Minggu, 04 Agustus 2013

Iseng Membawa Nikmat

Hari ini merupakan hari yang aku tunggu-tunggu. Hari untuk pertama kali aku menggunakan sepeda motor ke sekolah. Sepulang sekolah, aku tidak langsung balik ke rumah, tapi aku hendak keliling-keliling dulu dengan motor baruku. Pas di perempatan, aku lihat sebuah motor Mio hitam. Bukan motornya sih yang aku kagumi, tapi apa yang ada di atas jok motor tersebut yang membuat mataku tak mau memalingkannya. Sebuah bokong yang montok, seksi, yang dibalut celana legging hitam tipis sehingga terlihat jelas cetakan celana dalamnya. Karena waktu itu tak ada tujuan pasti, maka aku pun memutuskan untuk membuntuti motor itu. Lumayan pemandangan indah untuk bahan onani, pikirku.

Setelah sekitar 15 menit keliling-keliling, motor itu masuk ke sebuah komplek perumahan. Hingga satu belokan motor itu berhenti dan wanita itu menghentikan motorku. “Duh, bahaya, ketahuan deh gue.” gumamku dalam hati.

Wanita itu menghampiriku. Wanita yang lumayan manis, tapi terlalu tua sih untuk anak seumuran aku. “Heh! Ngapain lu ngikutin gue?! Mau ngerampok ya?!” kata wanita itu dengan nada tinggi.

“Siapa yang ngikutin, kebetulan searah kali, tante.” aku mencoba mengelak.

“Searah apanya! Emang lu mau kemana? Ini jalan buntu, cuma rumah gue yang ada di sana.”

Setelah kuperhatikan, memang ternyata tidak ada jalan pada belokan itu. “Tapi gak mau ngerampok kok, tante.” aku coba berpikir mencari alasan lain.

“Nah, terus lu mau ngapain?!” nadanya masih meninggi.

“Gak ada maksud apa-apa kok, beneran!”

“Jujur aja deh, lu, atau gue teriakin maling!” nadanya mengancam.

Mati dah gue kalau sampai diteriakin maling trus dihajar massa. “I-iya, tante... Aku memang ngikuti motor tante, tapi gak maksud ngikuti tantenya...”

“Trus apanya yang lu ikutin?!”

“Eh, anu... bokongnya…” jawabku sambil meringis.

“Kurang ajar lu! Gak sopan banget sih lu!”

“Tapi tante juga sih yang salah…” aku mulai mencari pembenaran.

“Maksud lu?”

“Iya, tante sih punya bokong seksi banget, terus pake legging lagi. Jadi deh kaya magnet yang menarik mata aku sampai ke sini.”

“Dasar lu!” nadanya gusar. “Jadi lu suka liat bokong gue? Masuk lu!” wanita itu menyuruhku masuk ke sebuah rumah yang aku rasa itu adalah rumahnya. Aku pun pasrah mengikuti perintahnya. Setelah kuparkir motor di halaman, aku pun mengikuti wanita tersebut masuk ke dalam.

“Duduk lu!” katanya sambil membuka helm, wanita itu menyuruhku duduk di sofa. Kulihat dia berpostur tinggi besar, montok, bokong besar, toket juga besar, dengan rambut panjang yang dicat coklat. Setelah membuka sepatu dan helm, aku pun duduk di sofa seperti yang diperintahkan olehnya.

“Jadi suka liat bokong gue? Nih lu liatin deh sampe puas!” wanita itu naik ke atas meja yang ada di depanku dan langsung menungging mengarahkan bokongnya ke mukaku. Aku terkaget dan hanya bisa melongo melihat bokong gede yang begitu indah. Kontolku pun bereaksi melihat bokong yang seksi itu.

“Udah puas belum? Nih gue gue kasih lihat juga dalemnya.” wanita memelorotkan legging dan celana dalamnya. Nampak bokong dan paha putih mulus dengan lubang pantat kecoklatan di depan mataku. Baru pertama aku lihat bokong wanita tanpa sehelai benang pun. Tubuhku panas dingin, jantungku berdetak semakin cepat, mataku tak berkedip menatapnya.

