Minggu, 04 Agustus 2013

Karena Belahan Dada Ibu Kost

Masa kuliah adalah masa-masa yang paling menyenangkan bagiku. Di masa itulah aku seolah menemukan jati diriku yang sebenarnya, mendapat kesempatan berekspresi, serta memiliki pengalaman indah di dalam soal asmara. Sebagai mahasiswa teknik, penampilanku tentunya tidaklah terlalu rapi kecuali aku memiliki badan yang cukup bagus karena tergabung di dalam club basket kampus.

Bukannya sombong tapi tidak sedikit gadis yang menaruh perhatiannya padaku. Namun memang dasarnya aku ini adalah seseorang yang terlalu polos, maka perhatian mereka pun hanya aku anggap sebagai hal yang biasa dalam hubungan pertemanan.

Yang tidak aku duga adalah bahwa aku mendapat pengalaman pertamaku justru bukan dengan teman sebayaku, melainkan ibu kosku. Ya, ibu kosku.

Cerita berawal ketika aku mulai menginjakkan kaki di kota ini untuk menuntut ilmu. Jauh dari orang tua membuatku harus mandiri serta melatihku untuk menjadi sosok pribadi yang lebih dewasa. Seperti biasa, hal yang dilakukan mahasiswa baru adalah mencari kos-kosan. Setelah beberapa hari melakukan survei dan berjalan dari komplek ke komplek, akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada sebuah rumah. Rumah itu tidak terlalu besar dan sebenarnya lebih patut disebut sebagai rumah tinggal biasa. Namun papan di depan rumah itu mengatakan kalau rumah ini menerima kos pria.

“Permisi, apakah ada orang di rumah?” seruku di luar pagar.

“Ya, ada apa, Mas?” munculah seorang laki-laki yang kira-kira berumur 40-an dengan wajah ramah dan murah senyum sambil membuka pagar.

“Maaf, Pak. Apakah masih ada kamar kosong untuk kos-kosan?” tanyaku.

“Oh, ada, Mas. Mari silahkan masuk kalau ingin melihat-lihat dulu.” jawabnya sambil masih memasang muka ramah nan penuh senyum. Ciri khas orang Jawa sekali.

Akhirnya aku pun masuk ke dalam rumah itu sambil melihat-lihat kondisinya. Rumah itu memang rumah tinggal biasa, hanya saja dalamnya telah dibuat sekat yang memisahkan antara rumah induk dengan kamar-kamar yang dikoskan. Kamar mandi pun sudah terpisah antara penghuni rumah dan penghuni kos-kosan.

“Oh ya, nama bapak siapa ya?” aku bertanya.

“Saya Sony, Mas. Kalau Mas siapa namanya? Ngambil jurusan apa, Mas?” laki-laki itu menjawab tanpa mengurangi sedikitpun keramahannya.

“Saya Randy, Pak. Saya mengambil jurusan Elektro. Sampai saat ini sudah berapa orang yang tinggal di sini, Pak?”

“Mas ini adalah pelanggan pertama kami sejak rumah ini kami putuskan untuk dijadikan kos-kosan.” Pak Sony menjawab sambil tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk pundakku.

“Wah, suatu kehormatan bagi saya nih, Pak.”

Tiba-tiba dari salah satu kamar muncul seorang wanita yang berkulit putih, dengan rambut digelung ke atas sehingga memperlihatkan tengkuknya yang ditumbuhi rambut halus dan aku yakin akan membuat jakun setiap pria yang melihat naik turun. Dia mengenakan daster batik yang lumayan tipis sehingga bila terpapar sinar akan memberikan bayangan yang cukup jelas akan lekuk tubuhnya yang masih padat berisi. Wajahnya manis nan sensual, mirip sekali dengan Febby Lawrence, seorang artis panas yang ngetop di era 90-an.

“Mas, kenalkan ini istri saya, namanya Susy. Nanti untuk urusan administrasi silahkan ngobrol saja dengan dia. Biasa, kalau wanita biasanya lebih telaten dalam hal mengurus uang.” kata-kata Pak Sony membuyarkan lamunanku.

“Oh, i-iya, Pak.” aku agak terkaget-kaget. “Kenalkan saya Randy, Bu.” aku pun langsung memperkenalkan diri seraya menjabat tangan putih nan halus mulus itu.

“Susy,” jawabnya singkat. Namun entah karena kegeeranku atau hanya perasaanku saja, dia memberikan senyuman yang mengandung arti. Semacam isyarat. Tapi, ah mungkin itu hanya khayalanku saja.

