Minggu, 04 Agustus 2013

Antara Cinta, Kebencian dan Nafsu

Pemakaman sahabat karibku Niko membuatku harus bertemu dengan seseorang yang telah menggoreskan luka hati yang teramat dalam. Erfina istri sahabat karibku yang tak lain adalah orang yang pernah mengisi kekosongan relung hatiku dengan kasih dan sayangnya. Kami pernah memiliki mimpi akan masa depan yang begitu indah, dengan membangun sebuah keluarga kecil yang sempurna. Namun nampaknya kesempurnaan itu memang hanya milik-Nya semata. Semua mimpi-mimpi indahku terampas oleh sebuah perselingkuhan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

***

Dua hari yang lalu, bekas teman satu almamaterku yang juga sahabatku, Winda memberi kabar duka cita bahwa Niko meninggal dunia. Darinya aku mengetahui bahwa dua minggu lalu Niko mengalami kecelakaan lalu lintas. Oleh dokter ia di diagnosa mengalami cedera kepala berat atau gegar otak. Semenjak itu ia tidak sadarkan diri dan mengalami koma. Terhenyak aku mendengar kabar duka tersebut. Tujuh tahun sudah aku berusaha melupakan namanya. Ya, Niko sahabat baikku, yang selama ini telah aku percaya melebihi saudara, tetapi telah begitu tega merampas semua mimpi-mimpi dan kebahagiaanku. Ia juga merebut wanita yang begitu aku sayangi, Erfina.

***

Roda-roda pesawat yang aku tumpangi dari Jakarta menjejak dengan sempurna di runway Bandar Udara International Ngurah Rai Bali. Cuaca begitu cerah dengan angin yang berhembus lembut. Namun segala kenangan pahitku di pulau ini begitu menyesakkan dada, sehingga aku harus menarik nafas panjang.

Entah dorongan apa yang membuatku mau kembali ke sini. Walau aku membencinya, tetap masih ada satu ruang kosong di sudut hatiku, mencintai Erfina. Naluri mendorongku untuk berada di sisi orang yang pernah kusayang di saat terberat dalam hidupnya.

Setelah mengambil travel bag yang tidak seberapa besarnya, kulihat Winda di kejauhan menyambutku di pintu keluar terminal kedatangan domestik. Winda seorang wanita yang cerdas, sifatnya periang,walau cenderung tomboy, namun Winda memiliki paras yang cantik dengan tubuh mungilnya yang aduhai. Mengingatkanku akan Yuni Shara. Kehadirannya selalu mampu menghidupkan suasana dengan segala celotehan dan keisengannya. Walau kita berdua saling dekat dan mengagumi kepribadian masing-masing, namun tidak pernah ada cerita cinta di antara kita berdua. Belum mungkin. Hehehe. Winda lebih memilih Arya seorang calon dokter sebagai kekasih yang saat ini menjadi suaminya. Aku pun mengenal Arya dengan baik.

Persahabatanku dengan Winda dan Niko dikarenakan kami berasal dari satu fakultas yang sama, dan yang lebih mempererat persahabatan kami, kami memiliki satu hobby yang sama yaitu traveling.

Winda menyambutku dengan senyum khasnya, walau terlihat sedikit gurat duka di wajahnya. kami saling mencium pipi. Hal ini biasa kami lakukan mengingat kedekatan hubungan kami. Winda lalu mengajakku menuju mobilnya yang terparkir di area parkir. Winda berniat mengantarku ke Hotel tempatku menginap di kawasan Pantai Jimbaran. Sepanjang perjalanan, Winda menceritakan tentang kehidupan Niko dan Erfina selama rentang tujuh tahun ke belakang sampai kejadian kecelakaan yang Niko alami.

Mereka menikah tidak lama setelah kejadian malam laknat itu. Kehidupan mereka sering dibumbui pertengkaran, karena ternyata Erfina masih sangat mencintaiku dan menyesal dengan perbuatannya. Dari Winda pun baru aku tahu jika ternyata kejadian malam itu adalah perbuatan mereka yang pertama kali dan tidak pernah berselingkuh sebelumnya. Erfina malam itu hanya sedang butuh teman ngobrol karena sedang menghadapi masalah di kampusnya. Karena pada saat itu aku sedang berada di Lombok, ia pun curhat pada Niko, entah karena terbawa suasana atau apa, terjadilah hal yang akhirnya mereka sesali.

Aku menarik nafas panjang dan lebih banyak diam mendengarkan Winda bercerita. Hanya sesekali aku menanggapinya. Itu pun hanya singkat saja.

***

Jam sepuluh pagi, matahari mulai memancarkan panasnya di area pemakaman Mumbul, Badung Bali. Acara pemakaman Niko sudah dimulai. Peti jenazah berwarna putih terlihat berada di atas lubang kubur yang sudah terbuka. Di sebelahnya, seorang pendeta tampak tengah membacakan ayat-ayat dari kitab suci. Di sekeliling lubang kulihat keluarga dan para pelayat yang sebagian kukenal juga. Mereka menundukkan kepala, ikut merasakan suasana kesedihan dari keluarga yang berduka.

Tepat di sebelah peti jenasah, kulihat Erfina berdiri diapit kedua mertuanya. Wajahnya masih memperlihatkan paras yang cantik dan terpancar keanggunan yang pernah aku gila-gilai. Bibir tipisnya tersaput lipstick berwarna merah bata. Rambutnya kini hanya sebahu berpotongan bob. Sebagian poninya menutupi wajahnya yang menunduk memancarkan kesedihan. Tubuh rampingnya dibalut dress hitam berpotongan sederhana, makin memancarkan aura cantik yang dimilikinya. Di sebelahnya kulihat sosok anak laki-laki yang kutaksir berusia 5 tahun dan menggandeng tangan Erfina. Wajahnya mirip sekali dengan Niko.

Sosok Erfina tetap lekat kupandangi dari balik Ray Ban Aviator yang kukenakan. Aku berdiri agak jauh, sekitar 5 meter di depannya. Di belakang beberapa pelayat dan Winda berdiri di sebelahku.

