

Awalnya aku menolak, karena dari dulu aku selalu menganggapnya adik, namun akhirnya aku bersedia juga menikahinya. Rasa sayang ada, namun tidak dengan cinta. Yah, memang sudah saatnya aku nikah dan daripada aku selalu jajan untuk memuaskan birahiku, lebih baik aku nikah. Dua bulan setelah reuni, kami melaksanakan pernikahan. Pernikahan yang ala kadarnya tanpa pesta yang mewah karena tanpa ada persiapan.

Setelah menikah, aku tinggal di rumah orang tua Risna. Aku sebenarnya menginginkan tinggal berpisah, namun Risna menolaknya. Kedua adik Risna sekarang sudah bekerja di Batam dan Jakarta, makanya Risna tetap menginginkan tinggal di situ untuk menemani ibunya.

Setelah tiga bulan menikah, suatu hal yang aneh terjadi. Waktu itu hari sabtu, hari libur bagiku karena aku hanya kerja dari senin sampai jumat, tetapi tidak dengan istriku Risna yang bekerja di pabrik garment. Pagi itu, setelah istriku pergi, aku hanya menghabiskan waktu luangku di kamar sambil mendengarkan musik dan tiduran.

“Libur ya A’?” tanpa kusadari, mertuaku sudah ada di pintu kamar yang memang tidak tertutup. Risna anak pertama sehingga di keluarga dipanggil Teteh, makanya aku juga ikutan dipanggil Aa.

“Oh, iya, mah.” aku sedikit kaget.

“Tetehnya dah pergi?”

“Udah, mah, barusan aja.”

“Oh, mamah tadi habis senam ngerumpi dulu sih sama ibu-ibu jadi gak tau perginya. Aa hari ini gak kemana-kemana?”

“Nggak, mah, emang ada apa ya?” tanyaku.

“Ah, nggak, cuma mau ngobrol aja.” tiba-tiba mertuaku masuk dan duduk di kasur di sebelahku. “Aa kapan atuh mau ngasih mamah cucu, mamah kan sudah pengen ngegendong cucu nih.” lanjutnya.

“Belum dikasih aja, mah, kami juga sedang berusaha kok.”

“Mainnya kurang benar kali, A’!”

“Main apanya sih, mah?” aku sudah tahu kalau mertuaku sudah menjurus ke seks, tapi aku pura-pura tidak tahu arah pembicaraannya.

“Coba mamah lihat, apa Aa mainnya sudah benar apa belum?” Aku kaget saat tiba-tiba mertuaku berdiri dan membuka bajunya sampai bugil. Mertuaku umurnya sekitar 50 tahunan, badannya sudah melar namun tak nampak lemak yang bergelambir. Meski melar, tubuhnya terlihat masih pada kencang, mungkin karena rajin senam. “Ayo donk, A’…” dia meminta lagi.

“Ah, nggak, mah. Ntar Risna gimana?” meski penisku sudah menegang melihat mertuaku telanjang, aku coba untuk menolaknya. Bagaimanapun aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan mengkhianati Risna.

“Udah. Teteh mah gak usah dimalahin. Tenang aja A!” melihatku hanya melongo, mertuaku langsung membuka celanaku dan langsung mengulum penisku yang sudah menegang.

“Udah, mah, jangan!” mulutku berucap menolak, namun tidak dengan penisku. Kuluman mertuaku begitu nikmat terasa, lebih nikmat daripada kuluman Risna, istriku, mungkin karena lebih berpengalaman. Aku pun terhanyut dalam kuluman ibu mertuaku, tak ada niat lagi untuk menolak atau berontak. Lidah ibu mertuaku lincah megenai titik sensitifku.

“Gantian ya, A.” tanpa memberi kesempatan menjawab, ibu mertuaku langsung naik dan menindih wajahku dengan selangkangannya. Vaginanya langsung menghujam wajahku, namun tidak seperti yang kubayangkan, ternyata vaginanya tidak terlalu bau, bahkan nyaris tak berbau, hanya bau daun sirih yang kucium. Dibandingkan dengan ibu mertuaku ini, vagina Risna istriku ternyata lebih bau, sekali lagi pengalaman yang membedakan.

