Minggu, 04 Agustus 2013

Nanik dan Hesti

Kisah ini dimulai ketika aku memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuaku dan mengontrak sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta. Kulakukan itu karena aku dan istriku ingin belajar mandiri, apalagi kini sudah hadir si kecil anggota keluarga baru kami.

Kuakui, aku bukanlah suami yang baik, mengingat petualangan liarku ketika masih belum menikah. Sering aku bergonta ganti pacar yang ujung-ujungnya hanya untuk memuaskan libidoku yang cukup tinggi. Namun setelah menikah, kuredam keinginanku untuk berpetualang lagi. Di hadapan istri dan lingkunganku, aku mencoba menampilkan sebagai sosok yang baik-baik. Tidak neko-neko. Rahasia masa laluku pun aku simpan rapat-rapat.

Namun setelah satu bulan aku tinggal di lingkungan yang baru, tampaknya tabiat lamaku kumat kembali. Di sekitar rumahku, banyak kutemui wanita yang menarik perhatianku. Mulai dari ibu-ibu tetangga yang rata-rata tidak bekerja dan mahasiswi yang banyak kost di sekitar tempat tinggalku.

Satu sosok yang menarik perhatianku adalah Nanik, tetangga kontrakanku, namun tetangga-tetangga yang lain memanggilnya Mama Ryan sesuai dengan nama anaknya. Ketika pertama kali bertemu, ia terlihat berbeda dibanding ibu-ibu lain di sekitarnya. Wajahnya cukup cantik dengan kulitnya yang kuning langsat, bodinya cukup montok namun tetap kencang walau usianya sudah di atas 37 tahun. Payudaranya pun terlihat proporsional di balik kaus yang sering dikenakannya.

Ia berasal dari Cianjur, jadi wajarlah kalo wajahnya cantik khas wanita Priangan. Namun segala pesonanya itu tertutupi oleh kehidupannya yang sederhana. Suaminya hanya seorang supir pribadi yang penghasilannya terbatas, belum lagi kedua anaknya sudah beranjak remaja, yang tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar.

Hubungan istriku dengan Nanik cukup baik, sering Nanik berkunjung ke rumah dan ngobrol dengan istriku. Pada saat itu aku sering curi-curi pandang ke arahnya. Sering ia hanya mengenakan kaos longgar dan celana pendek kalau main ke rumah, sehingga belahan dada dan sebagian pahanya yang putih mulus menjadi santapanku. Dan kalo sudah begitu, batang penisku bisa mengeras diam-diam. Kapan ya aku bisa menidurinya?

Info dari istriku pula lah akhirnya aku tahu kalo ternyata Nanik bekerja paruh waktu sebagai pembantu. Seminggu tiga kali ia bekerja membersihkan apartemen seorang ekspatriat. Apartemen ini sering kosong karena sering di tinggal pemiliknya berdinas ke luar negeri, jadi ia dipercaya untuk memegang kunci apartemen itu. Namun kegiatannya itu tidak membantu banyak dalam masalah keuangan keluarga di tengah kebutuhan sehari hari yang semakin mahal, dan ini kesempatanku untuk menjadi dewa penolong baginya, walau ada udang di balik batu, ingin merasakan bagaimana rasanya jepitan vagina istri orang. Hehehe...

Strategi untuk mendekatinya pun mulai aku jalankan. Dia berangkat kerja selalu pagi hari, yaitu tiap hari Senin, Rabu dan Jumat pada pukul 7 pagi. Aku tahu karena dia selalu lewat depan rumahku. Dia berangkat kerja menggunakan metro Mini.

Setelah tahu jadwalnya, aku pun mulai mengatur siasat agar bisa berangkat bareng dengannya. Kuatur waktu berangkat kerjaku yang biasanya jam 8 menjadi lebih pagi lagi. Kebetulan arah apartemen tempatnya bekerja searah dengan kantorku di Sudirman.

Senin pagi itu kulihat dia sudah lewat depan rumahku untuk berangkat kerja, aku pun segera bersiap-siap mengeluarkan mobilku dari garasi. Istriku sempat bertanya, koq hari ini berangkat lebih pagi. Kujawab saja ada meeting mendadak.

Mobil kulajukan perlahan menuju jalan besar dan kulihat di ujung gang, Nanik sedang menunggu Metro Mini yang akan membawanya ke Kampung Melayu. Kuhampiri dia dan kubuka jendela mobil dan menyapanya.

“Berangkat kerja, Mbak Nanik?”

“Eh… iya, mas Ardi,” jawabnya agak kaget.

“Bareng saya aja yuk, Mbak mau ke Kampung Melayu kan?”

“Iya, mas… tapi gak apa-apa, saya naik Metro aja,” tolaknya dengan halus.

“Gak apa apa, Mbak, kita kan searah ini, lagian metro mini kalo pagi pasti penuh,” ujarku coba membujuknya.

Dia sedikit bimbang, tapi akhirnya menyetujui ajakanku. Dibukanya pintu depan mobilku dan masuklah dia, seketika aroma parfumnya pun menyeruak ke indera penciumanku.

“Terima kasih, Mas Ardi. Maaf merepotkan.”

“Merepotkan apa sih, mbak, wong kita searah koq.” ujarku sambil tertawa ringan.

Khas senin pagi, lalu lintas pagi itu sangat macet. Di dalam mobil, aku pun menghabiskan waktu dengan ngobrol ringan dengannya. Banyak hal yang kami perbincangkan, mulai dari keluarganya, anak-anaknya, suaminya, lingkungan kerjanya. Intinya aku ingin lebih mendekatkan diri padanya agar tujuanku menidurinya bisa terlaksana. Tapi aku tidak mau terburu-buru.

Akhirnya kami tiba di Apartemen tempatnya bekerja, kuturunkan ia di pinggir jalan. Aku pun kembali melajukan mobilku ke arah kantor.

***

Selama dua minggu aku intens melakukan pendekatan dengan mengajaknya berangkat bareng. Untuk menghindari gunjingan tetangga, ia hanya mau naik mobilku di ujung gang.