Ketika pendeta selesai membacakan ayat-ayat kitab suci, Erfina mengangkat kepalanya yang tertunduk dan tanpa sengaja pandangannya menangkap sosokku di belakang beberapa pelayat yang ada di hadapannya. Ia tampak terkejut melihat keberadaanku di tempat itu. Aku segera menganggukkan kepala sambil tersenyum. Terlihat Erfina mencoba tersenyum padaku, namun kikuk.

Semenjak menyadari kehadiranku di acara pemakaman suaminya, Erfina terlihat sering mencuri pandang ke arahku. Jujur melihatnya saat itu, terbersit kembali rasa sayangku padanya. Ingin kupergi memeluknya dan memberikan penghiburan di saat sedih seperti ini. Namun luka batin yang telah tergores, sudah terlalu dalam menyayat dan terasa menyakitkan. Perselingkuhan Erfina dan Niko sulit untuk kumaafkan. Pandanganku pun kosong teringat kejadian malam laknat tujuh tahun silam.

***

Sudah seminggu aku tergabung menjadi tim relawan yang terdiri dari beberapa kelompok Mapala dari berbagai universitas dibantu aparat TNI, Polri dan SAR untuk mencari keberadaan salah satu pendaki yang hilang di Gunung Rinjani, Lombok. Selama seminggu itu pula aku bersama timku mendaki Rinjani, menyusuri setiap tebing dan lembah dan berusaha mencari petunjuk akan keberadaan pendaki tersebut. Cuaca yang sering kali tidak menentu dan medan yang berat makin menyulitkan pencarian kami. Fisik dan mentalku benar-benar terforsir dalam misi kemanusiaan ini.

Tepat pada hari kedelapan, tim lain yang terdiri dari gabungan TNI dan beberapa mahasiswa pencita alam dari universitas lain menemukan pendaki itu. Ia terperosok ke salah satu jurang dekat dengan Danau Segara Anak. Sayangnya nyawa pendaki tersebut tidak dapat diselamatkan. Ia mengalami hypothermia dan patah tulang di beberapa bagian akibat terperosok jurang sedalam 75 meteran.

Mendengar kabar ditemukannya pendaki tersebut, batinku pun gembira karena akan segera pulang dan bertemu kembali dengan kekasihku Erfina. Seminggu tidur di tenda dengan cuaca yang begitu dingin membuatku selalu teringat akan kehangatan yang Erfina berikan setiap kali kami bersetubuh. Aku rindu untuk memagut bibirnya yang tipis. Menelanjangi dan terus menyetubuhinya sampai pagi di kamar kostku seperti yang biasa kami lakukan kalau sedang birahi. Walau bertubuh ramping, dan payudaranya hanya berukuran 34A, namun bentuknya bulat sempurna. Puting susunya mencuat berwarna merah muda. Sering aku menghisap puting itu sampai kadang Erfina berteriak kesakitan karena aku terlalu bernafsu menghisapnya. Bokongnya putih bulat yang sering aku topang dengan kedua tanganku ketika kami bersetubuh dengan posisi berdiri.

Erfina memiliki sex appeal yang tinggi. Ia mampu mengimbangi permainan seksku sampai pagi. Untuk urusan seks, aku memang memiliki stamina yang tinggi karena aku mengimbanginya dengan makanan yang sehat dan tidak merokok. Didukung lagi dengan aktifitasku yang senang olahraga petualang yang mebuat masa otot tubuhku pun mengeras. Ukuran penisku pun termasuk besar dengan urat-urat yang menonjol. Sering sekali kulihat liang vagina Erfina begitu sesak menampung batang penisku. Namun Erfina menikmatinya.

Aku teringat saat aku memperawaninya pertama kali dua tahun yang lalu. Kami sama-sama berusia 19 tahun saat itu dan sama lugu untuk urusan seks. Kami sudah berpacaran satu tahun dan pada akhirnya memutuskan untuk melakukan hubungan badan setelah kami yakin dengan hubungan kami. Tersenyum aku ketika kuingat bagaimana sulitnya batang penisku yang besar menembus selaput dara Erfina. Liang vagina sempit yang ditumbuhi bulu halus yang masih jarang harus terkuak disesaki dengan batang penisku yang memompa dengan semangatnya. Rintihan Erfina begitu keras terdengar, aku takut jika ada penghuni kost lain mendengar rintihan kami siang itu.

Setelah setengah jam aku menyetubuhinya, dan hanya bergaya misionaris saja, aku mengalami ejakulasi yang pertama. Spermaku kutumpahkan di atas perut Erfina karena ia masih belum siap untuk hamil. Semenjak aku memperawaninya, hampir setiap hari kami bersetubuh.

Sebelum keberangkatanku ke Lombok, aku sempat membeli sepasang cicin emas dan tergrafir namaku dan Erfina. Kubeli dengan nilai rupiah yang cukup tinggi, hasil dari usahaku menabung selama beberapa tahun. Dengan sepasang cincin tersebut aku berencana meningkatkan hubungan kita pada tahapan yang lebih lanjut. Ya aku akan melamarnya menjadi istriku ketika lulus nanti.

***

Siang itu aku pun berangkat dari Lombok bersama teman-temanku dengan menumpang truk milik TNI dan rencananya akan tiba di kota Denpasar pada malam hari. Senang hatiku karena akan bertemu kekasih hatiku.
Pukul satu dini hari aku tiba di kota Denpasar, lalu aku langsung menuju tempat kost Niko untuk mengambil kunci kamar kostku yang kutitipkan padanya. Aku berjalan kaki dari kampus dengan menggendong carrier yang cukup besar menuju tempat kost Niko yang berjarak sekitar 1 km dari kampus.

Tiba di tempat kostnya, suasananya sangat sepi. Waktu itu berbarengan dengan jadwal libur akhir semester, jadi sebagian penghuni kost tersebut menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya masing-masing. Rumah orang tua Niko di Kuta Selatan, sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Denpasar, namun ia memutuskan untuk kost dengan alasan ingin belajar mandiri. Lagi pula ia memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan dengan ayah tirinya. Kepulanganku tidak kuberitahukan pada Niko dan Erfina. Aku ingin memberikan kejutan pada keduanya.

Aku berjalan menyusuri deretan kamar kost yang sebagian kosong ditinggal penghuninya pulang kampung. Kamar kost Niko terletak di paling ujung belakang komplek kost ini. Tiba di depan kamar kost Niko, aku urungkan niatku untuk mengetuk pintu kamar ketika kudengar suara orang yang sedang berbisik di dalam kamar. Dan kulihat ada sepasang sandal wanita di depan pintu.

