Minggu, 04 Agustus 2013

Istri Tetanggaku Yang Cantik

Sore itu, aku terbangun. Kulihat jam di mejaku menunjukkan pukul empat sore. Iseng aku memanjat dinding tembok pembatas kamarku, mau ‘melihat’ tetangga sebelahku. Melalui ventilasi, kulihat Mas Arif dan Mbak Nida sedang tidur-tiduran sambil mengobrol di atas tempat tidur. Aku mengawasi terus, kulihat Mas Arif hanya memakai singlet, begitu juga Mbak Nida yang hanya memakai baju dalam.

“Dasar pengantin baru, pasti mau main, ayo kapan mainnya?” pikirku mulai tak sabar.

Kulihat Mas Arif dan Mbak Nida berbicara sambil berpelukan, aku kurang bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Sesekali Mbak Nida tertawa cekikikan. Beberapa kali pula aku amati Mas Arif meremas payudara Mbak Nida.

Lama aku menunggu, hingga akhirnya yang aku harapkan terjadi juga. Tiba-tiba Mas Arif membuka celana pendeknya dan memegang tangan Mbak Nida, menyuruh wanita itu memegang penisnya. Mbak Nida sepertinya menurut dan segera memasukkan tangannya ke dalam celana sang suami, tetapi baru sebentar sudah ditariknya kembali, tampaknya Mbak Nida menolak.

“Yahh, itu aja nggak mau, apalagi kalau disuruh karaoke.” desahku dalam hati, kecewa.

Namun kekecewaanku terobati karena sejurus kemudian Mas Arif tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melepas celananya. Kini ia hanya bercelana dalam dan bersinglet. Kemudian serta merta ia memeluk Mbak Nida. Aku tersenyum kegirangan, keinginanku untuk melihat keduanya mengentot tampaknya akan terpenuhi.

Tak lama, Mas Arif melepas pelukannya dan Mbak Nida pun mulai melepas celananya. Kini sama seperti suaminya, Mbak Nida hanya bersinglet dan bercelana dalam. Kulihat pahanya, putih dan mulus sekali.

Kemudian mendadak Mas Arif mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. “Kecil sekali, dibandingkan punyaku,” kataku dalam hati.

Mas Arif pun langsung menghimpit Mbak Nida, tampaknya Mas Arif akan mempenetrasi Mbak Nida. Kulihat Mbak Nida memelorotkan celana dalamnya hanya sampai sebatas paha. Sejurus kemudian aku melihat pelan Mas Arif memasukkan penisnya ke dalam lubang vagina Mbak Nida yang tertutup bulu jembut. Setelah penis Mas Arif masuk keseluruhannya ke dalam memek Mbak Nida, Mas Arif langsung memeluk Mbak Nida sambil menciumnya bertubu-tubi. Itu dilakukan cukup lama.

Aku sedikit keheranan kenapa Mas Arif tidak melakukan genjotan, tidak mendorong-dorong pinggulnya ? Mas Arif hanya diam memeluk Mbak Nida.

“Wah, ini pasti karena Mas Arif nggak tahan bermain lama, nggak seperti aku.” kataku dalam hati, tertawa, merasa unggul dari Mas Arif. Disinilah aku mulai melihat adanya kesempatanku untuk turut melakukan ’tumpangsari’ pada Mbak Nida.

Ditambah lagi, kejadian itu hanya berlangsung sangat singkat, sekitar 5 menit. Meskipun kulihat Mbak Nida tetap bisa mencapai orgasmenya, tetapi cepat pula Mas Arif menyusulnya. Aku menangkap kekecewaan di muka Mbak Nida, meski Mbak Nida berusaha tersenyum setelah ’permainan’ itu, tapi aku yakin ia tidak puas dengan permainan Mas Arif.

***

Peristiwa ’observasi awal’ hari kemarin itu membuatku mengambil kesimpulan, ada kemungkinan aku menyetubuhi Mbak Nida dan merasakan nikmat tubuhnya, kalau perlu aku juga akan menanam saham di tubuh Mbak Nida!

Itulah tekadku, aku mulai menyusun taktik. Mas Arif itu belum bekerja, ada kesempatan bagiku untuk membuatnya berpisah cukup lama dari Mbak Nida. Apalagi aku punya kenalan yang bekerja di perusahaan, namanya Toni.

Siang ini aku menjumpai Toni di kantornya.

