Minggu, 04 Agustus 2013

Terapi Akupuntur

Nama saya Mila, saya seorang ibu dengan satu anak, dan sudah 5 tahun ini aku menggunakan jilbab. Sebagai ibu rumah tangga, tidak banyak yang saya lakukan, aktivitas saya hanya antar jemput anak saya yang masih TK dan mengurus rumah dan suami.

Dua tahun yang lalu saya menjalani terapi akupunktur dengan seorang ‘mbah’ akupunktur di kawasan Kelapa Gading sebelum tempat ini menjadi terkenal seperti sekarang ini. Saya menjadi pelanggan klinik ini atas saran adik saya Priska. Saya tau dia selama ini menjalani terapi akupunktur, namun bagaimana dan di mana kliniknya saya tidak pernah tahu. Hingga akhirnya pada minggu malam setelah aku memaksanya untuk memberikan alamat kliniknya, dia memberikannya.

Saya tidak pernah membahas mengapa dia begitu berat memberikan alamat ini dan tidak pernah mau mengantar aku ke tempat ini. Akhirnya pada keesokan harinya setelah menitipkan semua urusan rumah tangga ke adikku ini, aku berangkat ke klinik akupunktur ini. Adikku sebenarnya tidak menetap di rumahku. Dia tinggal bersama orang tuaku di Bandung. Mulai Senin itu anakku satu-satunya libur dan dia seperti biasa berlibur bersama orang tuaku di Bandung.

Priska memang rutin ke Jakarta selain untuk kegiatan bisnis baju muslimnya dan pastinya seperti yang aku tahu, pada hari Sabtu Minggu itu dia baru saja menjalani terapi akupunktur.

Setelah mengantarkan Priska dan anakku ke biro travel, aku segera memacu mobilku ke alamat yang diberikan Priska. Priska tidak memberiku banyak informasi, namun aku bisa mencarinya dengan mudah. Priska juga tidak mengatakan padaku berapa biaya perawatan akupunktur disini.

”Tiap-tiap orang beda-beda kok, mbak, tergantung perawatannya bagaimana.” begitu katanya, dan aku percaya dan tidak mungkin akan mahal, sebab aku tahu bagaimana kemampuan keuangan Priska. Apalagi aku tahu dia terapi lebih dari sebulan sekali ke klinik ini. Dan hasilnya menurutku cukup baik.

Jam 9.30, aku sudah berada di klinik itu. Ruang tunggunya sepi. Tidak ada siapa-siapa, yang aku bingung tak ada petugas administrasi pencatat antrian pasien dan disitu disebutkan kalau hari Minggu tutup. Dalam hati aku berpikir, mungkin kalau Minggu Priska pura-pura saja berobat di sini tapi aslinya dia pacaran, memang dia masih belum menikah, tapi dengan siapa dia dekat saat ini, aku tidak pernah tau.

Tiba-tiba terdengar suara dari intercom, ”Ibu mau akupunktur?”

Saya yang tidak tahu pengoperasian akupunktur, pertamanya bingung bagaimana menjawabnya. Akhirnya setelah tahu harus bagaimana, aku menjawab. ”Iya, pak. Saya Mita, kakaknya Priska.”

Lama sekali tidak ada jawaban. Namun tak lama kemudian pintu yang bertuliskan ruang perawatan terbuka. Seorang laki-laki berusia 40-an tahun, mempersilahkan aku masuk. Dia menggunakan safari putih namun dibawahnya menggunakan sarung berwarana hijau.

”Panggil saja saya mbah.” begitu katanya saat kami berjabat tangan.

Di balik pintu itu ternyata bukan ruang perawatan dokter, namun lorong panjang yang berujung pada tangga menuju lantai dua. Saya dipersilahkan naik dan dia mengikutiku dari belakang. Agak risi juga, apalagi pada saat itu aku menggunakan celana panjang berbahan kaos yang pastinya cukup bisa memperlihatkan bokongku yang sudah melebar.

Di lantai dua terdapat beberapa ruangan, dan nampaknya aku pasien pertamanya hari itu. Di depan kamar-kamar tersebut ada seperti ruang tunggu yang dilengkapi TV. Kami duduk di situ. Mbah memberiku sebuah minuman teh hijau hangat yang lumayan enak menurutku.

Dia bertanya apa keluhanku. Aku menjelaskan, ”Mbah, saya mau melangsingkan badan, Berat saya sudah 58, paha saya besar, dan maaf Mbah, pantat saya juga melar sejak melahirkan.” saya agak gugup pada saat itu. Apalagi Mbah waktu itu hanya diam saja. Saya juga bertanya-tanya, mengapa orang seumur ini dipanggil Mbah. Dan dia juga bukan dukun.