“Kenapa bengong aja, bego!” bentaknya.

“I-iya, tante. Emang mesti gimana?” aku terhenyak kaget.

“Ya lu remesin kek, mainin kek, jangan didiemin aja.”

“Eh, e-emang boleh, tante?”

“Bego banget sih lu, ngapain juga gue buka celana kalau lu diemin? Cepetan!”

“I-iya, tante.” dengan sedikit ragu, aku mulai memegangi bokong itu, kuelus-elus perlahan, terasa mulus sekali. Kuremas-remas benda bulat yang terasa kenyal itu. Nampak wanita itu menggelinjang merasa nikmat.

“Terus diapain lagi, tante?” aku bingung mau ngapain lagi, takutnya wanita ini tak suka.

“Yah, nanya lagi… lu pernah nonton bokep belum?”

“Udah, tante, kalau lagi onani.” jawabku jujur.

“Ya udah, lu lakuin aja kaya yang di film bokep.” katanya. Aku pun mulai menciumi bokong itu, kujilati juga lubang pantatnya. Lalu turun lagi ke bawah, ke bulu-bulu memek yang sedikit terlihat.

“Udah, udah dulu.” wanita itu menyuruhku berhenti, lalu dia turun dari atas meja dan membuka semua celananya. Kemudian dia duduk di sofa sambil mengangkangkan kakinya. Kepalaku ditarik dan ditempelkan di memeknya. Aroma yang khas langsung tercium di hidungku, aroma yang baru pertama kali aku rasakan.

Aku pun mulai beraksi layaknya bintang film bokep. Aku jilat-jilatin memeknya dan aku mainin itilnya. Kontolku semakin tegang dan keras. Karena merasa pegal terganjal celana, maka akupun membuka celanaku. Lama kelamaan aku pun tidak tahan dengan bau memek wanita itu. Lalu aku mulai menaikkan jilatan ke atas perutnya. Wanita itu hanya menggelinjang, matanya tertutup dan kulihat mulutnya sedang menggigit bibir bagian bawah.

Jilatanku semakin naik ke atas. Kusingkap baju biru yang ia pakai hingga di atas dada. Nampak sepasang toket yang hampir tumpah dari BH saking gedenya. Kukeluarkan toket dari cup BH-nya dan kuremas-remas penuh nafsu. Kupilin-pilin putingnya yang sebelah kanan, sementara yang sebelah kiri kuisap-isap seperti bayi.

Aku naik ke atas sofa, kutarik kaosnya hingga terbuka. Dengan mata yang masih terpejam, wanita itu menurutinya. Aku tak tahan ketika melihat bibirnya yang memakai lipstick warna merah muda. Aku julurkan kontolku hendak memasukkan ke mulutnya yang membuat nafsu itu. Namun waktu kontolku menyentuh bibirnya, wanita itu menjerit kaget. ”Auw! Mau apa kamu?!” teriaknya.

“Ma-maaf, tante… katanya lakuin aja kaya di film bokep. Di film bokep itu punya cowoknya dikulum sama si cewek.” kataku lugu.

“Iya, tapi bilang-bilang dulu donk, jadi gue gak kaget.” katanya. “Gila, kontol lu gede juga yah?” gumamnya suka. Tangannya mulai memegangi kontolku yang sudah tegang dari tadi. Mulutnya langsung menyambar dan mengulumnya. Rasa hangat dan nikmat aku rasakan di batang kontolku, apalagi waktu lidahnya menyentuh lubang kecil di kepala kontolku. Uhh, aku langsung menggelinjang.

Setelah beberapa saat, wanita itu melepaskan kulumannya dan menyuruhku memasukkan penisku ke memeknya. Beberapa saat aku mencoba memasukkan, namun karena baru pertama kali, aku kesulitan. Lalu wanita itu menuntun kontolku masuk ke memeknya dan... cleeeb! “Hmm..” dia mendesah saat kontolku berhasil masuk menembus selangkangannya.

Rasa hangat terasa di batang kontolku. Aku pun mencoba untuk menggoyangkannya, semakin cepat aku bergoyang, semakin keras juga ia mendesah. Lalu tanganku dituntun ke itilnya. Wanita itu menginginkan aku memainkan itilnya.