“Hai, Bud, apa kabar?” tanya Toni sambil menjabat tanganku.

“Baik,” jawabku sambil tersenyum.

“Silahkan duduk.”

Setelah aku duduk di kursi kantornya yang empuk itu, aku mulai mengajukan permintaan, “Ton, aku butuh bantuanmu.”

“Oh, itu semua bisa diatur, bantuan apa?”

“Aku butuh pekerjaan.”

“Bisa, bisa, kamu mau kerja di mana? Gaji berapa?”

“Oh, nggak! Maksudku bukan untuk diriku, tapi ini untuk orang lain.”

“Hm, memangnya untuk siapa?”

“Untuk temanku, Mas Arif. Kamu wawancarai, tempatkan di mana saja kamu suka, nggak perlu tinggi-tinggi betul jabatannya.”

“Aneh. Tapi jika itu maumu, ya tidak apa-apa.”

“Yang penting kamu wawancarai dia cukup lama, beberapa kali.”

“Oke, baik kalau gitu.”

“Tapi nanti jadwal wawancaranya aku yang tentuin.”

“Terserah kamu.”

Maka mulailah aku menyusun jadwal wawancaranya, mulai lusa, hari rabu sampai jum’at dari jam 07.00 sampai 10.00 pagi. Toni menyetujuinya, kemudian aku permisi pulang.

Dalam perjalanan pulang, hatiku sangat senang, sudah terbayang nikmatnya tubuh Mbak Nida itu. Sesampainya di kos-kosanku, aku langsung bertemu dengan Mas Arif di tempat cuci, tampak Mas Arif sedang menyuci bajunya.

“Mas, saya ingin bicara sebentar.” kataku mulai membuka percakapan.

Mas Arif pun menoleh dan menghentikan pekerjaannya. “Ada apa, Bud?”

“Begini, saya dengar Mas Arif mencari pekerjaan, kebetulan tadi saya ke tempat teman saya, dia perlu pegawai baru, dianya sih malas menaruh iklan di koran, soalnya dia hanya butuh satu orang.” jawabku panjang lebar menjelaskan. Sedikit berdebar-debar aku menunggu tanggapan, takut tawaranku ditolak.

Lama Mas Arif kulihat terdiam, merenung, lalu... “Hmmm, saya pikir dulu, sebelumnya terima kasih ya!”

“Ya, Mas.” kataku dengan senyuman. Dalam hatiku, aku berpikir, “Habislah sudah kesempatanku!”

Tapi setelah di dalam kamar, sekitar dua jam kemudian aku yang tertidur, terbangun oleh ketukan di pintu. Aku lalu bangun, mengucek-ngucek mataku, melihat dari jendela. Tampak Mas Arif berdiri menunggu. Aku pun cepat-cepat membuka pintu.

“Wah, sedang tidur ya, kalau gitu nanti saja.” Mas Arif tiba-tiba permisi.

“Eee, nggak kok, Mas, saya sudah bangun nih.” kataku berusaha mencegah Mas Arif pergi.

“Gangguin tidur kamu nggak?”

“Ndak, ndak kok, masuk aja.” kataku mempersilahkan.

Setelah kami berdua duduk di karpet kamarku, “Begini, ini soal lamaran kerja yang kamu bilang itu, tempatnya di mana sih?” Mas Arif bertanya.

“Ooo, itu di Kaliurang km 7 nomor 14, nama perusahaannya DHL, nggak jauh kok.”

“Syaratnya gimana?”

“Saya kurang tau juga tuh, Mas Arif pergi saja ke sana. Temui teman saya, Toni, katakan Mas butuh pekerjaan, tahunya dari Budi.”

“Wah, kok rasanya kurang enak ya, seperti nepotisme saja.” Mas Arif sepertinya keberatan.

“Enggak… Nggak kok, perusahaannya besar. Mas kesana juga belum tentu diterima. Mas tetap melalui tes dulu.” kataku meyakinkan Mas Arif.

“Hmm, baiklah, tak coba dulu, jam berapa ya ke sana?”

“Sekitar jam kerja saja baiknya, jam 07.00 pagi saja.” kataku menyarankan.

Mas Arif hanya mengangguk tersenyum, lalu permisi seraya tak lupa berterima kasih kepadaku. Aku hanya tersenyum, berarti selangkah lagi keinginanku tercapai.