***

Singkat cerita, akhirnya aku pun tinggal di situ. Tak lama setelah aku tinggal di situ, datang dua orang lagi yang tinggal di situ. Jadi total keseluruhan ada tiga orang yang tinggal di kosan tersebut. Yang satu adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, sedangkan satunya lagi adalah seorang mahasiswi dari jurusan ekonomi, dan aku tidak tahu mengapa akhirnya mereka menerima kos-kosan putri juga.

Bu Susy adalah orang yang baik dan ramah, hampir sama dengan suaminya. Pak Sony sendiri adalah orang yang bekerja di pertambangan di Kalimantan jadi praktis dia jarang sekali di rumah. Dia pulang sekitar dua minggu sekali. Dan ini berarti yang mengurus operasional kos-kosan adalah Bu Susy.

Terkadang melalui celah sekat pembatas, tanpa sengaja aku melihat Bu Susy keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalutkan handuk yang menutup dari dada sampai lututnya saja. Payudara yang masih cukup kencang itu seperti tertekan oleh balutan handuk, dan seperti berontak ingin keluar ketika ia berjingkat-jingkat menuju kamarnya. Tubuhnya yang masih terbilang bagus untuk wanita seusianya amatlah sayang untuk dilewatkan begitu saja. Dengan rambut yang masih basah tergerai sampai pungungnya, dia tampak menarik dan boleh dibilang sexy. Mereka memang belum memiliki momongan, mungkin karena kesibukan Pak Sony yang terlalu lama hidup di site, aku menerka-nerka.

Suatu malam saat aku sedang di kamar mengerjakan tugas gambar teknikku, terdengar suara Bu Susy memanggil-manggil, “Mas Randy, bisa minta tolong sebentar gak?”

“Ya, Bu. Ada apa?” jawabku sambil melongok ke luar kamar.

“Itu lampu kamar tidur saya mati, mungkin putus bohlamnya kali ya? Bisa minta tolong gantiin gak, Mas? Habisnya saya takut kalau masalah setrum gitu.” katanya menghiba.

“Oh, baiklah, Bu. Ibu sudah punya lampu penggantinya atau belum?” tanyaku.

“Ada, saya sudah biasa menyimpan lampu cadangan. Ini lampunya.” jawabnya sambil menyodorkan sebuah lampu TL kepadaku.

Akhirnya kami berdua menuju kamar tidurnya. Hmm, harum aroma bunga memenuhi kamar tersebut. Kamarnya lumayan luas dengan Spring Bed di sudut ruangan dan lemari pakaian dari kayu di sudut satunya lagi. Ternyata dia sudah menyiapkan bangku sebagai alat bantu untuk mengganti lampunya tersebut. Dengan temaram cahaya lampu dari ruang tengah, akhirnya aku berhasil menggantikan lampu yang sudah mati tersebut dengan lampu yang baru. Dan akhirnya, byar, ruangan kamar tidur itu menjadi terang. Aku masih berdiri di atas bangku, dan baru menyadari pemandangan indah di bawah sana.

Dari atas tampak jelas sekali belahan yang dia miliki, dan yang mengejutkanku adalah bahwa saat ini dia tidak menggunakan bra entah karena lupa atau karena biasa. Gaun tidur putih yang dikenakannya cukup tipis utuk menerawang apa yang ada di balik itu. Dua bukit kembar itu masih berdiri tegak menantang di bawah sana, membuat naluri kelelakianku bergejolak. Dan sialnya, saat itu aku hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam. Kemaluanku tidak dapat dibohongi, melihat pemandangan yang indah itupun membuatnya menggeliat, dan aku yakin Bu Susy pun pasti menyadari itu. Aku bingung, panik, malu, dan tidak tahu harus bagaimana.

“Mas, ayo turun. Kok malah melamun? Hayo lagi melamun apa itu?” suaranya mengagetkanku.


“Eh, i-iya, Bu. Maaf.” aku jadi kikuk. Aku pun segera turun dari kursi itu, dan mengembalikan kursi itu ke tempatnya semula di dekat sebuah meja rias di seberang pintu. Dan alangkah terkejutnya aku ketika akan berjalan menuju pintu, Bu Susy sudah menghadang langkahku seraya menutup pintu yang ada di belakangnya.

“Permisi, bu. Saya mau kembali ke kamar.” aku mulai panik. Jantungku berdebar-debar hebat. Aku berada di dalam situasi yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Di dalam sebuah kamar, hanya berdua dengan seorang wanita cantik nan sexy, dan sialnya dia itu ibu kosku.