“Iya, terus.. terus… yang kenceng… lebih kenceng lagi…” tubuh wanita itu menggeliat. “Ahhh… aaah…” lalu tubuhnya berhenti dan mulai melemas. Pada saat itu juga memeknya terasa mencengkeram batang kontolku, aku jadi tak tahan lagi dan akhirnya…

Crott.. crott.. crott.. crott…! Aku pun keluar, darahku terasa naik, lututku terasa lemas. Ternyata jauh lebih nikmat daripada keluar sewaktu onani. Aku pun langsung mengenakan celana seragam abu-abu yang tercecer di lantai.

“Sudah mau pulang?” tanya wanita itu.

“Iya, tante.”

“Enak gak?”

“Enak banget, tante.” jawabku sambil meringis.

“Sini bayar!” wanita itu menadahkan tangannya ke arahku.

“Harus bayar ya, tante?” tanyaku bingung.

“Ya iya lah. Nidurin nenek-nenek yang mangkal aja di jalan mesti bayar kok.”

“Be-berapa, tante?” aku mulai bingung.

“500 ribu.” jawabnya.

“Tapi aku gak bawa uang tante.” padahal emang gak punya uang.

“Ya udah, lu utang ke gue.. Ntar lu ambil duitnya trus anterin ke sini. Mana nomer HP lu?”

Aku pun memberikan nomer HP-ku dan wanita itu me-miscall untuk ngecek kebenaran nomerku. Setelah itu cepat-cepat aku pamit pulang. Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk, antara senang dan bingung.

***

Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Ketika aku pulang sekolah, tiba-tiba HP-ku berbunyi. Aku waktu itu sedang nongkrong sendirian di depan sekolah. Aku angkat telepon itu dan terdengar suara perempuan. “Mana hutang lu?!” tanpa ucap salam atau basa-basi.

“Maaf, tante, udah seminggu ini aku sakit, jadi gak bisa keluar rumah.” aku mencari alasan padahal aku gak punya uang.

“Emang sakit apaan?” tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. Ternyata si tante itu sudah ada di belakangku.

“Yah… skak math dah.” suaraku pasrah. “Maaf ya, tante, aku gak punya uang sebanyak itu.” lanjutku.

“Katanya uangnya ketinggalan, kalau gak punya uang ya bilang aja. Ya udah, bayarnya ntar aja kalau lu sudah punya uang.” jawabnya. “Sekarang ikut yuk.”

“Kemana, tante?” tanyaku bingung.

“Jalan-jalan aja, gue lagi bete nih.”

Aku langsung menyalakan motorku dan menyuruh tante itu naik. “Ngapain nyalian motor?” tanyanya.

“Lha, kan aku gak liat tante bawa motor, ya udah aku boncengin.”

“Yee.. mending lu aja deh yang ikut mobil gue.” katanya sambil menunjuk mobil Honda Jazz yang sudah terparkir dari tadi.

Aku pun menitipkan motorku ke Mang Mamat pemilik warung tempatku biasa nongrong. Aku ikut mobilnya. Di jalan, aku tak bernani bicara, masih kepikiran hutang 500 ribuku ke tante itu. Dan akhirnya si tante yang memulai pembicaraan duluan.

“Kenapa diem aja lu?” tanyanya.

“Ah, nggak, tante. Eh, tante kok tahu sih tempat aku sekolah?”

“Ya iya lah, tuh di baju seragam lu ada bacaan tempat sekolah lu.” dia menunjuk lengan kananku.

“Oh iya, tante.” aku baru sadar. “Tadinya sih aku mau kabur, tapi gak bisa ya?” lanjutku.

“Enak aja lu mau kabur, habis dapat nikmat seenaknya kabur.”

“Emang nikmat, tante. Hehehe.” jawabku sambil meringis.

Akhirnya mobil berhenti di sebuah café. “Dah nyampe, tante? Kirain mau ke hotel.” godaku.

“Enak aja lu, yang kemarin aja belum dibayar dah mau lagi. Udah, makan aja, belum makan kan lu?” jawabnya sambil membuka pintu mobil.

