Minggu, 04 Agustus 2013

Tanti dan Windy

Semuanya berawal di pagi yang dingin 3 bulan yang lalu... aku sedang asyik main game di laptop, ketika HP-ku yang ada di atas kulkas bergetar. Kulihat di layar, nomernya tidak dikenal. Diterima apa nggak ya? Aku memang malas menerima telepon bukan dari nomor yang ada di ’kontak’ku. Tapi entahlah, pagi itu aku seperti mendapat dorongan untuk menerimanya.

”Halo?” kuangkat telepon itu.

”Halo, mas. Gimana kabarnya?” tanya suara merdu di seberang. Aku seperti familier dengan suara itu. Tapi siapa ya? Aku lupa.

”Ya, kabarku baik-baik saja.” Aku masih menebak-nebak dan terus mengingat-ingat siapa dia. Sementara di seberang, si empunya suara terus mengoceh.

“Mas sekarang dimana? Istri mas ada nggak?” tanya perempuan itu. Oh ya, hampir lupa, suara itu suara perempuan.

“Ehm, aku di kota S. Lagi di kontrakan ini, sendirian. Istriku ada di kota B, sejak melahirkan kemarin belum balik kemari.” entah kenapa aku menjawab terus terang kepadanya. Aku tahu perempuan itu bertanya tentang istriku karena takut istriku akan marah kalau sampai tahu aku menerima telepon dari wanita lain. Tapi kalau sedang sendirian di kontrakan begini, berarti aman, pembicaraan bisa dilanjutkan.

Karena tidak bisa menebak siapa dia, aku akhirnya bertanya. ”Eh, bentar ya, ini siapa sich?”

Perempuan itu merajuk, ”Masa lupa sih, Mas. Aku Tanti.”

Ah, ya... Tanti. Baru ingat aku sekarang. ”Oh, kamu toh, Tan. Nomormu ganti lagi?” aku bertanya. Memang kebiasaan dia sejak dulu, suka gonta-ganti nomor.

Tanti tertawa. Dan selanjutnya, kami pun segera terlibat dalam obrolan ringan dua sahabat yang sudah hampir dua tahun tidak ketemu. Tanti adalah mantan rekan kerjaku yang kini sudah keluar. Setelah menikah, dia ikut suaminya ke kota M. Sejak itu kita putus hubungan, hanya kadang-kadang saja ngobrol di FB kalau pas lagi online bareng. Padahal dulu kita akrab sekali.

Sedikit gambaran tentangnya, Tanti adalah perempuan yang ’tinggi besar’. Tinggi karena dia memang 170cm, aku saja harus mendongak kalau berbicara dengannya. Dan besar karena dada dan bokongnya memang sangat besar. Wajahnya juga cantik, dengan gaya bicara yang begitu manja dan menggemaskan. Kesannya jadi geregetan kalau ngobrol dengannya. Sehari-hari dia memakai jilbab. Aku tidak pernah tahu rambutnya bagaimana sampai saat aku tidur dengannya. Dan untuk masalah tidur ini, aku juga tidak pernah membayangkannya sama sekali. Boro-boro tidur, pacaran dengannya saja aku tak pernah, apalagi tidur. Tapi itulah takdir, semuanya bisa terjadi begitu cepat. Kita tidak pernah bisa menebaknya sama sekali.

Jujur, sejak pertama kenal dulu, aku sudah tertarik kepadanya. Tertarik dalam arti ’nafsu’, bukan tertarik untuk dijadikan pacar. Aku tahu diri, dengan keadaanku yang seperti ini – badanku pendek dan aku cuma pegawai biasa – Tanti tidak akan pernah tertarik kepadaku. Jadi aku mendekatinya hanya sekedar sebagai teman ngobrol dan curhat saja. Dan Tanti tampaknya juga menikmatinya. Dia jadi sering menceritakan masalahnya kepadaku, termasuk apabila ada masalah dengan pacar-pacarnya yang semuanya kaya dan tajir-tajir. Bahkan tidak jarang dia meneleponku tengah malam hanya untuk menangis apabila disakiti oleh salah satu pacarnya. Yah, itulah aku, cuma bisa menjadi pendengar setianya, dan sesekali memberikan saran kalau masalahnya cukup berat.

Tapi aku cukup menikmatinya, karena dengan begitu aku bisa akrab dengannya. Bahkan lebih akrab dari pacar-pacarnya, karena dengan mereka, Tanti sering bertengkar. Sedangkan denganku, dia selalu tertawa dan bergembira. Hubungan ini berjalan begitu lama, hampir satu tahun. Dan selama itu, Tanti tidak pernah tahu kalau aku menggunakan tubuhnya sebagai objek fantasiku. Hampir setiap hari aku onani sambil membayangkan tubuhnya. Cuma itu yang bisa kulakukan agar bisa ikut memiliki dirinya. Maafkan aku, Tan...

Sampai akhirnya aku menikah 2 tahun yang lalu. Tanti ikut merancang semuanya, bahkan dia memilihkan jas yang akan kupakai saat akad nikah nanti. Dia lebih perhatian daripada calon istriku! Dia juga terlihat gembira karena melihat aku sudah menemukan calon pendamping.

”Kamu kapan nyusul?” tanyaku saat kita makan bareng untuk yang terakhir kali.

”Nggak tahu, Mas. Mungkin tahun depan. Nunggu bisnis si Ferdi stabil dulu.” Ferdi adalah nama pacarnya yang sekarang, anak orang kaya.

Dan bulan-bulan berikutnya, setelah aku menikah, Tanti makin menjauh. Mungkin dia sadar kalau sudah tidak bisa memiliku seperti dulu lagi. Dan juga, dia sudah mulai disibukkan persiapan pernikahannya yang tinggal menghitung hari. Sedangkan aku, juga sibuk mempersiapkan kelahiran bayiku. Kami makin putus hubungan. Apalagi setelah dia menikah dan pindah ke kota M ikut suaminya, aku jadi tidak bisa menghubunginya lagi. Nomornya sering ganti, dan juga aku takut kalau sampai ketahuan suaminya. Bisa runyam nanti.

Kami hanya bertegur sapa di dunia maya, itu pun cuma beberapa bulan sekali, kalau pas lagi online bareng. Kalau nggak, ya aku lebih sibuk merawat istriku daripada memikirkan si Tanti. Kandungan istriku kini semakin besar.

Sesekali Tanti meneleponku, kalau aku lagi berada di kantor. Dia tidak mau menyakiti perasaan istriku. Dari situ aku tahu kalau ternyata dia masih belum hamil juga, padahal sudah enam bulan menikah. Aku sempat menertawakannya kala itu, karena kalah denganku.

”Aku aja yang pendek gini cespleng, sebulan langsung jadi. Suamimu kurang pinter tuh.” selorohku. Tapi ternyata dia memang sengaja KB dulu karena masih belum siap punya anak.

Di lain waktu, beberapa bulan berikutnya, saat anakku sudah lahir, dia telepon lagi. Kali ini mengabarkan kalau sudah hamil. Aku segera memberinya selamat. Tanti bertanya soal kehamilan awal dan saat-saat melahirkan. Kujawab sesuai yang kulihat pada istriku.

”Tiga bulan awal muntah-muntah dan badan lemas. Itu suamimu suruh berhenti dulu, jangan nyerbu terus. Bisa jatuh kandunganmu nanti,” kataku. Tanti mengiyakan sambil tertawa.

”Tiga bulan berikutnya, kandungan sudah kuat. Boleh main, tapi tetap harus pelan dan hati-hati.” jelasku. ”Rasanya enak banget saat itu. Aku dulu jadi nafsu terus sama istriku.” aku menambahkan.

”Enak bagaimana?” Tanti bertanya.

”Ya, pokoknya enak. Badan kamu nanti jadi tambah montok dan gemuk, susumu jadi tambah besar. Begitu juga paha dan bokong kamu. Laki-laki mana coba yang tahan lihat istri seperti itu?” aku tertawa.

Tanti juga tertawa. ”Ah, jorok nih ngomongnya.”

”Eh, ini kenyataan. Nanti tanyakan sama suamimu.”

”Iya deh, nanti. Terus, tiga bulan selanjutnya bagaimana?” tanya Tanti.

”Asal tidak ada masalah dalam kandunganmu, tetep boleh main. Bahkan ada beberapa dokter yang menganjurkan agar memperbanyak ML untuk melebarkan jalan lahir dan juga memberi pelumasan agar waktu lahir nggak begitu sakit. Tapi tetap harus pelan dan ekstra hati-hati.” jelasku.

”Emang melahirkan itu sakit ya?” dia bertanya.

”Kalau lihat istriku yang sampai pucet dan menangis sih, sepertinya sakit.” aku tertawa.

Tanti ikut tertawa. ”Ah, payah nih, nggak bisa diajak serius.” selanjutnya dia bertanya banyak hal tentang proses kelahiran dan cara merawat bayi. Aku berusaha menjawabnya semampuku.

Diakhir pembicaraan kukatakan kepadanya, ”Tapi tenang saja, lebih sakit sunat kok daripada melahirkan.”

”Lho, kok bisa?” Tanti bertanya tidak percaya.

”Buktinya, saking sakitnya... aku kapok nggak mau sunat lagi, cukup satu kali saja. Hahaha...” aku tertawa terbahak-bahak. ”Sedangkan melahirkan, bilangnya sakit... tapi mau aja tahun depan hamil lagi.” tambahku.

”Hahaha...” Tanti ikut ngakak. ”Coba aja sunat lagi, bisa habis burung Mas!”

Setelah saling mengucapkan salam, kami pun mengakhiri pembicaraan pagi hari itu. Tanti memang sering meneleponku di pagi hari, saat suaminya pergi kerja.

Beberapa bulan berikutnya, dia menelepon lagi. Kukira akan mengabarkan berita bahagia, ternyata malah kabar buruk. Dia keguguran!

”Berapa bulan?” aku bertanya.

”Dua bulan.” Tanti menjawab tanpa semangat. Nada ceria dalam suaranya menghilang. Aku jadi tidak tega untuk menggodanya.

”Kamu kecapekan mungkin.” kataku.

”Iya, kata dokter sih begitu.” sahutnya. ”Aku habis mengantar mertua ke bandara.”

Hmm, pantas saja. Dalam situasi seperti itu, aku cuma bisa memberinya semangat dan dorongan agar tetap sabar dan tidak putus asa untuk terus berusaha. Toh, umur mereka masih sangat muda. Tapi melihat proses kehamilannya yang dulu, yang harus menunggu 8 bulan, Tanti kelihatannya pesimistis.

”Jangan gitu dong, rejeki kan dari yang kuasa. Kita cuma bisa berusaha dan berdoa!” kataku.

Tanti mengiyakan, lalu mengucapkan terima kasih dan menutup telepon.



Empat bulan berikutnya, setelah makan siang, HP-ku berdering. Itu dari Tanti. ”Halo, Tan, apa kabar?” aku segera menyapanya.

”Halo, mas, nggak sibuk kan?” jawabnya ramah, rupanya dia sudah bisa melupakan kesedihannya.

”Nggak, ini habis makan. Ada apa?” aku bertanya.

”Nggak ada apa-apa. Cuma pengen say hello aja.” Tanti menjawab.

”Kangen ya sama aku?” aku menggodanya.

”Yee, siapa juga yang kangen!” dia tertawa.

”Gimana, sudah hamil lagi?” tanyaku penasaran.

Tanti mendesah. ”Belum nih, mas. Nggak jadi-jadi.”

”Sudah bener belum caranya?” tanyaku.

”Sudah.” Tanti menjawab, tidak ada nada malu sama sekali dalam suaranya. ”segala macam gaya sudah kita lakukan.”

Aku menelan ludah mendengarnya. Segala gaya? Membayangkannya saja sudah membuatku bergairah. Penisku perlahan menggeliat. ”Jangan banyak gaya, malah nggak jadi-jadi nanti. Yang biasa aja.” tambahku.

”Biasa bagaimana?” tanya Tanti.

Aduh, dia bertanya lagi. Masa nggak tahu sih? Apa harus kujelaskan? ”Ya biasa, kamu di bawah, suamimu di atas.”

”Itu mah sudah sering, Mas. Malah pake diganjal bantal segala biar punyaku naik, biar sperma mas Ferdi nggak ada yang tumpah.” haduh nih anak, ngomongnya kotor banget setelah menikah.

Karena dia yang mengajak, jadi aku pun meladeninya. ”Mungkin punya suamimu kurang panjang kali, jadi nggak nyampe.”

”Nyampe kok. Rasanya mentok kalau dia nusuk keras-keras.” haduh, makin jorok omongannya. Apa sih maunya?

“Kira-kira berapa besar penis suami kamu?” aku bertanya lagi.

“Berapa ya? Aku nggak tahu, mas!” jawabnya bingung. “Kayanya masih ada lebihnya deh pas aku genggam, kepalanya masih nongol!” sambungnya.

Aku mencoba membayangkan, membandingkan dengan punyaku. “Aku perkirakan penis suami kamu sekitar 10 sampai 14 cm, masih normal.” Kubayangkan kalau Tanti menggenggam penisku, ugh aku makin ngaceng!

”Ya emang normal, siapa juga yang bilang nggak!” Tanti memprotes.

Aku tertawa mendengarnya. “Bagaimana dengan kekerasannya?” tanyaku lagi.

“Keras sekali, mas, kayak batu!” sahut Tanti mantab.

Aku diam sejenak, mencoba berfikir tentang penghambatnya memiliki anak, sebab dari pembicaraan barusan sepertinya tidak ada masalah dalam kehidupan seksnya, tapi kenapa Tanti masih belum hamil juga?

“Kok diam, mas?” tanya Tanti, dikiranya aku tertidur.

“Aku lagi mikir penyebabnya, Tan.” sahutku. ”Ehm, sudah periksa belum, nggak ada masalah kan dengan kalian berdua?” aku bertanya. Kuelus penisku yang ada di balik celana, sudah terasa keras sekali.

”Hmm, iya sih. Sperma mas Ferdi katanya terlalu encer.” sahut Tanti.

“Suruh banyak-banyak makan tauge biar nggak encer. Tauge bagus tuh buar ngentelin sperma.” kataku. Sperma encer, mungkin itu penyebabnya.

”Oh, gitu ya?” Tanti tampaknya baru tahu.

“Atau kurang lama, mungkin?” aku memberi alternatif.

”Lama gimana?” Tanti bertanya tidak mengerti.

”Kira-kira berapa lama penis suami kamu bertahan dalam kewanitaan kamu?” tanyaku.

“Ehm, mungkin sekitar 5 menit.” jawabnya tak pasti.

5 menit? Masih lumayan. ”Sering nggak dia moncrot duluan sebelum kamu keluar?” tanyaku lagi.

”Sering sih nggak, hanya kadang-kadang saja.” jawab Tanti.

”Kadang-kadangnya itu berapa?” aku ingin kepastian.

”Ehm,” Tanti bergumam seperti mengingat-ingat. ”Dua diantara tiga deh.” jawabnya kemudian.

”Itu mah termasuk sering, Tan. Aku aja nggak pernah keluar duluan.” aku menyombong, biar saja dia pengen.

”Ah, benarkah? Aku nggak percaya!” Tanti meledek.

”Eh, dibilangin juga!” dasar nih anak, nantangin banget.

”Kan nggak ada buktinya.” Tanti berkilah.

”Mau bukti? Ayo kesini, kubuktikan! Akan kubikin kamu KO seharian!” selorohku, penisku makin terasa keras dan ngilu. Membayangkan menyetubuhinya saja sudah membuatku begini bergairah.

Tanti tertawa. ”Hahaha, kenapa bukan mas aja yang kesini? Nih rumahku lagi kosong, Mas Ferdi lagi kerja.” tantangnya.

Gila! Meski sangat ingin, aku tak mungkin bisa melakukan itu. Jarak kotaku ke kotanya lumayan jauh, hampir 4 jam kalau naik angkutan umum. Sedikit lebih cepat kalau naik kereta. ”Awas ya! Kalau ada waktu, aku samperin kamu!” aku mengancam.

”Ok, aku tunggu, mas.” Tanti tertawa semakin keras.

Meski cuma bercanda, tapi tak urung tetap membuatku panas dingin juga. Karena tak tahan, aku pun segera menutup pembicaraan. . “Ya udah, Tan, kita sambung lain waktu ya. Aku harus kembali kerja.” Ada hal lain yang lebih penting yang harus aku lakukan sekarang. Tidak bisa ditunda, mumpung lagi panas-panasnya.

“Oke deh!” sahutnya riang.

”Kudoakan cepat hamil.” kataku untuk terakhir kali.

Setelah saling mengucap salam, kami pun berpisah. Aku cepat lari ke kamar mandi dan onani disana. Gila kamu, Tan! Padahal cuma ngobrol, tapi kamu sanggup bikin aku ngaceng seperti ini! Sambil mengocok penisku, kuputar kembali percakapanku dengan Tanti tadi. Sebenarnya ada peluang untuk memanfaatkan situasi ini. Dia sudah menawariku, meski sambil guyon, tapi siapa tahu itu beneran?! Hanya masalahnya, jarak rumahnya yang sangat jauh. Butuh seharian kalau harus bolak-balik menemuinya, sedangkan pekerjaanku nggak bisa ditinggal. Kalo istriku sih beres, dia kan tinggal di kota lain sejak melahirkan kemarin, jadi pasti aman. Apa harus nunggu libur akhir pekan? Giliran suami Tanti yang ada di rumah. Hmm, serba repot.