Ah sialan, Niko lagi indehoy dengan Mita kayaknya, aku membatin. Niko memang memiliki seorang kekasih bernama Mita yang berasal dari Surabaya. Mita kuliah di Fakultas Sastra, Di Denpasar Mitha juga kost, tetapi letaknya sekitar 3 km dari tempat ini. Mita berperawak sedang cenderung montok. Tingginya hanya 155 cm namun memiliki paras yang manis. Kulitnya sawo matang.

Aku tidak mau mengganggu aktifitas Niko. Walaupun sahabat, aku tak mau mencampuri privasinya. Kuturunkan carrier dari punggungku dan meletakkannya perlahan ke lantai teras kamar. Aku pun duduk di lantai bersandar di dinding sambil melepas lelah.

Sayup kudengar desahan nafas yang memburu dari dalam kamar disertai suara rintihan wanita yang merasakan nikmatnya persetubuhan. Sambil tersenyum, aku membayangkan tubuh Mitha yang sintal tengah digenjot oleh Niko yang bertubuh kurus. Cahaya lampu di dalam kamar tetap menyala walau temaram. Suara nafas dari dalam kamar makin lama makin memburu diselingi suara teriakan kecil yang tertahan, suara derit tempat tidur kayu juga semakin riuh terdengar, menandakan serunya aktifitas di atasnya.

Tiba-tiba aku dikejutkan suara teriakan Niko yang tertahan menyebut nama Fina. Setahuku pacar Niko bernama Mita, kenapa memanggil Fina? Rasa penasaranku pun terusik. Secara perlahan kutarik kursi kayu yang ada di teras mendekati jendela. Aku pun berdiri di atas kursi kayu, berusaha mengintip ke dalam kamar melalui ventilasi udara di atas jendela. Ketika aku berhasil melihat ke dalam, sungguh pemandangan menyesakkan dada yang aku dapati di atas ranjang Niko.

Di bawah sinar lampu aku mendapati sosok Niko yang tengah bersemangat menyetubuhi Erfina kekasihku. Erfina tergolek pasrah, terlentang di bawah tubuh Niko. Tangannya mencengkram erat rangka tempat tidur di atas kepalanya. Payudaranya terpampang dengan jelas dan mulut Niko dengan bebasnya menjilat putting susu Erfina. Kepala Erfina menengadah ke atas dengan mata setengah terpejam namun mulutnya terbuka sambil mengeluarkan rintihan tak beraturan.

Di bagian bawah tubuhnya, pantat Erfina diganjal dengan bantal sehingga bukit kemaluan yang ditumbuhi bulu halus terlihat menyembul. Sempitnya liang vagina Erfina yang biasanya dimasuki batang penisku, malam ini penuh sesak oleh batang kemaluan Niko yang terlihat basah keluar masuk memompa rongga kewanitaan Erfina. Pinggul Niko terlihat cepat melakukan gerakan mendorong dan menarik. Yang menyedihkan lagi, pinggul Erfina terlihat ikut bergoyang ke kiri ke kanan mengimbangi sodokan Niko menandakan Erfina ikut menikmati persetubuhan itu.

Mendidih darahku dibuatnya, segera saja kuterjang pintu kamar itu dengan tendangan kakiku. Pintu terbuka dengan paksa dan merusak kunci-kuncinya. Erfina dan Niko kaget bukan kepalang. Keduanya meneriakkan namaku berbarengan.

Karena badanku lebih besar, mudah saja kutarik badan Niko dari atas tubuh Erfina. Penisnya yang tertanam di liang vagina Erfina tercabut dengan paksa. Segera kuhantam wajah Niko dengan kepalan tanganku tepat di hidungnya dan termuncratlah darah segar.

Sumpah serapah dan ribuan nama penghuni kebun binatang yang bisa kuingat, keluar dari mulutku. Umpatan dan caci maki pada Niko dan Erfina meluncur dengan deras dari mulutku. Sungguh tega mereka berdua mengkhianatiku dan merampas kebahagiaanku.

Kulihat Erfina shock, segera ia menarik sprei dan menutupi tubuhnya yang telanjang sambil meringkuk di pojok tempat tidur, Dengan mulai terisak, ia memohon ampun padaku.

Masih bertelanjang bulat, segera kutarik tubuh Niko keluar kamar. Terus Kuhujani tubuhnya dengan pukulan dan hantamanku yang bertubi-tubi. Perut dan wajahnya menjadi sansak hidup luapan emosiku malam itu. Niko tidak berani membalas, ia hanya berusaha melindungi tubuhnya sebisa mungkin. Hampir saja kutimpa kepala Niko dengan kursi kayu yang ada di teras ketika dua orang penghuni kost lain yang mendengar keributan malam itu menahan tanganku dan kursi yang sudah kuangkat tinggi-tinggi itu. Aku terus berontak ingin menghajar Niko yang sudah mulai terhuyung. Namun Bli Wayan sekuriti kampus yang kost di tempat itu juga serta Parjo, mahasiswa fakultas pertanian menahan tubuhku. Seorang penghuni kost lain Denis, mencoba menjauhkan Niko dari jangkauanku.

Sekilas kulihat penghuni kost yang tersisa keluar kamar, bahkan beberapa penghuni kost di luar komplek itu pun berdatangan ingin melihat keributan apa yang telah terjadi. Sumpah serapah terus keluar dari mulutku yang membuat orang-orang mulai mengerti apa yang terjadi. Gunjingan dan cemooh pun kini mengarah ke Niko. Kulihat Niko memegangi hidungya yang berdarah sambil tertunduk. Tubuhnya diberi handuk oleh Denis agar tertutup. Niko tidak berani memandangku sedikitpun. Ia hanya terdiam. Bli wayan dan Parjo terus menahan tubuhku dan menenangkanku.

Ketika aku mulai tenang, mereka pun melepaskanku. Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Erfina masih meringkuk di sudut tempat tidur. Tangisannya meledak sambil menatapku penuh iba. Berjuta kata maaf dan ampun meluncur dari mulutnya. Aku hanya terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan. Mataku tajam menatap matanya. Hatiku benar-benar hancur. Aku yang biasanya tegar pun akhirnya menangis. Jika lelaki sudah menangis, berarti dia sudah sangat tersakiti. Air mata meleleh keluar dari kelopak mataku. Kuusap air mata itu dengan punggung tanganku. Kutengadahkan kepalaku untuk menahan air mata itu mengalir deras. Aku tidak mau terlihat lemah malam itu.