Kami duduk di meja pojok café itu, setelah memesan makanan dan minuman kami pun mulai berbincang-bincang. “Eh, nama kamu siapa sih?” tanya tante itu.

“Doni, tante.”

“Jangan panggil tante donk, emangnya gue kaya tante-tante.” katanya. “Namaku Lina.”

“Ya udah, panggil mbak aja ya?” kataku.

Lucu juga, setalah aku tidurin, baru sekarang aku tahu namanya. Mbak Lina ternyata umurnya baru 27 tahun, lebih tua 10 tahun dari aku. “Maaf ya, mbak, kalau aku lihat mbak itu cantik, tapi kok belum nikah sih, padahal umur mbak kan sudah cukup?”

“Siapa bilang belum nikah, emang waktu itu aku keluar darahnya kaya perawan?” jawabnya.

“Jadi mbak udah nikah, kalau ntar suami mbak tahu gimana? Bisa dibunuhnya aku.” aku kaget.

“Siapa bilang juga aku punya suami?”

“Maksud mbak Lina?”

“Ya aku udah pernah nikah, tapi sudah cerai.”

Makanan yang dipesan pun datang, kami pun melanjutkan percakapan sambil makan. “Nah, kamu sendiri udah punya pacar belum, Don?” tanya Mbak Lina.

“Belum, mbak, ini juga lagi nyari. Nyari cewek kan mesti ada modalnya. Nah, itu yang susah, mbak.” jawabku. “Eh, mbak di rumah itu tinggal sendiri ya, emang keluarga mbak di mana?”

“Ada kok, cuma malas aja tinggal sama keluarga.”

“Emang kenapa, mbak?”

“Setelah aku cerai, keluargaku pada nyalahin aku, katanya aku gak bisa jadi istri yang baik. Padahal kan aku cerai juga karena suamiku yang suka main tangan.”

“Mungkin mbaknya juga sih yang galak, makanya suaminya kaya gitu.” kataku.

“Siapa bilang aku galak?” Mbak Lina balik bertanya.

“Nah, waktu itu aja mbak marah-marah mulu ke aku, pake ngatain bego lagi.”

“Hahaha... aku memang sengaja kali, suka aja lihat ekspresi muka kamu.” Mbak Lina tertawa puas. “Kamu juga sih, kaya yang gak ada kerjaan aja pake acara ngikutin bokongku.” lanjutnya.

“Iseng aja kali, mbak, sambil ngetest motor baru. Hehehe.”

“Dasar lu! Udah yuk, kamu yang bayar ya!”

”Hah!” aku terkaget, kalau aku jumlahin semua yang dipesan tadi harganya hampir 200 ribu, sedangkan uang jajan sehariku hanya 20 ribu.

“Kenapa? Gak punya uang ya?” tanya Mbak Lina.

Aku hanya meringis. Kemudian Mbak Lina memanggil seorang pelayan dan menyuruh mencatatnya. Kami pun kembali menaiki mobil dan kembali berbincang-bincang di dalam. “Sekarang kita mau kemana lagi, mbak? Mau nonton ya?” tanyaku.

“Ngapain juga nonton, sekarang kita ke hotel lah.”

“Hah! M-mau ngapain, mbak?”

“Yah, kamu… ya mau kaya kemarin lagi lah, emang gak mau ya?”

“Bukan gak mau, mbak, yang kemarin aja belum dibayar, trus kalau sekarang lagi kan jadi sejuta, mau gimana aku bayarnya?”

“Hahaha…” Mbak Lina hanya tertawa.

“Lagian Mbak Lina kenapa sih kerja kaya gitu, kan masih banyak kerjaan lain yang lebih baik.” lanjutku.

“Enak aja, emang aku cewek apaan?”

“Lha itu, minta bayaran.. kalau yang gitu kan sama kaya yang suka mangkal ntuh…”

“Hahaha... aku cuma becanda kali. Café yang tadi tuh punya aku, trus ngapain juga minta bayaran sama anak sekolah? Lagian selain mantan suamiku tuh, cuma kamu yang sudah nidurin aku.”