Lama aku berfikir dan menimbang-nimbang, akhirnya aku putuskan untuk menunggu saja apa yang terjadi selanjutnya. Kalau memang sudah rejeki, aku pasti bisa menidurinya. Tunggu aja, Tan, aku akan datang!

***

Satu bulan berlalu tanpa ada kejadian apapun. Tanti tidak menghubungiku lagi, padahal aku sudah sangat berharap. Sebagai pelampiasan, aku cuma bisa onani sambil membayangkan tubuh indahnya. Istriku yang kutemui 1 minggu sekali setiap akhir pekan, sudah tidak bisa lagi memuaskanku, padahal dia cukup cantik dan seksi. Selama menyusui anakku, payudaranya jadi tambah besar dan mengkal. Tapi entahlah, hanya bayangan Tanti yang ada di kepalaku. Bahkan tak jarang saat main dengan istriku, Tanti lah yang kuangankan sedang kupeluk dan kucium.

Di kala sedang asyik melamun sambil menyelesaikan laporan bulanan, tiba-tiba ada SMS yang masuk. Dari Tanti! Akhirnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Kubaca SMS-nya dengan cepat, ”Menurut mas, apakah bodyku cukup bagus?” dia bertanya.

Gila! Nggak pernah ngomong, tahu-tahu SMS seperti ini. Aku jadi kaget. Apa sih maunya? ”Ya nggak tahu, Tan. Dulu sih bagus, nggak tahu sekarang. Emang kenapa?” aku tanya balik.

”Mas Ferdi akhir-akhir ini malas kalau kuajak berhubungan, apa dia bosan ya dengan tubuhku?” Tanti menjawab beberapa detik kemudian. ”Kalau begini terus, kapan kami bisa punya anak?!” tambahnya lagi sebelum aku sempat membalas yang pertama.

”Sabar! Kalau suamimu malas, aku siap kok bikinkan kamu bayi!” jawabku menggoda.

”Mas, aku serius nih!” balas Tanti.

“Aku juga serius!” aku tak mau kalah. Jaring sudah kutebar, pantang untuk ditarik kembali. Salah sendiri sudah menggodaku.

”Aku pikir-pikir lagi deh.” begitulah jawaban yang kuterima, membuat hatiku senang dan berbunga-bunga.

”Ok deh,” balasku penuh semangat.

Keesokan paginya, aku baru saja membuka berkas dan HP baru aku aktifkan, sudah ada SMS dari Tanti, bunyinya singkat, ”Golongan darah mas apa?”

“A” aku juga menjawab singkat.

“Perfect! Nanti aku kabari lagi.” balas Tanti.

Apaan sih? Aku tidak mengerti. Sejenak aku terdiam penuh kebingungan. Ah sudahlah, lebih baik aku segera bekerja, hari sudah siang sedangkan pekerjaanku lumayan menumpuk. Tapi kutunggu sampai sore hari, ternyata tidak ada SMS dari Tanti. Aku yang tak sabar sudah ingin meneleponnya, tapi begitu teringat kalau jam segini suaminya pasti sudah pulang dari kantor, akhirnya kuurungkan niatku.

***

Seminggu berlalu begitu cepat. Aku sudah putus asa akan kelanjutan hubunganku dengan Tanti. Aku memang terlalu berharap. Seharusnya aku tahu diri, Tanti yang cantik jelita tidak mungkin mau denganku yang pendek dan gemuk ini, meski wajahku ganteng. Mungkin kemarin dia bener-bener bercanda, aku saja yang menganggap semua itu serius. Dasar! Begini ini jadinya kalau terlalu bernafsu.

Disaat sudah siap mengikhlaskan diri, hapeku tiba-tiba berbunyi. Dari Tanti! Ada apa lagi sekarang? ”Ya, halo?” aku menerimanya. Harapan yang kembali tumbuh di hatiku, berusaha kutekan kuat-kuat ke bawah. Aku tidak ingin kecewa untuk kedua kali.

”Mas, sekarang suamiku diklat ke bandung, pulang baru minggu depan.” kata Tanti pendek.

”Iya, terus apa hubungannya denganku?” aku tidak mengerti.

”Mas nggak ingin main kemari?” sahut Tanti.

Hah! Dia mengundangku! ”K-kamu serius, Tan?” aku bertanya tergagap.

“Ya iyalah. Katanya kemarin mas juga serius! Gimana sih!” dia kelihatan kecewa.

”O-oke, Tan, oke. Aku cuma nggak nyangka aja kalau kamu beneran mau main denganku.” sahutku menenangkan.

”Baik, mas. Nanti aku jemput di terminal ya, bye!” Tanti menutup telepon, mungkin dia terlalu malu untuk berbincang lama denganku. Dasar wanita!

Aku menghela nafas sambil tersenyum lebar. Akhirnya apa yang kuimpikan selama ini bakal segera terwujud. Rasanya sudah tidak sabar menunggu minggu depan. Bagaimana ya rupa Tanti sekarang, apa dia tambah cantik dan seksi? Ugh, selama sisa hari, aku jadi tidak bisa konsentrasi ke pekerjaan. Bayangan tubuh mulus dan montok milik Tanti lebih menyita perhatianku. Tak tahan, akupun menuju kamar mandi dan onani disana.

***

Sesuai janji yang sudah disepakati, jumat sore aku meluncur ke kota M. Aku sengaja naik bis agar mudah ketemu sama Tanti, dia akan menjemputku di terminal. Kalau naik sepeda, bisa-bisa sebelum nyampai kota M, aku sudah kesasar duluan. Aku tidak begitu paham jalanan menuju kota itu. Lagian hari juga sudah malam. Kepada istriku, aku beralasan ada lembur minggu ini, jadi aku tidak bisa pulang. Istriku bisa mengerti.

Setelah menempuh perjalanan hampir 4 jam, aku pun sampai. Begitu turun dari bis, kusapukan pandanganku ke ruang tunggu terminal, tidak kulihat Tanti berada disana. Aku sudah akan melangkahkan kaki saat dari arah parkiran mobil kudengar suara merdunya memanggilku, ”Hei, mas, sini!” dia melambaikan tangan agar aku bisa melihatnya. Sebenarnya itu tidak perlu karena wajah cantik dan postur tubuhnya yang tinggi besar tampak mencolok diantara deretan orang-orang yang lalu lalang di tempat itu.

Tersenyum lebar, aku pun segera menghampirinya. ”Sudah lama nunggu?” kujabat tangannya dan kutatap wajah cantiknya yang tampak tidak berubah sedikit pun. Bahkan dia terlihat makin menggairahkan sekarang karena bulatan payudara dan pinggulnya menjadi sedikit lebih besar, postur khas ibu-ibu. Ugh, aku jadi tak tahan.

”Yuk masuk. Kita langsung ke rumah apa makan dulu?” dia mengajakku masuk ke mobilnya, sebuah Karimun pink tahun 2006.

”Makan aja deh, aku lapar.” jawabku, meski penisku sudah ngaceng penuh melihat tubuh sintalnya.

Tanti mengajakku ke sebuah warung sate. ”Biar tambah greng!” katanya.

Aku hanya tertawa menanggapinya. Selama makan, kami mengobrol basa-basi, saling bercerita tentang keluarga dan pekerjaan, sesekali juga bercanda dan tertawa, tidak sedikit pun menyinggung masalah perselingkuhan kami nanti. Di perjalanan menuju rumah Tanti, kami juga tidak membahasnya. Kami sama-sama diam. Mungkin Tanti sungkan untuk memulai, dia kan perempuan. Entah apa yang ada di benaknyai sekarang, mungkin dia pusing lihat kemacetan yang ada di depannya, maklum dia yang jadi sopir. Sementara aku bersantai-ria di sampingnya sambil membayangkan apa saja yang akan kulakukan saat sudah berdua di kamar dengan Tanti nanti, aku tidak ingin membuat dia kecewa. Suara merdu Agnes Monica dari tape mobil mengisi kesunyian itu.

”Kenapa sih, kok mas ngelirik aku terus?” tanya Tanti tiba-tiba.

”Yeee, Ge-Er aja! Siapa juga yang ngelirik, aku cuma liatin jalan kok.” sahutku.

”Jalan tuh di depan, bukan di dada aku. Kalau yang ini namanya susu!” balas Tanti sengit.

”Hahaha,” aku tertawa. Tanti ikut tertawa. ”Kelihatan banget ya kalau aku gelirik kamu?” aku bertanya.

”Weleh, muka lihat jalan, tapi biji mata mas melotot ke arah sini.” Tanti menunjuk bulatan payudaranya. ”Emang susuku bagus ya?” tanyanya.

Aku tersenyum mendengar pertanyannya. ”Bukan bagus lagi, tapi perfect!” kuberikan dua jempolku padanya.

”Tunggu sampai mas lihat dalamnya!” sahutnya nakal.

”Ehm, boleh kulihat sekarang?” aku menawar.

”Hush, nggak boleh. Banyak orang!” Tanti menepis tanganku.

”Tapi kan kacanya gelap, Tan.” aku mencoba berkilah.

”Tapi aku lagi nyetir, mas. Kalau nubruk gimana?” balasnya.

”Susumu bikin aku nggak tahan, Tan. Kok bisa gede banget sih sekarang?” kupandangi benda kembar yang masih tertutup kaos dan jilbab itu tanpa berkedip.

”Kan ada yang ngerawat. Tiap malam dipenceti terus sama mas Ferdi, ya jadi gede gini. Emang punya istri mas nggak gede ya?” tanya Tanti.

”Gede juga sih, hehe.” aku tertawa.

”Lha itu sama.” Tanti memencet klakson saat ada pejalan kaki menyeberang sembarangan.

”Kamu yakin mau melakukan ini, Tan. Kalau suamimu curiga gimana?” aku bertanya.

“Tenang, kemarin sebelum berangkat, dia sudah kukasih jatah. Jadi kalau nanti aku hamil, waktunya pas. Lagian wajah mas mirip banget dengan mas Ferdi, ditambah golongan darah mas juga sama, jadi anak yang lahir nanti akan sulit sekali diketahui siapa ayah sebenarnya.” kata Tanti meyakinkanku. Rupanya dia sudah mempersiapkan semua ini dengan matang.

Tapi aku masih belum tenang. ”Kalau tingginya gimana? Aku kan pendek.” nggak mungkin kan Ferdi dan Tanti yang tinggi mempunyai anak pendek?

”Nggak bakal pendek-pendek amat kok, kan nanti juga dapat sumbangan dari aku.” sahut Tanti. Ah iya ya, aku jadi sedikit lebih tenang sekarang.

Tak lama, kami pun sampai di rumahnya. Rumah Tanti terletak di komplek perumahan baru yang masih jarang penghuninya. Sepertinya ini perumahan elit karena tipe rumahnya besar-besar. Bangunan di kiri dan kanan rumah Tanti masih kosong, tidak tampak ada lampu menyala disana. Hmm, sip lah. Kami jadi bisa bebas melakukan apapun nanti.

Setelah menaruh mobil di garasi, Tanti mengajakku masuk ke rumahnya. ”Jangan sungkan-sungkan, mas. Anggap aja rumah sendiri.” katanya sambil menutup pintu depan dan menguncinya.

”Termasuk juga menganggap kamu sebagai istri sendiri?” langsung kupeluk dia dan kuhujani mukanya yang cantik dengan ciuman.

”Hmmm, mas!” Tanti mendesah saat tanganku mulai bergerilya di tonjolan payudaranya yang besar. Kupijit dan kuremas-remas daging bulat itu hingga Tanti menggelinjang kegelian. ”S-sudah, mas. Kamu mandi dulu sana.” katanya sambil menyingkirkan tanganku dan menyeretku menuju ruang belakang.

”Maindiin,” aku menggelayut manja di pundaknya dan sekali lagi menciumi pipi dan bibirnya.

”Yeee, maunya!” Tanti mendorongku masuk kamar mandi. Terpaksa kulepaskan tubuh sintalnya. Dengan cepat aku melepas pakaian dan membersihkan diri dari keringat di sepanjang perjalanan, sementara Tanti pamit pergi ke kamar untuk mempersiapkan ajang pertarungan kita nanti.

Selesai mandi, kutemui Tanti di kamarnya. Rupanya dia sudah melepas jilbab serta bajunya tadi, sekarang dia cuma mengenakan daster tipis tanpa lengan yang mencetak jelas bentuk tubuhnya. Dengan rambut panjang lurus yang terurai hingga ke punggung, dia terlihat sangat menggairahkan sekali.

”Tan?” aku memanggilnya dengan suara bergetar, benar-benar terpesona. ”Kamu sungguh cantik!” kataku jujur.

Tanti tersenyum dan mengajakku duduk di sebelahnya. ”Sebenarnya aku berat melakukan ini, mas. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa hamil lagi.” bisiknya sambil memamerkan lekuk kakinya yang jenjang dan indah, yang terlihat putih mulus tanpa noda.

Ugh, kalau kakinya saja sudah seperti itu, bagaimana yang lain ya? Tanpa menunggu lama, penisku pun menggeliat dan mulai terbangun. ”Rileks, Tan. Anggap saja aku suami kamu sendiri. Kita kan melakukan ini mau sama mau, aku nggak memperkosa kamu kok seandainya kamu nggak mau!” bisikku di telinganya. Sambil terus berbicara, aku mencoba memeluk pundaknya dari samping, kupegang tangan kirinya dengan tanganku. Kucoba merasakan kehalusan kulitnya dengan sentuhan-sentuhan halus ujung jariku.

Dari pundak, sentuhanku turun ke telapak tangannya, silih berganti. Aku memang tidak ingin langsung menyerbunya, aku ingin membangkitkan gairah Tanti secara perlahan-lahan. Meski sudah tidak tahan, aku harus bersabar. Aku ingin Tanti juga menikmati permainan ini. Perselingkuhan pertamanya ini akan kubuat senikmat dan seindah mungkin hingga sukar untuk ia lupakan.

Sentuhan-sentuhan lembut yang aku lakukan, tidak dipungkiri membuat Tanti terpengaruh juga meski dia tidak merespon sama sekali pada awalnya. Tanti cuma terdiam pasrah tanpa melakukan apapun, hanya nafasnya saja yang terdengar semakin keras dan berat. Kulihat bulu-bulu di tengkuknya sudah meremang berdiri. Dia mulai terangsang.

Kutambah sentuhanku dengan sesekali mencium pundaknya. Tanganku yang dari tadi menyentuh tangannya, kini berpindah ke perutnya, dan terus beranjak naik hingga aku menyentuh payudaranya. Walau masih dibalut bra dan kain dasternya, benda itu terus sangat empuk dan kenyal saat kuremas-remas. Dengusan Tanti terdengar semakin keras, dia mulai gemetar dan menggelinjang. ”Auhh... mas!” desahnya.

Lama aku melakukan aksi tersebut sampai akhirnya aku tak tahan. Pelan kuturunkan tanganku kembali untuk kemudian menyusup ke balik dasternya. Sentuhan pada perut Tanti yang ramping membuatku bergidik. Setelah berputar-putar cukup lama, tanganku kemudian naik sampai aku menemukan sasaran utamaku, tonjolan payudaranya yang masih terbungkus bra!

Pelan, masih sambil menciumi telinga, pipi dan lehernya, kuremas-remas benda itu. Rasanya begitu padat dan kenyal, nikmat sekali. Kuelus-elus terus dengan lembut sambil aku berusaha mencari-cari putingnya yang masih tersembunyi, malu untuk menampakkan diri.

Tanti yang sudah mulai terangsang, memejamkan matanya, dan terdiam. Dia tidak merespon ulahku, tapi juga tidak melarangnya. Hanya diam begitu saja, seperti patung. Hingga tiba-tiba dia menepis tanganku dan menariknya keluar dari balik daster. ”Sudah ya.” bisiknya sambil menoleh dan mengecup bibirku.

Aku membalasnya dengan melumat bibirnya rakus sambil terus memberi sentuhan. Kali ini yang menjadi sasaranku adalah kakinya. Karena posisi Tanti agak sedikit miring ke arahku, sedikit demi sedikit aku bisa menyentuh pahanya yang putih mulus. Saat kuusap, benda itu terasa begitu licin dan hangat. Darahku berdesir. Aku ketagihan. Tanganku terus meraba disana, menyingkap dasternya makin ke atas hingga bisa kulihat pinggulnya yang lebar, yang masih terbalut CD tipis warna merah.

”Ahhh... mas!” lenguh Tanti saat tanganku mulai mencari-cari pangkal pahanya. Rangsangan yang aku berikan sepertinya makin menambah gairahnya, karena Tanti menyambut lumatanku dengan bergairah. Bahkan tanganya mulai bergerak untuk meraba-raba gundukan di balik celana pendekku yang sejak dari tadi menegang hebat.