Kotak cincin yang dilapisi beludru, dan di dalamnya berisi sepasang cincin emas yang terpatri namaku dan Erfina, kuambil dari kantong jaket Mapalaku. Kubuka dan kupandangi kedua cincin itu dengan batin teriris. Kudekati tubuh Erfina dan kuraih tangannya. Tangisannya meledak lagi dan berusaha memelukku. Tidak lagi dipedulikannya spreinya yang terlepas dan memperlihatkan kedua payudaranya yang menggantung bebas. Kudorong tubuh Erfina dengan halus dan kututupi tubuh bugilnya dengan sprei. Kubuka dan kuletakan kotak cincin itu dalam genggaman tangannya.

Sambil menahan tangis aku pun berusaha tegar dan berucap, “Fi, aku menyayangi kamu sepenuh hati. Kamu satu-satunya gadis yang kucintai lebih dari apapun di dunia ini. Tapi tampaknya kamu lebih mencintai sahabatku. Aku tidak menyalahkan kamu, hidup itu penuh pilihan bukan?”

“semua mimpi-mimpi kita tentang masa depan, mulai malam ini akan aku kubur dalam-dalam. Aku hanya berharap kamu akan selalu hidup bahagia dengan sahabatku. Aku rela. Aku yakin Niko akan menjagamu dengan baik. “

“Jaga dirimu baik-baik. Jangan sia-siakan lagi cinta orang yang menyayangi kamu. Selamat Tinggal.”

Erfina menjerit memanggil namaku ketika kulepaskan tangannya, ia mencoba memegang tanganku namun kutepis.

“Ardi, maafkan aku!!!” teriaknya.

Aku berbalik dan keluar kamar, kuhentikan langkahku dihadapan Niko. Kutepuk pundaknya perlahan. Niko tetap menunduk. “Tolong jaga Erfina baik-baik untukku. Sayangi dia seperti aku menyayanginya. Jangan sia-siakan dia.” ucapku padanya.

Selesai mengatakan itu kuangkat carrier ke punggungku dan berjalan menuju tempat kostku. Beberapa orang menepuk pundakku. Di bawah cahaya purnama, hatiku hancur berkeping-keping. Harapanku sirna.

Aku langsung berkemas dan meninggalkan Bali dini hari itu juga menggunakan Elf menuju pelabuhan Gilimanuk, menyeberang ke Banyuwangi selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Jakarta dimana tempatku berasal.

Tidak pernah lagi aku bertemu bahkan mendengar kabar Niko dan Erfina sampai dengan saat Winda menghubungiku dua hari yang lalu.

***

Prosesi pemakaman Niko pun berakhir, peti jenazahnya telah diturunkan ke dalam liang lahat. Jasad fana telah menyatu dengan bumi. Kulihat Erfina bersimpuh di sisi gundukan tanah merah sembari menabur bunga di pusara suaminya. Kemudian ia berdiri menyalami beberapa pelayat yang menghampirinya mengucapkan turut berbela sungkawa.

Aku pun membalikkan badan dan berjalan menjauhi kerumunan para pelayat menuju mobil Winda. Winda mengiringi di sisiku. Tiba-tiba ada suara halus yang sangat aku kenal dan rindukan memanggil namaku.

“Ardi, tunggu…” Erfina memanggilku.

Langkahku terhenti. Winda memberi isyarat untuk meninggalkanku bersama Erfina.

Aku berbalik badan dan kulihat Erfina sudah di belakangku meninggalkan kerabatnya. Anaknya dititipkan ke mertuanya. Aku mencoba tersenyum padanya. Getir.

“Ardi…” Erfina tidak melanjutkan kalimatnya. “Ada yang ingin aku sampaikan,” lanjutnya lagi.

Aku tahu dia akan membahas kejadian tujuh tahun silam.

“Erfina, aku rasa saat ini waktunya tidak tepat. Aku tahu apa yang akan kamu bicarakan,” jawabku.

“Aku minta maaf, Di…” Erfina meratap.

“Sstt… jangan bicara begitu lagi. Aku sudah memaafkan kamu jauh sebelum kamu minta maaf, jadi tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku turut berduka cita akan kematian Niko. Aku harap kamu tabah dan bisa menerimanya sebagai kehendak sang Khalik.”

Erfina terisak, kulihat air matanya menggenang di kelopak matanya yang bening, dan akhirnya meleleh di pipinya.

Kusapu air mata itu dengan jariku. Tersentuh kulit pipinya yang halus. Erfina makin terisak.

“Sudah jangan menangis, anakmu sangat membutuhkanmu saat ini, aku pun sudah melupakan kejadian malam itu. Kejadian itu membuat aku lebih menyadari arti hidup yang sesungguhnya. Tidak semua yang kita cintai bisa kita miliki. Salamku untuk kedua orang tuamu.”

Aku berniat membalikkan badan ketika Erfina menahan tanganku. Pada saat itu lewatlah beberapa pelayat yang melihat kejadian itu. Segera saja kutepis tangannya dengan perlahan.

“Sudah lah, Fi, janganlah kita terjebak masa lalu. Kamu harus melanjutkan hidupmu yang masih panjang. Jadilah ibu yang baik untuk anakmu. Biarlah kenangan yang kita miliki menjadi kenangan terindah yang pernah kita miliki. Selamat tinggal,” tutupku.

Akupun melangkah menjauhinya untuk menuju mobil Winda yang telah menungguku, Erfina menatap punggungku sambil terus terisak.

Dari audio mobil yang membawaku ke Bandara, terlantun suara merdu Momo Geisha .

Terima kasih tuk luka yang kau beri
Ku tak percaya kau tlah begini
Dulu kau menjadi malaikat di hati
Sampai hati kau telah begini

berkali-kali kau katakan sendiri
Kini ku tlah benci, cintaku tlah pergi

Pergi saja kau pergi, tak usah kembali
Percuma saja kini hanya mengundang perih
Cukup tahu ku dirimu, cukup sakit ku rasakan kini

Janji yang selalu ku ingat hingga mati
Kau setia hingga ku kembali


Erfina, aku mencintaimu tetapi luka hati yang kau goreskan sulit untukku bisa pulih lagi.