“Kenapa, Mas? Kok buru-buru? Kita masih punya banyak waktu kok.” jawabnya dengan nada nakal menggoda. “Ayolah, aku tahu apa yang Mas Randy lihat dari atas tadi. Kamu pasti penasaran kan, Mas? Lihat mereka, sangat kenyal dan menggairahkan bukan?” katanya sambil meremas kedua buah dadanya sehingga mereka seakan-akan ingin meloncat keluar dari baju tidur yang tipis menerawang itu. Dia pun mulai berjalan mendekatiku, sampai akhirnya berhenti tepat di depanku. Bahkan hembusan nafasnya pun dapat kurasakan di leherku. Aku diam tak bergeming sama sekali. Akal sehatku sudah lari entah kemana. Nafsu yang selama ini terkurung, akhirnya meloncat keluar dan mulai menguasai tubuhku.

“Tapi Bu, saya ini kan anak kos Ibu. Nanti kalau ada yang tahu bagaimana? Kalau Pak Sony tiba-tiba pulang bagaimana?” aku masih mencoba bertahan pada seutas logika yang sudah rantas dan akan putus sebentar lagi.

“Tenang, tidak ada yang tahu kamu ada di sini. Anak-anak kos yang lain belum pulang, sedangkan Mas Sony masih seminggu lagi baru pulang. Jadi saat ini hanya ada kamu dan aku. Aku sudah lama sekali menunggu kesempatan seperti ini, bahkan sejak kamu pertama kali datang ke rumah ini. Oh ya, dan jangan panggil Bu, tapi panggil saja Mbak.” dia menatapku dengan memelas.

Sial, berarti benar adanya ketika pertama kali kami bertemu, dia memberikan tanda-tanda yang tidak biasa, pikirku. Dia menggenggam kedua tanganku, lalu membimbing mereka menuju dua bukit kembar yang dari tadi menjadi pusat perhatianku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyentuh payudara seorang wanita. Ah, mereka masih begitu kenyal dan kencang. Aku merasakan di telapak tanganku tonjolan kecil dari payudaranya, ya itu putingnya, dan mulai mengeras.

Dia semakin mendekat kepadaku, dan mulai menempelkan tubuhnya kepadaku. Bibirnya yang lembut pun mulai menempel ke bibirku. Lidahnya menyapu dengan lembut, dan memaksa masuk ke dalam mulutku. Akhirnya aku pun menyambut lidahnya dengan lidahku. Kami saling memagut satu sama lain, lidah kami bertarung dengan liarnya. Tangannya mulai memegang leher dan bergerak ke arah kepalaku sambil meremas-remas rambutku. Tanpa sadar tanganku mulai mengeksplorasi tubuhnya, bergerak dari payudara menuju punggung dan berakhir pada pantatnya yang padat. Sesekali dia mendesah ketika kuremas pantat yang sintal itu sambil terus memainkan lidahnya di dalam mulutku.

Tiba-tiba dia melepaskan ciuman kami, dan menggandengku menuju tempat tidur. Dan anehnya kali ini aku menurut saja tanpa mengajukan pertanyaan apapun. Kurasa logikaku kali ini sudah benar-benar putus, dan nafsu sudah menguasai tubuhku. Kami duduk di tepi tempat tidur ketika dia mulai melepaskan kaos dan celanaku. Secara perlahan dia pun melepaskan gaun tidur yang dia pakai, hanya menyisakan celana dalam warna putih saja di sana.

Aku menatap pemandangan di depanku dengan takjub. Dia begitu sempurna, tubuhnya masih terbilang indah, kulitnya yang mulus, dengan dua bukit yang saat ini sedang mengencang dan putingnya yang menjulang. Dia mulai menciumku lagi,tapi kali ini ciuman ringan. Lidahnya mulai menyapu bibir, kemudian bergerak ke leherku lalu menuju dadaku dan bermain-main dengan putingku. Oh, aku semakin menegang, dan milikku di bawah sana semakin mengeras saat ada tangan lembut menggegamnya dengan lembut. Kupejamkan mataku saat lidah yang lembut itu mulai menjilati kemaluanku dari ujung hingga pangkalnya. Bolaku juga tidak luput darinya, dia mainkan dengan tangannya, oh aku benar-benar dibuatnya melayang. Aku belum pernah mengalami sensasi seperti ini dalam hidupku sebelumnya.

Dia mendongak dan memandang dengan penuh kelembutan. Bibirnya kembali menuju ke bibirku, kemudian dengan lembut tangannya meraih kepalaku lalu membimbing kepalaku menelusuri lehernya dan akhirnya bermuara pada kedua payudaranya. Kuciumi mereka dan kemudian kedua puting yang sudah mengeras itu tenggelam dalam mulutku secara bergantian kiri dan kanan. Tangannya kemudian membimbing kepalaku menuju perut dan secara perlahan kulepas celana dalamnya. Sekilas kulihat celana itu sudah sedikit basah di bagian tengahnya. Akhirnya kepalaku sampai juga di depan sebuah lipatan yang indah dan sedikit tembem memperlihatkan sedikit dari bibir kemerahan yang menyembul dari dalam. Rupanya dia adalah orang yang pandai merawat diri. Bibir bawahnya begitu mulus tanda sering dicukur.