Lidahku pun bergoyang di vagina ibu mertuaku, saat klitorisnya kumainkan, terdengar desahan nikmat darinya. “Hmm… pintar juga nih Aa.” Ibu mertuaku turun dari atas wajahku. “Kalau punya Teteh suka dijilatin juga gak A?” lanjutnya.

“Gak pernah. Risna gak mau, mah.” Duh, kepikiran lagi istriku, Risna. Maafkan Aa ya. Mungkin mamahmu ini sudah edan. Sudah dua tahun gak ngerasain, makanya jadi haus banget. Tapi tidak bisa kupungkiri juga, dia memang hot. Aku lebih horny dengan mamah kamu dibanding kamu, ucapku dalam hati.

“Yuk, sekarang masukin punya Aa ke mamah.” mertuaku langsung tidur mengangkang.

Kali ini aku tak berpikir panjang, kuhujamkan penisku yang sudah mengeras ke vagina ibu mertuaku. Perlahan-lahan kukocok dan dengan berirama kocokanku kian cepat. “Hmm… sudah bagus ritmenya A. Terus. Terus, A!” rintihnya.

Tak lama kemudian nampaknya ibu mertuaku mencapai orgasme, tubuhku dipeluknya erat sampai kukunya terasa mencengkeram kulit punggungku. “Ahhh… mamah keluar A!” ucapnya. Untuk sesaat, aku pun berhenti. “Sekarang mamah yang di atas ya, A!” ucapnya lagi, aku pun hanya mengangguk mengiyakannya.

Aku telentang, ibu mertuaku langsung menaikiku dan memasukan penisku ke vaginanya. Mertuaku hanya diam, tidak bergoyang, namun kurasakan vaginanya meremas-remas penisku. Sungguh nikmat.

“Gimana A, enak gak?” tanya mertuaku.

“Iya, mah. Enak!” sahutku.

“Teteh mah belum bisa kaya gini, harus senam khusus dulu.” kata mertuaku. dia lalu bergoyang naik turun, tangannya menuntunku untuk meremas payudaranya yang sudah agak kendur. Sesekali putingnya yang kecoklatan aku mainin, dan pada saat itu juga desahan dari bibir mertuaku terlontar.

Setelah beberapa lama bergoyang erotis, mertuaku akhirnya mencapai puncak orgasme yang kedua. Kurasakan selangkangannya menjepit pinggulku, liang vaginanya mengejang, mengeras, mencengkeram kuat batang penisku.

“Ahhh… Ahh... mamah keluar lagi… Aa juga keluarin donk.” rintihnya.

“Eh, iya, mah.” jawabku sambil menikmati jepitan vaginanya.

Beberapa saat kemudian, dengan posisi yang masih sama, mertuaku kembali bergoyang. Kali ini goyangannya memutar. Kurasakan sensasi yang berbeda dari goyangan yang tadi. Penisku terasa dimanjakan dan terkena pada titik sensitifnya. Makin cepat goyangannya, makin tak bisa aku tahan. “Aku mau keluar, mah.” erangku.

“Keluarin aja, A!” jawab mertuaku.

“Dimana, mah?” aku ragu untuk menembakan sperma di dalam vaginanya.

“Yah di dalam aja, A.”

“Gak pa-pa nih, mah?” aku masih ragu.

“Gak pa-pa, A, biar nikmat.” sahut mertuaku.

Kulepaskan cairan sperma yang dari tadi kutahan. Lima kali muncratan aku rasa spermaku menghujam vagina mertuaku. Setelah selesai muncratannya, mertuaku langsung mengeluarkan penisku dari vaginanya dan turun dari atas tubuhku.

“Ternyata Aa udah hebat mainnya.” ucap mertuaku. “Ya udah, mamah mandi dulu yah, A.” dia meninggalkan kamar dengan masih keadaan telanjang bulat. Ditentengnya baju senam yang tadi berserakan di lantai.