Semakin dekat hubungan kita, ia semakin berani menceritakan hal-hal pribadinya. Kami pun sering bercanda dan ia pun mulai berani mencubit lengan atau pinggangku ketika kugoda. Obroloan pun kadang-kadang kubuat menjurus ke urusan ranjang. Dan dari situ pula aku tahu kalau Nanik sudah tidak berhubungan intim dengan suaminya sejak tiga bulan lalu dikarenakan suaminya sudah terlalu lalah bekerja dan sering pulang larut malam. Wah kesempatan nih, pikirku.

Pagi itu kembali kami berangkat bareng, namun kulihat dia agak murung, aku pun memberanikan diri bertanya padanya. “Ada apa, mbak Nanik, saya lihat mbak agak murung pagi ini?”

“Gak apa-apa koq, mas… biasa kali saya kayak gini,” ia berusaha menyangkalnya.

“Mbak gak usah bohong sama saya, saya tahu mbak orangnya ceria, jadi kalau murung sedikit, pasti saya tahu.”

Nanik tersenyum mendengar perkataanku. “Enggak apa-apa, mas. Ya namanya dalam hidup pasti ada aja masalahnya.”

“Kalo mbak gak keberatan, cerita aja mbak, siapa tahu saya bisa bantu.”

“Gimana ya, Mas…” Nanik memutus pembicaraan, sepertinya ragu untuk melanjutkannya.

Aku menoleh kepadanya, dan kupandangi wajahnya dalam-dalam sambil membujuknya untuk terus bercerita.

“Ini, mas, si Ryan (anaknya yang bungsu) lagi butuh biaya untuk study tour ke Bandung, biayanya Rp. 500.000,- sedangkan aku sama bapaknya belum ada duit karena sudah terpakai kakaknya untuk biaya praktikum kemarin. Sedangkan uangnya harus dikumpulkan besok. Study tour ini wajib karena sebagai syarat agar Ryan bisa lulus. Pusing saya, mas.”

Aku tersenyum sambil menatap matanya. “Ah, gampang itu mbak, nanti saya bantu.”

“Tuh kan, saya jadi merepotkan mas Ardi.”

“Gak apa-apa, mbak, namanya kita bertetangga, kalau ada yang kesusahan, apa salahnya kita bantu.”

“Iya sih, mas… ya udah, kalo mas Ardi ada, saya mau pinjam uang dulu sama mas Ardi.”

“Gampang itu, mbak.”

Ketika sampai di depan apartemen tempatnya bekerja, segera kubuka dompetku dan kuambil uang 1 juta dan kuberikan padanya. Nanik kaget dengan pemberianku yang sebanyak itu.

“Koq banyak sekali, Mas, saya kan butuhnya cuma lima ratus ribu?"

“Iya, sisanya buat bekal Ryan di jalan, atau buat Mamahnya juga ga apa-apa.”

Nanik tertawa mendengar ucapanku. “Tapi saya belum bisa mengembalikan dalam waktu dekat, mas.”

“Gak dikembalikan juga gak apa-apa, mbak.”

"Lho, koq gak dikembalikan, saya khan pinjem mas, jadi harus kembali.”

“Ya udah, gampang itu, mbak. Kalo ada ya dikembalikan, kalo ga ada ya dikembalikan dengan cara lain.” ujarku mencoba memancing di air bening. Hehehe…

“Lho, cara lain apa sih, mas, koq saya bingung jadinya?”

Aku cuma tertawa, dan Nanik semakin bingung dengan sikapku. “Ya udah, nanti mbak telat loh ke kantornya.” ujarku sambil bercanda.

"Kantor apa sih, Mas bisa aja deh.” Nanik tertawa sambil mencubit lenganku. "Ya udah, terima kasih ya Mas atas bantuannya.”

“Sama-sama, Mbak.”

Nanik pun turun dari mobilku dan melangkah ke dalam area apartemen itu.

***

Siang itu, tiba-tiba ada sms masuk ke ponselku, ternyata ada pesan dari Nanik. Setelah kubaca, ia menyampaikan ucapan terima kasih sekali lagi padaku karena sudah dibantu. Akupun membalasnya untuk tidak memikirkannya lagi sekaligus menanyakan posisinya sedang berada di mana saat ini. Ternyata dia masih ada di apartemen majikannya dan sedang beristirahat karena baru saja selesai mengerjakan tugas-tugasnya.

Kucoba iseng minta ijin padanya untuk main ke apartemen tempatnya bekerja apabila majikannya sedang tidak ada di tempat. Nanik mengijinkan karena Majikannya sedang keluar negeri selama seminggu. Dia pun memberi tahu tower dan nomor unit apartemennya.

Aku pun segera bergegas membereskan pekerjaanku di kantor dan ijin pada temanku untuk ke luar dengan alasan bertemu klient. Karena aku sering dinas luar, jadi gampang saja dapat ijinnya.

Segera kupacu mobilku menuju apartemennya. Tapi sebelumnya aku mampir ke salah satu restoran cepat saji dan membelikannya makan siang.

Mobilku kuparkir di basement apartemen, aku pun menuju ke unit apartemen tempatnya bekerja. Kubunyikan bel dan tak lama Nanik pun mempersilahkan aku masuk. Akupun segera duduk di sofa yang cukup lebar dan empuk yang ada di ruangan itu.

Unit apartemen itu cukup luas, ada dua kamar di dalamnya lengkap ada dapur dan minibarnya. Aku tebak majikannya seorang eksekutif di suatu perusahaan ternama dan apartemen ini disediakan oleh perusahannya.

“Mau minum apa, mas?” tiba-tiba Nanik menyadarkanku yang sedari tadi memperhatikan apartemen beserta isinya.

“Eh… air putih aja, mbak.”

“Masak air putih sih, aku bikinin sirup ya?”

“Boleh, Mbak, kalau gak merepotkan.”

Tak lama dia pun membawa dua gelas es sirup.

"Wah, jadi seger nih, siang-siang minum es sirup, apalagi ditemani Mbak Nanik yang seger.”

“Ih, apaan sih, Mas Ardi?” dia tertawa sambil mencubit pinggangku. Wajahnya sudah kembali ceria tidak semuram pagi tadi.