***

Hari ini selasa, sesuai prediksiku, Mas Arif pagi-pagi sudah berangkat, dan sekitar jam 11.00 siang baru pulang.

Aku menuju ke kamarnya, lalu mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum,” aku memberi salam.

“Wa’alaikumussalam,” terdengar jawaban Mas Arif dari dalam kamarnya.

Lama baru pintu dibuka, dan Mas Arif mempersilahkanku untuk masuk. Kulihat di dalam kamarnya, istrinya tengah duduk di pinggir tempat tidur dengan memakai jilbab putih, tersenyum padaku. Mbak Nida tampak cantik sekali.

“Bagaimana, Mas, tadi?” tanyaku.

“Oh, nanti saya disuruh ke sana lagi, besok, untuk test wawancara.”

“Alhamdulillah, tak do’ain supaya berhasil.”

“Terima kasih.”

Setelah berbasa-basi cukup lama, aku pun permisi.

“Eh, nanti dulu, kamu khan belum minum.” Mas Arif berusaha mencegahku. “Ayo, Nid, buatkan air minumnya dong.” perintah Mas Arif menyuruh istrinya, Mbak Nida.

Aku menolak dengan halus, “Ah, nggak usah, Mas, saya sebentar aja kok, ada urusan.”

“Oh, baiklah kalau begitu, sekali lagi terima kasih ya.”

Aku tersenyum mengangguk, kulihat Mbak Nida tidak jadi membuat minuman. Aku pun pergi ke kamarku, riang karena sebentar lagi ’adikku’ akan bersarang dan menemukan pasangannya.

***

Hari ini rabu, Mas Arif sudah berangkat dan meninggalkan Mbak Nida sendirian di kamarnya. Rencana mulai kulaksanakan. Aku membongkar beberapa koleksi vcd pornoku, memilih salah satunya yang aku anggap paling bagus, vcd porno dari Indonesia sendiri, lalu membungkusnya dengan kertas merah jambu.

Kemudian sambil membawa bungkusan vcd itu, aku menuju ke kamar tetanggaku, mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum,” aku memberi salam.

Lama baru terdengar jawaban, “Wa’alaikum salam,” jawaban Mbak Nida dari dalam kamar itu. Pintunya pun terbuka, kulihat Mbak Nida melongokkan kepalanya yang berjilbab itu dari celah pintu, “Ada apa ya?” tanyanya.

“Ini ada hadiah dari saya, saya mau memberikan kemarin tetapi lupa.” kataku sambil menunjukkan bungkusan vcd itu.

“Oh, baiklah.” kata Mbak Nida sambil bermaksud mengambil bungkusan di tanganku itu.

“Eee, tunggu dulu, Mbak, ini isinya vcd, saya mau lihat apa bisa muter nggak di komputernya Mas Arif.” kataku mengarang alasan.

Sedikit keberatan kelihatannya, akhirnya Mbak Nida mempersilahkanku untuk masuk, aku yakin dia juga kurang ngerti tentang komputer.

Di dalam kamar, aku menghidupkan komputer dan mengoperasikan program vcd playernya, lalu kumasukkan vcd-ku itu dan kujalankan. Sesuai dugaanku vcd itu berjalan bagus.

“Mbak nggak pingin nonton?” tanyaku sambil melihat Mbak Nida yang sedari tadi duduk di belakang memperhatikanku.

“Film apa sih?” tanya Mbak Nida kepadaku.

“Pokoknya bagus.” jawabku sambil kemudian memberikan petunjuk bagi Mbak Nida, bagaimana cara menghentikan player dan mematikan komputernya.

Mbak Nida hanya mengangguk, lalu kupermisi untuk pergi mumpung filmnya belum masuk ke bagian ’intinya’. Pintu kamar tetanggaku itu pun kembali ditutup. Aku bergegas ke kamarku, mau mengintip apa yang dilakukan Mbak Nida.

Setelah di kamarku, melalui ventilasi, kulihat Mbak Nida menonton di depan komputer. Dia tampaknya kaget begitu melihat adegan porno langsung hadir di layar monitor komputer itu. Dengan cemas aku menantikan reaksinya.

Menit demi menit berlalu hingga sudah 15 menit kulihat Mbak Nida masih tetap menonton. Aku senang, berarti Mbak Nida menyukainya. Lalu terjadi sesuatu yang lebih dari harapanku, tangan Mbak Nida pelan masuk ke dalam roknya, dan bergerak-gerak di dalam rok itu.