Aku tidak sempat membalas ucapan mertuaku karena aku masih sibuk mengatur nafas. Pikiranku melayang membayangkan apa yang telah terjadi. Kepuasan yang begitu hebat. Ingin aku menyusul mertuaku ke kamar mandi dan mengulangi yang telah kami lakukan. Tapi saat itu juga aku terbayang wajah Risna istriku. Tidak! cukup kali ini saja, aku gak boleh mengulangi lagi, ucapku dalam hati.

Setelah mertuaku selesai mandi, aku segera mandi pula. Selesai mandi, aku langsung keluar menyalakan motor. Aku bilang ke mertuaku kalau aku mau servis motor sekalian jemput istriku. Padahal tidak ada rencana pada hari itu aku servis motor, namun aku tak bisa berduan dalam satu rumah dengan mertuaku yang edan itu. Bisa-bisa nanti aku ditidurin lagi. Memang nikmat dan memuaskan sih, tapi aku tak tega mengkhianati istriku.

Rupanya terlalu lama servis motornya sehingga aku terlambat menjemput istriku yang memang hanya setengah hari kerjanya. Setelah aku telepon, ternyata istriku sudah pulang duluan dan berada di rumah, saat itu juga aku putuskan kembali ke rumah.

Setiba di rumah, kudapati isriku dan mertuaku sedang mengobrol di depan TV. Aku hanya menyapa mereka dan langsung menuju kamar. Aku sengaja tidak ikut mengobrol karena masih terbayang apa yang telah aku lakukan bersama mertuaku tadi. Aku tidak bisa membayangkan seandainya istriku tahu apa yang telah kami lakukan.

Tidak beberapa lama, isriku menyusulku masuk ke kamar. “Udah makan, A?” dia menyapa.

“Belum, ntar aja ah, Ris, belum lapar.” nafsu makanku seolah hilang.

“Tadi sama mamah gimana, A?” Dug! Pertanyaan itu terasa tajam. Apakah istriku sudah tahu? Apa yang akan dikatakan istriku nanti. Baru 3 bulan nikah, aku sudah selingkuh, dengan ibunya dia sendiri lagi. “Aa?” Risna memanggil lagi.

Aku menarik nafas dalam-dalam. “Maafin Aa, Ris… Aa gak bermaksud, tapi mamah yang...”

Belum selesai kalimatku, istriku langsung memotong. “Aa kenapa sih? Kan Risna yang menyuruh mamah.” ucapnya.

“Maksudnya?” aku terkaget dan juga bingung dengan ucapannya.

“Iya, memang Risna yang nyuruh mamah buat main sama Aa.” Aku semakin bingung dengan ucapannya, apakah istriku mau ngetest kesetianku. Kalau memang iya, berarti sudah gagal lah aku.

“Gimana, Aa puas main sama mamah?”

“Emang maksud Risna tuh apa sih?” nadaku agak meninggi.

“Aa marah yah?” Pertanyaannya semakin membuatku bingung, kenapa harus aku yang marah? Seharusnya kan Risna yang marah karena aku telah berselingkuh dengan ibunya.

“Risna selama ini ngerasa belum bisa muasin Aa.” lanjutnya. “Risna sudah belajar sama mamah, semua yang mamah ajarin juga udah Risna praktekin, tapi tetep aja Risna masih belum ngerasa Aa belum terpuaskan. Mamah juga katanya bingung mau ngajarin Risna apalagi soalnya mamah sendiri belum tahu Aa sukanya kaya gimana, makanya Risna nyuruh mamah nyobain main ma Aa.”

Gila! Ibu dan anak sama edannya. Aku selama ini memang suka kikuk kalau sedang bercinta dengan istriku, Risna, karena selama ini aku biasa bermain dengan wanita-wanita yang sudah berpengalaman. Tapi apa selama ini Risna gak sayang sama aku sehingga dia tidak cemburu sama sekali aku bercinta dengan orang lain?

“Sebenarnya Risna sayang gak sama Aa?” aku bertanya penasaran.

“Ya sayang atuh, A!” jawabnya singkat.