”Nggak usah malu-malu lagi, Tan. Kita nikmati malam ini sepuasnya.” kubimbing tangannya untuk masuk ke dalam celanaku, sementara aku terus melanjutkan aksiku di celah pangkal pahanya. Kugesek vagina gadis itu berulang-ulang sampai CD-nya jadi basah. Aku sengaja ingin menggodanya, kubelai pinggiran vaginanya berulang kali tanpa kumasukkan tanganku ke lubangnya. Dan itu rupanya berhasil, nafas Tanti menjadi semakin berat dan memburu. Sementara tangannya yang berada di dalam celanaku, kini sudah memijat-mijat penisku begitu keras, membuatku jadi sangat bernafsu sekali.

Aku pun menyudahi lumatan dan kecupanku pada bibirnya. ”Mas...” Tanti memajukan wajahnya, berusaha mengejar bibirku. Tapi aku sudah terlanjur turun menuju celah kakinya. Kukecup pelan pahanya yang putih mulus, gantian kiri dan kanan. ”Aahhh...!” Tanti langsung mendesah sambil memegang kepalaku, menekannya agar cepat menuju ke lubang vaginanya. Tapi seperti tadi, aku masih ingin bermain-main lebih lama.

Dengan lidahku, kujilati kulit pahanya yang licin bagai porselen. ”Ughhh...!” Tanti makin mendesah tak karuan. Kecupan dan hisapanku pada permukaannya membuat paha itu jadi bertotol-totol merah, sungguh sangat indah sekali. Setelah semuanya basah oleh air liurku, aku pun memajukan mulutku, menuju ke arah pangkal pahanya.

”Ahhh... ya, disitu, Mas. Jilat disitu!” rengek Tanti saat sedikit demi sedikit aku memberi sentuhan, kecupan dan jilatan pada tonjolan bukit vaginanya. Terasa sudah sangat basah disitu. Baunya juga sangat harum, lebih enak daripada punya istriku di rumah.

Karena rangsanganku, sambil mendesah, Tanti merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan posisi kaki menjuntai ke bawah tempat tidur. Aku semakin bebas bergerilya di alat vitalnya. Kujilat terus daging sobek yang masih tertutup celana dalam itu sambil tanganku meraih ke atas. Kugenggam tonjolan bukit payudaranya yang bulat membusung dan kuremas-remas dengan penuh nafsu, membuat Tanti makin merintih dan menggelinjang keenakan.

Akibat ciuman dan gigitanku, sekarang posisi celana dalamnya jadi miring ke samping, membuatku jadi bisa mengintip sedikit belahan vaginanya yang berwarna coklat kemerahan dengan bulu-bulu keriting halus yang tumbuh terawat rapi di bagian atasnya. Untuk beberapa saat, aku kagum dan takjub dengan pemandangan itu.

”Ayo, mas, lakukan! Jangan cuma dilihat saja!” rengek Tanti sambil menarik kepalaku.

”I-iya, Tan.” dengan lidah terjulur, kusentuh benda itu perlahan-lahan.

Tanti sedikit bergidik saat lidahku menyapu sebagian bibir vaginanya. ”Oughhh... mas!” dia menekan kepalaku semakin keras.

Kujilat lagi vaginanya hingga dia semakin menggelinjang. Sambil terus mengecup dan menyentuhnya, sedikit demi sedikit kutarik turun celana dalamnya. Begitu terlepas, segera kubuka kaki Tanti lebar-lebar hingga bisa kulihat dengan jelas lubang senggamanya yang sudah basah memerah. Aku menciumnya berulang kali sebelum akhirnya menghisap dan melahapnya dengan rakus.

”Ahhh... mas... aku... ya, begitu...” Tanti merintih tak jelas. Erangan terus terdengar dari mulut manisnya seiring jilatan dan hisapanku yang semakin liar dan kasar. Tubuh montoknya menggeliat kesana kemari, membuat kain daster yang dikenakannya tersingkap kemana-mana. Benda itu kini sudah tidak berguna lagi, semuanya teronggok mengumpul di pinggangnya yang ramping.

Sambil terus menjilat, aku melirik ke atas. Disana, di atas dada Tanti, bulatan payudaranya terlihat menyembul indah. Meski masih tertutup BH warna krem, tapi aku bisa melihat putingnya yang sesekali mengintip malu-malu saat wanita itu menggeliat. Sama dengan pahanya, payudara Tanti juga terlihat licin dan putih mulus. Aerola dan putingnya berwarna coklat kemerahan, sama dengan warna bibir vaginanya. Ughh! Membuatku jadi makin tak tahan.

”Aghhh... terus, mas! Terus! Jilat terus! Ahhh... ya, yang itu! Aghhh...!” erangan dan rintihan Tanti membuatku lupa diri. Aku terus melumat dan menjilat vaginanya, sambil tanganku memberi sentuhan halus pada kedua belah pahanya yang indah.

”Ahhh... mas!” desis Tanti saat elusanku merambat ke atas. Dari balik dasternya, aku memberi sentuhan-sentuhan halus ke kulit perutnya, menggelitik pusarnya, sampai akhirnya aku meremas lembut kedua bukit payudaranya. Tanpa mengeluarkan dari cupnya, kucari putingnya yang kini sudah terasa kaku dan keras. Kupilin dan kupencet-pencet benda mungil itu hingga membuat Tanti makin merintih tak karuan.

”Oughhh... mas! Enak! Nikmat sekali! Ahhh… kok mas pinter sih?!” racaunya sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Kedua kakinya menjepit kepalaku saat dari dalam liang vaginanya memancar cairan bening yang banyak sekali. Dia orgasme.

”Mas, aku pipis. Aduh, maaf ya!” Tanti segera menutup pahanya begitu aku menarik kepala untuk mencari nafas. Kuperhatikan dia masih mengejang-ngejang dan bergetar beberapa kali sebelum akhirnya terdiam dengan nafas masih terdengar berat dan sesak.
.
Sambil mengangguk mengerti, aku merangkak naik menindih tubuhnya. Tanti menggeliat pelan saat kusibak cup BH-nya untuk melihat payudaranya. ”Mas, aghh..!” desahnya ketika aku mulai mencium dan menjilatinya dengan lahap. Dia yang masih keletihan setelah orgasme yang pertama, hanya terlihat pasrah saja.

Karena aku sudah sangat bernafsu sekali, langsung kulepas celanaku. Batangku yang sudah sangat keras dari tadi, langsung meloncat keluar. Tanti sedikit terhenyak saat melihatnya. ”B-besar sekali, mas.” bisiknya tak berkedip. Kubimbing tangannya untuk menggenggamnya. Tapi Tanti menolak saat kusuruh dia untuk mengulumnya.

”Jijik, mas. Aku tidak pernah melakukannya.” gumamnya.

”Dicium-cium aja, Tan. Yang penting punyaku jadi basah.” kataku tidak kurang akal. Segera kusodorkan penisku ke depan bibirnya.

Tanti mulai menciuminya, tapi cuma batang dan telurnya. Ujungnya yang berlendir, sengaja ia hindari. Benar-benar jijik rupanya dia. Ok, aku bisa mengerti. Kubiarkan saja dia menjilat-jilat dan menciumi batangku hingga akhirnya aku merasa bosan. Tanti sangat kaku sekali saat melakukannya hingga aku jadi tidak bisa menikmati sama sekali. Sama sekali tidak ada enak-enaknya.

Daripada menunggu lama-lama, aku yang sudah tidak tahan untuk merasakan tubuh sintalnya, segera membaringkan Tanti di ranjang. Kutindih tubuhnya sambil kutempatkan pinggulku tepat di depan selangkangannya. Tanti sudah membuka pahanya lebar-lebar hingga penisku yang sudah menegak kencang terasa menempel di lubang vaginanya.

”Siap, Tan?” tanyaku sambil menggesek-gesekkan ujung penis ke bibir vaginanya. Tanti mengangguk. Kurasakan lubang vaginanya sudah basah dan merekah lebar, siap untuk dimasuki.

Sambil berpegangan ke pundaknya, kudorong penisku. Masih belum berhasil. Penisku melenceng ke kiri. ”Kurang ke bawah, mas.” bisik Tanti pelan. Dia membuka pahanya makin lebar agar aku makin leluasa melakukan gerakan.

Kudorong lagi. Kali ini terasa penisku masuk ke lubangnya. ”Bener yang ini, Tan?” aku bertanya takut salah lagi.

Tanti mengangguk. ”Iya, yang itu. Cepat dorong, mas!” ah, rupanya sudah tak tahan ia.

Sambil meremas dan menciumi payudaranya, kudorong lagi penisku. Tapi karena terlalu keras, yang ada malah melenceng lagi. Kali ini ke kanan. ”Aghhh...” kami mendesah kecewa bersamaan. ”Mas...!” Tanti melenguh manja. Dia segera meraih penisku dan mengarahkannya lurus ke depan lubangnya. ”Ayo, mas, kupegangi.” bisiknya.

Tersenyum, kucium bibirnya sekali lagi. Tanti menyambut ciumanku sambil pinggulnya maju ke depan mengejar penisku yang sudah masuk sebagian. ”Sabar, sayang!” Dengan satu hentakan keras, kutusukkan lagi penisku kuat-kuat.

”Ughhhh...” Tanti melenguh. Aku juga melenguh. Kami sama-sama merasakan nikmat. Penisku sudah masuk seluruhnya, menghunjam keras hingga mentok ke dalam memek Tanti yang sempit, dan bersarang dengan begitu sempurna disana. Rasanya seret, tapi nikmat sekali. Keinginanku untuk menyutubuhinya sudah terpenuhi sekarang.

”Aduh, ahh...” desah Tanti sambil memejamkan matanya. Kurasakan sebentar kedutan-kedutan di dinding vaginanya sebelum akhirnya kutarik sedikit demi sedikit batang penisku, kemudian aku masukkan lagi pelan-pelan, lebih dalam. Mulai kugenjot pelan tubuh mulusnya sambil tanganku tak henti meremas-remas payudaranya yang bulat dan kencang, sementara mulutku dengan rakus menciumi bibir dan lehernya.

”Ahh... Mas! Auw... ahh... ahh...” desahan Tanti membuatku makin bernafsu. Sambil memeluk tubuh mulusnya yang masih berbalut daster, kupercepat tusukanku. Gesekan kelamin kami yang terasa begitu nikmat membuat Tanti makin merintih dan menggelinjang. Tubuhnya yang montok terhentak-hentak begitu rupa, segera kupegangi agar dia tidak sampai jatuh dari ranjang.

Begitu panasnya persetubuhan kami hingga dalam hitungan menit, aku sudah tidak tahan untuk menyemburkan lahar panasku. Sambil menekan penisku dalam-dalam ke lubang vaginanya, kudekap tubuh Tanti erat-erat. ”Ahh... aku keluar, Tan!” dengan nafas tertahan dan mulut menempel ketat di ujung puting payudaranya, kusemburkan cairan cintaku di dalam rahim wanita cantik itu.

Perasaan nikmat segera menjalar di seluruh tubuhku. Untuk beberapa saat kunikmati sisa-sisa orgasmeku dengan terus mendekap tubuh mulus Tanti. Aku masih belum rela melepas rasa nikmat itu. Baru setelah nafasku sudah agak tenang dan cairan maniku sudah tidak menetes lagi, kucabut penisku dan bergulir terlentang di sampingnya. Sambil meremas-remas payudaranya, aku berbisik, ”Enak banget punya kamu, Tan. Untung kamu bukan istriku. Kalau istriku, nanti aku jadi malas ke kantor gara-gara nafsu terus sama kamu.”

”Hehehe... punya mas juga enak. Cuma sayangnya, cepet amat!” sahut Tanti.

”Ya habisnya, tubuhmu nafsuin banget sih.” kucubit putingnya yang sebelah kiri.

”Auw!” Tanti memekik nikmat. Dia membalasnya dengan meremas kuat penisku yang mulai melembek dan mengkerut.

”Kalau mau yang lama, nanti aja kita coba lagi, yah?” kuraba selangkangannya yang terasa sangat basah, kumasukkan jari telunjukkku ke sana untuk menggesek klitorisnya.

”Ehm... Mas!” dia menggelinjang pelan. ”Emang mas nggak capek?” tanyanya kemudian sambil mengocok pelan penisku, berusaha untuk membangkitkannya lagi. ”S-sepertinya burung mas lebih besar deh dari punya suamiku.” bisiknya.

”Masa sih? Ah, kamu bisa aja.” kucium bibirnya. Tanti membalasnya dengan melumat bibirku mesra.

”Iya, soalnya tadi terasa mampet dan sesak banget.” katanya sambil tertawa renyah.

Aku yang gemas kembali melumat bibirnya yang seksi itu. Lama aku melumatnya karena Tanti juga mengimbanginya dengan baik, dia menyusupkan lidahnya agar bisa bertarung dengan lidahku. Kuremas-remas lagi payudaranya sebelum akhirnya aku bangkit untuk pergi membersihkan diri ke kamar mandi. Di dalam, kubersihkan sisa-sisa spermaku yang masih melekat di batangku, benda itu sudah agak sedikit menegang karena kocokan Tanti barusan.

Tidak lama, Tanti menyusul masuk. Sambil mengangkat kaki kanannya ke atas closet dan menghadap ke cermin besar, dia membersihkan cairan maniku yang meleleh keluar dari vaginanya dengan menggunakan tisu WC. Dari belakang, kuperhatikan tubuh mulusnya yang indah itu. Dengan kaki jenjang dan sepasang paha yang putih bersih, dia tampak menggairahkan sekali. Ditambah dengan dua bongkahan pantat yang bulat dan padat, libidoku dengan cepat terkerek naik.

Rupanya Tanti juga memperhatikanku melalui pantulan cermin di depannya. Dia tersenyum saat melihat penisku yang perlahan mulai menggeliat dan menegang kembali. Aduh, senyumannya itu lho, bikin aku tak tahan. Segera kurangkul dia sambil kuremas-remas lagi bulatan payudaranya. ”Eh, ngapain sih senyum-senyum gitu?” tanyaku gemas. Kuciumi pipi dan lehernya.

Tanti mendesah, tapi tetap sibuk membersihkan cairan maniku yang merembes di paha sisi dalamnya. ”Mas pengen lagi ya?” sahutnya sambil menggesek-gesekkan bokong bulatnya ke batang penisku. Terasa penisku seperti diremas-remas dan dipijat-pijat pelan. Ugh, nikmat sekali.

“Emang kamu nggak pengen?” kuremas payudaranya semakin keras, kedua putingnya yang masih terasa kaku dan keras, kujepit dan kupilin-pilin.

Tanti menggelinjang. “Ehhss… geli, mas!” dia memprotes karena aku menganggu acara bersih-bersihnya.

”Kok dibersihin sih, Tan? Biar aja masuk, katanya mau hamil?” tanyaku heran. Tanganku tetap berada di atas gundukan bukit payudaranya.

”Cuma yang di luar aja, kok. Tadi sudah banyak yang masuk. Lagian nggak enak kalau kotor gini.” jawabnya pelan.

Sambil terus meremas-remas, kucium lagi lehernya. ”Nggak usah bersih-bersih, nanti jadi seret lagi pas dimasukin.” bisikku di telinganya. Kulepas daster yang ada di pinggangnya, juga BH krem yang menggantung tak berguna di atas payudaranya. Sekarang kami sudah sama-sama telanjang. Kupandangi tubuh montoknya sejenak sebelum akhirnya aku menunduk untuk melumat kedua putingnya.

”Ehh... ahhh... mas!” Tanti memegangi kepalaku saat aku mencucup dan menghisapnya penuh nafsu.

”Lagi ya, Tan?” aku meminta, mulutku penuh oleh bongkahan payudaranya sekarang.

Dia mengangguk dan tidak menolak saat ciumanku terus turun menuju perut dan pinggulnya. Sambil jongkok, kuciumi kedua pahanya yang putih mulus, juga kuelus-elus bulatan pantatnya yang terasa empuk dan kenyal. ”Ahhh... mas!” Tanti mendesis saat ciumanku berhenti di depan selangkangannya. Kujilati sebentar lubang vaginanya sebelum akhirnya aku berdiri dan bersiap untuk menyetubuhinya.

”Disini?” tanya Tanti heran melihatku mempersiapkan penis.

Mengangguk pelan, kubuka kakinya lebar-lebar. Kutumpangkan salah satu kaki Tanti ke kloset agar vaginanya bisa terbuka lebar. Sambil terus menciumi bibir dan lehernya, kugesek-gesekkan ujung penisku ke lubang kemaluannya. ”Ehmmm... mas!” Tanti merintih dan memelukku saat aku mulai memasukinya. Matanya terpejam menikmati tusukan penisku yang perlahan memenuhi lubang vaginanya.

Dalam posisi berdiri dan setengah berpelukan, aku kembali menyetubuhinya. Kugenjot tubuh mulus Tanti sambil tanganku bermain-main lembut di kedua putingnya. ”Mas... ahh... ahh...” meski tidak seenak kalau tiduran di ranjang, tapi tetap saja posisi ini membuat Tanti mendesis dan menggeram penuh kenikmatan.

