Minggu, 04 Agustus 2013

Mengisi Kesepian Ibu Tiri

Aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Saat aku kelas 2 SD, ibu memutuskan untuk bercerai dengan ayah. Alasannya karena tabiat ayah yang suka berselingkuh. Ibu akhirnya memutuskan untuk menjadi TKW. Awalnya aku tinggal dengan nenek dari ibu, tapi dua tahun kemudian, aku ikut ayah karena nenek meninggal. Aku tinggal bersama orang tua ayah karena ayahku sering kerja keluar kota sebagai sopir sebuah perusahaan.

Ayah sudah menikah lagi dengan wanita muda, tapi hanya bertahan kurang dari setahun. Kemudian saat aku kelas 5 SD, dia menikah lagi dengan wanita yang sudah mempunyai anak. Aku sempat dibawa ayah pindah, tapi kembali, saat aku masuk kelas satu SMP, mereka berpisah lagi. Akhirnya, saat di pertengahan kelas dua SMP, kembali ayah menikah. Kali ini bersama wanita tanpa anak, sebut saja namanya bu Siti, wanita alim dan berjilbab yang berusia hampir 30 tahun.

Aku kembali dibawa ayah, karena bu Siti punya rumah dan hanya tinggal sendirian. Bu Siti di mataku merupakan wanita yang baik dan murah senyum. Saat pertama ketemupun, aku sudah akrab dengannya, karena dia sangat berbeda dengan dua ibu tiriku sebelumnya yang kadang mengajakku bicara hanya jika ada ayah saja. Bu Siti sangat memperhatikan keperluanku, bahkan sangat detail. Dari pelajarang sampai makan pun sering kali dia ingatkan. Sungguh, aku melihatnya sebagai wanita sempurna pengganti ibuku.

Karena bu Siti punya usaha sendiri -jualan makanan ringan yang dia buat lalu dia titipkan di toko-toko- dia dengan leluasa memberiku uang jajan, bahkan sering kali berlebih. Dia hanya menyuruhku untuk menabung kalo ada sisa uang jajan.

Empat bulan pertama perkawinan mereka, sungguh kelihatan bahagia. Tapi kemudian ketika ayah jadi sering keluar kota. Bu Siti kelihatan sering sedikit murung, apalagi jika ditinggal agak lama. Tapi biasanya ketika ayah kembali, kemurungannya seperti sirna. Sungguh, lama-lama aku bisa merasakan bahwa dia sangat kesepian kalau ditinggal ayah. Tapi di depanku, dia selalu berusaha bersikap tanpa masalah. Bahkan kadang, tak jarang jika dia jenuh, dia mengajakku ke kota, sekedar makan bakso atau membelikanku pakaian. Sungguh aku bahagia dengan perhatian beliau.

Sampai akhirnya, ketika aku liburan kenaikan ke kelas tiga SMP, kulihat bu Siti kembali murung karena ayah pergi sudah hampir empat hari. “Ayah memang pulangnya kapan, bu?” tanyaku.

“Katanya semingguan,” jawab bu Siti.

“Ibu jangan murung aja, kan ada aku yang menemani disini.” kataku.

Bu Siti tersenyum, ”Nanti malam tidur di kamar ibu lagi ya?” katanya.

Aku mengangguk. Kadang memang ketika ayah pergi, aku tidur di kamar ayah. Aku tidur di lantai, sementara ibuku di ranjang. Malam itu, saat hendak memejamkan mata, kulihat bu Siti gelisah di atas ranjangnya. Dia sudah melepas jilbabnya, bisa kulihat rambut hitamnya yang lurus sepunggung. Aku kasihan kepadanya, tapi aku tak bisa melakukan apa-apa.

Esok harinya, badanku sedikit demam, tapi aku kembali menemani beliau. Sebelum tidur, kami sempat berbincang. ”Kamu dingin nggak di lantai? Kalo nggak, tidur di kamar kamu aja.” katanya.

”Nggak apa-apa, bu. Nggak dingin kok.” jawabku. Dari maghrib hingga hampir jam 10 malam, hujan memang turun tanpa henti. ”Ibu kok masih gelisah?” tanyaku kemudian.

“Ah, nggak apa-apa. Biasa aja kok.” katanya. ”Ya udah, kamu tidur di atas aja, daripada masuk angin.” ucapnya lagi.

Aku menurut. Dia sempat membelai-belai rambutku saat aku bertanya, “Bu, kenapa sih kalo ayah gak ada, ibu suka resah?” tanyaku.