Dia mulai membuka pahanya lebih lebar, sehingga semakin tampaklah bibir yang merah dan sudah mulai sedikit basah oleh cairan pelumas. Tangan kirinya menyibakkan bibir itu sementara tangan kanannya membimbing kepalaku supaya mendekat. Secara naluri akhirnya aku pun menciumi bibir itu, menjilati, mengisap, dan sesekali memberikan gigitan kecil di sekitarnya. Tanganku akhirnya ikut membantu menyibak bibir vaginanya. Lidahku merasakan ada tonjolan di bagian atas, dimana kedua bibir itu bermuara. Kuhisap, kujilati tonjolan itu.

Tanpa kuduga dia mulai mendesah, melenguh, dan menggelinjang. Tubuhnya menegang sembari tangannya meremas-remas rambutku. “Oh, mas, ayo terus... Iya di situ... oh awh...”

Aku pun semakin intens dan semakin menggila bermain dengan klitorisnya. Tangan kirinya mulai meremas-remas payudaranya sendiri sambil sesekali menarik-narik putingnya. Aku pun mulai berani memasukkan jariku ke dalam liang vaginanya yang sudah basah dari tadi. Lidahku masih menari-nari di klitorisnya, sedangkan tanganku mulai dengan mudahnya bermain di dalam vaginanya.

Tiba-tiba tubuhnya menegang lebih kencang dari yang tadi. Tangan kanannya menjambak rambutku dan tangan kirinya meremas payudaranya lebih kencang. Jariku yang ada di dalam dirinya terasa seperti dijepit, berdenyut-denyut serta terasa lebih basah dan licin. Dia pun seperti menjerit tertahan, “Akhhh... Masss.... aku... keluar...”

Nafasnya terengah-engah dan tubuhnya langsung lunglai terbaring di atas kasur. Aku masih sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Lalu dia memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat ke wajahnya. Kemudian ia memelukku begitu erat, sambil berbisik. “Terima kasih ya, Mas, tadi barusan kamu membuat aku klimaks. Sekarang aku ingin milikmu ada di dalam milikku. Masukkan pelan-pelan ya, Mas.”

“Baik, Bu, eh, maksudku Mbak.”

Lalu dengan perlahan kumasukkan penis yang sedari tadi sudah mengeras. Dia sedikit merintih ketika kepala penisku mulai masuk liang vaginanya. Kugerakkan pelan-pelan sampai akhirnya hampir semua batangku sudah berada di dalam miliknya. Vaginanya yang masih basah tidak menyulitkanku untuk menggerakan penisku. Awalnya gerakanku agak canggung, namun lama-lama aku sudah menemukan iramanya. Tanganku bermain-main dengan payudaranya, sedangkan tangannya memegang pinggulku seolah ikut mengatur iramanya.

Semakin lama gerakanku semakin cepat dan kurasakan denyut-denyut liar di dalam sana. Dorongan itu pun semakin kuat, dan akupun mendekap tubuhnya erat-erat seolah tak mau kehilangannya. Aku memompa semakin cepat dan kemudian kulihat wajahnya mulai memerah. Tangannya mulai meremas-remas pantatku dan tubuhnya mulai menegang hingga akhirnya dia menggelinjang untuk yang kedua kalinya. Dia menjerit kecil lagi, “Akh, mas... aku datang lagi... jangan dicabut... biarkan keluar di dalam... ugh...”

Akhirnya dorongan itu lepas juga ketika cairan hangatku menyembur ke dalam vaginanya. Gerakanku melambat dan sisi-sisi vaginanya menjadi licin serta penisku menjadi lebih sensitif. Tubuhku langsung menjadi lemas, tanganku pun seolah tak mampu menopang berat tubuhku sendiri. Kusandarkan kepalaku kepada dahinya. Dia memelukku erat kemudian memberikanku ciuman yang lembut. Aku bergerak ke samping dan tidur terlentang di sisinya. Lalu dia memelukku dan kami pun segera terlelap setelah mengalami kelelahan yang sangat hebat. Aku pun tidur dengan senyuman mengembang di wajahku. Aku sudah tidak sempat lagi memperhatikan wajahnya saat itu. Aku sudah terlalu lelah, aku hanya ingin tidur.