“Tapi kamu kenapa gak cemburu Aa bercinta dengan orang lain?”

“Ah, Aa, orang lain siapa? Itu kan mamah Risna sendiri, ngapain juga pake cemburu, kalau Aa mainnya sama orang lain, baru Risna cemburu.”

“Emang tadi mamah bilang apa saja sama Risna?”

“Ya bilang yang Aa suka seperti apa, sukanya diapain… mau praktekin sekarang A?”

“Ayo,” jawabku singkat.

Risna langsung membuka celanaku dan mengeluarkan penisku. Dihisapnya penisku secara perlahan, memang hisapannya berbeda dari biasanya namun masih tetap lebih nikmat ibunya. Setelah penisku cukup keras, aku menyuruh istriku berhenti mengulumnya. Lalu aku menelanjangi istriku dan bersiap untuk merangsangnya. Kulumat mulut istriku, sambil kuremas-remas payudaranya. Payudara istriku memang tidak terlalu besar dibandingkan ibunya, mungkun hanya ukuran 34B, tetapi masih kencang dan kenyal saat diremas. Lalu aku buka kakinya hingga mengangkang dan hendak kujilati vaginanya. Namun ketika lidahku sudah menyentuh bibir vaginanya, istriku menolak.

“Jangan dijilatin ya, A… linu, langsung masukin aja ya?”

“Yah, Aa kan pengen ngerasain, Say.” jawabku kecewa.

Saat itulah terdengar suara ketukan di pintu kamar. “Teh, Teteh, chargeran HP mamah yang dipinjam teteh dimana?” tenyata mertuaku.

“Nih di meja, mah. Mamah ambil aja sendiri, teteh lagi nanggung nih, pintunya gak dikunci kok.” jawab istriku. Aku melirik padanya, menandakan protes terhadap istriku yang malah menyuruh masuk pada ibunya saat aku dan dia dalam keadaan telanjang.

“Gak pa-pa atuh, A... kan mamah juga sudah pernah liat Aa telanjang. Iya kan, mah?” jawab istriku sambil melirik ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar. “Oh iya, mah, gimana sih caranya biar kalau dijilatin gak linu?” lanjut istriku lagi.

“Ya tetehnya rileks atuh, nyantai, jangan ditahan, nikmati aja.” jawab mertuaku.

“Yuk, A, cobain lagi ya...” pinta Risna padaku.

Duh, kacau nih, pikirku. Tiba-tiba moodku hilang dengan masuknya mertuaku itu. Tapi yah tanggung, kasihan juga istriku kalau sampai tak jadi main. Jadi aku coba jilat lagi vaginanya, namun masih sama. Ketika lidahku menyentuh bibir vagina, kaki istriku langsung merapat karena linu.

“Duh, teteh mah... nih, lihat mamah.” nampaknya mertuaku gemas melihat tingkah sang anak. Dia langsung membuka celana dalam dan mengangkatkan dasternya. Mertaku lalu berbaring dan mengangkangkan kakinya. “Coba, A, jilat punya mamah.” lanjutnya.

Aku agak sedikit ragu, kulirik istriku. ”Gak pa-pa, Ris?” aku bertanya.

“Iya, gak pa-pa atuh, A, kan Risna juga pengen tahu.” jawab istriku.

Aku lalu berpindah ke vagina ibu mertuaku. Memang vagina mertuaku sudah berkerut dan bibir vaginanya sudah bergelambir coklat, berbeda sekali dengan vagina istriku yang masih mulus kencang tidak bergelambir. Namun dari aromanya, vagina mertuaku lebih harum dari vagina istriku yang berbau pekat. Aku mulai menjilati bagian luar vagina mertuaku, bibir vagina yang bergelambirnya kuhisap-hisap. Mertuaku mulai mendesah, sedangkan istriku memperhatikan secara seksama di sampingku.

“Nih, teh, kaya gini… nyantai aja, ahhhh...” kata metuaku sambil mendesah.