”Kamu nggak akan ngerti,” katanya.

”Pasti ibu kesepian ya? Kan ada aku, bu, masa masih sepi?” kataku bodoh.

Dia tersenyum dan melingkarkan tangannya di pundakku. Usapannya sungguh sangat menghangatkan, sampai tak sadar aku mulai merapatkan badanku ke tubuh montoknya dengan posisi tengkurap. Oh ya, hampir lupa ngasih tahu, ibu tiriku ini punya tetek dan pinggul yang besar. Aku baru menyadari setelah sering tidur sekamar dengannya. Sekarang bisa kurasakan tonjolan payudaranya yang empuk itu mengganjal lembut di dada dan bahuku.

”Dingin ya?” tanya bu Siti ramah, sama sekali tidak berusaha untuk menarik atau menjauhkan tubuhnya.

”Iya,” sahutku pendek.

Bu Siti kemudian mendekapku erat. Sungguh, entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apalagi saat dia mengusap punggungku dan makin menekan tonjolan payudaranya ke bahuku. Tanpa sadar aku mulai memeluk pinggangnya.

”Kamu suka ibu peluk gini?” katanya.

”Iya, bu. Suka.” jawabku polos. Dan makin kudekap erat pinggulnya. Kuusap-usap bulatan bokongnya yang bulat dan padat dengan jari-jariku. Lama-lama kudengar nafas bu Siti mulai berat dan tidak teratur. Aku dapat mendengar debaran jantungnya yang berdetak semakin cepat karena wajahku sangat dekat dengan dadanya.

“Duh, ibu jadi kangen ayah,” katanya setengah mendesah.

”Kan ada aku, bu.” kataku sambil kurapatkan wajahku di bulatan buah dadanya. Perlahan kurasakan tangan bu Siti mengusap pantatku. Aku makin deg-degan. Entah sadar atau tidak, dia malah meremas selangkanganku.

”Masih nggak enak badan?” tanyanya sambil mengusap-usap burungku yang mulai terbangun.

”Udah nggak gitu, bu.” jawabku, lalu merintih keenakan. ”Eghhh,”

”Kenapa kok gemetaran, takut ya dipeluk ibu?” tanyanya menggoda.

”Bukan, bu. Gemetar karena dingin.” jawabku sekenanya, malu untuk bilang kalau aku lagi menikmati belaian tangannya di batang penisku.

”Ya sudah, sini masuk selimut ibu.” katanya kemudian. Dia pun membagi selimutnya yang lebih tebal dibanding selimutku. Tubuhku semakin bergetar saat kakiku bersentuhan dengan kakinya, tangannya masih setia mengelus pantat dan selangkanganku. Kemudian tangan itu kurasakan mendorong pinggulku, tapi aku agak bertahan, tetap tengkurap di atas tubuh semoknya.

”Kenapa, takut? Ini supaya kamu nggak sesak aja.” katanya sambil tersenyum.

”Nggak, bu.” jawabku pendek. Aku menyadari bahwa kemaluanku ternyata sudah berdiri tegak, kaku dan keras sekali. Ini semua akibat usapan tangan bu Siti. Malu kalau dia sampai mengetahuinya, dengan cepat aku beringsut, sedikit agak menjauh darinya. Kurasakan tangannya mengejar, ingin kembali mengusap dan mengelus batang kontolku. Aku sedikit bergerak agak menjauh lagi, lalu kuambil bantal dan menutupkannya ke depan celanaku.

”Kenapa?” tanyanya.

”Nggak apa-apa, bu.” kataku.

”Kok bergeser, kenapa hayo?” tanyanya lagi.

Karena tidak punya alasan, dan malu untuk mengatakan yang sebenarnya, aku akhirnya kembali merapatkan tubuhku kepadanya. Tangan bu Siti kurasakan hendak menarik dan mengambil bantalku. ”Jangan, bu.” kataku mencegah.

”Emang kenapa?” tanyanya.

”Nanti aku kedinginan.” ah, alasan yang sungguh bodoh.

”Ya udah sini, ibu peluk.” sambil berkata begitu, tangannya tiba-tiba menyelusup ke dalam bantal hendak memelukku, dan... ”Ooh!” desisnya saat menyenggol benda keras yang ada di baliknya.

Kurasakan mukaku pedas dan memerah. ”Eh, maaf, bu.” hanya itu yang bisa kurasakan.