Aku juga merasakan hal yang sama. Rasa geli dan hangat menyelubungi batang penisku saat aku menyodokkannya lebih dalam ke belahan memek Tanti yang sempit. Benda itu kini sudah kembali basah, membuat gesekan antar alat kelamin kami menjadi benar-benar nikmat dan menggairahkan. Sambil terpejam dan sesekali menggigit bibirnya, Tanti mendesah lembut. ”Ehm, mas... aku... ahh... ahhh...” dia menceracau tak jelas.

Aku sudah akan mencium lehernya saat dengan tiba-tiba, Tanti menurunkan kakinya dari atas closet dan membelakangiku. Aku sedikit melenguh saat batang penisku terlepas dari jepitan vaginanya. ”Ngapain, Tan?” tanyaku protes.

”Ganti gaya. Capek!” jawab Tanti pendek sambil menunggingkan pantatnya ke belakang dan berpegangan pada cermin besar di dinding. Rupanya dia memintaku untuk menusuknya dari belakang.

Ok, no problem. Aku juga menyukai gaya ini. Sangat menyukainya malah. Sambil menikmati bongkahan pantatnya yang indah, kumasukkan lagi penisku. ”Eghhss...” kami mendesah berbarengan saat alat kelamin kami kembali menyatu.

Kuperhatikan Tanti dari kaca saat aku mulai menggoyang tubuhnya, betapa dia terlihat sangat menggairahkan sekali. Goncangan payudaranya, desahan kenikmatannya, juga ekspresi mukanya yang manis dan sensual, membuatku jadi tambah tergoda. Goblok sekali suaminya yang telah menyia-nyiakan istri secantik dan senikmat ini. Biar aku saja memanfaatkannya, daripada nganggur tidak terjamah.

Terus kutusukkan penisku, sementara Tanti mengimbanginya dengan memutar pantatnya yang bulat dan menekannya kuat-kuat ke pangkal pahaku, membuat batang penisku yang kaku dan tegang, masuk dan menusuk dalam sekali, bahkan hingga mentok ke bibir rahimnya. ”Aghhh...!” melenguh keenakan, sambil meremas-remas payudaranya, kugerakkan penisku semakin cepat.

Tanti yang mendapat serangan bertubi-tubi atas dan bawah, tidak bisa bertahan lagi. Beberapa detik kemudian kurasakan denyutan halus di dalam liang vagina, memijit penisku pelan dan nikmat. ”Ssshh... uhh... emm... aku mau sampai, mas!” bisiknya berat.

“Tahan sebentar, Tan. Aku juga sudah hampir.” kuremas terus payudaranya. “Uhh, nikmat banget, Tan, tubuhmu!” di bawah, kutusukkan penisku semakin cepat dan dalam. Kurasakan denyutan di vaginanya menjadi kian terasa, bahkan kini disertai jeritan dan rintihan darinya. ”Mas... aku... Oughh… ahh.. ahh…!”

Tubuh mulus Tanti mengejang keras seiring semburan dari dalam liang kemaluannya. Aku yang juga sudah hampir klimaks, dengan rapat memeluknya dari belakang dan terus memberinya sodokan-sodokan terakhir yang keras dan nikmat. Kubenamkan penisku dalam-dalam saat spermaku muncrat memenuhi liang rahimnya. Tubuh kami bergetar hebat bersama. Cairan maniku terasa hangat bercampur dengan cairan cintanya. Mudah-mudahan saja dengan begini Tanti bisa hamil. Kalau tidak juga nggak apa-apa, aku jadi bisa terus menidurinya, sampai hamil, hehehe... Sepertinya aku tidak akan pernah bosan menikmati tubuh mulusnya.

Sambil melepas penisku, kukecup lembut tengkuk Tanti yang sedikit berbulu. Dia berbalik dan membalas dengan mencium bibirku mesra. Kami saling memagut dan melumat beberapa saat. Entah kenapa, aku merasa senang sekali diperlakukan Tanti seperti itu. Serasa aku adalah suaminya yang sah. Sentuhan, kecupannya yang lembut, aroma tubuhnya, serta hembusan nafas dan dekapannya membuatku melayang.

***

Aku terbangun oleh suara TV di ruang tengah. Kulirik sebelah, Tanti sudah tidak ada. Hari ini sabtu pagi, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Setelah bertempur semalaman, rupanya membuatku terlalu lelah. Tidak biasanya aku bangun sesiang ini.

Segera kucari celana dan bajuku. Aku menemukannya di gantungan belakang pintu. Kukenakan dengan cepat dan segera keluar. Kutemukan Tanti sedang memasak di dapur.

”Sudah bangun, mas?” sapa Tanti sambil tersenyum. Dia sudah rapi dengan baju panjang motif bunga dan jilbab merah berenda membingkai wajahnya yang cantik.

Kupeluk dia dari belakang dan kukecup pipinya pelan. Kulingkarkan tanganku ke depan untuk meremas-remas payudaranya. ”Egh...” Tanti sedikit menggelinjang saat aku melakukannya. Terasa empuk sekali benda itu meski masih terhalang BH.

Tanti menyingkirkan tanganku, dan sambil mengecup bibirku, dia membimbingku ke kamar mandi. ”Mandi dulu, mas. Masa bangun tidur sudah minta lagi.” kerlingnya nakal.

”Emang nggak boleh? Aku sudah pengen loh!” kutarik tangannya dan kutempelkan ke selangkanganku yang sudah mengeras tajam.

Tanti tersenyum. ”Mas ini nggak ada capek-capeknya ya?” bisiknya mesra. Dengan bantuannya, kulepas kaos dan celanaku. Tanti mengusap-usap penisku lembut, ”Habis main semalaman, tetap kaku dan tegang!” bisiknya, tampak kagum dan menyukainya.

”Emut dong, Tan.” pintaku manja.

Tersenyum mengiyakan, Tanti segera menunduk dan mengulumnya. Tapi baru saja aku menggeram keenakan, dia sudah melepasnya lagi. ”Sudah ah, nanti keterusan.” Tanti bangkit dan mendorong tubuhku agar segera masuk kamar mandi.

”Tan, ayo dong!” aku masih berusaha, kutarik lagi tangannya agar menggenggam penisku lagi.

”Masih banyak waktu, mas.” Tanti mencium bibirku. ”Aku harus masak sekarang, tuh ikanku nanti gosong.” dia menunjuk ikan mujaer yang ada di penggorengan.

Sedikit kecewa, aku pun mengalah. ”Bener ya, nanti habis aku mandi?”

”Habis sarapan!” Tanti mengoreksi.

Tanpa berkata lagi, aku segera mengguyur tubuhku. Sementara Tanti kembali ke dapur untuk meneruskan kegiatannya. Sengaja aku tidak menutup pintu kamar mandi, buat apa? Toh Tanti sudah melihat tubuh telanjangku sejak kemarin.

Setelah terkena air dingin, penisku jadi mengkerut dan tidak bersemangat lagi. Tanti tertawa saat melihatnya. ”Kayak uler!” komentarnya. Kupeluk dan kuciumi dia sebelum aku beranjak menuju kamar untuk ganti baju. Setelah itu kami sarapan bareng. Menunya sayur sop dan ikan mujaer. Aku makan dengan lahap untuk mengganti tenagaku yang hilang, juga sebagai persiapan pertempuran hari ini.

Selesai makan, segera kutarik tubuh Tanti ke pangkuanku. ”Eh, mas! Aku harus nyuci piring." kilahnya saat kuraih gundukan payudaranya. Kuremas-remas benda empuk itu sambil tanganku yang lain berusaha menyingkap baju terusannya yang panjang semata kaki.

”Nyuci bisa nanti, yang ini tidak bisa ditunda!” kucium bibirnya dengan mesra dan kulumat kuat-kuat. Tanti tidak bisa menolak. Pada dasarnya dia juga menginginkannya lagi, jadi begitu kuserang sebentar, dia pun pasrah tidak melawan.

Bahkan sekarang dia membalas kelakuanku dengan menghisap dan menyedot mulutku rakus. Lidahnya dengan cepat menerobos masuk dan membelit lidahku, sementara tangannya turun ke bawah untuk mengusap-usap penisku yang sudah mengeras dan menegang dari tadi.

”Aghhh... mas!” rintihnya pelan saat sambil terus berpagutan, kudorong tubuhnya perlahan-lahan rebah ke atas meja makan. Piring dan mangkok yang ada disana kusingkirkan ke samping agar Tanti bisa mendapatkan tempat.

Kusingkap baju terusannya ke atas hingga aku bisa melihat selangkangannya yang masih tertutup CD warna putih, seputih kulit paha dan pinggulnya. Kusingkirkan CD itu dengan menariknya ke samping, tak berkedip kupandangi vagina Tanti yang merekah basah kemerahan. Dengan cepat kuturunkan kepalaku dan mulai menjilatinya.

”Ughhh... mas!” Tanti menggelinjang kegelian. Seperti yang sudah-sudah, dia menekan kepalaku agar menghisap dan melumat vaginanya semakin dalam. Kuturuti kemauannya dengan menjulurkan lidahku sepanjang mungkin, kujilat lubang vaginanya, terutama klitorisnya yang kini sudah terasa semakin keras dan menonjol. Kugigit dan kucucup benda mungil itu hingga menjadi cukup basah.

Saat aku sudah tidak tahan lagi, dalam posisi duduk di kursi meja makan, kupangku tubuh montok Tanti dengan tanpa melepaskan pagutan kami berdua. Segera kulepas baju panjang yang ia kenakan. Buah dadanya yang masih terbungkus BH tampak ranum menggiurkan. Langsung aku menciumi dan meremas-remasnya sementara Tanti berusaha melepas kait BH-nya. Setelah terlepas, segera ia tarik benda itu dan dibuangnya ke bawah, menyusul baju dan jilbabnya yang sudah lolos lebih dahulu.

Dia sudah telanjang, sedangkan aku masih belum. Tanti segera mencopoti seluruh bajuku hingga kami sama-sama telanjang sekarang. Kami berpagutan sekali lagi. Tanganku menggerayangi buah dadanya untuk memelintir kedua putingnya yang terasa mengganjal keras. Kuremas-remas lembut sepasang dagingnya yang berukuran besar itu dengan penuh kasih sayang. Kuciumi permukaannya yang halus dan mulus saat Tanti melepaskan pagutannya.

”Eghhh... mas! Ahh.. ahh.. uhh..!” desahan Tanti semakin menjadi-jadi setelah ia memasukkan penisku ke dalam vaginanya secara perlahan-lahan. Sambil memeluknya, kuciumi seluruh area payudaranya, juga bahu dan ketiaknya. Sementara Tanti dengan perlahan tapi pasti mulai menaik-turunkan tubuhnya sambil sesekali memutar pantatnya dengan halus tatkala penisku tertancap jauh di dalam lubang kewanitaannya.

Menit demi menit berlalu, goyangan Tanti menjadi kian cepat. Kudekap erat tubuh mulusnya sambil kuberikan sodokan-sodokan ke atas untuk mengimbangi. Aku terus melakukannya sampai akhirnya jeritan panjang Tanti mengakhiri semua itu. ”Arrghhhhh... mas! Aku... keluaaar...!!!” tubuhnya mengejang beberapa saat sebelum kemudian ambruk kelelahan dalam pelukanku,

Kukecup pipi dan bibirnya penuh rasa sayang. Kubelai rambut panjangnya yang kini kusut oleh keringat. Tanti terlihat sangat cantik tapi juga letih. Tubuh mulusnya tampak basah mengkilat bermandikan keringat. Begitu juga denganku. Penisku yang masih ngaceng berat masih menancap di dalam liang kewanitaannya.

”Kalo capek, istirahat aja dulu, Tan.” kataku. Melihat kondisinya, aku jadi tak tega untuk meneruskan goyangan.

”Nggak, aku memang capek, tapi seneng banget main sama mas. Habis enak banget sih!” dia memaksakan diri tersenyum.

Kucium lagi bibirnya. ”Penisku yang enak, atau memang kamu yang doyan ngesex?” tanyaku menggoda.

”Dua-duanya sih, hahaha...” Tanti tertawa. ”Tapi jujur, mas. Aku nggak pernah merasa senikmat ini kalau main dengan mas Ferdi.”

Aku tertawa mendengar pengakuannya. ”Yuk, Tan!” kuajak dia ke kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa cairan cinta kami berdua, juga sekalian buang air kecil. Sementara Tanti pipis sambil jongkok, kupandangi cermin di depanku. ”Bermimpikah aku ini?” batinku dalam hati. Aku cubit-cubit mukaku, perih. ”Berarti aku tidak bermimpi. Aku beneran menyetubuhi Tanti! Wanita yang selama ini menjadi hayalanku. Wah...!!!” aku tersenyum bangga sekaligus senang.

”Aku balik dulu ya, mas. Kutunggu di kamar,” kata Tanti begitu selesai menunaikan hajatnya. Dia segera berlalu dari tempat itu.

”Nggak usah pake baju ya?” aku berpesan sambil menyempatkan diri mencubit puting susunya. Ternyata aku cukup lama berada di kamar mandi, hampir setengah jam. Selain pipis, kuputuskan untuk sekalian buang air besar. Begitu kembali ke kamar, kulihat Tanti sudah tertidur pulas. Kasihan dia menunggu lama.

Posisi tubuhnya setengah tengkurap miring ke kiri, satu kaki tertekuk ke depan, dan kaki satunya lurus sejajar dengan tubuhnya. Pemandangan yang sangat erotis sekali, pantatnya yang bulat terlihat menyembul ke atas, denganlubang kemaluan yang mengintip malu-malu di sela-sela pahanya mulusnya. Melihatnya, dengan cepat membuat libidoku naik kembali. Perlahan-lahan aku merangkak menghampirinya.

Kuraba lubang vaginanya, masih terasa basah. Segera kuludahi penisku hingga sama-sama basah, lalu tanpa membangunkannya, kutusuk dia dari belakang. Bless! Batangku menancap telak. ”Egh...!” Tanti agak melenguh sedikit, tapi tetap tertidur. Sambil membelai bongkahan pantatnya, mulai kugoyang pinggulku pelan-pelan. Aku maju-mundurkan batang penisku menggesek dinding vaginanya. Sodokan-sodokan halus yang kulakukan akhirnya membuat Tanti tersadar dari tidurnya, memang sungguh terlalu kalau sampai dia tetap tertidur saat kusetubuhi seperti ini.

Dia menoleh ke arahku dan tersenyum. ”Auhh... uhh… mas! Gila, nggak pake permisi langsung main sodok aja.” protesnya, tapi tidak menolak. Malah dia mengatur posisi tubuhnya dengan agak menungging agar aku makin leluasa memasukinya. ”Ehm, nikmat juga begini! Ugh, geli-geli enak!” kata Tanti kemudian.

Goyanganku kini semakin cepat dan berirama. Kuusap sekujur tubuh mulus Tanti, mulai dari punggung hingga bongkahan pantatnya yang seksi. Buah dadanya yang terhimpit dengan kasur juga tidak luput dari remasan tanganku. Sodokan demi sodokan terus kuberikan sementara keringat makin membanjiri tubuh telanjang kami berdua. Erangan, rintihan dan desahan membuat gelora birahi kami memuncak dengan cepat. Sampai pada akhirnya, aku menyuruh Tanti untuk terlentang. Dengan gaya konvensional, kusetubuhi dia sambil memeluk erat tubuhnya untuk mengakhiri sesi ini.

Hampir bersamaan, kami mencapai klimaks. Bermula dari aku yang mengejang sambil mendekap erat tubuh montok Tanti. Kugigit lehernya saat spermaku muncrat berhamburan memenuhi liang vaginanya. Tanti menyusul tak lama kemudian. Dia mendekap punggungku dengan himpitan kakinya, menyuruhku agar menusukkan penis dalam-dalam saat cairan cintanya menyembur keluar, bercampur dengan air maniku.

Vagina Tanti terasa sangat becek sekali sekarang. Kuganjal bokongnya dengan menggunakan bantal agar kedua cairan itu tidak sampai merembes keluar. Pelan kucabut penisku sambil memberikan ciuman mesra kepadanya dengan penuh rasa sayang. Aku sudah melupakan istriku sepenuhnya. Yang ada dalam pikiranku sekarang cuma bagaimana menikmati saat-saat intim ini dan memuaskan Tanti hingga ia hamil.

Aku ambruk di sampingnya. Tanti memelukku mesra. Payudara yang kenyal terasa mengganjal di bahuku. Peluh kami masih bercucuran disertai nafas kami berdua yang masih tersengal-sengal. Kecapekan, kami pun akhirnya tertidur pulas sambil masih berpelukan dengan mesra tanpa ada rasa canggung sedikit pun.

***

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur, sampai kurasakan geli-geli nikmat pada selangkanganku. Kubuka mata, disana kulihat Tanti sedang mengulum dan menjilati penisku seperti makan es krim. Mulai dari biji pelir sampai lubang penisku, tidak luput dari sergapan lidah dan bibirnya. Rasa nikmat segera menjalar di sekujur tubuhku. Penisku dengan cepat mengeras mendapat perlakuan seperti itu. Melihatnya telah siap, Tanti kemudian mengambil posisi jongkok di atas penisku. Sambil mencengkram dan membimbing penisku ke arah lubang cintanya, dia menurunkan pinggulnya perlahan-lahan hingga sedikit demi sedikit penisku menerobos masuk ke dalam lubang cintanya.