“Hhh… Hhhh… Ooohhh… Ooohhh...” suara Mbak Nida mendesah-desah, tampaknya merasakan kenikmatan.

Aku kaget, “Wah, hebat. Dia masturbasi.” kataku dalam hati. Ingin aku masuk ke kamar Mbak Nida, memeluknya dan langsung menyetubuhinya, tetapi aku sadar, ini perlu proses.

Akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengintip, dan berinisiatif mengukur kemampuanku. Akupun mulai melakukan onani dengan memain-mainkan penisku.

Film di komputer itu terus berjalan, hingga telah hampir 1,5 jam lamanya, pertanda film itu akan habis dan Mbak Nida kulihat sudah empat kali orgasme, luar biasa. Dan ketika filmnya berakhir, Mbak Nida ternyata masih meneruskan masturbasinya hingga menggenapi orgasmenya menjadi lima kali.

“Akkkhhhhhhh…” Mbak Nida terpekik pelan menandai puncak kenikmatannya.

Sesaat setelah orgasme Mbak Nida yang kelima, aku pun ejakulasi. “Oooorghhhh…” suara beratku mengiringi luapan sperma di tanganku. Aku senang sekali, berarti aku lebih tangguh dari Mas Arif dan bisa memuaskan Mbak Nida nantinya karena bisa orgasme dan ejakulasi bersamaan.

Kemudian Mbak Nida sesuai petunjukku, kulihat mengeluarkan vcdnya dan mematikan komputer.

***

Setelah siang hari, Mas Arif baru pulang. Sedikit berdebar-debar aku menunggu perkembangan di kamar tetanggaku itu, takut kalau-kalau Mbak Nida ngomong macam-macam soal vcd itu, bisa berabe aku!

Tetapi lama, kelihatannya tak terjadi apa-apa. Kembali aku mengintip lewat ventilasi, apa yang terjadi di sebelah.

Begitu aku mulai mengintip, aku kaget! Karena kulihat Mbak Nida dalam keadaan hampir bugil, hanya memakai celana dalam, dihimpit oleh Mas Arif, mereka bersetubuh! Namun seperti yang dulu-dulu, permainan itu hanya berlangsung sebentar dan tampaknya Mbak Nida kelihatan tidak menikmati dan tidak bisa mencapai orgasme. Bahkan aku melihat Mbak Nida seringkali kesakitan ketika penetrasi atau ketika payudaranya diremas.

“Ah, Mas Arif nggak pandai merangsang sih,” pikirku.

Bagaimanapun aku senang, langkah keduaku berhasil, membuat Mbak Nida tidak bisa lagi mencapai orgasme dengan Mas Arif. Prediksiku, Mbak Nida akan sangat tergantung pada vcd itu untuk kepuasan orgasmenya, sedangkan cara menghidupkan vcd itu hanya aku yang tahu, disinilah kesem-patanku.

***

Kamis, pukul 08.00. Aku bangun dari tidur, mempersiapkan segala sesuatunya, karena hari ini bisa jadi saat yang sangat bersejarah bagiku. Kemarin aku telah mengintip Mbak Nida dan Mas Arif seharian, mereka kemarin bersetubuh hanya dua kali, itupun berlangsung sangat cepat, dan yang penting bagiku, Mbak Nida tidak bisa orgasme.

Malam kemarin aku juga sudah bersiap-siap dengan minum segelas jamu kuat, yang bisa menambah kualitas spermaku.

Pagi itu, setelah aku mandi, aku berpakaian sebaik mungkin, parfum beraroma melati kuusapkan ke seluruh tubuhku, rambutku juga sudah disisir rapi. Lalu dengan langkah pasti aku melangkah ke tetangga sebelahku, Mbak Nida yang sedang sendirian.

Kembali aku mengetuk pintu kamarnya pelan, “Assalamu’alaikum,” aku mem-beri salam.

“Wa’alaikum salam,” suara lembut Mbak Nida menyahut dari dalam kamar.

Mbak Nida pun membuka pintu, kali ini ia berdiri di depan pintunya, tidak seperti kemarin yang hanya melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia memakai jilbab pink dengan motif renda, manis sekali.

“Oh ya, saya lupa memberitahukan cara menghidupkan vcd kemarin.” kataku sambil tersenyum.