Kami pun ngobrol sambil menyantap makanan yang kubawa. Setelah makan, kami melanjutkan obrolan sambil menonton acara tv kabel. Aku mulai memberanikan diri mendekatkan posisi dudukku dengannya dan Nanik diam saja. Kucoba pegang tangannya. Awalnya ia sepertinya canggung tapi akhirnya dapat kugenggam erat tangannya. Aku mulai membelai rambutnya yang panjang sebahu dan meniup tengkuknya dan tak lama bibir kami pun sudah saling bersilaturahmi. Berpagutan dengan bebasnya.

Bibirku dilumat habis oleh bibirnya, nafasnya mulai tersengal-sengal. Nampak birahinya mulai naik. Wajar saja wong 3 bulan tidak disetubuhi suaminya.Tanganku pun kuberanikan menelusup di balik kemeja yang dikenakannya, ia pun diam saja, Kuraih payudara kiri di balik branya dengan tangan kananku, kuremas-remas halus sambil kumainkan putingnya.

Ia mengelinjang sambil melenguh tertahan. “Auhhh… achhh...”

Sambil melumat bibirnya kucoba membuka kancing bajunya satu persatu, dan ia pun mengikutinya dengan membuka kancing kemeja kerja yang aku kenakan. Kemeja-kemeja itu pun akhirnya terhampar di lantai. Terpampang jelas dihadapanku tubuh mulus Nanik dengan payudara yang masih tertutup bra warna krem, walau perutnya sedikit berlipat karena lemak, tetap saja tidak mengurangi keinginanku untuk menyetubuhinya.

Segera kubuka kait branya dan bra itu pun jatuh dipangkuannya. Payudara Nanik segera menyembul. Cukup besar dengan warna puting coklat tua dengan areola berwarna lebih muda. Puting itu mencuat dengan tegaknya. Keras.

Segera saja kuhisap puting susunya, Nanik melenguh lebih keras. “Aaaccchhhh… Maasss... ahhh… ouchhh...“ ia semakin terangsang dengan perbuatanku.

Terus kuhisap puting susunya kanan dan kiri bergantian, Ia pun menggelinjang makin keras, kepalanya tengadah menatap langit-langit. Matanya terpejam namun mulutnya meracau mengeluarkan suara desahan dan rintihan. Kedua tangannya menjambak-jambak rambut di kepalaku.

Cukup lama kumainkan kedua puting susunya. Setelah puas, aku pun bangkit dari sofa dan segera berdiri. Nanik mengerti maksudku. Sambil tetap duduk di sofa, ia membuka ikat pingang dan celana yang kukenakan, tidak lupa celana dalamku pun ikut dipelorotkannya ke bawah. Seketika itu juga penisku yang cukup besar dan berurat, mengacung ke depan dengan gagahnya. Nanik tersenyum sambil melirikku. Dipegang dan dibelainya kepala penisku, dikocok-kocoknya perlahan batangnya berulang kali. Tak lama dimasukkan lah kejantananku ke dalam mulutnya, dikulumnya batang penisku sampai ke pangkalnya. Karena ukuran penisku yang cukup besar ia sedikit tersedak, aku pun tertawa geli. Tapi dengan usil, digigitnya batang penisku, aku pun menjerit. Dikocok lagi batang penis itu dengan gerakan yang lebih cepat sambil lidahnya dengan liar menjilat-jilat kantung zakar. Perlakuan Nanik sungguh luar biasa, tidak tahan aku dibuatnya. Aku pun ingin segera buru-buru menyetubuhinya.

Kupinta Nanik bangkit berdiri dan melepaskan celana jeans yang masih dikenakannya. Kubalik badannya dan memintanya menungging. Lututnya ditumpukan ke sofa dan ia menungging di hadapanku dan tangannya menyangga tubuhnya pada sandaran sofa. Segera saja belahan vaginanya yang tertutup bulu jemput yang cukup lebat terlihat merekah di hadapanku. Bibir vaginanya mulai berwarna kecoklatan namun liang vaginanya masih menampakkan rona kemerahan yang tampak berkilat dan basah oleh cairan kewanitaan yang terus keluar karena rangsanganku tadi.

Segera saja kupegang batang penisku dan kuarahkan kepalanya ke arah liang kewanitaan Nanik. Segera kumajukan pinggulku dan tak lama kepala dan batang penisku pun amblas sampai ke pangkalnya. Terbenam sepenuhnya dalam liang vagina tetanggaku ini. Nanik tercekat dan berteriak karena alat vitalku yang cukup besar menyesakkan rongga kewanitaannya. Ia menoleh padaku dengan mulut terbuka lebar sambil merintih. “Aaaahhhh…”

Kedua tanganku memegang pantatnya yang cukup besar. Aku pun mulai memaju mundurkan pinggulku. Batang penisku pun keluar masuk di liang vaginanya dengan tempo yang cukup cepat. Nanik terus merintih dengan riuhnya. ”Acchhh… ouuchhh… achhh… ouchhhh...”

Sambil terus menggerakkan pinggulku, aku pun mulai meraih payudaranya yang menggantung dengan kedua tanganku. Kumainkan puting susunya dengan kasar. Nanik pun semakin keras merintih dan meracau…

Tak lama ia pun menjerit keras dan kurasakan ada kedutan di liang vaginanya. Otot vaginanya semakin mencengkram erat kejantananku. Kali ini Nanik mengalami orgasme yang pertama. Tubuhnya melemah, tangannya tidak sanggup lagi menahan tubuhnya. Kepalanya jatuh terkulai di sofa dengan posisi tetap menungging. Kupercepat permainanku, tetapi tampaknya spermaku tidak ingin keluar cepat-cepat.

Segera kucabut batang penisku dari liang vaginanya. Segera kubalik tubuh Nanik menghadapku. Dengan posisi setengah duduk, punggungnya yang bersandar di sandaran sofa kuangkat dan kurenggangkan kedua kakinya. Terlihat liang vaginanya yang menganga cukup lebar, segera saja kuhujamkan kejantananku ke liang kenikmatan itu. Lagi-lagi Nanik menjerit tertahan ketika batangku menerobos liang vaginanya. Kumaju mundurkan pinggulku dan terlihat penisku yang besar keluar masuk dengan bebasnya di liang sempit itu, menciptakan pemandangan yang indah. Bibir vagina itu menguncup ketika penisku menerobos masuk dan merekah ketika kutarik. Kedua tungkai Nanik kupegang dengan tanganku dan aku terus menyetubuhinya sambil tetap berdiri.