Setelah amblas semua sampai biji pelirku menyentuh bibir kemaluannya, Tanti mulai menaik-turunkan tubuhnya pelan-pelan. Aku yang merasa keenakan juga tidak tinggal diam, kuremas-remas pantatnya silih berganti sebelum akhirnya beralih pada buah dadanya. Kupegangi daging kembar itu sementara Tanti bergerak naik turun semakin cepat. Dia juga memutar-mutar pantatnya di atasku, membuat rasa sensualitas pada gairah kami berdua semakin menggelora.

”Mas...” Tanti menunduk untuk merapatkan tubuhnya di atas dadaku. Segera kudekap tubuhnya mesra dan kuciumi bibirnya bertubi-tubi sambil terus memberikan sodokan keras dari bawah.

Menit demi menit berlalu tanpa terasa, masih dengan posisi yang sama, kusetubuhi Tanti sambil terus meremas-remas buah dadanya dengan lembut. Sodokan-sodokan liar, gigitan kecil dan usapan lembut pada sekujur tubuhnya membuatku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Sodokanku dari bawah dan himpitan selangkangan Tanti dari atas menambah menit akhir orgasmeku kian dekat. Begitu juga dengan Tanti, sepertinya dia juga sudah hampir sampai.

Dengan tubuh saling mendekap erat, kami akhiri persetubuhan siang itu dengan saling mengejang dan mengerang nikmat. Cairan cinta kami menyembur deras untuk sekali lagi bertemu dan mengisi liang rahim Tanti yang kering dan gersang. Setelah semuanya berakhir, Tanti jatuh di sisiku sambil tersenyum penuh kebahagiaan. ”Uhhff, baru kali ini aku merasakan enaknya bercinta,” bisiknya.

”Kalau tahu seperti ini, sudah dari dulu aku entoti kamu, Tan!” sahutku sambil mencium bibirnya.

”Enak aja. Nggak mungkin aku ngasih perawanku sama mas! Jangan konyol.” kata Tanti sambil memukulku pakai guling. ”Ini kan karena aku mau cepet dapat anak, bukan karena aku suka sama mas! Eh, sorry, jangan marah ya!” Tanti tersenyum.

“Mau marah bagaimana, lha wong aku sudah dikasih yang enak-enak!” ucapanku itu disambut dengan lemparan bantal oleh Tanti.

***

Begitulah, selama 2 hari 3 malam, aku menginap di rumah Tanti. Selama itu pula, kuisi terus rahimnya dengan spermaku. Kegiatan kami selain untuk makan dan mandi cuma ngentot, ngentot, dan ngentot. Aku rasanya tidak pernah bosan menyetubuhinya karena tubuh Tanti memang sangat nikmat sekali. Permainannya juga sangat variatif dan penuh kejutan. Segala posisi dan gaya yang kuminta dilakukannya tanpa banyak bertanya. Istriku yang SMS di minggu pagi, cuma kujawab pendek karena saat itu aku sedang asyik menunggangi tubuh bugil Tanti di kamar mandi. Baru saat dia telepon, aku sedikit menghentikan aksiku. Tapi tidak dengan Tanti. Sementara aku menerima telepon, dia menghisap dan mengulum penisku penuh nafsu hingga membuatku sedikit merintih dan mendesis kegelian. Istriku yang curiga bertanya, dan kujawab kalau aku lagi sarapan pake sambel yang sangat pedas. Untungnya dia percaya.

Sehabis dari kamar mandi, Tanti mengajakku ke ruang makan. Disitu kami sarapan dengan tubuh masih tetap bugil. Sambil mengunyah kugerayangi terus tubuhnya. Tanti sempat sedikit protes, ”Udah dong, mas. Nggak bosan apa? Lagi makan nih, nanti kan bisa.” dia kegelian karena kupenceti terus bulatan payudaranya.

Aku tertawa dan meremas payudaranya semakin keras. Setelah itu tanpa perlu repot mencuci tangan, kutindih tubuhnya di atas meja makan, dan sekali lagi kusiram vaginanya dengan spermaku. Tanti geleng-geleng kepala melihat nafsuku. ”Kaya kuda!” begitu komentarnya, jelas sangat menyukainya.

Selanjutnya kami melakukannya lagi di ruang tengah, lalu di kamar saat tidur siang, dan di dapur saat Tanti memasak sore hari. Malam tak perlu diomongkan karena sudah pasti kami melakukannya lagi. Setelah makan dan menonton TV sebentar, kuseret tubuh bugil Tanti ke dalam kamar. Sprei sudah diganti baru karena di permainan terakhir kami, Tanti ’pipis’ banyak sekali hingga tembus sampai ke kasur.

Diawali dengan ciuman dan rabaan mesra, akhirnya kugenjot tubuh mulus Tanti semalam suntuk. Kami hanya tidur sebentar-sebentar, sekedar untuk memulihkan diri. Aku 5 kali orgasme, spermaku sampai tidak kental lagi karena saking seringnya kuperas. Warnanya juga tidak putih lagi, agak sedikit bening. Jumlahnya juga tidak banyak. Sedangkan Tanti, entahlah, 10 kali mungkin, tidak bisa lagi kuhitung karena saking banyaknya. Kami seperti ingin memanfaatkan saat-saat terakhir sebelum perpisahan itu dengan sebaik mungkin, karena jam 3 aku sudah harus balik ke kota S kalau tidak mau telat datang ke kantor.

Waktu sudah menunjukkan pukul 03.10 ketika Tanti mengantarku ke terminal. Kudekap dia erat dan kukecup pipinya sebagai rasa sayang dan terimakasih. Setelah itu kami pun berpisah, Tanti kembali pulang dengan membawa banyak sekali benihku sedangkan aku naik bis AKDP untuk balik ke kota S.

Sampai 2 minggu kemudian, Tanti mengabari kalau dia sudah positif. Aku yakin sekali kalau itu adalah anakku karena banyak sekali spermaku yang kutuang ke dalam rahimnya di pertemuan terakhir kami yang panas dan penuh gairah. Dan asyiknya, Tanti tidak cuma mengabari itu, dia juga mengatakan kalau suaminya akan kembali dinas keluar kota selama dua minggu.

”Main lagi ke rumah, mas. Aku kangen sama mas!” undangnya penuh harap.

”Kangen aku apa kangen kontolku?” tanyaku menggodanya.

Tanti tertawa ngakak sebelum menjawab, ”Kangen dua-duanya!”

”Aku juga kangen kamu.” sahutku.

”Kangen aku apa kangen memekku?” balasnya.

Aku ikut tertawa. Kuperhatikan kalender dan jadwal kerjaku, sepertinya bisa. Kalaupun tidak bisa, akan kuusahakan agar bisa, hehe... siapa juga yang bisa menolak undangan wanita secantik dan semolek Tanti. ”Oke, jemput aku di terminal jumat malam ya?” aku berkata menyanggupi.

”Ok, mas!” jawab Tanti penuh antusias.

Aku segera mengabari istriku kalau minggu depan tidak bisa pulang karena ada ’lembur’. Istriku bisa menerimanya. Dan begitulah, dari perselingkuhan pertama kami hingga kini, telah 4 kali aku meniduri Tanti lagi. Persetubuhan yang awalnya hanya untuk hamil, kini berubah jadi ajang pemuas nafsu masing-masing. Tanti ketagihan dengan permainanku, sedangkan aku menyukai rasa tubuhnya yang hangat dan menggiurkan. Entah kapan kami bisa berhenti? Yang ada malah semakin panas karena seiring jabatan Ferdi yang naik jadi CEO, dia jadi semakin sering pergi ke luar kota, hampir tiap akhir pekan. Dan akibatnya, semakin sering pula kunikmati dan kutiduri istrinya yang cantik dan seksi itu.

Malam terasa dingin. Gerimis masih mengguyur pelan ketika aku tiba di rumah Tanti. Seiring usia kandungannya yang semakin besar, ia sudah tidak bisa lagi menjemputku di terminal. Dokter melarangnya menyetir mobil sendirian. Jadi terpaksa aku harus naik angkot kalau mau ke rumahnya. Meski jadi agak lama dan sedikit berdesak-desakan, tapi aku rela melakukannya. Demi bisa meniduri wanita cantik dan montok seperti dia, apapun akan aku lakukan.

Kulihat rumahnya sangat sepi. Hanya lampu teras yang menyala, menerangi halamannya yang mungil namun cukup asri. Ruang tamu terlihat agak sedikit gelap, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apakah dia ada di rumah? Atau sedang tertidur? Untuk memastikan, kupencet bel di pintu. Tak lama kemudian, kudengar suara langkah kaki. Tanti melongokkan kepalanya yang berbalut jilbab dari celah jendela dan langsung tersenyum begitu melihatku.

“Ayo masuk, mas. Dingin ya?“ ujarnya sambil membukakan pintu dan mengelus pipiku pelan.

“Iya, hujan terus dari aku berangkat tadi.” kupeluk dia dan kucium bibirnya sekilas sebagai salam perkenalan.

“Kangen ya?“ godanya.

“Ya iyalah. Masa nggak kangen?!“ kataku sambil mendorong tubuhnya hingga jatuh ke sofa, dan menindihnya. Tapi pelukanku terganjal tonjolan perutnya yang sudah membulat cukup besar.

“Sabar, mas, sabar. Kita masih punya banyak waktu. Suamiku masih besok sore pulangnya.“ ia memijit hidungku.

“Mana bisa sabar melihat kemontokan tubuhmu, Tan.“ Kuelus pipinya yang bulat, kudekatkan kepalaku, dan kucium pelan bibirnya. Pagutanku dibalas olehnya. Kami saling berpagutan penuh cinta untuk beberapa saat.

”Masa langsung main, mas? Nggak pengen makan dulu?” tawar Tanti saat ciuman kami terlepas. Malam itu ia terlihat cukup cantik, kemeja gombrong dan rok panjang yang ia kenakan tidak bisa menutupi kemolekan dan kesintalan tubuhnya. Bokong dan buah dadanya juga terlihat cukup besar dan membulat karena usia kehamilannya.

”Makan bisa menunggu. Aku sudah tidak sabar pengen merasakan tubuhmu, Tan.” kupeluk dia, kulingkarkan tanganku untuk memberi elusan pada punggungnya. Selanjutnya dengan lihai, jari-jariku menyusup masuk ke dalam bajunya untuk mencari tonjolan buah dadanya yang masih tertutup BH. Kuremas-remas pelan daging empuk itu saat sudah berada dalam genggamanku.

“Ehmm, mas!” Tanti melenguh. Ia semakin rakus membalas lumatanku, lidah kami saling membelit dan menghisap, pagutan demi pagutan membuat mulut kami semakin basah oleh air liur. “Kamu nakal,“ ujarnya genit sembari mencekal tanganku yang semakin jauh masuk ke dalam cup BH-nya.

“Aku sudah lama merindukanmu, Tan. Sudah berapa lama kita nggak ketemu?” tanyaku sambil terus meremas-remas gemas kedua buah dadanya dan sesekali memilin-milin putingnya.

”Ehm, nggak tahu, mas. Ehsss... cukup lama kayaknya. Ughhh... aku juga kangen mas. Kangen yang ini!!” Tanti mengulurkan tangan dan membelai lembut kontolku yang sudah ngaceng parah di dalam celana. Kubalas dengan menyingkap rok panjangnya ke atas dan mengelus-elus pahanya yang halus dan putih mulus. Saat kuraba selangkangannya, terasa kalau daerah itu sudah mulai basah.

“Kamu ngompol ya, Tan?“ tanyaku menggoda. Kuselipkan tanganku ke celah celana dalamnya dan kubelai bibir vaginanya yang sudah sangat lengket dan licin.

“Mas sih… bikin aku nggak tahan.” sahut Tanti di sela-sela nafasnya yang turun naik. Buah dadanya yang kian membusung padat terasa makin membesar dalam genggamanku.

Penasaran, aku pun membuka jilbab dan kemejanya. Kulepas kancingnya satu per satu hingga bisa kulihat tonjolan buah dadanya yang masih terbungkus BH merah berenda. Sungguh indah sekali, begitu besarnya hingga benda itu nampak seperti tidak muat dalam kungkungan cup BH-nya. Beberapa bagiannya tergencet hingga terhimpit keluar. “Nggak sakit, Tan?” tanyaku. ”Kayak sesak banget gitu.”

Tanti tersenyum. ”Makanya cepetan dibuka, mas.” katanya menantang.

Segera kulepas kait BH yang ada di punggungnya. Tanti bernafas lega saat aku berhasil melakukannya. kutarik BH itu dan kubuang begitu saja ke lantai. Kini dihadapanku terpampang payudara Tanti yang bulat indah, yang tidak akan mampu kutangkup meski dengan dua tangan. Putingnya yang dulu kemerahan, kini tampak agak menghitam, tapi asyiknya, jadi sedikit lebih besar dan panjang, hampir seujung jari jempolku. Pasti nikmat sekali menyusu disana. Melihat ukurannya, benda itu tampak seperti tidak mau kalah dengan perut Tanti yang kelihatan semakin membesar.

”Kok bengong, mas?” tanya Tanti heran. ”Biasanya mas paling suka sama susuku,” tambahnya sambil meremas-remas payudaranya sendiri.

Aku yang tersadar segera menurunkan kepala dan perlahan mulai mengulum putingnya. ”Indah sekali, Tan. Gede banget, tapi tetap bulat dan kencang.” sambil berkata, kujulurkan lidahku dan mulai menjilati putingnya.

”Ehhsss...” Tanti mendesah dan memegangi kepalaku, tangan satunya turun ke bawah dan meremas-remas penisku. ”Emang punya istri mas dulu nggak seperti ini?” tanyanya, teringat istriku yang sudah hamil duluan.

”Tambah gede sih, tapi tidak sebesar punyamu ini.” kuremas-remas terus tonjolan buah dadanya bergantian sambil tak henti-hentinya kujilat dan kuhisap putingnya.

”Ehmm... mas!” Tanti merintih dan menggelinjang. Berbaring pasrah di sofa ruang tamu, dia berusaha menarik turun celanaku. Kubantu dia dengan berdiri sebentar, tapi tanganku tetap hinggap di atas bukit payudaranya, meremas-remas pelan disana.

Tanti berbinar melihat penisku yang sudah siap mengoyak-oyak lubang vaginanya. Ia mengelusnya pelan sambil berbisik, ”Ehm... mas, punyamu selalu bikin aku gemes.” ujarnya sambil meremas batangku agak sedikit keras.

“Auw! Sakit, Tan!” aku mengaduh, dan kubalas dengan menarik kedua putingnya kuat-kuat.

”Auw! Mas!!!” Tanti ikut mengaduh, dia memandangiku dan selanjutnya kami tertawa berbarengan. Mesra sekali.

“Ayo, Tan. Aku jauh-jauh datang kemarin bukan cuma untuk bercanda denganmu.” kutarik turun celana dalamnya hingga Tanti benar-benar telanjang sekarang. Tanpa berkedip kupandangi tubuhnya yang putih mulus tanpa cacat.

Wajahnya yang manis sekarang jadi agak sedikit chubby, tapi sama sekali tidak mengurangi nafsuku untuk menggumulinya. Menggantung di depan dada, tampak kedua tonjolan payudaranya yang cukup besar, yang ukurannya hampir dua kali lipat dari ukuran semula. Putingnya jadi agak sedikit hitam, tapi begitu menonjol ke depan. Perutnya yang membuncit sudah nampak begitu besar, menyembunyikan dengan baik lubang vaginanya yang kini sudah tercukur bersih. ”Buat persiapan melahirkan,” jelas Tanti saat kutanya alasannya. Sungguh, begitu sangat sempurna wanita satu ini. Melihatnya saja sudah membuatku terangsang berat.

”Tubuhmu indah sekali, Tan.” bisikku sambil membelai kemana-mana, mulai dari betis hingga ke pundaknya. Parkir di depan dada, kembali kupilin-pilin putingnya.

”Ehmm, mas!” Tanti mendesah dan memelukku. Kami berciuman. Perlahan mulai kugesekkan batang penisku ke belahan memeknya. Dia sekarang sudah berbaring pasrah di sofa, siap menerima tusukan dan hunjamanku.

“Aku masukkan sekarang, Tan.” Kutatap matanya yang bulat sayu saat aku mulai mendorong. Sebelumnya kusuruh Tanti untuk mengulum penisku sebentar agar benda itu jadi agak sedikit basah.

“Ahh, iya. Agak ke bawah, mas!!” balasnya genit. Dia meremas penisku dan membimbingnya agar masuk ke lubang yang tepat. Dengan usia kehamilannya yang sudah mendekati akhir, memang jadi agak sulit untuk menyetubuhinya. Tapi bonusnya, rasa memek Tanti jadi luar biasa nikmat; sempit dan sangat menggigit sekali. Ditunjang dengan kemontokan dan kesintalan tubuhnya yang berlipat ganda, aku makin ketagihan dibuatnya.