Tiba-tiba raut muka Mbak Nida menjadi sangat serius, “Kamu kurang ajar ya, masa ngasih vcd porno gituan ke Mbak.” kata Mbak Nida sedikit keras.

Aku kaget, ternyata ia marah, pikirku. Lalu cepat aku mengarang alasan, “Oh, maaf, Mbak, vcdnya yang hadiah itu, isinya film soal riwayat Nabi-Nabi buatan TV3 Malaysia, maaf kalau tertukar. Yah saya ambil saja lagi.”

Mbak Nida masuk ke dalam kamarnya, ia tampak kecewa. Aku senang, berarti ia takut kehilangan vcd itu. Lalu aku pun masuk ke kamarnya melalui pintu yang sedari tadi terbuka.

Mbak Nida kaget, melihatku mengikuti langkahnya, “Eh, kamu kok ikut masuk juga?!”

Sambil menutup pintu, tenang aku menjawab, “Alaa… Mbak jangan munafiklah, toh Mbak juga menyukai vcd porno itu. Saya lihat Mbak sampai masturbasi segala.”

“Kurang ajar kamu! Keluar! Kalau tidak saya akan berteriak!” bentak Mbak Nida.

“Mbak jangan marah dulu, coba Mbak pikirkan lagi, sejak menonton vcd itu, Mbak tidak bisa lagi orgasme dengan Mas Arif khan?” kataku sambil merebut vcd itu dan mematahkannya.

Mbak Nida terkejut, “Kamu…”

Tak sempat ia menyelesaikan kata-kata, aku memotongnya, “Saya bersedia memberikan kepuasan kepada Mbak Nida, saya jamin Mbak Nida bisa orgasme bila main dengan saya.”

“Kurang ajar! Keluar kamu!”

“Ee, tidak segampang itu. Ayolah, Mbak Nida jangan marah, pikirkan dulu, saya satu-satunya kesempatan, bila Mbak Nida tidak memakai saya, seumur-umur Mbak Nida nggak akan pernah mencapai orgasme lagi.” aku mulai menghasutnya.

Mbak Nida terdiam sebentar, aku senang dan berpikir ia mulai termakan rayuanku, tapi… “Tidak! Kata Mbak tidaaak! Sekarang keluar kamu!”

Aku gemetar, tapi tetap berusaha, “Mbak sebaiknya pikirkan lagi, disini cuma saya yang mengajukan diri memuaskan Mbak, saya satu-satunya kesempatan Mbak, kalau Mbak tidak mengambil kesempatan ini, Mbak akan rugi!” kataku sedikit tegas.

Lama kulihat Mbak Nida terdiam, bahkan dia kini terduduk lemas di samping ranjangnya. Aku pura-pura mengalah… “Yah, sudahlah, jika Mbak tidak mau, saya pergi saja, saya itu cuma kasihan ngelihat Mbak!” kataku sambil beranjak pergi.

Tetapi kulihat Mbak Nida hanya diam terduduk di ranjangnya, aku membatalkan niatku, pintu yang telah terbuka kini kututup lagi dan kukunci dari dalam. Perlahan aku mendekati Mbak Nida, kulihat ia menangis.

“Mbak, jangan menangis, tidak ada maksud saya sedikitpun menyakiti Mbak.” kataku sambil mulai menyeka air matanya dengan tanganku.

Lalu pelan-pelan kupegang pundak Mbak Nida dan kudorong pelan dia agar berbaring di ranjang. Ternyata Mbak Nida hanya menurut saja, aku kesenangan, rayuanku berhasil meruntuhkan pendiriannya.

Kemudian aku mulai membuka resleting celana panjangnya, ia tampaknya menolak, tetapi aku dengan santai menepis tangannya dan memasukkan tanganku ke dalam celananya. Tanganku masuk ke dalam kolornya, lalu langsung jariku menuju ke tengah ‘lubang’ birahinya. Aku sudah terburu nafsu, mencucuk-cucukkan jemariku ke dalam lubang itu berkali-kali.

“Akhhh… Aakhhh… Aahhhhhh…” desahan Mbak Nida mengiringi setiap tusukan jemariku.