”Nggak apa-apa, nggak usah malu. Burung memang suka bangun kalau udara dingin. Makanya rapetin ke ibu biar anget. Nggak apa-apa kok,” katanya lirih.

Agak sedikit ragu, kuikuti sarannya hingga posisiku sekarang agak sedikit menyamping tapi sangat rapat ke tubuhnya. Kembali tangan bu Siti bergerak untuk meraba pantatku, tapi kali ini dengan sedikit meremas. ”Burungmu masih tegang?” tiba-tiba dia bertanya.

”I-iya, bu.” jawabku. Entah sudah seperti apa mukaku saat itu. Apalagi saat kemudian kurasakan tangannya mulai meraba bagian kemaluanku. Celana boxerku yang tipis makin memperjelas bentuk kontolku yang bangun.

”Boleh ibu pegang?” tanyanya.

Aku hanya diam. ”Kan sudah dari tadi ibu pegang,” rutukku dalam hati. Tapi aku cuma mengangguk, memberinya ijin untuk berbuat apa saja pada tubuh kecilku.

Dia tersenyum, kemudian menyelusupkan tangannya ke dalam boxerku. ”Ih, keras amat!” katanya, campuran antara kaget dan gemas. Aku hanya tersenyum.

”Sini, lebih rapat.” katanya lagi. Aku mengangguk, kemudian perlahan, kurapatkan tubuhku hingga kemaluanku menempel di perut bu Siti. Hangat sekali rasanya. Sesaat kami terdiam, bu Siti masih terus mengusap dan mengelus-elus penisku dari dalam celana. Kurasakan jari-jarinya begitu lembut dan hangat membungkus batang kontolku. Aku hanya bisa mendesah dan mengerang menikmatinya.

Masih dalam lindungan selimut, bu Siti membimbingku. Ia melepas genggamannya sejenak di batang kontolku untuk kemudian meraih tangan kiriku dan meletakkan di atas bongkahan pantatnya. Setelah itu dia meraba pantatku dan menariknya hingga makin rapat ke daerah kemaluanya. Satu kakinya kemudian kurasakan naik di pahaku.

”Nggak apa-apa, kamu nurut aja.” katanya.

”I-iya, bu.” jawabku bingung, memang siapa juga yang mau nolak? Meski tidak mengerti apa yang dia inginkan, tapi aku akan mengikuti permainannya.

Kemudian kurasakan tangan bu Siti mulai menurunkan celana bagian samping kiriku, sesaat kemudian dia menarik bagian tengah, hingga aku tahu, kontolku sudah berada di luar sekarang. “Bu?” kataku gemetar saat kurasakan ujungnya menyundul tepat di depan kemaluan bu Siti yang masih terbalut celana dalam. Tapi aku tahu, bagian itu sudah sangat basah dan hangat.

”Kenapa? Takut?” tanyanya tanpa rasa bersalah.

”Nggak kok, bu. Nggak apa-apa.” jawabku dalam bingung.

”Kalau gitu sini, rapetin ke badan ibu.” katanya. Aku hanya mengangguk. Tangannya kemudian bergerak, membimbingku agar membantu melepas celana dalamnya. Saat benda itu sudah turun hingga ke dengkul, kembali kurasakan kehalusan kulit paha dan bokongnya saat bu Siti menyuruhku untuk mengusap-usapnya lagi.

Bu Siti sendiri memegang kemaluanku dan menariknya merapat ke tubuh sintalnya. Kali ini bukan kain yang kurasakan, tapi seperti bulu-bulu halus yang sungguh licin dan hangat. Mataku pura-pura aku pejamkan saat tangannya mulai menggerakkan batang kontolku hingga kurasakan kemaluanku itu melalui sesuatu yang makin lama makin terasa hangat dan basah. Tubuhku bergetar, aku sadar apa yang telah dia lakukan, tapi aku tak kuasa untuk menolak. Karena jujur, aku juga menikmati dan menginginkannya.

Akhirnya, sebagian kontolku telah masuk ke lubang yang sangat sempit dan lengket itu. Hangat, geli, dan nikmat kurasakan, apalagi saat tangan bu Siti mulai menekan pantatku, membuatku batangku makin melesak dan menusuk semakin dalam. Sesekali dia menggerakkan pinggulnya perlahan agar kontolku bisa lancar menerobos liang vaginanya. Saat sudah masuk seluruhnya, bu Siti mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, sedangkan aku cuma diam, tak tahu apa yang harus kulakukan.