Kuelus payudaranya yang mulus bak pualam saat ujung penisku mulai mencari celahnya, tapi ternyata sangat sulit sekali. Beberapa kali pun aku mencoba, aku terus salah sasaran. Perut buncit Tanti menyulitkan gerakanku.

”Tan?” kupanggil namanya agar dia membantuku.

“Aku diatas saja, mas.” kata Tanti setelah berpikir sejenak. Dia bangun dari posisi tidurnya dan merangkul pundakku. Kini gantian aku yang rebahan di sofa. Tanti menduduki bagian bawah perutku, berjongkok disana. Lubang memeknya yang sudah menganga lebar tepat berada di depan batang penisku. Tanti memeganginya dan perlahan mengarahkannya masuk.

“Kontolmu gede banget, mas!” bisiknya saat merasa kesulitan menelan penisku.

”Ah, memekmu aja yang terlalu sempit.” balasku sambil meraba dan meremas tonjolan buah dadanya yang menggantung padat dan keras.

”Ehm... mas!!” Tanti terus berusaha menekan pinggulnya ke bawah, sedikit demi sedikit penisku mulai menerobos masuk menembus lubang surgawinya. Dia agak sedikit meringis saat menerimanya, campuran antara rasa geli dan perih.

”Pelan-pelan aja, Tan.” aku tidak ingin persetubuhan ini membuatnya kesakitan, bagaimanapun dia kan lagi hamil besar.

Tanti menurut, dia menekan pinggulnya perlahan.

“Bodoh banget suamimu, Tan. Istri secantik kamu disia-siakan.” ujarku sambil menekan pinggul ke atas, membantunya agar kelamin kami lekas bertaut dan saling mengisi.

Tanti menutup mulutku dengan bibirnya. Dia menciumku dan berbisik, “Jangan kau sebut dia, mas. Aku milikmu malam ini.” dan sehabis berkata begitu, ia menyentakkan pinggulnya keras-keras ke bawah, menduduki penisku hingga amblaslah benda itu menembus ke kedalaman lubang vaginanya.

Pekikan tertahan kami keluarkan secara bersamaan, “Aarrgghhhhhhhhhhhhh...!!” rasanya sungguh sangat nikmat. Memek Tanti menjepit batang kontolku begitu ketat, sementara kupenuhi lubang vaginanya hingga ke relung yang terdalam.

Kami kembali berciuman, dengan tanganku tak henti-henti membelai dan meremas-remas buah dadanya yang menggantung indah di depanku mataku. ”Genjot bareng, Tan.” bisikku kepadanya.

Tanti mengangguk dan mulai menggerakkan pinggulnya, memompa bokong besarnya ke atas dan ke bawah, menelan dan meludahkan penisku tapi tidak sampai melepasnya, menciptakan rasa yang begitu nikmat akibat gesekan kelamin kami berdua. Jepitan vaginanya terasa kuat sekali, membuat kontolku serasa diremas-remas oleh dagingnya yang empuk.

“Tan, nikmat banget. Aku nggak kuat.” bisikku sambil menciumi pundaknya.

“Tahan, mas. Jangan keluar dulu!” ujarnya sambil mencari bibirku dan melumatnya dengan rakus. Sekali lagi kami berciuman panas dan mesra. Di bawah, pinggul kami masih terus saling mengisi dan memacu penuh birahi. Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua. Kuremas-remas payudara Tanti sambil kunikmati kehangatan vaginanya.

Detik demi detik harus kujalani dengan berat, aku harus berusaha keras menahan gairahku agar tidak keburu meledak. Namun apa daya, tubuh Tanti terasa begitu nikmat. Hingga akhirnya, ketika aku sudah tidak kuat lagi, akupun merangkulnya dan melenguh keras di bawah tubuhnya. ”Taannn... aku keluar! AARGGHHHHHHHH...” rintihku sambil mempercepat genjotan dan menusukkan penisku dalam-dalam. Sedikit terkejang-kejang, kusemprotkan seluruh spermaku ke dalam liang rahimnya.

”Ahh... mas!!” Tanti ikut melenguh dengan tubuh melengkung ke belakang. Buah dadanya yang besar jadi membusung indah, tepat di depan wajahku. Sambil menikmati guyuran air cintanya di batang penisku, akupun menjilat dan menciuminya.

Dengan kelamin masih bertaut erat, kami berpelukan. Nafas kami terengah-engah. Kubiarkan Tanti menikmati orgasmenya sejenak sebelum kuangkat tubuhnya dan kutidurkan di sofa. Penisku yang sudah setengah mengkerut dengan mudah lepas dari jepitan vaginanya.

”Enak banget, mas. Nanti kita lanjutin lagi ya?” tersenyum Tanti memandangiku yang duduk kelelahan di sebelahnya. ”Ehmm,” dia melenguh saat tanganku kembali meremas-remas tonjolan buah dadanya. Entah kenapa, aku sangat suka sekali dengan benda putih mulus itu.

“Andai bisa begini tiap hari, Tan...” kataku menerawang, membayangkan seandainya Tanti yang menjadi istriku, aku pasti akan sangat bahagia.

“Jangan, mas.” Tanti menggeleng. ”Lebih baik begini. Sensasinya lebih terasa.” dia tertawa.

”Dasar kamu,” kucubit hidungnya yang bangir. Kami berciuman sekali lagi sebelum kemudian Tanti minta diri untuk pergi ke kamar mandi.

”Kebelet kencing,” dia terkikik dan berjalan cepat ke belakang, meninggalkanku dengan goyangan pinggulnya yang masih telanjang.

Kulirik jam di dinding, sudah hampir tengah malam. Lama juga kami bermain tadi, sama sekali tidak terasa. Kenikmatan memang membuat waktu begitu cepat berlalu. Kuambil celana untuk menutupi kontolku yang sudah mengkerut kecil, kutunggu Tanti sambil tidur rebahan di sofa, mengumpulkan tenaga untuk persiapan di ronde kedua.

***

“Mas, aahhhh… aku mau sampai!!” jerit Tanti keras, bersahutan dengan teriakan tukang sayur yang melengking cempreng di depan rumah.

Hari sudah pagi ketika aku menyetubuhinya untuk yang keempat kalinya hari itu. Semalaman kami tidak tidur, Tanti terus menggodaku dengan kemontokan dan kesintalan tubuhnya. Dan lama tidak bertemu membuatku dengan senang hati meladeninya. Pagi ini, saat dia sedang menyiapkan sarapan dengan tubuh telanjang, kusodok tubuhnya di meja dapur. Tanti membungkuk di meja makan, sementara aku menggenjot penisku dari belakang.

”Iya, terus, mas! Ughhh... enak!” rintihnya dengan vagina terasa menjepit kuat. Benar-benar luar biasa, meski sudah kupakai semalaman, benda itu masih tetap kaku dan ketat, sama sekali tidak terasa kendur sedikitpun. Aku menyukainya. Aku ketagihan dibuatnya. Dan aku tak tahan untuk menumpahkan sperma di dalam lorongnya.

Jadi, saat Tanti menyemburkan cairan cintanya, aku pun menyusul tak lama kemudian. ”ARGHHHH!!” kami sama-sama menjerit, panjang dan nikmat. Tubuh kami berkelojotan dengan keringat menetes deras, membasahi badan kami berdua yang melemas begitu cepat, seperti tak bertulang. Desahan dan hembusan nafas kami saling bersahutan, mengiringi tetesan lendir kental yang mengalir turun dari belahan memek Tanti saat aku mencabut penisku.

Tanti membuka matanya dan tersenyum, susah payah ia berusaha untuk duduk di kursi. ”Capek, mas.” ia berkata.

Aku segera membantunya, kami duduk bersisian di sofa depan teve dengan tubuh masih tetap telanjang. Kalau menginap di rumah Tanti, aku memang jarang memakai baju. Buat apa, toh nanti juga bakal dilepas.

Tanti menyandarkan kepalanya di pundakku dan berkata, ”Trims ya, mas, masih mau sama aku yang lagi hamil gini. Aku puas sekali.”

”Sama-sama, Tan. Apapun kondisi tubuhmu, aku tetap menyukainya.” sahutku sambil memagut bibirnya pelan. ”Malah kalau hamil gini, kamu jadi lebih cantik dan semok.” tambahku yang disambut cengiran manja olehnya.

Kami terdiam dalam hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Tanti kembali membuka suara, “Ehm, mas, masih ingat sama Windy?” tanyanya.

”Windy?” aku mencoba mengingat-ingat. Yang muncul dalam ingatanku adalah sesosok wanita kecil mungil tapi cantik, berjilbab juga seperti Tanti. Dulu sempat satu ruangan denganku, tapi sudah pindah ke kota lain setelah perusahaanku membuka cabang disana. ”Windy yang itu?” kuutarakan sosok dalam pikiranku.

Tanti mengiyakannya. ”Kemarin kami sempat berbincang-bincang di telepon.” katanya.

”Iya, lalu?” aku masih bingung dengan arah pembicaraan ini.

”Mas tahu kan kalau dia sudah menikah dari dulu?” tanya Tanti.

”Iya, kalau sampai sekarang... berarti sudah hampir tiga tahun.” sahutku membenarkan. Memang, diantara perempuan seruangan, Windy yang paling dulu melepas masa lajang. Tapi pantas sih, dia kan yang paling tua, hampir seumuranku. Kalo Tanti, empat tahun di bawahku. ”Emang ada apa dengan dia?” tanyaku tak mengerti.

”Sampai sekarang dia belum hamil, mas!” kata Tanti dengan pandangan penuh arti.

Mendengarnya membuatku bagai disambar petir di siang bolong, tanpa adanya hujan ataupun angin! Sungguh sangat-sangat mengagetkan. Dengan sedikit tergagap, akupun berkata. ”J-jangan bilang... k-kalau dia...”

”Iya, mas.” Tanti mengangguk. ”Windy ingin meminta bantuan mas untuk menghamilinya!”

”HAH!!!” aku melongo. Benar-benar kaget sekaligus bingung. Meski sudah bisa menebak arah jawabannya, tak urung aku tetap terdiam juga.

“Nggak usah norak gitu ah, mas!” Tanti menepuk pundakku. ”Biasa aja kali... dan harusnya mas senang, bisa menikmati tubuh perempuan secantik Windi.”

Aku menggeleng, ”G-gila kamu, Tan. A-aku nggak bisa. Ini...”

”Ah, nggak usah sok alim gitu.” Tanti memotong ucapanku. ”Bilang nggak bisa, nggak mau, tapi kontolnya ngaceng gitu! Mana bisa aku percaya!” dia lalu tertawa.

Aku benar-benar terhantam telak. Tidak ada kata-kata yang bisa kukeluarkan dari mulutku untuk membela diri. Yang aku bisa hanya ikut tertawa bersamanya sambil memeluk tubuh Tanti lebih erat. ”Emang kamu rela membagi tubuhku bersama Windy?” tanyaku pada akhirnya.

Tanti terdiam dan memandang ke arah teve yang menayangkan acara memasak pagi-pagi. ”Rela sih nggak.” dia berkata tanpa melihatku. ”Aku cuma kasihan sama Windy, sudah tiga tahun menikah, hampir empat malah, tapi belum juga dapat momongan. Pasti dia sangat tertekan sekali.” Ada sebulir cairan bening di sudut matanya. ”Aku sudah pernah merasakannya, mas. Dan itu sangat berat!” tambah Tanti dengan suara tertahan.

Aku segera memeluk dan mengecup pipinya. ”Iya, Tan. Aku mengerti. Kalau keputusanmu sudah begitu, aku cuma bisa ngikut aja.”

“Ngikut apa seneng nih?” Tanti melirikku, sedikit menyunggingkan bibir.

“Kalau bilang nggak seneng, nanti dikira munafik.” jawabku.

Tanti tersenyum dan memukul bahuku. “Dasar lelaki, dikasih ikan asin langsung aja nyamber!” dia menyamakanku dengan kucing.

“Eman-eman toh, daripada ikan asinnya jadi garing.” sahutku.

Kami pun tertawa berdua.

Selanjutnya Tanti menjabarkan bagaimana teknis PDKT-ku pada Windy agar perempuan itu tidak merasa jadi wanita murahan. Aku harus mendekatinya sebagai sosok seorang sahabat yang tulus memberikan bantuan, bukan sebagai seorang laki-laki licik yang pandai memanfaatkan situasi. Untuk itu, aku harus sabar dan pelan-pelan karena pada dasarnya aku dan Windy tidak begitu akrab. Dulu, saat masih seruangan, dia jarang kugoda karena sudah menikah, aku ingin menghormati suaminya. Tapi kini, itulah yang harus kulakukan. Jadi, bisakah aku melakukannya?!

***

Dengan bantuan Tanti, ternyata hal itu tidak menjadi suatu halangan yang berarti. Dalam waktu dua minggu, aku dan Windy sudah jadi begitu akrab, layaknya orang pacaran saja. Dimanapun dan kapanpun kami berada, sms dan telepon tidak pernah telat mengiringi. Bahkan istriku sampai curiga dibuatnya, dikiranya aku punya WIL. Aku harus bersusah payah berbohong dan menjelaskan kepadanya bahwa itu tidak benar. Bahkan aku sampai bersumpah segala. Maafkan aku, sayang!!!

Tapi gara-gara peristiwa itu, aku jadi bertekad, ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Dengan Tanti yang sudah berjalan berbulan-bulan saja aku tidak pernah ada masalah. Dengan Windy, belum apa-apa sudah terjadi hal seperti ini. Aku harus segera bertindak, terus maju atau malah mundur. Jadilah di pertemuan berikutnya dengan Tanti, aku mengutarakan maksudku.

”Mas yakin?” tanya Tanti sambil melepas behanya, membiarkan buah dadanya yang bulat besar tumpah ruah ke dalam telapak tanganku.

”Bilang pada Windy, bagaimana kalau minggu depan?” kuremas-remas daging empuk itu, putingnya yang terasa mengganjal kujepit dengan dua jari.

”Kenapa mas nggak bilang sendiri? Ehmmm!” Tanti melenguh saat kuendus lehernya yang jenjang.

”Sungkan, Tan.” di bawah, penisku yang sudah basah akibat kulumannya perlahan kuselipkan masuk ke dalam belahan vaginanya.

”Aghhh... mas!” Tanti merintih pelan. Matanya terpejam.

Kulumat bibirnya saat mulai menggerakkan pinggulku. ”Semakin cepat dia hamil, semakin bagus untuk kita semua, Tan.” bisikku di telinganya.

”Ahh... iya, mas!” Tanti merintih dan ikut menggerakkan pinggulnya.

Selanjutnya kami tidak berkata apa-apa lagi karena sibuk memuaskan birahi masing-masing.

***

Minggu depannya, dengan naik bis AKDP aku pergi ke kota S, tempat dimana rumah Windy berada. Tadi dia sudah sms kalau suaminya ada piket malam ini, harus lembur sampai besok pagi. Itulah kesempatan bagi kita berdua. ”Cuma delapan jam, mas, sampai besok pagi. Gimana?” tanya Windy dengan sedikit ragu.

”Itu sudah lebih dari cukup,” jawabku meyakinkannya.

Sesuai yang dikatakan Tanti, aku bisa menyetubuhi Windy malam ini. Sudah seminggu Tanti berusaha membujuknya, dan hasilnya, Windy cuma memberiku waktu delapan jam, malam ini. Suaminya sering berada di rumah, jarang keluar, jadi dia sangat sulit meluangkan waktu untuk bertemu denganku. Tapi tak apa, itu juga sudah cukup, yang penting aku bisa menaburkan benihku ke dalam memeknya, meski sepertinya aku harus sedikit bekerja keras malam ini.

Tiba di terminal, aku menunggu sekitar limabelas menit sebelum akhirnya Windy muncul. Sosok mungil berwajah manis itu menyapaku ramah, ”Sudah lama nunggu, mas?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Belum, baru aja.” jawabku terus-terang. Kulihat dia agak sedikit gemuk sekarang.

“Maaf, harus nunggu suamiku berangkat kerja dulu.” jelasnya. ”Ya udah yuk, kita ke rumah.” Windy berbalik dan mengajakku menuju ke mobilnya yang terparkir di luar terminal.

Kuikuti dia, berjalan sedikit di sebelah kirinya. Kuperhatikan, dandanan Windy masih tetap seperti dulu; jilbab lebar membingkai wajah ovalnya, dengan baju lengan panjang untuk menyembunyikan tubuh sintalnya. Windy memang terkenal memiliki payudara yang cukup besar. Dulu hal itu sering jadi bahan olok-olok teman-temannya, dibilangnya tubuh Windy tidak proporsional; badan kurus tapi payudaranya bulat besar, seperti semua lemaknya ditumpuk di daerah situ. Aku sama sekali tidak setuju dengan mereka. Menurutku, justru wanita seperti itulah yang paling seksi!

Sebagai bawahan, Windy mengenakan celana leging hitam yang cukup ketat. Dengan jelas mencetak bentuk paha dan pinggulnya meski masih terhalang baju atasannya yang menjuntai sampai ke lutut. Kulitnya yang putih bersih disaput bedak tipis di bagian muka, sedang bibirnya yang merah pucat dibiarkan polos tanpa lipstik. Tapi justru dandanan natural seperti itulah yang membuat Windy jadi kelihatan makin cantik. Aku jadi makin tak sabar untuk menelanjangi dan menindih tubuh sintalnya.