Lalu aku jilati klitorisnya yang menyembul. Desahan mertuaku semakin menjadi. Saat itu juga istriku menarik tangan kiriku dan menempelkannya di vaginanya untuk kumainkan. Aku tak berhenti menjilati vagina mertuaku dan tanganku juga aktif di vagina Risna. Sekarang istriku pun mulai mendesah.

“Sudah, A, tuh jilati juga punya teteh.” kata mertuaku sambil beranjak mau pergi. Aku pun menghentikan jilatan di vaginanya.

“Mamah mau kemana? Jangan pergi dulu atuh, mah.” Istriku mencegah ibunya pergi.

“Sudah, Teteh terusin aja. Nanti mamah malah jadi pengen…” jawab mertuaku.

“Ajarin Teteh lagi atuh, mah. Kalau pengen, ntar sekalian dimasukin sama Aa. Mau kan, A?” Risna melirikku.

“Yah, gimana Risna sama mamah aja.” kataku pada akhirnya. Siapa juga yang bisa menolak kenikmatan seperti ini.

“Ya sudah, tuh terusin dulu jilatin punya teteh, A.” kata mertuaku.

Aku pun bersiap kembali menjilat vagina istriku yang dari tadi sudah mengangkang lebar. “Pelan-pelan ya, A.” kata istriku.

Perlahan mulai kujilati vaginanya. Pertama-tama aku jilati bulu-bulunya, lalu bagian luar secara perlahan. Risna mulai menikmati dan mengeluarkan desahannya. Kemudian kulanjutkan dengan bagian dalam vaginanya, perlahan-lahan klitorisnya kujilati. Saat klitorisnya kuhisap, istriku seperti tersentak kaget sambil memegangi tangan ibunya yang sudah ada di sampingnya.

“Linu, A.“ erang istriku. “Udah ya, A?!” pintanya.

Aku pun berhenti menjilati vagina istriku, lalu aku berganti ke payudara istriku. Kujilati puting kanan payudaranya, dan tanganku meremas payudara yang sebelah kirinya. Istriku sangat menikmati, desahannya semakin mengencang. Pada saat itu juga tiba-tiba penisku terasa hangat. Rupanya penisku sudah berada di mulut ibu mertuaku yang masih menggunakan daster. Sungguh terasa nikmat.

Melihat aku yang sedang menikmati kuluman mertuaku, istriku langsung bangun dan menyuruhku terlentang. Istriku memperhatikan secara detail kuluman mertuaku terhadap penisku. Melihat istriku yang memperhatikannya, mertuaku menyuruh istriku menggantikannya mengulam penisku. Kemudian dia membuka daster dan BH-nya sehingga telanjang bulat. Didekatkannya puting payudara yang sudah agak mengendur ke mulutku. Tanpa bertanya lagi, aku langsung menghisap dan menyedot puting itu.

“Masukin, Ris. Masukin!” aku sudah tidak tahan dengan kulumannya, kusuruh istriku untuk memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

Istriku pun langsung menaikiku dan memasukan penisku ke lubang vaginanya. Perlahan-lahan dia bergoyang, sedangkan mulutku masih menghisap puting mertuaku. Tanpa kusadari, tangan mertuaku memegangi pinggul istriku, memberikan arahan dalam bergoyang. “Nah, gitu, teh. Enak kan?” katanya sambil memberi arahan goyangan memutar pada istriku.

“Iya, mah… ahhh… Teteh mau keluar, mah… Aaahhhhhhh…” seketika itu vagina Risna mencengkeram erat batang penisku, tubuhnya mengejang. Dia sudah orgasme. Lalu istriku menghentikan goyangannya dan mengatur nafasnya.

“Gantian mamah ya?” kata mertuaku. Istriku turun dari atas tubuhku sambil menarik ibunya untuk menggantikan posisinya. Namun saat mertuaku hendak naik, aku menolaknya. Aku tahu kalau mertuaku sudah bergoyang di atas, aku pasti cepat keluar.