“Pantesan aja tadi cuma dicatet doank, gak bayar. Kirain ngutang, mbak. Hehehe... jadi gak usah bayar ya?” ploooong rasanya. “Mbak Lina kan cantik, kok gak nikah lagi sih atau nyari pacar lagi?” lanjutku.

“Banyak sih yang pada deketin, tapi akunya males, masih trauma untuk nikah lagi. Mendingan sama kamu aja, brondong. Jadi gak bakalan ngajakin nikah gitu.” katanya sambil ngeledek mencolek daguku.

Tak terasa mobil sudah sampai di sebuah hotel berbintang. Setelah check-in, kami pun langsung naik menuju kamar yang sudah dipesan tadi. “Kunci pintunya, Don.” Mbak Lina langsung merebahkan badan di kasur.

“Kenapa aku sih, mbak?” tanyaku sambil mengunci pintu.

“Maksudnya, Don?”

“Yah, setelah 4 tahun cerai, kenapa baru sama aku Mbak Lina berhubungan badan? Apa lagi baru bertemu udah langsung ngasih liat bokong gitu.” kataku.

“Gak tahu juga ya, kasihan kali…”

“Kasihan kenapa, mbak?” tanyaku bingung.

“Ya kasihan aja yang pengen liat bokong sampai ngikut-ngikuti gitu. Ya sudah, aku kerjain aja sekalian. Eh, malah kebawa terus sampai ditidurin.” katanya santai.

“Trus kenapa masih malah ngehubungi lagi? Jangan bilang mau nagih hutang deh…”

“Gak juga, gue lagi bete aja.”

“Kalau ngajak ke hotel pasti pengen ditidurin lagi ya?” tanyaku lagi.

“Yee… kepedean kamu, orang mau istirahat aja kok.” Mbak Lina coba berkelit.

"Bohong ah.” jawabku.

“Udah ah, cepetan sini, Don!” Mbak Lina memintaku ke ranjang.

“Mau ngapain, mbak?” jawabku meledek.

“Eh, gak aku kasih bokong nih!” Mbak Lina melotot.

“Iya-iya deh, mbak.” aku pun menghampiri Mbak Lina yang sudah ada di atas ranjang.

“Mau apa dulu, Don, memek, toket, atau bokong dulu?” tanyanya ringan.

“Hmm, boleh gak mbak kalau aku minta bibir dulu, soalnya bibir mbak nggemesin banget. Waktu kemaren juga aku pengen banget nyium bibir mbak.”

“Ih, dasar bodoh! Kenapa kemaren gak kamu cium aja, Don?”

“Takut mbaknya marah, mana galak banget lagi kemaren.”

“Hahaha… ya udah, sini, mana bibirmu?”

Aku pun langsung melumat bibir Mbak Lina penuh nafsu, namun baru beberapa saat, dia menghentikannya. “Pelan-pelan donk, Don, diresapin gitu. Baru pertama kali ciuman ya?” tanya Mbak Lina.

Aku hanya mengangguk, memang itu baru pertama aku ciuman. Lalu Mbak Lina mulai mengajari cara ciuman. Mulai kecupan-kecupan kecil, saling menghisap bibir, dan kemudian saling mengulum lidah dengan nafsu. Memang kurasa sangat nikmat sekali. Lalu tangan Mbak Lina menuntunku ke toketnya. Aku merespon dengan meremas-remas toketnya. Kontolku sudah otomatis ngaceng. Lalu aku pun membalas menuntun tangan Mbak Lina ke kontolku yang masih terbungkus celana. Mbak Lina meremas-remasnya.

“Buka dulu bajunya ya, Don.”

Kami pun membuka baju satu persatu sampai telanjang. Lalu Mbak Lina menyuruhku terlentang. Lalu dia menaikiku secara berlawanan hingga kontolku di mulutnya dan memeknya di mulutku. Kamipun saling menjilat. Kurasakan memek Mbak Lina sudah basah dari tadi. Cukup lama kami saling menjilat hingga akhirnya tubuh Mbak Lina menggeliat dan keluar cairan dari dalam memeknya.