Di sepanjang perjalanan, Windy banyak bercerita tentang dirinya. Mulai dari hobi dan kesibukannya, hingga rahasia perkawinannya yang ia pendam rapat-rapat selama tiga tahun ini. ”Penis suamiku kecil, mas.” katanya lirih. ”Tahu sendirikan kan gimana gemuknya dia... Ditambah kualitas spermanya yang kurang bagus, jadilah aku tidak hamil-hamil sampai saat ini.”

”Aku turut prihatin, Win.” kupegang tangan kirinya yang ada di tuas persneling, ia tidak menolak. Hmm, suatu tanda yang cukup bagus.

”Aku harap mas bisa memecahkan masalah itu,” kata Windy penuh harap.

”Yakinlah, Win. Tanti sudah membuktikannya.” sahutku.

Windi mengangguk dan tersenyum. ”Iya, mas. Tanti sudah menceritakan semuanya.”

”Ehm... soal suamimu, apa dia tidak curiga kalau lihat kamu tiba-tiba hamil?” ini pertanyaan standar.

”Biar aja,” Windy membelokkan mobilnya ke arah gang perumahan. ”Bagiku, semua tidak ada bedanya. Kalau tidak hamil-hamil, dia mengancam akan menceraikanku. Jadi, kalau misal dia tahu aku hamil dengan orang lain dan menceraikanku, minimal aku sudah punya bayi. Darah dagingku sendiri, yang bisa menemaniku menikmati sisa hidupku.”

Aku terenyuh mendengar kata-katanya, sempat tidak tahu harus berkata apa. ”Wah, repot juga ya?” akhirnya hanya itu yang bisa aku ucapkan, dengan tangan menggaruk-garuk rambutku yang tidak gatal.

”Kita sampai, mas.” Windy menepikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup besar. Setelah kubukakan pintu gerbangnya, dia memasukkan mobilnya ke dalam garasi.

”Bagus juga rumahmu,” aku berkomentar saat Windy mengajakku masuk ke ruang tamu.

”Rumah suamiku.” ia meralat. ”kalau kami bercerai, aku harus pergi dari sini.” tambahnya, yang sekali lagi membuatku malu dan terdiam. Ternyata, di balik keharmonisan rumah tangganya, tersimpan bara api yang cukup besar, yang siap meledak sewaktu-waktu.

“Makan dulu ya, mas, baru setelah itu kita...” Windy tidak meneruskan kata-katanya, ”Atau mas mau langsung sekarang?” tanyanya dengan senyum manis menggoda.

Glek! Aku kesulitan menelan ludah, tidak menyangka kalau dia akan menyerang frontal seperti ini. “Ehm... m-makan, iya makan... makan dulu.” jawabku tergagap.

Windy tertawa tergelak melihat sikapku. “Santai aja, mas. Kok jadi mas yang grogi sih.” sindirnya.

Bener juga, yang mau selingkuh kan Windy, kok jadi aku yang grogi?! ”Hehe... maklum aja, Win. Aku benar-benar nggak nyangka bisa melakukan ini sama kamu.” jawabku terus terang.

Windy kemudian mengajakku ke ruang tengah, tempat dimana meja makan berada. Kami makan bareng, bersisian. Selama itu Windy terus mengajakku ngobrol, bakat ceriwisnya ternyata belum hilang. Dia menanyakan kabar anak dan istriku, juga teman-teman di kantor yang ia kenal. Bahkan tukang gorengan yang dulu menjadi langganan kami juga ia tanyakan.

Kujawab semua sambil menikmati wajah cantiknya. Windy tidak keberatan aku menatapnya penuh nafsu, bahkan dia yang menyuruh. ”Biar mas nggak grogi.” katanya.

Selesai makan, Windy mengajakku masuk ke dalam kamarnya. ”Kita lakukan disini, mas.” ia berkata sambil melepas jilbabnya, mempertontonkan rambut hitamnya yang panjang dan lebat.

”Kamu cantik, Win.” kataku memuji, jujur dari dalam hati.

Windy tertawa, ”Sudah dari dulu, mas. Kalau nggak, masa sih aku bisa kawin duluan.” sahutnya, membuatku ikut tertawa. Dia kemudian pamit untuk gosok gigi sebentar.

Sementara dia berada di kamar mandi, kuedarkan pandanganku ke seantero ruangan. Kamar itu terlihat cukup mewah; ranjang besar tertata rapi tepat di sudut, ada kamar mandi dalam tempat dimana Windy sekarang berada (terdengar suara gemericik air dari sana), dua lemari besar berjajar kokoh di sebelah jendela, serta seperangkat audio dan teve layar datar 29’ di atas meja. Kesan yang kudapat: Windy cukup berlimpah dalam urusan materi.

Tak lama, wanita itu keluar. Tubuh mulusnya hanya dibalut handuk dengan pundak dan rambut sedikit agak basah, kelihatan sangat seksi sekali. Rupanya Windy memutuskan untuk mandi alih-alih cuma gosok gigi. Tersenyum manis, dia melangkah ke arahku yang sedang duduk di tepi tempat tidur. ”Maaf kalau lama. Gerah, sekalian aja mandi.” katanya.

Pahanya yang putih mulus tampak jelas kelihatan, begitu beningnya hingga jadi menyilaukan. Payudaranya yang montok seukuran kepala bayi, sedangkan handuk yang melilitnya hanya mampu menutupi separuhnya, sisanya mencuat kemana-mana. Tanpa merasa risih sedikit pun, Windy duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya. ”Tunggu bentar ya, mas.” ia berkata seakan aku adalah benar-benar suaminya yang lagi menunggu untuk meminta jatah.

Benar-benar sangat romantis. Tanpa perlu diperintah dua kali, seketika penisku pun langsung kaku dan mengeras. Terpaksa aku harus membetulkan posisinya agar sedikit lebih nyaman. Windy yang melihatnya langsung tertawa ngakak. ”Udah nggak sabar ya, mas?” tanyanya menyindir.

Aku cuma mengangguk mengiyakan. Ikut tersenyum, kuperhatikan dia dari balik kaca. Windy sekarang kelihatan lebih dewasa, tampak lebih matang sebagai seorang perempuan. Begitu juga dengan tubuhnya, sudah begitu montok dan sempurna. Aku jadi tak tahan untuk segera memeluknya dari belakang dan menciumi tengkuknya yang mulus itu.

“Nggak mandi, mas, biar seger?” tanya Windy mengagetkan lamunanku.

“Eh, iya. Iya!” sedikit tergagap, aku pun lekas berdiri dan pergi ke kamar mandi.

Tapi sebelum menutup pintunya, Windy memanggilku. “Tunggu, mas. Ini handuknya.” dia mengambil handuk besar dari dalam lemari dan memberikannya kepadaku. Ah, kukira handuk yang dipakainya itu yang akan diberikan kepadaku, hehe.

Di dalam kamar mandi, berdiri dengan tubuh telanjang, kulihat betapa tegang dan kerasnya penisku, mengacung begitu tegak, dengan urat-urat mungil bertonjolan melingkar-lingkar disana-sini. Aku sudah begitu terangsang, tapi kenapa aku masih belum berani untuk langsung melakukannya ya? Heran, dengan Windy kok aku jadi sopan gini.

Selesai mandi, aku keluar cuma memakai handuk. Semua dalaman dan bajuku kulipat dan kutaruh di dalam lemari kecil yang ada di kamar mandi. Kalau Windy berani berbuat seperti itu, kenapa aku tidak?

Windy agak sedikit surprise saat melihatku. “Wah, bagus juga tubuh mas.” ia berdecak kagum menatap tubuhku, terutama gundukan di depan selangkanganku yang tampak menonjol indah, menjanjikan sejuta hangat dan kenikmatan bagi wanita kesepian seperti dirinya.

Aku tersenyum. Penisku memang kembali mengeras. Bagaimana tidak, di depanku, Windy memang sudah berganti pakaian. Tapi tetap saja tubuh sintalnya terlihat begitu menggoda. Meski bodynya mungil, tapi dengan daster putih tipis yang ia kenakan sekarang, siapa juga yang tidak tergoda?! Dengan jelas bisa kulihat bayangan BH dan celdam yang ada dibaliknya. Seperti dugaanku, payudaranya yang sekal menantang terlihat begitu indah, tampak tidak muat saat ditampung oleh BH 36B-nya.

“Ini, mas.” Windy memberiku sebuah sarung. ”biar praktis,” katanya sambil tersenyum malu-malu.

”Iya, terima kasih.” berbalik memunggunginya, aku mengganti handukku dengan sarung itu. Aku bisa memastikan kalau Windy menatapku selama aku berganti pakaian. Aku tidak tahu apa saja yang ia lihat, tapi yang jelas, ia tersenyum lebar saat aku berbalik menatap wajah cantiknya.

”Sini, mas. Duduk sini.” Windy memanggilku, mengajakku untuk duduk di sebelahnya. ”Santai aja ya, jangan grogi.” lanjutnya.

Akupun mendekat dan menaruh pantat di sebelah kanannya, bisa kucium bau harum sabun mandi di tubuh mulusnya, begitu merangsang, membuatku deg-degan tak karuan. “Iya, aku nervous banget nih.” kataku menanggapi.

Selanjutnya percakapan kami berlangsung lancar. Sambil terus ngobrol, perlahan-lahan tubuh kami mendekat dan tanpa sadar sudah saling menempel. Entah apa yang menggerakkan keberanianku, tiba-tiba saja kaki kiriku sudah menindih kaki kanan Windy. Dan asyiknya, Windy diam saja. Ia memang sedikit kaget, tapi melihat senyumku yang tulus, ia tak kuasa untuk menolak. Bahkan ia mulai menggerakkan pahanya yang mulus itu agar bergesekan dengan pahaku yang masih terbungkus kain sarung.

Kuletakkan tanganku di salah satu belahan pahanya, kuusap-usap pelan dari atas ke bawah, terasa halus dan licin sekali, aku menyukainya. Windy membalas dengan menyingkap kain sarung yang kukenakan dan ikut mengusap-usap pahaku, ”Mas nakal,” gumamnya manja.

”Kamu suka?” tanyaku sambil menempelkan badan ke lengannya yang terbuka. Tubuhku langsung bergidik begitu merasakan kehangatan dan kehalusannya. ”Win,” lenguhku saat darahku seperti dialiri listrik ribuan volt. Aku terangsang berat! Penisku yang sudah tegang dari tadi, kini jadi semakin memberontak tak terkendali.

Windy yang melihat tonjolan besar di balik kain sarungku, tersenyum gembira. ”Mas suka dengan tubuhku?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku mengangguk, ”Suka, Win. Suka sekali!!” Kuberanikan diri mengusap tangannya yang naik turun di atas pahaku dan menggenggamnya mesra. Windy tidak menolak. Jadilah kami mulai saling mengusap-usap tangan satu sama lain.

“Tanganmu kok dingin, mas?” tanya Windy dengan tubuh bersandar penuh di pundakku, dia menempelkan payudaranya yang besar ke bahuku. Ehm, terasa empuk dan kenyal sekali.

“Grogi, Win, berdekatan sama orang secantik dirimu.” jawabku berseloroh.

Windy tertawa dan makin mendekatkan tubuhnya, kepalanya disandarkan ke pundakku. ”Istri mas kan juga cantik. Tanti juga.” sahutnya merujuk pada perempuan-perempuan yang pernah kutiduri.

”Bagaimana pun, malam pertama itu tetap bikin grogi, Win.” kucoba melingkarkan tangan ke kepalanya, kubiarkan Windy tiduran di tubuhku dengan berbantal tangan dan ketiakku.

”Malam pertama apaan? Aku sudah nggak perawan lho, mas.” dia mengingatkan.

”Bagiku, kau tetap perawan, Win. Malam ini, untuk pertama kalinya aku bisa mencicipi tubuhmu.” Aku yang sudah horni berat memberanikan diri mengelus-elus pundak kirinya. Windy diam saja, malah dia memejamkan mata, seperti menikmatinya.

Tak tahan menunggu lama-lama, aku pun menunduk dan mencium keningnya. Windy melenguh pelan, tapi tetap diam, sama sekali tidak menolak. Dituntun oleh nafsu, kuturunkan ciumanku menuju ke pipinya. Kuendus pelan disana sebelum akhirnya mulutku merambat dan hinggap di bibirnya yang tebal.

”Ehm, mas!” Windy mendesis lirih saat kulumat pelan bibir merahnya. Terasa sangat manis dan lembut sekali. Aku terus memagut dan menghisapnya rakus hingga Windy yang awalnya diam, kini mulai sedikit merespon. Dia membuka bibirnya dan membiarkan lidahku masuk menjelajahi mulutnya.

”Ahhh... Win!!” Lidah kami saling bertautan, saling hisap dan saling belit. Air liur kami bercampur. Kulihat mata Windy terpejam selama ciuman panas itu berlangsung. Hanya nafasnya saja yang sedikit berubah, mulai agak berat dan tak beraturan.

Secara naluriah, tanganku akhirnya bergerak menuju ke bongkahan buah dadanya, area yang selama ini begitu menggodaku. Kulihat benda itu bergerak-gerak indah seirama tarikan nafas Windy yang kian memburu. Pelan, dengan tangan gemetar, aku memegangnya. Ah, begitu besar, hingga telapak tanganku tidak bisa menangkup semuanya.

”Win?” kupanggil namanya saat aku mulai meremas-remasnya pelan. Bisa kurasakan kepadatan dan kekenyalannya meski benda itu masih tertutup beha.

“Puaskan aku, mas! Kau bebas berbuat sesukamu malam ini!!” kata Windy di sela-sela nafasnya yang turun naik. Kurasakan tangannya perlahan menyusup ke balik kain sarungku dan bergerak merayap untuk menangkap batang penisku yang sudah menegang dahsyat. “Gede banget, mas! Hhm…“
gumamnya begitu mengetahui ukuran yang sebenarnya.

Satu persatu kubuka pakaiannya, aku langsung terpana begitu melihat kemolekan tubuhnya. Sekarang hanya tinggal BH dan celana dalam saja yang masih menghias di tubuhnya yang sintal. Astaga naga, begitu sangat sempurna wanita cantik yang satu ini. Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?

Kubuka bajuku tanpa berkedip memandangi tubuh Windy yang putih mulus tanpa cacat, wajahnya yang cantik dan genit membuatku tambah bernafsu ingin segera menggumulinya. Kupelorotkan kain sarungku hingga aku telanjang bulat di depannya.

”Ya Tuhan, gede banget, mas!” ujar Windy terkagum-kagum melihat ukuran kontolku yang besar dan panjang. Ia segera menghambur ke dalam pelukanku dan mendorong tubuhku hingga rebah ke atas ranjang. Bertindihan, kami saling bergumul mesra.

Kuremas dengan lembut buah dada Windy yang tidak bisa kutampung dengan tanganku, kulepas BH yang menutupinya hingga aku bisa memeganginya secara langsung. Benda itu terasa begitu empuk dan kenyal, membuatku sangat nyaman saat meremas-remasnya. Windy tersenyum ke arahku dan memagut bibirku mesra. Saling berciuman, kali kembali bergulingan di atas ranjang. Kurasakan kalau puting susu Windy
sudah tegang berdiri, pertanda kalau birahinya sudah memuncak.

“Mas... pelan-pelan aja, kok nafsu banget sih?” kata Windi di sela-sela lumatan bibirku.

“Gimana nggak bernafsu. Win. Sejak Tanti mengutarakan rencana ini, aku kadang suka masturbasi sambil membayangkan dirimu.” sahutku sambil memenceti gundukan payudaranya semakin keras.

“Mas bisa aja,” ujarnya dengan genit sambil meremas penisku dan mengocoknya pelan. “Besar sekali punyamu, Mas. Kukira dulu Tanti bohong, tapi ternyata tidak.“ ujarnya senang.

Kuelus-elus pahanya yang mulus bak pualam, sedang Windy terus mengocok-ngocok penisku. “Jangan cuma dikocok, Win... isepin donk!” pintaku.

Windy langsung saja menjilati penisku dengan penuh nafsu, sepertinya ia sudah terbiasa ngemut kontol, terbukti ia mudah saja melakukannya, mungkin suaminya suka minta yang seperti ini.

“Kontol mas gede banget, mulutku sampe ngilu rasanya, aahh... mmph... nggmm...” kata Windy tak lama kemudian sambil terus menghisap penisku.

Aku cuman tersenyum saja mendengarnya, ”Gede mana sama punya suami kamu?” tanyaku kemudian sambil kuremas-remas terus bongkahan payudaranya yang menggantung indah sementara dia menjilati penisku.

”Ehmm... suamiku kan gendut, kontolnya mungil, ya jelas gede punya mas donk!” jawab Windy dengan muka memerah akibat menahan nafsu.