***

#Winda

Betapa hati ini ikut tercabik mendengar perselingkuhan Erfina dan Niko. Gosip itu begitu cepat menyebar, menggemparkan dan ramai digunjingkan mahasiswa Fakultas Ekonomi pagi itu. Banyak dari mereka yang membicarakan keributan yang terjadi di tempat kost Niko. Di pojok tempat parkir, kantin kampus dan ruang kelas masih banyak yang berbisik-bisik membicarakan kejadian dini hari tadi.

“JADI KAMU GAK TAU?” teriak Fani padaku ketika kutanya apa gerangan yang terjadi.

“Tau apa?” tanyaku lagi.

“APA!!!” giliran aku yang berteriak ketika Fani menceritakan yang sebenarnya terjadi. Bergegas kutinggalkan Fani di kantin yang masih terbengong-bengong melihat tingkahku.


Segera kucari keberadaan Ardi sahabatku. Setiap ruang kelas, perpustaakan, Ruang Senat hingga toilet pria, aku telisik mencari sosok pria maskulin sahabatku itu. Aku tanya setiap orang yang aku temui, apakah mereka melihat Ardi. Dan semuanya menjawab tidak melihatnya.

Kucari kunci mobil di dalam tas, setengah berlari aku menuju tempat parkir. Dengan cepat kukendarai Jazz hitamku menuju tempat kost Ardi.

Begitu tiba, segera kutemui Bapak pemilik kost yang sama terkejutnya denganku karena Ardi menghilang tiba-tiba. Pak Made ternyata juga sudah mendengar kejadian dini hari itu karena memang tempat kost Niko adalah milik tetangganya juga.

Aku minta ijin pada Pak Made untuk bisa melihat keadaan kamar kost Ardi dan diijinkan. Kamar kost itu terlihat rapi. Tempat tidur, sprei, bantal dan selimut semuanya dalam keadaan terlipat rapi. Meja belajar masih menyisakan beberapa buku diktat dan buku-buku filsafat yang tampaknya tidak sempat terbawa. Kubuka satu-satunya lemari pakaian yang ada di ruangan itu, tidak ada sehelai pakaianpun yang tertinggal. Kupandangi poster besar Ernesto “Che” Guevara idolanya yang hanya melihatku diam dengan sorot matanya yang tajam. Kemana dia El Che? tanyaku padanya. Tentu saja poster itu tidak menjawabnya. Bisu.

Aku baru tersadar, kenapa aku tidak telpon dia saja. Segera kuraih Nokia N70 milikku dan kucari di phone book nama Ardi. Begitu ketemu segera kutekan tomboll call untuk menghubunginya. Hanya ada suara seorang wanita yang menyatakan bahwa nomor yang kuhubungi sedang berada di luar jangkauan. Selanjutnya hening. Ardi benar-benar menghilang.

***

Suara dering yang menyatakan adanya pesan masuk ke dalam Nokia N70 membangunkanku di Minggu pagi itu. Dengan mata masih setengah mengantuk, kuraih handphone yang kuletakkan di atas Nakas sisi tempat tidur. Kulihat sebaris nomor asing, si pengirim pesan tidak tercantum dalam phonebook. Paling orang iseng lagi yang mengajakku berkenalan. Gak ada kerjaan, gangguin orang tidur saja, begitu aku membatin. Namun mataku segera terbelalak begitu membaca isi pesan dan siapa pengirimnya.

Selamat Pagi Winda, ini aku Ardi. Maaf membangunkanmu pagi-pagi begini. Aku tahu kamu masih belum bangun. Makanya jangan kebanyakan dugem, non.

Tersenyum aku membaca SMS itu. Berkat Ardi, aku tidak pernah menyentuh Club malam lagi. Sahabatku sudah berhasil merubah tabiat jelekku yang menyukai kehidupan malam. Segera kulanjutkan membaca sms itu.

Kamu mungkin sudah mendengar kejadian dini hari itu dan mungkin kamu terkejut. Aku pun tidak menyangkanya sama sekali. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang dapat aku lakukan lagi. Hanya penyesalan yang tersisa. Maaf Aku tidak mengabarimu sama sekali, tetapi sekarang aku sudah di Jakarta. Walau sakit itu masih terasa, aku harus menata hidupku kembali. Masa depanku jauh lebih berharga dibanding kesakitan yang aku alami. Biarlah pengalaman pahitku menjadi cerita masa lalu. Oya… kamu tidak usah menghubungi aku lagi, biar aku yang menghubungi kamu suatu saat nanti. Jaga dirimu baik-baik, Winda. Be a good girl. I Promise I’ll see you one day. Big Hug… Ardi.

Tanpa terasa air mata ini menetes membaca sebait SMS sahabatku Ardi. Itu yang kusuka darinya, di tengah kesulitan dan kesakitan yang di alami, dia mampu tetap tegar. Bodohnya Erfina menyia-nyiakan cintamu. Tapi tahukah kamu Ardi, aku pun sangat mencintaimu. Tidak sanggup aku katakan perasaan ini karena kamu telah memilih Erfina. Sorot matamu yang tajam, selalu bisa menentramkan gejolak hatiku.

***

Teringat beberapa bulan yang lalu, Siang itu di kantin kampus, dengan semangatnya Ardi menceritakan serunya persetubuhan dirinya dengan Erfina. Siang itu memang sepi, mahasiswa lain banyak yang sudah kembali pulang. Kami masih berada di tempat itu karena aku sedang menunggu dosen Akuntansi yang menjadi pembimbing skripsiku. Ardi sebenarnya tidak ada urusan, dia hanya menemaniku biar aku tidak kesepian.

Dengan gamblangnya Ardi menceritakan berbagai gaya bercintanya dengan Erfina. Buku Kamasutra yang pernah dibaca menjadi referensi baginya. Menggelinjangnya tubuh Erfina ketika kejantanan Ardi menerobos liang vagina Erfina diceritakannya dengan detail. Bahkan apa yang diteriakkan oleh Erfina pun tidak luput ia ceritakan. Bagaimana ia menggenjot tubuh Erfina yang tergolek pasrah berkeringat di bawah tubuhnya dibumbui dengan cengkraman tangan kekarnya ke payudara serta puting Erfina di deskripsikan dengan lugasnya.