“Ahhh… aku dah keluar, sayaaang!” dia berteriak keenakan. Tak lama kemudian, Mbak Lina menaiki tubuhku dan memasukkan kontolku ke memeknya. Dia bergoyang dengan hebatnya, toketnya yang gede sampai bergetar-getar. Lima menit kemudian, Mbak Lina mencapai orgasmenya yang kedua.

“Arghhhh… Doni sayang, aku keluar lagi!” tangannya mencengkeram lenganku kuat-kuat.

“Mbak Lina kalau mau keluar lagi bilang-bilang ya, mbak.” aku berkata.

“Emang kenapa, Don?”

“Gak apa-apa, mbak. Kalau nanti Mbak Lina mau keluar, ntar aku bukain deh pintu kamarnya. Hehehe…”

“Dasaaar!” Mbak Lina memukulkan bantal ke wajahku. “Sudah, gantian kamu yang di atas tubuh mbak.”

Aku pun mulai menaiki tubuh Mbak Lina yang sudah terlentang mengangkang. Perlahan-lahan kontolku kumasukkan ke dalam memeknya. Kukocok-kocok memeknya sambil kumainin itilnya. “Terus, Don! Ahh...” desahnya penuh nikmat.

“Iya, mbak.” aku menyahut.

Mbak Lina lalu menarikku ke pelukannya, bibirku langsung dilumatnya mesra. Dengan penuh nafsu, aku pun membalas cimuannya sambil tak berhenti mengocok memeknya. Tanganku mulai meremas-remas toketnya yang gede itu. Tak lama kemudian, Mbak Lina mencapai orgasme lagi, namun aku tak menghentikan kocokan dan ciumanku. Gairahku semakin tinggi dan tak bisa kutahan lagi. Hingga akhirnnya… Crot.. Crot.. Crot.. Crot..! spermaku menyembur menghujam memenuhi memek Mbak Lina dan meluber sampai keluar.

Aku terkulai lemas terlentang. Disampingku, Mbak Lina juga telantang sambil berusaha mengatur nafas dan mengelus-elus lembut memeknya. “Enak, Don?” tanyanya pelan.

“Enak sekali, mbak.” aku menjawab. “Eh, tadi aku keluar di dalam, mbak, kalau Mbak Lina hamil gimana?”

“Ya tinggal kamu nikahin aja, Don.” jawabnya enteng.

Haduh, bukannya aku gak mau. Mbak Lina cantik dan kaya, tapi kan aku masih sekolah, trus nanti gimana juga keluargaku?

“Kenapa diam, Don, gak mau ya?”

“Nggak kok, mbak. Mau aja, tapi kan aku masih sekolah.”

“Hahaha... kena lagi lu, Don.”

“Maksudnya?” jawabku bingung.

“Aku kan masih KB, jadi gak mungkin hamil.”

“Oh, jadi ntar kalau main lagi bisa keluarin di dalam dengan tenang donk?”

“Jiah, jadi ngarep. Emang masih mau lagi?”

“He-eh, mbak.” jawabku singkat.

Sore itu kami melakukan hubungan badan sampai tiga kali dan sekali di bathtub kamar mandi hotel. Jam sembilan malam, aku baru diantar mbak Lina ke sekolahanku lagi.

Sejak itu, kami jadi sering berhubungan. Bukan hanya hubungan badan, namun juga melibatkan perasaan. Aku sayang Mbak Lina dan aku pun tahu dia juga demikian meski tak pernah diucapkannya.

Setahun setelah aku lulus sekolah, Mbak Lina mengajaku menikah dan aku menyanggupinya. Awalnya keluargaku menentangnya karena mereka berharap aku kuliah terlebih dahulu. Namun akhirnya aku bisa membuat mereka percaya dan mengizinkanku menikah. Aku tidak melanjutkan kuliahku, tapi aku membantu Mbak Lina menjalankan cafénya yang sudah membuka cabang. Sekarang kami sudah dikarunia seorang anak. Meski sampai saaat ini aku tidak pernah merasakan keperawanan wanita, namun aku tidak pernah menyesalinya. Sekarang aku hidup bahagia dengan seorang wanita yang umurnya 10 tahun lebih tua dariku.