Jepitan memek ibu tiriku itu kurasakan begitu nikmat, hingga tak lama kemudian kurasakan suatu aliran hendak memancar keluar dari batang penisku. “Bu,” kataku perlahan.

”Kenapa?” tanyanya, masih terus menggenjot dan menggoyang tubuh sintalnya.

”Nggak tahu, kayak ada yang mau keluar,” jawabku.

”Nggak apa-apa, keluarin aja.” katanya sambil mengecup pipiku penuh rasa sayang.

Tanpa sadar, kudekap tubuh mulus bu Siti erat-erat, dan tiba-tiba kontolku berdenyut hebat. Kurasakan aliran panas keluar dari benda itu, sungguh sangat nikmat rasanya, begitu luar biasa. Berkali-kali semprotanku itu memancar deras, mengisi liang kemaluan ibu tiriku itu hingga menjadi semakin basah. Bu Siti sendiri berhenti menggoyang, dia menekan penisku dalam-dalam hingga saat kontolku kutarik keluar, tidak ada sedikit pun cairan yang tertumpah.

Lima menit kami berpelukan erat, hingga akhirnya kurasakan bu Siti merapikan celanaku dan memasukkan kembali burungku yang sudah melembek dan melemah. Masih di balik selimut, dia kemudian bangkit dan melepas celana dalamnya. Kulihat bokongnya yang bulat dan putih mulus saat dia berjalan keluar untuk pergi ke belakang karena dasternya masih berada di atas pinggang. Tak lama, dia kembali dan memberiku minum. Setelah kuhabiskan air es itu, kembali aku tengkurap dibalik selimut tebal, bu Siti berbaring di sampingku. Kami terus diam, mungkin selama satu jam lebih, tapi aku tak bisa tidur. Saat berbalik, kulihat bu Siti masih duduk menyandar di tembok.

“Ibu belum tidur? Ini selimutnya.” kataku sambil hendak memberinya selimut yang kupakai.

”Nggak usah, ibu cuma belum ngantuk.” jawabnya. ”Maafkan ibu ya?” tambahnya kemudian.

“Nggak apa-apa kok, bu.” kataku.

”Kamu nggak marah? Ibu hanya rindu ayah,” jelasnya.

”Buat apa marah? Aku malah merasa enak kok, aku juga nggak akan bilang sama ayah.” jawabku.

Dia tersenyum. ”Kamu sendiri, kenapa belum tidur?” katanya.

”Nggak tahu, bu. Nggak ngantuk juga. Nungguin ibu tidur dulu aja,” jawabku.

”Iya, makasih.” katanya.

”Ibu jangan murung, kan sekarang ada aku disini.” kataku sok dewasa.

Dia tersenyum. Bu Siti kemudian meraba-raba punggungku yang tengkurap, lalu pantatku, dan juga pahaku. Tiba-tiba wajahnya mendekati wajahku dan kemudian mengecup bibirku. Aku hanya tersenyum saat tangannya mulai masuk ke balikboxer dan meremas pantatku. Aku diam dan membiarkannya.

”Ibu belum ngantuk,” katanya.

”Aku temani kok, bu.” jawabku, masih tak mengerti kalau ibu tiriku masih belum tuntas tadi. Dadaku kembali berdegup kencang saat perlahan tangannya mulai menarik turun celanaku. Aku menurut, dan dengan cepat, tubuhku sudah setengah telanjang sekarang. Masih berbalut selimut, boxerku sudah luruh jatuh ke lantai. Dengan gemas, bu Siti meremas-remas dua bongkahan pantatku. Ia memijitnya sambil sesekali menyenggol buah zakarku. Hingga ketika sudah tak tahan, ia pun akhirnya ikut masuk ke dalam selimut.

Jantungku terasa berdebar saat dia membalikkan tubuhku. Aku menurut saat kaosku dia tarik. Aku akhirnya telanjang dalam selimut. Aku tahu, bu Siti pun mulai melucuti pakaiannya hingga kami sama-sama telanjang, kemudian wajahnya masuk dalam selimut. Kurasakan kecupan di dadaku, lalu pusarku, hingga akhirnya kurasakan mulutnya mulai menghisap batang kontolku yang sudah sedikit menegang lagi. Tak lama, dia merapatkan tubuhnya di atasku, kemudian dia kembali mencium bibirku.

“Kita lakukan lagi ya?” tanyanya.

”I-iya, bu.” jawabku senang.

”Kamu di atas ibu, mau gak?” tanyanya. Aku mengangguk.