Aku ingin membuatnya terangsang dan mencapai orgasme. Lalu dengan cepat kutarik celana panjang dan kolornya, sehingga terlihatlah pahanya yang putih dan mulus, aku langsung mencium paha mulus itu bertubi-tubi, menjilat paha putih Mbak Nida dengan merata. Akupun mengincar kelentit Mbak Nida yang tersembul ke luar dari bagian atas memeknya.

Langsung aku kulum kelentit itu di dalam mulutku, “Elmm… Mmmmm… Emmmm...” dan lidahku menari-nari di atasnya, terkadang kugigit pelan-pelan berkali-kali.

“Akhh… Oooohhhh… Aaaahhhhh...” suara Mbak Nida mendesah kuat tanda terangsang.

Jemari tanganku semakin kupercepat menusuk memek Mbak Nida dan lidahku makin menggila menari-nari di atas kelentitnya yang berwarna merah jambu itu.

Perlahan kubimbing Mbak Nida mencapai puncaknya, hingga akhirnya… “Aaaaaaakkkhhhhhh…” pekikan pelan Mbak Nida mengiringi orgasmenya.

Kulihat jemari tanganku basah, bukan karena liurku tetapi karena cairan vagina Mbak Nida yang orgasme. Aku mencium vagina itu, tercium bau khas cairan vagina wanita yang orgasme.

Aku tersenyum, hatiku senang karena bisa membawa Mbak Nida mencapai orgasmenya. Tetapi aku tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah memelankan tusukan jariku, kini tusukan itu kembali kupercepat.

“Ahhh… Aahhhh… Yaah… Yaahh…” suara Mbak Nida mulai meracau.

Sementara tangan kiriku beroperasi di vagina Mbak Nida, tangan kananku mulai meremas blus Mbak Nida, dengan cepat tangan kananku merobek blus itu dan menarik kutangnya hingga menyembullah payudara Mbak Nida yang indah membukit.

Kemudian aku menghisap kedua puting itu sambil tangan kananku meremas payudara Mbak Nida bergantian, “Slurrpp… Slrrrrpp… Slluuurpp...” aku menghisap puting Mbak Nida, sementara desahan Mbak Nida terdengar halus di telingaku.

“Akhh… Teruuss… Teruuusss…” sementara tangan kiriku tetap beraksi di vagina Mbak Nida, dan vagina itu semakin becek, “Crrtt… Crrtt… Slrrpp…”

Kini mulutku mulai merangkak maju menuju bibir Mbak Nida yang mendesah-desah, begitu wajah kami bertatapan, kulumat bibir mungil itu dalam-dalam, Mbak Nida sedikit kaget.

“Ohhh… Ooomlmmm… Elmmmm…” Mbak Nida tidak bisa lagi bersuara, karena bibirnya telah kulumat, lidahnya kini bertemu dengan lidahku yang menari-nari.

Aku memang berusaha membimbing Mbak Nida agar orgasme untuk kedua kalinya. Agar di saat orgasmenya itu aku bisa memasukkan penisku, mempenetrasi vaginanya. Karena aku sadar penetrasi itu akan sangat sakit karena ukuran penisku lebih besar dari punya Mas Arif yang biasa masuk kesitu.

Sambil mencium dan merangsang memek Mbak Nida, tangan kananku mulai melepas celana panjang dan kolorku, lalu melemparkannya begitu saja ke lantai. Tangan kananku mengelus-elus kontolku yang terasa mulai mengeras.

Tak lama, akhirnya Mbak Nida mencapai orgasmenya yang kedua kali, “Ooorrggghhhhh…” dia mengerang, tetapi belum selesai erangannya, aku langsung menusukkan penisku pelan-pelan ke dalam vaginanya.

“Aaaaaahhhhh…” suara Mbak Nida terpekik, matanya sayup-sayup menatap syahdu ke arahku, aku tersenyum.

Aku pun mengambil posisi duduk dan mengangkangkan kedua paha Mbak Nida dengan kedua tanganku, lalu kulakukan penetrasi kontolku pelan-pelan lama kelamaan menjadi semakin cepat. Bunyi kecipak pun mulai terdengar, “Sllrrttt… Cccrrttt… Cccrrplpp…” suara becek itu terus berulang-ulang seiring dengan irama tusukanku.

“Akhhh… Yaaahh… Terus…” suara desahan Mbak Nida keenakan. Aku pun semakin mempercepat tusukan, kini kedua kakinya kusandarkan di pundakku, pinggul Mbak Nida sedikit kuangkat dan aku terus mendorong pinggulku ber-ulang-ulang. Sementara dengan sekali sentakan kulepaskan jilbabnya, tampaklah rambut hitam sebahu milik Mbak Nida yang indah, sambil menggenjot aku membelai rambut hitam itu.