Huft… aku menarik nafas panjang. Aku cemburu Ardi, sangat cemburu. Aku ingin menggantikan tubuh Erfina di bawah tubuhmu. Aku ingin merasakan besarnya penismu. Aku ingin batang yang perkasa itu memenuhi liang vaginaku yang sempit ini. Aku ingin kamu yang memperawani aku. Memecahkan selaput daraku. Aku ingin tangan kekar dan telapak yang kasar itu memainkan puting susuku. Tetapi Kenapa Erfina yang mendapatkan keberuntungan itu. Bodohnya aku menanyakan pengalaman bercintanya pada Ardi. Sekarang liang kewanitaanku basah, siapa yang harus bertanggung jawab?

***

Tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Segera aku turun dari tempat tidur dan menuju pintu ruang tamu. Aku memang dibelikan sebuah rumah mungil di area Bukit Jimbaran oleh orang tuaku, sedang mereka sendiri berdiam di kota Gianyar. Satu jam perjalanan dari kota Denpasar. Maksud orang tuaku membelikan rumah agar aku bisa dekat dengan kampus. Aku ditemani oleh seorang pembantu yang masih berusia muda. Aku memanggilnya Ni Luh. Dia berasal dari Bangli. Usianya dua tahun di bawahku.

Dengan merapikan tali daster tidurku yang melorot, segera kubuka pintu ruang tamu. Ternyata yang datang adalah calon suamiku Bli Arya. Bli Arya adalah calon suami yang dipilihkan kedua orang tuaku. Ajik (sebutan bapak oleh orang Bali) begitu bersemangat menjodohkan aku dengan Bli Arya. Bli Arya adalah anak salah satu partner bisnis perak Ajik ku. Wajah Bli Arya sebenarnya cukup tampan namun perbedaan usia kami yang 12 tahun, membuat Bli Arya terlihat Dewasa. Ditambah lagi dia adalah seorang dokter, membuatnya selalu berpenampilan rapi dan perlente. Bukan seleraku sama sekali. Seleraku tentang penampilan seorang lelaki adalah seperti Ardi. Tinggi, tegap, tidak harus kekar tetapi memiliki otot tubuh yang liat. Kulit coklat tua cenderung legam dengan rambut cepak membuatnya kelihatan Manly. Pakaianpun cukup celana jeans belel dengan t-shirt sederhana. Hatiku bener-benar tertambat pada Ardi.

Awalnya aku menolak perjodohan yang dilontarkan orang tuaku, tetapi karena baktiku pada orang tuaku lah yang membuat aku mau menerima Bli Arya sebagai calon suamiku. Orang tuaku juga mengenal Ardi dengan baik. Mereka kagum dengan kecerdasan dan wawasan yang Ardi miliki. Apalagi Ardi memiliki visi yang jauh ke depan akan hidupnya. Namun ketika aku utarakan isi hatiku pada orang tuaku, mereka dengan halus melarangnya karena perbedaan keyakinan yang kami miliki.

Kupersilahkan Bli Arya masuk. Dia terpana dengan penampilanku Minggu pagi itu. Daster tidurku memang berpotongan mini dengan strap minimalis. Bagian atasnya berpotongan rendah sehingga memperlihatkan seluruh bahuku yang putih mulus. Belum lagi aku yang tidak pernah mengenakan bra ketika tidur, memperlihatkan belahan payudaraku yang cukup besar. Ditambah lagi dengan bahannya yang berwarna putih semi transparan dengan motif kembang-kembang biru, makin memperlihatkan puting susuku yang berwarna merah muda, menerawang dengan bebasnya. Bagian bawah dasterku hanya beberapa centimeter dari selangkanganku, sehingga jenjangnya kaki dan pahaku yang mulus terpampang dengan begitu erotisnya. Bli Arya sebagai lelaki normal pasti akan menelan ludah melihat moleknya tubuhku. Tetapi aku cuek saja, toh Bli Arya adalah calon suamiku, lagipula dia sudah pernah meniduri bahkan memperawaniku. Walau aku senang dunia malam, begini-begini aku masih bisa menjaga keperawananku untuk calon suamiku.

Teringat betapa gugupnya Bli Arya ketika pertama kali meniduriku. Terus terang aku yang mengajaknya bercinta, setelah aku terpengaruh betapa nikmatnya persetubuhan yang dilakukan Ardi dan Erfina seperti yang di ceritakannya di kantin siang itu. Sebenarnya aku sama gugupnya dengan Bli Arya, tetapi dorongan birahku mengalahkan kegugupanku. Aku mencoba merayunya ketika ia main ke rumahku malam itu. Kupancing dengan sentuhan mesra di wajah dan dadanya, bahkan aku juga yang membuka celananya. Baru kali itu aku bisa melihat penis seorang pria untuk pertama kalinya. Tapi sepertinya ukurannya tidak sebesar punya Ardi. Aku bisa memperkirakan besarnya ukuran penis Ardi ketika mengajaknya berenang di Waterboom bersama Niko dan Erfina. Dengan celana renangnya yang cukup ketat ketika itu, besarnya penis Ardi tergambar dengan jelas.

Bli Arya coba merangsang payudaraku yang cukup besar, namun yang kurasa hanya perih. Entah gugup atau memang belum pernah, Bli Arya meremas daging payudaraku cukup keras. Sentuhan pada puting susuku juga terasa kasar. Bahkan ketika Bli Arya mencoba menghisap puting itu, aku malah menjerit. Bukan karena ke-enakan tetapi sakit tidak sengaja tergigit. Aku mencoba menenangkan Bli Arya dan memintanya pelan-pelan saja tidak usah terburu-buru. Bli Arya mengikuti saranku dan akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya rangsangan yang Bli Arya berikan walau belum maksimal.