Aku pun bergerak saat tubuh molek bu Siti terbaring di sampingku. Perlahan dia meregangkan kakinya saat aku telah berada di atas tubuhnya. Satu tangannya kurasakan memegang kontolku, dan perlahan mengarahkannya ke lubang kemaluannya. Kembali kurasakan nikmat saat kontolku mulai masuk ke lubang sempit itu. Saat sudah tenggelam seluruhnya, dia menaik-turunkan pinggangku dengan tangannya. Dia begitu sabar dan telaten mengajariku bersetubuh. Lama-lama, akupun mulai bergerak sendiri, menggenjot tubuh sintalnya dengan tusukan penisku.

”Oh, nikmatnya! Ehsss... enak!” desah bu Siti.

Aku terus menggenjotnya hingga peluh mengucur deras di dahiku. Bu Siti mengusapnya. ”Kamu capek nggak?” tanyanya.

”Enggak, bu.” jawabku sambil terus menggenjotnya. Setengah jam lebih aku berada di atas tubuhnya, sampai akhirnya.... akupun mengejang, dan kembali kusemprotkan cairan kenikmatanku.

”Bu, jangan bilang ayah ya?” kataku dengan nafas tersengal karena nikmat.

“Ya nggak lah, nanti pasti ibu yang disalahin.” katanya.

Malam itu, hingga pagi tiba, kami tidak bisa tidur. Kami terus bermain dan bermain. Tak bosan-bosannya aku naik ke atas tubuh bu Siti, menggenjot tubuh mulusnya, dan menumpahkan spermaku di dalam lubang kemaluannya. Satu kali aku moncrot di dalam mulutnya, saat ibu tiriku itu asyik mengulum penisku setelah dia orgasme. Yah, aku akhirnya berhasil mengantarkannya ke nikmat persetubuhan. Dia tampak bahagia sekali, begitu juga dengan aku.

Jam lima pagi, baru aku tertidur. Sementara bu Siti keluar untuk mandi dan membersihkan tubuhnya. Kukira setelah itu dia akan tidur juga, tapi saat aku bangun jam dua siang, kulihat bu Siti tidak ada di sampingku. Masih dengan tubuh telanjang, kudatangi dia di dapur. Kudengar suara senandung merdunya dari sana. Kulihat ibu tiriku itu sudah rapi dengan baju terusan panjang dan jilbab lebar seperut. Dia tampak sibuk menyiapkan makan siang.

”Makan dulu aja, mandinya nanti.” katanya sambil tersenyum. Aku tidak membantah. Bu Siti tertawa saat melihat burungku yang menciut sebesar jempol kaki. ”Itu capek banget kayaknya, nggak bangun sama sekali.” tunjuknya.

Aku mengangguk malu. ”Iya, bu. Capek habis disuruh melek semaleman.” candaku. Dan kami tertawa berbarengan.

Selesai makan, aku langsung mandi. Keluar dari kamar mandi, saat masih basah dan mengenakan handuk, aku melintas di dekat bu Siti yang duduk di dekat meja makan. ”Maafkan ibu ya?” katanya.

“Maafkan apa, bu? Ibu nggak ada salah kok.” jawabku santai.

“Gara-gara ibu, kamu jadi korban.” katanya.

”Saya nggak merasa jadi korban kok, bu.” kataku, hanya kata-kata itu yang terlintas di pikiranku.

Tiba-tiba tangan bu Siti meremas handuk yang menutup kemaluanku. Aku hanya diam, dan tak lama, kontolku mulai bereaksi. ”Ibu mau lagi?” kataku.

”Ah, nggak juga. Kalau kamu?” tanyanya.

”Terserah ibu,” jawabku.

Tiba-tiba handukku ia lepas. Bu Siti terus memandangi kontolku yang kini sudah mengacung tegak. ”Ibu sudah salah, bulu kamu aja masih tipis, tapi kamu harus mengalami hal ini.” katanya.

”Nggak apa-apa, bu. Aku suka kok.” jawabku, lalu kudekatkan kontolku ke mulutnya. Dia tersenyum, dan perlahan mulai mengulum dan menjilatnya. Bu Siti setuju saat aku mengajaknya masuk ke kamarku. Akhirnya, kembali sore itu aku menggenjot tubuh mulusnya.