“Ahhh… Aahhh… Aaaahhh…”

“Ohhh… Oohhhh… Hhhhh…”

Suara desahanku dan Mbak Nida terus terdengar bergantian seperti irama musik alam yang indah.

Setelah lama, aku mengubah posisi Mbak Nida, badannya kutarik sehingga kini dia ada di pangkuanku dan kami duduk berhadap-hadapan, sementara penisku dan vaginanya masih menyatu.

Tanganku memegang pinggul Mbak Nida, membantunya badannya untuk naik turun. Kepalaku kini dihadapkan pada dua buah pepaya montok nan segar yang bergelayut dan tergoyang-goyang akibat gerakan kami berdua. Langsung kubenamkan kepalaku ke dalam kedua payudara itu, menjilatnya dan menciumnya bergantian.

Tak kusangka genjotanku membuahkan hasil, tak lama…

“Oooohhhhhhh…” lenguhan panjang Mbak Nida menandai orgasmenya yang ketiga, kepalanya terdongak menatap langit-langit kamarnya saat pelepasan itu terjadi.

Aku senang sekali, kemudian kupelankan genjotanku dan akhirya kuhentikan sesaat. Lama kami saling bertatap-tatapan, aku lalu mencium mesra bibir Mbak Nida dan Mbak Nida juga menyambut ciumanku, jadilah kami saling berciuman dengan mesra, oh indahnya.

Tak lama, aku menghentikan ciumanku, aku kaget, Mbak Nida ternyata menangis!

“Kenapa, Mbak? Saya menyakiti Mbak ya?!” tanyaku lembut penuh sesal.

Masih terisak, Mbak Nida menjawab, “Ah, nggak, kamu justru telah membuat Mbak bahagia.”

Kami berdua tersenyum, kemudian pelan aku baringkan Mbak Nida. Perlahan aku mengencangkan penetrasiku kembali. Sambil meremas kedua payudaranya, aku membolak-balikkan badan Mbak Nida ke kiri dan ke kanan. Kami berdua mendesah bergantian.

“Ahhh… Aahhh… Aaaahhh...”

“Ohhh… Ohhhh… Hhhhh...”

Terus… lama, hingga akhirnya aku mulai merasakan urat-uratku menegang dan cairan penisku seperti berada di ujung, siap untuk meledak. Aku ingin melakukannya bersama dengan Mbak Nida. Untuk itu aku memeluk Mbak Nida, menciumi bibirnya dan membelai rambutnya pelan. Usahaku berhasil karena perlahan Mbak Nida kembali terangsang, bahkan terlalu cepat.

Dalam pelukanku, kubisikkan ke telinga Mbak Nida, “Tahan… Tahan… Mbak, kita lakukan bersama-sama ya,”

“Ohhh… Oohhh… Oohhhh… Aku sudah tak tahan lagi.” desah Mbak Nida, kulihat matanya terpejam kuat menahan orgasmenya.

“Pelan-pelan saja, Mbak, kita lakukan serentak.” kataku membisik sambil kupelankan tusukan penisku.

Akhirnya yang kuinginkan terjadi, urat-urat syarafku menegang, penisku makin mengeras. Lalu sekuat tenaga aku mendorong pinggulku berulang-ulang dengan cepat.

“Akhhh… Oooohhh… Oohhh...” suara Mbak Nida mendesah. Kepalanya tersentak-sentak karena dorongan penisku.

“Lepaskan… Lepaskan… Mbak, sekarang!” suaraku mengiringi desahan Mbak Nida.

Mbak Nida menuruti saranku, diapun akhirnya melepaskan orgasmenya, “Aaaakkhhhhh…”

“Ooorggghhhhh…” suara berat menandakan ejakulasiku, mengiringi orgasme Mbak Nida. Erat kupeluk ia ketika pelepasan ejakulasi itu kulakukan.

Setelah permainan itu, dalam keadaan bugil aku tiduran telentang di samping Mbak Nida yang juga telanjang. Mbak Nida memelukku dan mencium pipiku berkali-kali seraya membisikkan sesuatu ke telingaku, “Terima kasih, Bud.”