Ketika akhirnya akan melakukan penetrasi, Bli Arya pun sempat gagal beberapa kali. Penisnya meleset di mulut liang vaginaku yang masih sangat sempit. Mencoba beberapa kali, penis itu sulit sekali menembus liang vaginaku. Akhirnya aku mengambil inisiatif untuk membantunya. Kuambil sebuah bantal dan meletakkan di bawah bokongku. Kini posisi tubuh bagian bawahku menyembul ke atas. Kurenggangkan pahaku lebar-lebar dan kutekuk lututku di sebelah tubuh Bli Arya. Kuminta ia melumasi kepala penisnya dengan air liurnya dan diarahkan ke mulut vaginaku yang kini sudah cukup merekah. Aku membantu memegang batang kemaluannya dan mendorongnya ke dalam tubuhku.

Bli Arya mendorong pantatnya maju dengan keras dan seketika itu juga batang penis Bli Arya terbenam seluruhnya di dalam liang kewanitaanku. Aku menjerit sekeras mungkin merasakan tubuh bagian bawahku dimasuki penis Bli Arya pertama kali. Tak kupedulikan teriakanku didengar Ni Luh. Cengkeraman tanganku seketika mencabut rapihnya sprei alas tempat tidurku. Sungguh sakit rasanya ketika selaput daraku pecah. Bli Arya terdiam sesaat ketika aku berteriak kesakitan, dirasakannya denyut otot vaginaku yang mencengkram batang penisnya. Setelah aku tenang, secara naluri Bli Arya lantas memaju mundurkan pinggulnya. Batang penisnya terpompa keluar masuk liang vaginaku. Batang penis itu telah basah oleh cairan kewanitaan dan darah perawanku. Aku mulai merasakan kenikmatan walau masih ada rasa nyeri di sekitar selangkanku.

Ketika aku mulai merasakan kenikmatan, tiba-tiba saja tubuh Bli Arya mengejang, kepalanya menengadah ke atas dan mulutnya mengeluarkan suara pekikan. Bli Arya mengalami ejakulasi pertama kalinya di dalam liang vaginaku. Hanya lima menit dari awal penetrasi. Terasa sekali sprema itu menyemprot dengan keras ke dalam rahimku. Terasa hangat. Tapi aku marah dan panik karena aku belum siap untuk hamil. Dan aku kecewa kenapa permainannya terhenti secepat itu. Staminanya payah. Berbeda dengan Ardi yang mampu menggenjot tubuh erfina berjam-jam lamanya.

Dikeluarkannya penis itu dari liang vaginaku. Penis itu sudah lemas, menciut. Penis itu benar-benar basah oleh cairan kewanitaan dan terlihat sperma masih keluar dari ujung penisnya.

Bli Arya terkapar di sisiku. Tubuhnya berkeringat, terlihat lelah sekali. Tidak ada lagi cumbuan padaku. Ia benar-benar lemah. Aku segera memiringkan tubuhku membelakangi tubuhnya yang tergolek lemah. Aku meringkuk. Menyesal aku memulai persetubuhan kalau hanya kekecewaan yang aku peroleh. Kalau aku bersetubuh dengan Ardi, mungkin hasilnya akan berbeda. Aku menginginkanmu Ardi.

***

Siang ini Bli Arya ada di sisiku. Ia datang Minggu pagi khusus ingin membicarakan masa depan hubungan kami. Tetapi aku sedang tidak semangat. Semenjak menghilangnya Ardi seminggu yang lalu, aku sepertinya kehilangan gairah hidup. Apalagi baru saja aku mendapatkan SMS darinya, semua kenanganku bersamanya ter rewind kembali. Nampaknya Bli Arya menyadari perangaiku yang berubah. Ia mencoba menghiburku dengan joke-joke ringan dan menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika melayani pasien yang datang dari berbagai macam karakter manusia. Ada yang lugu, lucu tetapi ada juga yang menyebalkan.

Bli Arya menggeser tubuhnya ke sisiku yang terduduk di sofa dengan malasnya. Tubuhku bersandar di sandaran sofa yang cukup empuk. Ia mencoba membelai rambutku yang pendek dan memperlihatkan leherku yang putih mulus. Aku masih mengenakan daster mini dan tetap no bra. Bli Arya mencoba mencumbu dengan mencium tengkukku. Nafasnya yang hangat menyentuh leherku. Tangannya coba dilingkarkan di perut dan punggungku, ia mencoba memelukku. Tangan kirinya mencoba menyentuh payudaraku dengan lembut dari atas daster yang kukenakan.

Aku masih malas menanggapinya. Pikiranku masih melayang pada sosok Ardi. Kubiarkan Bli Arya berlaku apa saja pada tubuhku. Aku sibuk dengan lamunanku. Makin lama lamunanku makin dalam. Tanpa kusadari, Bli Arya yang sedari tadi menjamah tubuhku, di dalam benakku kini ia berubah menjadi sosok Ardi yang begitu aku rindukan. Tak sadar aku meladeni cumbuan Bli Arya. Kucium bibirnya kupagut dengan liar, namun yang kubayangkan adalah mencium Bibir Ardi. Kulumat bibirnya dengan rakus. Lidahku mengembara dalam rongga mulutnya.

Dengan kasar kubuka kemeja Bli Arya, saking bernafsunya ada berapa kancing kemejanya yang terlepas. Aku tidak peduli. Birahiku bangkit mengingat sosok Ardi. Bli Arya pun tak tinggal diam, dipelorotkannya daster miniku dengan satu sentuhan pada strap minimalis. Kini aku hanya mengenakan celana dalam putih dengan renda pada bagian pinggirnya. Tak kupedulikan lagi keadaanku saat itu yang tengah berada di ruang tamu rumahku. Tak kuingat lagi sosok Ni Luh yang mungkin mengintip permainan kami. Aku memang sedang ingin-ingin bercinta dengan…… Ardi. Oh Ardi, Fuck Me !!!

Kupelorotkan pantalon dan celana dalam Bli Arya. Seketika penis yang telah tegak berdiri mencelat ke atas menumbuk wajahku. Dengan rakus kuambil penis itu dengan mulutku. Kukulum sampai pangkalnya. Terus kukulum dan kuoral batang penis Bli Arya sampai menimbulkan suara kecipak dari mulutku. Nafsuku benar-benar terbakar. Bli Arya melenguh dan merintih sejadi-jadinya. Dia berdiri di hadapanku sambil memegang kepalaku. Aku terduduk di sisi sofa dan masih sibuk mengoral batang penisnya.