Kami terus melakukannya, siang dan malam. Hingga dua hari kemudian, ayah pulang. Aku lebih banyak diam di kamarku daripada takut ayah melihat hal aneh, karena aku masih merasa risih dan bersalah karena sudah bercinta dengan istrinya. malam harinya, aku tak dapat tidur. Aku tahu pasti, sekarang bu Siti pasti sedang bergumul dengan ayah, karena sejak jam sembilan, mereka sudah masuk ke kamar.

Senin, saat sekolah baru mulai, hari baru sekitar jam lima pagi ketika aku selesai mandi. Ayah masih terlelap karena kemarin pulangnya agak malam. Baju seragam telah kupakai. Aku lalu pergi ke dapur hendak mengambil minum. Kulihat bu Siti telah selesai membuat nasi goreng. “Kamu kok banyak diam, kenapa?” tanyanya.

”Nggak apa-apa, bu.” jawabku.

”Bilang aja, kita kan sudah janji nggak ada rahasia-rahasian.” katanya.

“Nggak, bu. Cuma, anu...” kataku terputus. ”Nggak ah, nanti aja.” kataku kemudian. Aku lalu masuk ke kamarku. Sesaat kulihat bu Siti mengikutiku. Aku sedang merapikan tasku saat perlahan kurasakan tangannya mengusap pundakku, kemudian tangannya yang lain meraba daerah kemaluanku.

”Ibu kangen,” bisiknya sambil meremas-remas kemaluanku.

”Jangan, bu. Nanti ketahuan ayah.” bisikku takut.

”Dia bangunnya siang, kelelahan sehabis main semalam suntuk sama ibu.” kata bu Siti nakal. Mendengarnya, kontolku langsung menegang. ”Sini,” katanya mesra. Perlahan dia bergerak ke balik pintu kamarku, aku mengikutinya. Tangannya kemudian menarik turun resletingku, dan kembali, aku hanya diam. Bu Siti menarik kontolku keluar, dia tersenyum saat melihatnya sudah kaku dan keras.

”Mau nggak?” tanyanya sambil menjilati batangku hingga basah kuyup.

Aku mengangguk. Bu Siti kemudian menarik gamisnya ke atas, menjepitnya di perut, dan kemudian perlahan menurunkan sedikit celana dalamnya hingga ke dengkul. Dia bersandar di pintu, membelakangiku. Bisa kulihat memeknya yang tembem menguak lebar. Ada sedikit sisa sperma ayah disana. Kuusap-usap perlahan benda itu sambil aku mempersiapkan penisku.

”Ibu masih kurang habis digarap ayah habis0habisan semalam?” tanyaku polos. Tanganku meremas-remas sebentar bulatan payudaranya.

”Ayahmu cuma mau menang sendiri, nggak ngerti kebutuhan ibu. Sudah, cepat masukkan. Nanti kamu terlambat ke sekolah.” katanya sambil mengangkangkan kakinya semakin lebar.

Perlahan, di balik pintu kamarku, aku mulai menusukkan kontolku, dan saat sudah amblas seluruhnya, segera menggerakkannya maju mundur dengan cepat. Bu Siti mengimbangi genjotanku dengan memutar pinggulnya berlawanan arah dengan tusukanku. Kami terus melakukannya walau dengan sedikit ketakutan karena ayah lagi ada di rumah. Tapi ketenangan bu Siti menenangkanku. Dan sensasi main dalam suasana seperti benar-benar luar biasa. Tak lama, akupun mulai merintih. Pejuhku rasanya sudah mau muncrat.

Segera kudekap tubuh montok bu Siti, dan... ahh! ahh! kutahan nafasku berbarengan dengan keluarnya air maniku. Begitu juga dengan bu Siti, dia juga menyemburkan cairan kenikmatannya. Memeknya terasa begitu penuh sekarang. Saat kucabut penisku, cairan itu meleleh keluar membasahi paha dan betis bu Siti, beberapa bahkan ada yang menetes di lantai. Kami tertawa berbarengan saat melihatnya. Begitu puas, begitu nikmat.

“Sarapan enak di pagi hari.” bisik bu Siti nakal. Aku tersenyum dan mengecup pipinya. “Kalau nanti kamu mau lagi, bilang aja, jangan diam aja.” katanya, seolah tahu keresahanku. ”Nanti kita cari waktu dan tempat yang pas.” dia menurunkan kembali gamis hitamnya dan merapikan jilbabnya yang awut-awutan.

Kami keluar dari kamar. Bu Siti meneruskan acara memasaknya, sedangkan aku, setelah sarapan dan mencium tangannya, segera berangkat ke sekolah.