Kurangkul tubuhnya dan kuhunjamkan penisku dalam-dalam ke rongga mulutnya.... Croop! batangku langsung memenuhi tenggorokannya yang mungil. Windy agak sedikit tersedak menerimanya, tapi sama sekali tidak menolak. Malah ia terus menjilat dan menghisap penisku hingga membuatku meringis-ringis menahan geli yang amat sangat yang justru semakin membuat batangku menegang dan mengeras.

“Aduh... enak banget, Win... oohh... enaknya!” mulutku mulai mengeluarkan desisan panjang sementara Windy terus menyedot dan mengocok batang kemaluanku keluar masuk di dalam mulutnya yang kini tampak semakin sesak. Tangan kananku kembali meraih payudara besarnya yang menggelayut bergoyang kesana kemari sembari tangan kiriku memberi rabaan di punggungnya yang halus.

”Mmm... mmm...” hanya itu yang keluar dari mulut Windy seiring telapak tanganku yang meremas keras daging empuk di dadanya. Windy membalas dengan sesekali menggigit ringan kepala kemaluanku yang terbenam lembut di dalam mulutnya.

Fiuhh! Windy mengeluarkan penisku saat sudah lelah mengulum. Ia lalu bangkit dan memelukku. Kami berciuman sekali lagi. Sambil melumat bibir tipisnya, segera kusergap pinggulnya untuk meraba daerah bukit selangkangannya yang sepertinya sudah membanjir oleh cairan kewanitaannya. Gantian kini giliranku. Segera kutarik cd-nya ke bawah hingga Windy sama-sama telanjang bulat sepertiku. Alamak, kulihat jembutnya tertata rapi, dengan labia mayora yang masih kelihatan utuh dan rapat, warnanya juga sangat cerah sekali; merah kecoklat-coklatan, terlihat begitu indah dan menggiurkan. CD-nya terus kutarik ke bawah hingga lolos dari kakinya, Windy membantu dengan sedikit mengangkat pinggulnya.

“Mas, puaskan aku malam ini! Hamili aku… suamiku sepertinya tidak bisa memberiku keturunan! Oughhh…” rintihnya dengan tatap mata sayu.

“Kau rela mengandung anak dariku?” tanyaku sambil menjilati vaginanya.

Windy mengangguk, “Hanya kepada mas aku berharap, Ohhh… Suamiku loyo, tak pernah mampu memuaskanku, apalagi memberiku seorang anak!“ jawabnya.

“Jangan sebut-sebut dia, Win. Aku suamimu malam ini. Akan kutanam benihku ke dalam rahimmu!” yakinku.

“Lakukan, Mas… lakukan!” ujarnya dengan penuh harap dan senyum lebar penuh arti.

Kembali kujilati vaginanya, membuat Windy mengerang lagi, semakin keras. “Ohh… Mas… ahh… ahh… ughh… enak!” erangnya suka. Tangannya yang mungil kulihat meremas-remas seprei ranjang untuk menahan sensasi jilatanku yang semakin lama semakin menggila menyerang lubang kewanitaannya. Terus kuhisap dan kukuak lubang sorga itu dengan lidahku hingga membuat Windy mengerang dan menjerit tak lama kemudian, pertanda kalau akan segera orgasme.

“Ohh... Mas, aku mau sampai… terus… terus!” rintihnya. Dan rintihan itu berubah menjadi pekikan keras saat kelentitnya yang sebesar biji kacang aku jilat dan sesekali kusentil dengan lidahku. Windy langsung menggelinjang dan menjerit-jerit tak karuan.

“Jangan keras-keras, Win. Nanti didengar sama tetangga.” aku memperingatkan, tapi dengan lidah tetap menancap di belahan vaginanya.

“Biar aja, nggak ada yang dengar kok. Teruskan, Mas... aku sudah hampir sampai!” pintanya dengan pinggul digoyang-goyang liar.

Tak lama kemudian dia melenguh dengan keras. Dari lubang vaginanya keluar cairan bening yang amat banyak, menyemprot dengan dasyat hingga membasahi ranjang serta sebagian mengenai mukaku. Tubuh mungil Windy kelojotan menahan nikmat orgasmenya. Kuhentikan jilatanku dan kupeluk tubuhnya penuh rasa sayang. Windy masih kelihatan terengah-engah menahan nafasnya saat kuciumi bibirnya.

“Terima kasih, Mas… beri aku sitirahat sebentar ya?“ dia membalas lumatanku sebentar sebelum meringkuk kecapekan dalam pelukanku.

Kubiarkan dia untuk memulihkan staminanya. Hampir lima menit kami berada dalam posisi seperti itu hingga kontolku yang terganjal bokongnya terasa gatal minta untuk diperhatikan. Kuremas buah dadanya untuk mengembalikan kesadaran Windy. Kukulum juga putingnya agar gairah Windy bisa cepat kembali. Pelan tapi pasti, usahaku itu membuahkan hasil. Windy mulai membuka matanya dan melenguh pelan. Nafsunya sudah bangkit kembali, bahkan kini menjadi kian ganas akibat orgasmenya tadi.

“Masukin sekarang, Mas! Keluarin di dalam! Hamili aku…“ rintih Windy manja sambil merebahkan tubuh montoknya di ranjang. Dia membuka kakinya lebar, memberikan vaginanya yang sudah basah memerah kepadaku.

Kukocok penisku sambil memandanginya. Busyet... lubang kecil segitu, kontolku mana bisa masuk. Kucoba untuk menguaknya dengan tangan, uh... memang benar-benar kecil. ”Kamu masih perawan ya, Win?” godaku sambil menusukkan salah satu jariku ke dalam, kukorek-korek dindingnya yang basah dan lengket berulang-ulang.

Windy sedikit menjengitkan tubuhnya saat kupencet ringan biji klitorisnya. ”Ehm... ya enggak lha, Mas. Punya suamiku aja yang kekecilan, jadi gak bisa menguak sampai tuntas.” jelasnya.

Ah, aku mengerti sekarang. Tapi jadi ada problem baru lagi nih, ”Kalau nanti dia curiga gimana?” tanyaku.

”Curiga apanya? Kalau aku nggak cerita-cerita, kan dia nggak bakal tahu.” sahut Windy.

”Bukan begitu... sehabis kuterobos pake penisku, lubangmu pasti bakal melar. Kalau dipakai sama suamimu, trus dia curiga sama ukuran lubangmu yang kegedean, gimana?”

Windy tertawa mendengar pertanyaanku. ”Mas nggak usah mikirin itu. Sekarang pikirin aja bagaimana cara Mas menghamiliki. That’s it, titik!”

Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, sambil mengelus-elus paha mulusnya yang bulat mempesona, aku akhirnya mengangguk. ”Baiklah, kalau memang itu yang kamu inginkan. Tapi kalau nanti ada apa-apa sama suamimu, jangan salahkan aku lho ya,” aku memperingatkan.

Windy tersenyum. ”Biarlah itu menjadi urusanku, yang penting aku bisa hamil.” sambil berkata, dia membuka kakinya semakin lebar dan menarik tubuhku agar segera menindih tubuhnya.

Mencium kembali bibirnya, akupun segera mengarahkan penisku ke dalam lubang kencingnya. Terasa sangat sesak saat aku mencoba mendorongnya. Hanya masuk kepalanya saja, itupun sudah sangat memaksa.

“Punyamu terlalu besar, Mas… nggak bisa masuk kalo terus begini. “ kata Windy penuh nafsu.

“Iya, sulit banget... trus, gimana enaknya?” aku bertanya.

“Aku diatas saja, Mas duduk...” ujarnya sambil berpegang pada tanganku. Ia lalu bangun dari posisi tidurnya dan kemudian merangkul pundakku. Berpelukan, Windy mulai mengarahkan lubangnya pas di depan penisku.

“Pelan-pelan aja, Win…“ aku berpesan.

Windy jongkok dan memegangi penisku. “Ehm, kontol Mas benar-benar keras!” bisiknya parau.

“Vaginamu juga sangat sempit, Win… aku suka!” sahutku.

”Tapi gara-gara sempit itu kita jadi kesulitan seperti ini.” Windy tertawa. Ia mulai mengesek-gesekkan ujung penisku ke celah bibir kemaluannya.

“Ah, bener juga. Tapi aku memang suka sama punyamu, rapet singset kayak perawan!” Aku tertawa keras, tapi Windy segera membekap mulutku dengan ciuman dashyat di bibir. Dia melumat bibirku penuh nafsu, aku membalasnya tak kalah panas. Sambil mencium, tanganku mulai merambat untuk meremas-remas buah dadanya yang menggelantung padat dan keras di depan perutku.

Pelan-pelan Windy menekan tubuhnya ke bawah, memasukkan penisku ke dalam lubang sorgawinya. Mili demi mili, penisku mulai meluncur masuk. Terasa sangat sesak sekali, tapi tetap bisa menerobos meski sangat perlahan. Untuk menahan rasa perih di selangkangannya akibat gesekan alat kelamin kami berdua, Windy terus melumat bibirku sambil sesekali meringis kesakitan.

“Dorong, Mas… Dorang tapi pelan…” pintanya di telingaku.

Aku menurutinya. Kutekan penisku yang sudah setengah tenggelam ke dalam memeknya. “Benar-benar bodoh suamimu, Win, menyiakan-nyiakan wanita seseksi dir...”

Windy cepat menutup mulutku dengan bibirnya. “Aku tidak disia-siakan kok, dia cuma tidak bisa menghamiliku saja.” jelasnya.

”Kalau begitu, biar aku saja yang menghamilimu! Ughh!” kataku sambil menekan keras-keras penisku dengan sekali sentakan hingga amblas seluruhnya, masuk ke dalam vagina Windy yang sempit dan legit.

Pekikan keras langsung dikeluarkan oleh wanita cantik itu, “Auuuuuuuhhhhhhhh…” tubuhnya menggelinjang, sementara pelukan tangannya di tubuhku menjadi kian erat. Di bawah, remasan dinding-dinding vaginanya serasa mengurut-urut batang penisku, terasa begitu nikmat sekali.

Kembali kulumat bibir tipis Windy, sambil tanganku meremasi buah dadanya yang mengganjal empuk di depan dadaku. “Kita genjot bareng ya, Win?” aku berbisik di telinganya.

Windy mengangguk dan mulai menggerakkan tubuhnya ke atas dan ke bawah, sementara aku mengimbanginya dengan menggerakkan pinggulku berlawanan arah. Gesekan alat kelamin kami terasa begitu nikmat, apalagi saat vagina Windy sudah mulai bisa menerima kehadiran penisku, cairan yang keluar dari benda itu menjadi kian banyak, membuat genjotanku menjadi semakin lancar dan mantab.

Kami terus berpacu dengan posisi seperti itu; aku duduk sambil memangku Windy dalam pelukanku. Aku tidak pernah melakukan posisi seperti ini sebelumnya, baik dengan Tanti maupun dengan istriku. Ternyata rasanya begitu nikmat. Aku menyukainya. Kapan-kapan aku harus mencobanya dengan wanita lain.

Sambil saling memompa, tanganku aktif meremas-remas buah dada Windy yang membusung padat. Wanita itu bergoyang di pangkuanku, kakinya menyilang di pinggangku, membuat penisku yang terjepit di vaginanya jadi serasa seperti diremas-remas kuat sekali.

“Win, punyamu keras banget mencekik burungku... aku bisa nggak tahan nih.” kataku.

“Awas kalau Mas sampai keluar duluan,“ ujarnya sambil mencari bibirku.

Kami lalu saling memagut mesra dengan keringat mulai bercucuran. Menit demi menit berlalu dengan begitu cepat, tak terasa sudah lebih dari lima menit aku menyetubuhinya. Windy yang tampaknya mulai tak tahan, segera mempercepat genjotannya, dan aku meladeninya.

“Mas, ahh... a-aku... dah mau... sampai!” ujarnya dengan terputus-putus.

“Tahan sebentar, Win. Genjot terus tubuhmu!” sahutku.

“I-iya, Mas... aghh…“ Windy mempercepat genjotannya. Tak lama kemudian dia melenguh sangat keras, tubuhnya melengkung ke belakang sehingga buah dadanya yang bulat jadi membusung padat. Segera kucucup dan kuremas-remas benda itu untuk memberikan sensasi orgasme yang lebih optimal kepadanya, penisku juga terus aktif menyodok liang vaginanya dari bawah.

“Mas… arghhhh... aku sampaai… aughhh!” jerit Windy keenakan. Semprotan air maninya benar-benar dashyat, juga begitu banyak, hingga membasahi penis dan pahaku. Jepitan vaginanya yang semakin kencang serasa meremukkan batangku. Untunglah ada siraman lendir cintanya yang menyejukkan sehingga aku masih bisa mengontrol orgasmeku agar tidak keburu menyusul dirinya.

Windy lemas dalam pelukanku, tubuh montoknya lunglai lemas, matanya terpejam rapat, sementara nafasnya terus terengah-engah. Kubiarkan dia menikmati orgasmenya sebentar, sebelum kuangkat tubuhnya dan kutidurkan di ranjang tak lama kemudian. Kutindih dia dan kubisikkan kata cinta di telinganya. ”Gimana, enak?” tanyaku menggoda.

Windy menjawil hidungku dan tersenyum. ”Enak banget, Mas. Baru kali ini aku keluar dua kali dalam satu babak permainan. Mas benar-benar hebat.” pujinya.

Kucium bibirnya dan kuremas-remas payudaranya sebentar sambil kumasukkan kembali penisku ke dalam liang vaginanya. Windy menerimanya dengan senang hati, dia menjepitkan kedua kakinya di pinggangku agar alat kelamin kami semakin kuat menyatu.

“Mau yang lebih enak, sebentar lagi aku akan segera menyusul kamu lho…” bisikku di telinganya.

Windy tersenyum kegirangan, ”Lakukan, Mas! Keluarkan manimu di dalam vaginaku! Penuhi rahimku dnegan calon bayi kita!” dia berkata dengan penuh antusias.

“Kamu semangat banget, Win.“ timpalku sambil tersenyum.

Windy tertawa lepas. “Habisnya, sudah lama banget aku pengen hamil. Dan sekarang, bukan saja dapat anak, aku juga dapat enak dari mas. Benar-benar surprise!”

”Aku juga suka dengan tubuhmu, Win. Nikmat banget!” timpalku.

”Andai kita bisa begini tiap hari, pasti enak ya?” ia berharap.

“Aku mau kok tiap hari menyetubuhimu…“ kataku.

“Hah, benarkah?” tanyanya gembira.

”Iya, asal kamu balik bekerja sekantor sama aku! Nanti aku setubuhi kamu tiap hari pas jam makan siang.”

”Yee... mana bisa begitu!“ Windy tertawa. Usulku itu memang tidak mungkin dilaksanakan.

“Nggak apa-apa, Win. Biar aku saja yang kesini menemanimu. Sebentar lagi Tanti melahirkan, akan ada lebih banyak waktuku buat kamu!” sambil berkata, aku mulai bergerak menarik pantatku dan mendorongnya perlahan.

Windy merintih merasakan gesekan alat kelamin kami berdua, “Ohh… enak sekali penismu, Mas! Terus! Setubuhi aku! Buat aku hamil! Oughhh...”

Akupun makin mempercepat sodokan penisku, sambil mulutku mencari bibirnya dan melumatnya rakus. Tak lupa tanganku juga hinggap di atas gundukan payudaranya dan meremas-remas lembut disana. Windy memelukku erat sambil mengelus-elus punggungku, tampak sangat menikmati sekali apa yang kami lakukan. Tubuh kami telah basah oleh keringat, sebasah hujan deras yang mulai turun di halaman. Erangan kami bersahutan dengan suara geledek yang sesekali membahana.

”Win,” kupanggil namanya saat sodokanku beberapa kali mencapai tempat terdalam di lorong vaginanya. Tidak menjawab, Windy malah makin mempererat jepitan kakinya, menambah sesaknya gerakan penisku di dalam lubangnya.

“Uhh... enak sekali, Win.” erangku lagi.

Windy menarik kepalaku dan melumat bibirku gemas. Kembali kami saling berciuman mengadu bibir, sambil bokongku tetap bekerja menyodok-nyodok liang vaginanya. Terus kupacu tubuhku, semakin lama menjadi semakin cepat hingga tanpa sadar Windy mulai menjerit dan merintih-rintih tak karuan.

“Mas... aku… aah... oh enaknya!!” ucapnya meracau.

Aku merasa ada yang semakin mendesak dari batang penisku, tampaknya aku akan segera keluar. Sambil memegangi buah dada Windy yang bergerak naik turun menggiurkan, akupun menjerit keras. ”Ahhh… Win! Aku keluar! Uhhhh… ahhh...” Croott… croott… croott… beberapa kali aku menembakan peju ke dalam rahimnya. Windy ikut terkejang-kejang saat menerimanya. Kembali kami saling berpelukan dan berpagutan mesra dengan alat kelamin kami masih saling bertaut dan berkedut-kedut pelan.

Kami terdiam cukup lama setelah percintaan yang cukup menguras tenaga itu. Jam masih menunjukan pukul sepuluh malam, masih banyak waktu bagi kami untuk memadu cinta dan birahi malam itu. Aku yakin, dengan guyuran spermaku, Windy bisa hamil tidak lama lagi.