Setelah puas, aku pun berdiri. Kuminta Bli Arya duduk dan bersandar di sofa. Dari sudut mataku, kulihat Ni Luh tengah memperhatikan kami dari celah pintu kamarnya yang terbuka. Segera kunaiki tubuh Bli Arya. Kakiku kunaikkan ke sofa, Aku pun mengambil posisi berjongkok di atas selangkangannya. Kuposisikan mulut vaginaku di atas batang kemaluannya yang tegak berdiri. Kupegang batang penis itu dengan tangan mungilku dan kuarahkan ke mulut vaginaku. Dengan satu gerakan menduduki, amblaslah seluruh batang penis itu ke dalam liang vagina. Aku pun terpekik.

"Aaaccchhhhhh..."

Kedua tangan kulingkarkan di tengkuk Bli Arya. Aku mulai memompa tubuhku naik turun di atas kemaluan Bli Arya. Penis itu terlihat keluar masuk di dalam liang vaginaku. Aku terus memompa bagian bawah tubuhku naik turun, sesekali ku variasikan dengan gerakan yang memutar. Batang penis itu terlihat seperti tongkat yang sedang aku mainkan. Bli Arya terlihat menahan ejakulasinya. Ia tidak ingin mengecewakanku lagi. Kedua telapak tangannya sibuk memainkan payudaraku. Kali ini jauh lebih lembut.

Kedua payudaraku yang berukuran 32 B terlihat besar pada tubuh mungilku. Payudara itu bergerak liar mengikuti irama pinggulku. Di dekatkannya mulutnya ke arah puting susuku. Dihisapnya dengan halus. Mendapat rangsangan yang demikian, makin cepat aku memompa pinggulku dan tak lama badanku mengejang. Otot vaginaku mencengkram kuat batang penis Bli Arya. Aku berteriak keras.


"Aaachhhhhhhhh...." Aku mengalami orgasme. Mataku terpejam, nafasku terengah-engah, kepalaku terkulai di pundak Bli Arya, masih membayangkan bahwa sosok Ardi-lah yang saat ini berada di pelukanku, yang habis menyetubuhiku. Payudaraku yang berkeringat menekan dada Bli Arya.

Aku bangkit berdiri, terlepaslah penis itu dari liang vaginaku, masih tegak berdiri. Sambil berdiri aku bungkukkan badanku. Aku tunggingkan bokongku, tanganku kuletakkan pada sandaran sofa agar aku bisa menopang bagian atas tubuhku. Aku sodorkan bokongku di hadapan penis Bli Arya yang kini telah berdiri di belakangku. Vaginaku merekah. Dengan perlahan, penis yang dipegangnya dimasukkan ke dalam vaginaku. Kali ini lebih mudah karena vaginaku telah basah oleh cairan kewanitaan.

Sambil memegang kedua pinggangku di maju mundurkanlah pantatnya. Penis itu menyodok vaginaku dari belakang. Kulihat dengan jelas Ni luh di balik pintu kamar. Aku tersenyum padanya dan Ni luh tersenyum kikuk. Karena ia orang terdekat denganku sehari-hari, biarlah ia menyaksikan live show panas di ruang tamu ini. Siapa tahu ia ingin mencobanya juga dengan Joko, seorang kuli bangunan yang berasal dari Banyuwangi yang telah menjadi pacarnya dalam 6 bulan terakhir.

Bli Arya terus mendorong pinggulnya maju dan mundur dengan tempo yang lumayan cepat. Kantung zakarnya beberapa kali membentur bibir vaginaku menciptakan suara yang erotis. Payudaraku yang menggantung bebas bergoyang dengan liarnya. Tak lama, aku rasakan tubuhnya mengejang, Frekuensi dorongan pinggulnya semakin cepat. Batang penisnya makin lincah terpompa. Suara kecipak dari cairan kewanitaan dan benturan kantung zakar dengan bibir vaginaku makin riuh terdengar.

Tak lama Bli Arya terpekik tertahan. Pantatnya di dorongnya maju. Batang penis itu tertanam dalam sekali dan menyemburlah jutaan sel sperma ke dalam rahimku. Aku pejamkan mata, membayangkan sensasi hangat yang tercipta dari sperma yang menyembur adalah sperma milik Ardi. Denyutan batang penis yang tertanam itu juga milik Ardi, bahkan telapak tangan yang masih memegang bongkahan pantatku juga adalah milik Ardi. Betapa aku sangat menginginkanmu Ardi.

Maafkan aku calon suamiku, kalo aku membayangkan orang lain dalam persetubuhan kita.

***

Tujuh tahun berlalu kita tak pernah bertemu. Kabar duka kematian Niko lah yang membuat dirimu mau kembali ke Bali. Dengan jiwa besar engkau mau melupakan kesalahan Niko yang telah menyelingkuhi kekasih yang sangat engkau sayangi. Sahabatmu sendiri tega mengkhianati persahabatan yang telah terajut sekian lama.

Dan kini aku berdiri di depan pintu terminal kedatangan domestik Bandar Udara International Ngurah Rai Bali untuk menjemputmu. Sedari pagi aku berdandan secantik mungkin untuk menyambutmu. Aku kenakan pakaian dan aksesoris seanggun mungkin agar engkau bahagia. Kututupi kegugupanku dengan senyum ceriaku.

Sesosok pria tegap berjalan dengan langkah yang pasti. Kacamata Rayban Aviator menutupi sorot matanya yang tajam memandang ke arahku dengan senyum yang natural. Celana berbahan Denim dan Polo Shirt hitam yang di kenakannya sangat serasi, memperlihatkan dadanya yang bidang serta otot biceps terlihat liat dan menonjol. Kulitnya terlihat lebih bersih tanpa meninggalkan kesan maskulinnya. Selempang travel bag yang berukuran sedang terlihat tersampir ringan di bahunya.

Di hadapanku, Ardi menyapa dengan senyum khasnya. Kami saling mencium pipi. Aroma Bvlgari Aqva menyergap indera penciumanku. macho namun segar. Andai diijinkan, ingin kulumat bibirmu. Kutelusuri setiap centi dada bidang itu dengan sapuan lidahku. Kukulum batang kemaluan yang terlihat menonjol dengan segenap birahiku.

Tahukah kamu Ardi, aku merindukanmu melebihi apapun di dunia ini.