Payudara yang begitu menantang dengan puting yang mencuat sudah basah oleh keringat. Payudara itu bergoyang-gotang dengan hebatnya mengikuti irama sodokan penisku yang maju mundur di liang vagina Nanik. Kepala Nanik tergolek ke kanan dan kiri dengan mulut yang terus mendesis dan merintih. Lima belas menit aku terus menyodok liang vagina Nanik. Nanik pun mengimbanginya dengan menggoyang pinggulnya ke kanan ke kiri. Setelah dua puluh menit akupun tidak tahan lagi. Kupercepat frekuensi sodokan batang penisku ke dalam liang vaginanya dan tak lama cairan spermaku pun meyemprot deras ke dalam rahimnya. Berbarengan dengan kedutan keras di vaginanya menandakan ia mengalami orgasme keduanya. Kami pun terkulai lemas di atas sofa. Tubuhku menindih tubuhnya dengan kejantananku masih tertanam di liang vaginanya. Nafas kami tersengal-sengal karena pertempuran yang luar biasa nikmatnya.

Aku pun segera bangkit dan menarik penisku yang mulai mengendur dari liang vaginanya. Liang kenikmatan itu terlihat ternganga dan tampak carian putih meleleh keluar dari dalamnya. Nanik masih terkulai lemas di sofa. kakinya terjuntai ke lantai dan tangannya tergolek lemah di sebelah tubuhnya, segera kuhampiri dan kuciumi bibirnya.

“Enak, mas, lain kali minta lagi ya.” ujarnya sambil tersenyum.

“Siap, kapan aja mbak butuh, aku siap melayani.” candaku.

Dan diapun tertawa sambil mencubit pinggangku penuh arti. Akhirnya kesampaian juga niatku menyetubuhi tetangga yang lama aku idam-idamkan.

Setelah kejadian itu, kami pun sering mencari-cari waktu untuk dapat bersetubuh kembali. Bahkan kami pernah melakukannya di dalam mobil. Tampaknya persetubuhan yang kuberikan, lebih dinikmatinya dibanding bersetubuh dengan suaminya sendiri.

***

Semenjak pengalamanku menyetubuhi Nanik tetanggaku yang berstatus istri orang, aku semakin terobsesi untuk mencari sasaran lain untuk memuaskan libidoku yang tinggi. Kali ini sasaranku juga istri tetanggaku yaitu Hesti.

Hesti seorang ibu satu anak berusia 3 tahun. Usianya kutaksir baru sekitar 25 tahunan. Berbeda dengan Nanik yang tergolong type STNK (Setengah Tua Namun Kenyal), Hesti jauh lebih muda. Hal ini terlihat dari tubuhnya yang ramping dengan kulit yang masih kencang.

Perawakan Hesti cukup mungil dengan tinggi hanya 150an cm dengan rambut ikal sepunggung. Namun ada aset milik Hesti yang sering membuatku menelan ludah jika melihatnya. Dengan tubuh semampai, Hesti memiliki ukuran payudara yang cukup besar dengan bentuk bulat sempurna. Hal ini terlihat jelas karena ia sering mengenakan kaus ketat di lingkungan rumahnya. Dan ia pun memiliki bentuk bokong yang sama bulatnya. Intinya, Hesti memiliki body yang cukup aduhai. Tampaknya ia cukup pandai merawat diri. Sungguh beruntung lelaki yang mampu meyetubuhinya.

Di lingkungan tempat tinggal kami, Hesti dan suaminya masih menumpang di rumah kedua orang tuanya. Hesti dan suaminya sama-sama bekerja. Menurut informasi yang aku dapatkan dari istriku, Hesti bekerja sebagai staf administrasi di suatu perusahaan di Kelapa Gading. Sedangkan pekerjaan suaminya, aku tidak tahu. Lagi pula ngapain aku cari informasi tentang suaminya? Hehehe.

Hesti memiliki dua orang adik perempuan yang tidak kalah cantiknya. Kiki yang berusia 22 tahun dan baru saja lulus kuliah dan Maya yang baru berusia 17 tahun, masih duduk di kelas 3 SMU. Dengan kedua adiknya ini aku pun nantinya memiliki kisah tersendiri yang akan aku ceritakan di bagian yang terpisah.

Hubunganku dengan Hesti memang tidak terlalu dekat, namun kami sering saling menyapa apabila berpapasan di jalan. Dan anaknya pun sering bermain dengan anakku. Ia type wanita yang ramah dan supel.

Untuk berangkat bekerja, Hesti menggunakan sepeda motor maticnya. Ia berangkat sendirian. Tampaknya tempat kerjanya dan suaminya berbeda arah, sehingga mereka menggunakan sepeda motor masing-masing. Dan ini menyulitkanku untuk melakukan pendekatan padanya. Tak bisa kulakukan lagi cara pendekatan yang sama dengan Nanik yaitu beralasan berangkat bareng-bareng. Aku harus putar otak untuk bisa mendekatinya.

Namun yang namanya rejeki kadang datang tiba-tiba. Pagi itu aku sedang memanaskan mesin motorku dan bersiap untuk berangkat kerja. Ketika itu kulihat Hesti berjalan kaki ke ujung gang untuk berangkat kerja. Koq tumben gak bawa motor? Gumamku dalam hati.

Karena hari itu hari Jumat, kulihat penampilan Hesti cukup casual. Dengan setelan celana jeans warna hitam dan blouse batik sebagai atasan, tidak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang aduhai. Bentuk dadanya yang membusung ke depan dan bokongnya yang melenggak-lenggok ke kanan ke kiri dengan indahnya.

Bergegas kuambil helm serta jaket dan buru-buru pamit pada istriku untuk berangkat kerja. Kuikuti Hesti dari kejauhan. Dan begitu sampai di ujung gang, segera kuhampiri dia.