“Mamah di bawah dulu ya...” kataku sambil mendekap tubuh montoknya dan meletakannya dalam posisi telentang. Kumasukkan penisku ke vaginanya yang bergelambir, kudekap erat tubuhnya sambil kuciumi mulutnya. Kugoyang terus sambil terus kuciumi mertuaku. Kuciumi lehernya, kucupang sampai memerah.

“Ahhhh… terus, A! Iya, begitu! Enak banget…!” ucapan itu keluar dari mulut mertuaku.

Mendengar desahannya, semakin kupercepat kocokan penisku pada lubang vaginanya. Dan beberapa saat kemudian, tubuhnya mengejang, tangannya memelukku kencang, sementara vaginanya mencengkeram keras.

“Aa… mamah keluar… hah.. hah.. hah.. hah..“ nafas mertuaku masih terputus-putus. Sebenarnya saat tadi juga aku hendak keluar, namun kucoba tahan.

“Teh, sama teteh lagi nih.” kata metuaku.

“Gak ah, mah, teteh masih linu. Sama mamah aja ya, gak pa-pa kan, A?” istriku bertanya padaku.

Aku juga sebenarnya lebih menikmati mertuaku dibanding istriku, mungkin karena lebih berpengalaman. “Ya sudah, tapi ganti mamah yang di atas ya?” aku mengiyakan.

Kami pun bertukar posisi, sekarang mertuaku yang berada di atas. Pada saat penisku menancap di vaginanya, mertuaku tidak langsung menggoyang. Tapi justru ini yang paling aku suka, saat penisku serasa dicengkeram-cengkeram oleh dinding vaginanya.

“Enak, mah.” gumamku tanpa sadar.

“Ntar teteh ajarin yang itu ya, mah.” kata istriku.

“Iya, ntar mamah ajarin.” kata mertuaku dengan senyum bangga.

Tak lama kemudian mertuaku mulai bergoyang. Payudaranya yang sudah menggelantung terlihat naik turun sesuai irama. Dan seperti yang sudah aku kira kalau aku tak kuat lama kalau mertuaku yang di atas. “Nikmat, mah. Aa mau keluar nih. “ kataku.

“Keluarin aja, A. “ jawab mertuaku.

Kugenggam tangan istriku yang berada di sampingku, dan tak lama kemudian kurasakan nikmat yang tak terkira saat air maniku keluar, menyembur dari penisku, menghujam jauh ke liang vagina mertuaku. Crot.. crot.. crot.. crot..! “Arghhhhhhh…” aku menjerit penuh kepuasan.

Setelah selesai, mertuaku langsung turun. Masih dalam keadaan telanjang, dia lalu pergi meninggalkan kamarku. Sekarang tinggallah aku dan istriku. Kubelai rambutnya. Meskipun terasa gila, tapi kurasakan aku semakin sayang kepadanya.

“Ris…” aku memanggil.

“Iya, A.” sahut istriku.

“Kok bisa ya kamu berbagi seperti itu?” tanyaku yang masih heran.

“Risna sama mamah mah dari dulu sudah dekat banget. Apa-apa suka berdua, pergi kemana-mana berdua, tidur berdua, bahkan mandi juga kadang suka berdua sama mamah. Makanya kalau Aa main sama mamah ya udah, ga masalah buat Risna.” jawabnya.

“Jadi Risna juga berbagi suami sama mamah?”

“Ya nggak atuh, A. Aa tuh suaminya Risna, trus kalau mamah ya tetep aja mertuanya Aa. Ini kan cuma masalah seks aja, A. Risna juga kasihan sama mamah, semenjak bapak sakit sampai meninggal, mamah tuh gak pernah berhubungan badan gitu, palingan cuma masturbasi sendiri. Terus kan nanti kalau Risna lagi mens atau sehabis ngelahirkan, kan gak bisa main. Jadi kalau Aa mau, tinggal main sama mamah, Risna kan gak mau Aa jajan atau nyari di luar.” jawaban istriku begitu datar seperti yang biasa, padahal bagiku ini hal yang aneh dan juga begitu gila. Tapi yah kalau boleh jujur, aku merasa lebih puas main dengan mertuaku yang lebih berpengalaman.