“Lho, koq ga bawa motor, mbak Hesti? Mau kerja ya?”

“Iya, mas, kebetulan motorku lagi di pinjem adik untuk interview.”

“Oh, begitu… Mbak Hesti kerja di Kelapa Gading khan, Kebetulan aku lagi ada urusan ke Sunter dan lewat kelapa gading. Bareng aja yuk?” ajakku. Sebenarnya alasanku ke Sunter hanya akal-akalanku saja agar aku bisa ada alasan mendekatinya, kalo aku bilang mau ke Kelapa Gading, nanti terbaca donk niatku sesungguhnya. Hehehe.

Hesti tampak ragu dengan ajakanku. “Gak usah deh, mas, aku naik angkot saja, lagi pula saya gak bawa helm.”

“Udah, gak apa-apa, Mbak, kalo pagi gini khan polisi belum ada. Masih pada tidur.” candaku. Akhirnya ia luluh dengan ajakanku dan segera naik ke atas motorku.

Motorku berjenis motor sport sehingga posisi duduk pembonceng agak menunduk dan tentu saja ini memberikan manfaat tambahan bagiku. Untuk mengantisipasi hal tersebut Hesti menempatkan tasnya diantara posisi dudukku dengan duduknya. Namun tetap saja, sesekali tonjolan payudaranya menyentuh punggungku.

Kulajukan sepeda motorku dengan santai agar aku punya waktu yang cukup lama untuk ngobrol dengannya. Obrolan kami ringan-ringan saja seputar pekerjaan dan kantornya.

Tak lama kami pun tiba di kantornya yang berupa komplek ruko yang terletak tidak jauh dari Mall Kelapa Gading.

Setelah Hesti turun dari motorku, ia pun mengucapkan terima kasih. “Terima kasih Mas Ardi atas tumpangannya.”

“Iya, sama-sama, Hes.” Karena sudah mulai akrab, aku pun tidak lagi memanggilnya Mbak. Itupun karena Hesti yang memintanya. “Oh ya, nanti pulang bareng yuk? Aku pulang dari Sunter sore hari, kamu pulang jam berapa?”

“Aku pulang jam 5 sore sih, mas, tapi gak usah repot-repot, aku naik angkot aja, nanti merepotkan mas Ardi lagi.” elaknya.

“Enggak merepotkan koq, Hes, daripada kamu naik angkot kemaleman sampe rumah. Nanti jam 5 aku tunggu di sini ya?” desakku.

“Ya udah deh, mas, tapi bener gak ngerepotin khan?” tanyanya lagi.

“Enggak koq, tenang aja. Oh ya, aku minta pin BB donk biar nanti gampang ngabarin kalo sudah sampai.”

Dia lalu menyebutkan serangkain huruf dan angka Pin BB-nya. “Ya udah, aku masuk dulu ya, mas.”

“Ok, Hes. Selamat bekerja ya.”

Hesti pun tersenyum manis padaku

Aku segera melajukan motorku dengan cepat ke arah kantorku di Sudirman, Sudah pasti terlambat ini. Tapi ya sudahlah, tinggal nanti cari alasan kenapa terlambat sama si boss.

***

Pukul 4 sore, aku buru-buru menuju mesin absen finger scan dan keluar dari kantor secepatnya. Segera kumenuju ke parkiran motor dan melaju ke Kelapa Gading untuk menjemput Hesti, sang wanita idaman lain. Hehehe...

Pukul 4. 40, aku pun tiba di Kelapa Gading. Aku sengaja menunggunya agak jauh dari kantornya agar tidak menimbulkan gossip dari rekan-rekan kerjanya. Segera kukirim pesan via BBM yang mengabarkan keberadaanku. Tak lama BBM itu pun berbalas kalo ia sedang membereskan pekerjaannya dan bersiap pulang.

Tak lama masuk lagi BBM darinya. Kali ini Hesti mengabarkan kalo ia harus mengikuti meeting mendadak dengan pimpinan karena ada kekacauan sytem administrasi yang terjadi di bagiannya. Dia mempersilahkan aku untuk pulang saja dan tidak usah menunggunya karena dia tidak tahu jam berapa meeting akan selesai. Tapi aku meyakinkan dia kalo aku akan tetap menunggu saja. Kasian juga kalo dia harus pulang malam naik angkot. Padahal sih dalam hati karena ada maunya, hehe.

Aku pun kembali menunggu di dekat sebuah kios rokok di pojokan tempat parkir komplek ruko tersebut. Untuk membunuh waktu, aku pun ngobrol dengan tukang parkir dan penjaga kios rokok tersebut.

Pukul 19.30, masuk BBM yang mengabarkan kalo Hesti sudah menyelesaikan meeting dengan pimpinannya dan sebentar lagi akan keluar kantor. Aku pun memberi tahu dimana posisiku. Tak lama sosok Hesti terlihat keluar disertai dua orang temannya. Setelah berpisah dengan teman-temannya, Hesti lalu berjalan menghampiriku di kios rokok.

“Ih, mas Ardi, sudah dibilangin pulang saja, masih aja nungguin aku,” gerutunya tapi sambil tersenyum.

“Biarin, abisnya kasian ngeliat kamu cantik-cantik malam-malam naik angkot.” ujarku sambil memujinya.

Hesti sedikit tersepu mendengar pujianku. “Ih, mas Ardi bisa aja, cantikan juga mbak Santi,” ia menyebut nama istriku.

Aku hanya tertawa saja menanggapinya. “Ya sudah, pulang yuk!” ajakku padanya.

Segera kupakai jaket serta helmku dan menyalakan mesin motor, Hesti pun segera menaiki jok motor. Akupun mulai melajukan motorku ke arah tempat tinggal kami.

Kurasakan hawa malam itu begitu dingin dan udara terasa lembab, tanda-tanda akan turun hujan. Dan benar saja, ketika aku melaju di jalan Pegangsaan Dua, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, hujan turun dengan derasnya, secara tiba-tiba. Aku pun segera berusaha mencari tempat berteduh. Tak lama aku pun menemukan sebuah warung yang sudah tutup dengan teras yang cukup untuk kami berteduh. Warung itu letaknya cukup tersembunyi dan tidak ada penerangan di terasnya. Penerangan hanya dari kendaraan yang lewat dan sedikit cahaya dari lampu merkuri penerang jalan.

Aku dan Hesti setengah berlari menghindari hujan menuju teras warung tersebut, sedang motorku kubiarkan di bawah guyuran hujan. Karena terlambat mencari tempat berteduh, kulihat pakaian Hesti sudah cukup basah terkena guyuran Hujan. Sedang aku, karena mengenakan jaket kulit, hanya celanaku saja yang basah.

Segera kulepaskan jaket yang kukenakan, dan kukibaskan agar air yang menempel di bagian luarnya mengering. Kusampirkan jaketku di pundak Hesti yang kulihat mulai menggigil kedinginan. Tangannya menyilang di depan dadanya. Kurapatkan jaketku agar ia bisa merasa lebih hangat. Ia melihat ke arahku dan megucapkan terima kasih dengan bibir yang sedikit gemetar menahan dinginnya suhu udara malam itu.

Kuperhatikan keadaan warung tersebut. Warung semi permanen itu dibangun dengan setengah tembok, setengahnya lagi kayu. Lantainya terbuat dari adonan semen dan pasir saja yang tidak diberi ubin. Kulihat kondisinya mulai sedikit berdebu, tampaknya warung ini sudah cukup lama tutup, mungkin karena bangkrut. Memang kulihat di sekitar warung tersebut suasananya cukup sepi, di sebelah kirinya terdapat lahan yang cukup luas yang tampaknya adalah garasi truk-truk ekspedisi yang malam itu terlihat kosong. Di sebelah kanannya adalah lahan kosong yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi.

Cukup lama kami berteduh di teras warung tersebut, hujan turun semakin deras disertai kilat dan petir. Hesti sering terpekik kala kilat menampakkan cahayanya di langit disertai suara petir yang menggelegar. Posisi berdirinya didekatkannya padaku. Aku pun berinisiatif setengah memeluknya dari belakang. Awalnya aku hanya memegang pinggangnya tetapi lama kelamaan aku pun melingkarkan tanganku di depan perutnya. Entah karena terbawa suasana atau kedinginan, Hesti mendiamkan saja perbuatanku itu. Kepala dan punggungnya malah disandarkan ke dadaku.

Aku terus memeluknya dari belakang sambil melihat ke arah jalan raya di mana lalu lintasnya semakin sepi. Sudah satu jam kami berteduh di tempat tersebut. Tidak ada satupun dari kami yang bersuara, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sambil memeluknya dari belakang, aku mencium wangi harum rambutnya yag tergerai basah. Karena posisi kami yang berhimpitan, mau tidak mau batang kemaluanku menempel di bongkahan pantatnya yang cukup kenyal. Dan sesekali bergesekan. Lama kelamaan hasrat kelelakianku pun bangkit. Kejantananku sedikit demi sedikit mengeras di balik celana jeansku. Hesti tampaknya menyadari perubahan biologis di tubuhku itu tetapi ia hanya melirikku sekilas sambil tersenyum.

Merasa mendapat lampu hijau, aku mulai berani untuk berbuat lebih. Segera kususupkan tanganku ke balik blus batiknya dan mengusap usap dengan halus dinding perutnya. Kurasakan otot-otot perut yang cukup liat dengan kulit yang halus. Bener-benar aduhai bodi si Hesti, batinku. Hesti sedikit mengelinjang ketika telapak tanganku menyentuh kulit perutnya.

Karena malam makin dingin dan hasrat kelelakianku terus bergejolak, kuberanikan diri memainkan tanganku lebih ke atas. Dengan cepat kususupkan ke balik bra yang dikenakannya. Hesti cukup kaget dengan apa yang kulakukan dan berusaha berontak dan menepis kedua tanganku, tetapi dengan tidak kalah cekatan, aku memeluknya lebih keras dari belakang dan kedua telapak tanganku mencengkram dengan cukup kuat payudaranya. Kurasakan payudara itu memiliki daging yang begitu kenyal dan terasa tonjolan puting susu yang makin mengeras. Segera saja aku mengusap-usap puting dan payudara Hesti dengan telapak tanganku.

Akhirnya pertahanan Hesti pun melemah, nafasnya mulai tersengal-sengal. Kuciumi leher jenjangnya dan ia pun menggelinjang sambil merintih tertahan. “Aaaahhhh…”

Karena tubuh Hesti yang menggelinjang, tubuhku pun sedikit terdorong ke belakang dan tersandar pada pintu warung. Tiba-tiba kunci pada pintu warung itu terlepas dikarenakan dudukan kayu tempat kait gembok pengunci warung tersebut sudah lapuk termakan rayap. Pintu warung itu pun terdorong sedikit terbuka.

Aku segera menghentikan kegiatanku dan segera menarik kedua tanganku dari balik bajunya. Segera kuambil senter kecil yang selalu kubawa dari kantong jaketku. Kudorong pintu warung itu agar terbuka lebih lebar, dan segera kusinari seisi ruangan itu dengan cahaya senterku. Ruangan di dalam warung itu berukuran 3 x 3 meter. Di dalamnya sudah kosong hanya ada sebuah lemari kaca yang sudah usang, mungkin bekas tempat meletakan barang dagangan. Sebuah bangku kayu seperti bangku yang biasa kita temui di sekolah dasar dan di pojokan ada sebuah bale/dipan yang terbuat dari potongan-potongan bilah bambu berukuran 1,5 x 2 m.

Ruangan itu sedikit berdebu dan di langit-langit kutemukan fiting lampu yang berisi bohlam kecil berdaya 5 watt dan saklar model tarik. Kutarik saklar tersebut dan ternyata lampu itu masih menyala, entah mendapat pasokan listrik dari mana, mungkin ada sambungan dari garasi truk di sebelahnya.

Ruangan itu menjadi lebih terang walau cahayanya masih temaram. Suhu dalam ruangan tersebut lebih hangat dibanding di luar. Segera saja Hesti kuajak masuk ke bagian dalam warung. Hesti agak ragu, tetapi kutarik lengannya agar ia segera masuk. Jauh lebih baik dan hangat di dalam di banding di luar.

Hesti meniup sedikit debu yang menempel pada bale-bale dan ia pun duduk di sisi bale tersebut. Aku segera menutup pintu warung dari dalam agar ruangan menjadi lebih hangat, dan aku pun duduk disamping Hesti, lama kami terdiam sambil menelisik dengan seksama keadaan ruangan tersebut.

Akhirnya aku teringat akan permainan kami yang terputus di luar tadi. Hesti lalu membuka jaket yang disampirkan di bahunya dan meletakkan di sandaran kursi kayu. Aku segera menggeser tubuhku dan memposisikan tubuhku berhadapan dengan Hesti. Hesti terlihat cantik di bawah cahaya temaram lampu 5 watt, rambutnya sedikit acak-acakan dan basah.

Segera saja kuraih tengkuk Hesti dengan tangan kananku dan mendekatkan wajahnya ke padaku. Segera kulumat bibir Hesti yang telah merekah. Sementara tangan kiriku melingkar di pinggangnya. Cukup lama kami berpagutan dengan posisi duduk saling berhadapan.

Aku pun mulai merebahkan tubuh Hesti ke bale-bale sambil mulut kami tetap berpagutan. Kugeser tubuhnya agak ketengah dan ia pun mengangkat kakinya naik ke atas bale-bale. Sudah tak kupedulikan lagi debu tipis yang menempel di bale tersebut. Hasrat kami jauh lebih menggebu di banding debu.

Sambil terus mengulum bibirnya, lidahku dengan liar mengeksplore rongga mulut Hesti. Kususupkan kembali tanganku ke balik blousenya dan berusaha meraih payudaranya. Kumainkan lagi puting susu itu dengan telapak tanganku walapun blouse dan bra masih menempel di tubuhnya. Namun lama kelamaan posisi itu tidak membuatku nyaman. Kuhentikan pagutan bibirku dan segera kutarik ke atas blouse batiknya. Hesti mengangkat tangannya ke atas dan mengangkat sedikit kepalanya. Blouse itu pun lolos dari tubuhnya.

Setelah blousenya terlepas, segera kuraih kait bra di punggung Hesti. Ia sedikit melengkungkan punggungnya agar tanganku mudah meraih dan melepas kait bra yang dikenakannya. Bra itu pun akhirnya terlepas. Kini tampak dihadapanku tubuh Hesti yang setengah telanjang dengan bentuk payudara yang bulat sempurna dan puting susu yang tidak terlalu besar berwarna coklat muda mendekati merah muda. Sesaat aku terpana dengan keindahan tubuh Hesti.

Hesti sadar aku memperhatikan tubuhnya lekat-lekat, ia pun mendekapkan tangannya menutupi payudaranya. Aku segera menarik tangan Hesti ke atas dan menahannya dengan tanganku. Payudara itu kembali mencuat dengan puting susu yang sepertinya menantang untuk dihisap. Segera saja kudekatkan wajahku ke payudaranya dan kuhisap puting susu payudara sebelah kirinya. Hesti melenguh dan punggungnya melengkung merasakan nikmat dari rangsangan yang kuberikan. Tanganku tetap menahan tangan Hesti di atas. Mulutku terus menghisap puting susu dan memainkannya dengan lidahku bergantian di kedua payudaranya.

Hesti menggelinjang makin hebat, kepalanya tergolek ke kanan ke kiri dengan mulut yang terus meracau menahan nikmat. “Aahhh… ouuhhh… ssshhhh…”

Cukup lama aku memainkan kedua payudaranya. Setelah puas, aku pun mulai membuka kancing dan retsleting celana jeans Hesti lalu meloloskannya melewati kedua tungkai kakinya. Celana dalam hitam berenda yang dikenakannya kulepas juga. Di hadapanku kini tampak gundukan daging yang ditumbuhi bulu halus yang tersusun rapi. Terlihat garis yang membentuk belahan memeknya berwarna kemerahan. Liang vagina itu terlihat sempit, hampir tidak percaya kalau Hesti sudah pernah melahirkan.

Dengan setengah berlutut di hadapannya, Kurenggangkan kedua pahanya dan kudekatkan wajahku ke liang vaginanya. Segera saja kusapukan dengan lembut lidahku ke liang vaginanya. Hesti kembali menjerit dan punggungya kembali melengkung. Kumainkan lidahku terus menembus liang vagina. Vagina itu benar-benar rapat dan wangi. Terus saja kusapukan lidakhku menerobos lobang kenikmatannya dan sesekali menyentuh klitorisnya. Hesti terus merintih dan menggelinjang. Liang itu benar-benar basah oleh cairan kewanitaannya. Kurasakan kedutan halus otot-otot vaginanya di lidahku.

Setelah cukup lama, aku pun bangkit. Sambil tetap berlutut di atas bale, aku melepaskan seluruh pakaian dan celana yang kukenakan termasuk celana dalamku. Kontolku langsung melejit keluar, tegak mengacung dengan urat-urat yang terlihat menonjol. Hesti sedikit kaget melihat ukuran kontolku. Ia pun bangkit. Sambil duduk bersimpuh di hadapanku, ia mulai memegang dan membelai kantung zakar dan batang penisku. Perlahan dikulumnya batang kontolku. Batang kontol yang cukup besar dan panjang terlihat tidak sanggup dikulum seluruhnya oleh bibir mungil Hesti. Tetapi aku cukup puas karena hisapan dan sapuan lidahnya yang lembut di batang dan kepala kontolku membuat aliran darah semakin deras mengalir ke urat-urat kejantananku. Kontolku pun semakin keras.

Cukup lama Hesti menghisap kontolku, akhinya kucabut perlahan batang kontolku dari mulutnya dan kurebahkan tubuh Hesti ke bale-bale. Kudekatkan kepala kontolku yang sudah basah oleh air liurnya ke arah liang vagina Hesti. Kedua pahanya direnggangkan dan lututnya ditekuk. Liang vagina itu sedikit merekah. Terlihat berwarna merah muda dan berkilat basah oleh cairan yang membanjirinya. Perlahan kutempelkan kepala kontolku tepat di pintu masuk liang vaginanya.

Kumajukan perlahan pinggulku dan kepala kontolku pun meyeruak masuk mencoba menembus pertahanan Hesti. Terasa sempit. Hesti pun sepertinya menahan rasa sakit. Ketika batang kontolku terbenam setengahnya di liang vaginanya. Kucoba memaju mundurkan batang kontolku perlahan. Akhirnya dengan sedikit paksaan, batang kontoku terbenam seluruhnya dalam liang vagina Hesti.

Hesti menjerit tertahan merasakan tubuhnya dimasuki batang kontol yang cukup besar. “Aaaacchhhhh… iiissshhhhttt… ooouuuuchhhh...”

Saking sempitnya, vaginanya terlihat menggembung, sesak menampung batang kontolku. Kudiamkan sesaat batang kontolku di dalam vagina Hesti. Merasakan sensasi kedutan-kedutan halus otot vaginanya yang mencengkram erat seluruh batang kontolku. Sunggung sensasi yang tidak terkira.

Perlahan kumaju mundurkan pinggulku lagi dan penisku terlihat bergerak maju mundur di liang vaginanya. Batang itu terlihat basah berkilat dilumuri cairan kewanitaan Hesti. Semakin lama kupercepat gerakan pinggulku dan Hesti pun makin meracau dan merintih merasakan kenikmatan persetubuhan kami. “Aaacchhhhh… ooouuchhhh… acchhhhh… sssttt… mmmaaaasss…”

Terus saja kuhujamkan batang kontolku ke vagina Hesti. Posisiku setengah berlutut di topang kedua tanganku yang diposisikan mengapit kedua payudara Hesti. Daging kenyal itu bergesekan dengan kulit lenganku menciptakan sensasi tersendiri. Payudara itu terus berguncang mengikuti irama sodokan pinggulku.

Serunya aktifitas kami di atas bale-bale menciptakan suara berderit yang cukup riuh di ruangan tersebut. Belum lagi suara nafas kami yang memburu dan rintihan serta suara Hesti yang terus meracau, menciptakan suara-suara di malam sunyi itu.

Tiba-tiba Blackberry Hesti berdering, Hesti agak kaget. Segera diraihnya Blackberry yang diletakan di dalam tas tak jauh dari tubuhnya. Terlihat nama suaminya di layar BB. Hesti memberi kode dengan telunjuknya, memintaku agar berhenti sesaat menggenjot tubuh sintalnya.

“Iya, mas…” jawab Hesti. “Aku masih di jalan, ini lagi berteduh. Aku numpang sama temen naik motor,” Hesti pun berbohong pada suaminya. “Iya, sebentar lagi aku jalan,” tutupnya. Begitu bunyi percakapan Hesti dengan suaminya di telepon.

Ketika menerima telpon, aku tidak menghentikan genjotanku, aku hanya mengurangi temponya, sehingga ia pun berbicara sedikit tertajah agar tidak sampai merintih. Dicubitnya perutku, sambil merajuk. “Hampir aja ketahuan,” ujarnya.

Tidak tampak perasaan bersalah di wajahnya walau vagina yang seharusnya menjadi hak suaminya tengah dimasuki oleh kontol tetangganya. Tampak birahinya yang menggebu mengalahkan logika dan akal sehatnya.

Segera aku menggenjot kembali pinggulku dengan tempo yang lebih cepat. Hesti kembali merintah dan tak lama ia pun menjerit panjang sambil meremas lenganku dengan kerasnya. Di bawah sana terasa kedutan dan otot vaginanya mencengkram makin keras di barengi dengan punggungnya yang sedikit melengkung menahan ledakan kenikmatan yang dirasakannya. Hesti mencapai klimaksnya.

Melihatnya mengalami orgasme, aku pun makin mempercepat tempo permainanku. Sudah 40 menit aku menggempurnya dengan posisi misionaris. Tak lama, pertahananku pun mulai jebol. Tempo sodokanku makin cepat lagi. Tubuhku mengejang dan pinggulku kudorong kuat-kuat sehingga kantong zakarku membentur bibir vaginanya. Ujung penisku pun terasa menyentuh mulut rahimnya. Spermaku menyemprot dengan deras ke dalam liang vaginanya. Batang kontolku berdenyut dengan kerasnya.

Hesti merasakan sensasi kenikmatan yang tiada tara. Matanya terpejam, mulutnya setengah terbuka. Suara rintihan tertahan keluar dari mulutnya seiring sensasi aliran lava hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya. Tangannya tiba-tiba mencengkram tengkukku dan menarik wajahku mendekat padanya. Dilumatnya bibirku dengan liarnya. Digigit-gigit juga bibir bawahku dan lidahnya menyapu liar setiap sisi rongga mulutku. Terlihatlah sisi liar Hesti.

Tubuh kami berhimpitan, tubuhku masih menindih tubuhnya. Payudaranya yang cukup keras tertindih dadaku. Keringat kami bercampur jadi satu. Cairan kelamin kami pun berpadu di liang vagina Hesti. Batang kontolku masih tertanam seluruhnya. Otot vagina Hesti mencengkram dengan erat, sepertinya enggan melepaskan batang kontolku. Hujan di luar makin reda seiring berakhirnya pertempuran kami. Suhu ruangan tidak lagi dingin namun panas, diiringi suara desah nafas kami yang terengah-engah.

Perlahan aku melepaskan bibir Hesti dan mengeluarkan batang kontolku dari vaginanya. Terlihat batang kontolku sangat basah. Dan kulihat lubang memeknya yang tadi sempit kini merekah seperti bunga dan terlihat lelehan cairan putih spermaku. Aku pun bangkit berdiri dan mulai berpakaian. Hampir satu jam kami bersetubuh di warung itu.

Hesti tampaknya benar-benar kepayahan. Aku pun membantunya untuk bangkit dan mengenakan pakaiannya. Kepalanya di sandarkan di bahuku dan kupapah tubuhnya menuju motor yang terpakir di luar. Dengan lembut Hesti mencium pipiku sambil berbisik. “Besok lagi ya, sayang…”