Dia nampak ragu-ragu. ”Kamu kakaknya Priska?”

”Iya, Mbah, selama ini kalau dia mau terapi selalu ke rumah saya dulu.” kataku.

Dia terdiam cukup lama, dan ini semakin membuat saya bingung. ”Coba ke sini.” katanya sambil melambaikan tangan agar aku mendekat.

Aku berdiri dan menuju ke arahnya yang sedang duduk di kursi. Begitu di dekatnya, di suruhnya aku membalikkan badan. Dan tanpa ba bi bu dia memegang pantatku dengan kedua tangannya. Kemudian pahaku juga dipegangnya. Walaupun kaget, tapi aku mencoba untuk tenang, karena kupikir ini sebagian dari pemeriksaan sebagaimana layaknya dokter.

”Ada keluhan lain, selain pantat dan paha?” sahutnya lagi sambil tetap memegang pantatku.

”Perut saya, Mbah, dan...”

Belum selesai saya bicara, dia sudah menyela, “Pantatnya normal kok. Pahanya juga gak terlalu besar.”

Agak kecewa karena seolah-olah ditolak, saya menjelaskan. ”Dulu celana saya ukuran 29, Mbah. Sekarang 30-31.”

“Untuk ibu-ibu, itu wajar.” sahutnya lagi.

“Tapi saya sekarang gak berani pake celana jeans lagi, mbah. Apalagi perut saya... mmm, lingkar pinggang saya sudah melar, Mbah.” lanjut saya sambil mengambil tangan kanan si Mbah yg sedang memegang pantat saya ke perutku.

”Ohhhh...” si Mbah bergumam.

Puas dengan reaksinya, aku pun mulai sedikit tenang. ”Lengan saya juga mulai besar, Mbah. Dan maaf ya, Mbah, payudara saya agak turun.”

Mbah melepaskan tangannya dari perut dan pahaku. Dia duduk bersandar sambil menengadahkan kepalanya ke arahku. ”Sebetulnya masih wajar, Mila. Mungkin...”

Belum selesai dia bicara, kali ini saya yang memotong perkataan si Mbah. ”Tapi saya gemuk dan berat badan saya naik 5 kg, Mbah. Dan ini agak kendor.” kataku sambil memegang payudaraku.

Begitu si Mbah berdiri, aku agak menyesal dengan kata-kataku. Pasti dia akan memegangnya, batinku. ”Jarang olah raga ya?” katanya sambil memegang lenganku. Tak seperti yang kubayangkan, dia beranjak ke lemari yang berada di dinding ruangan dan mengambil kimono dari sana. ”Tolong Tasnya,” sahutnya sambil memintaku menyerahkan tas. Tasku dimasukkan dalam lemari, dan aku dipersilahkan masuk ke ruangan untuk berganti baju.

Akhirnya aku lega, mau juga orang ini melayani aku. Aku sudah hampir menelepon Priska dan komplain, kok ada therapist menolak pasien. Di dalam ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur pasien layaknya tempat tidur yang ada di dokter. Dan di sisi kiri ruangan hanya terdapat cermin besar yang ditempel di dinding.

Setelah melepas semua bajuku dan menggunakan kimono, aku merebahkan badanku. Si Mbah membuka pintu, ”Duduk di luar dulu, mbak, belum mulai kok.” katanya.

Agak malu, aku pun keluar ruangan. Aku duduk di sofa yang tadi dan si mbah memberiku secangkir teh hangat lagi. Kali ini rasa dan baunya agak aneh. Warnanya agak kuning, dan baunya agak strong. Waktu aku minum, aku agak tersedak.

Si mbah juga memberiku sepotong biscuit. ”Ini biar gak eneg, Kalau minum sekali teguk saja.” katanya.

Belum aku minum, dia menuangkan sesuatu dari poci kecil yang aku pikir dari kentalnya itu gula. ”Ya sudah, minum. Sekali teguk saja.” katanya.

Aku meminumnya. Yaikss, jamu apa ini? Dan pastinya tadi bukan gula. Agak muak dengan rasa teh yang anyir itu, aku pun melahap biscuit dan menerima air putih yang disodorkan si Mbah.

”Itu untuk merontokkan lemak.” kata si Mbah dengan dingin. Ekspresinya masih membuatku agak jengkel. ”Ada keluhan lain?”

”Ada, mbah, saya agak keputihan.” sahutku.

Si Mbah melepaskan kacamata tebalnya. Hmm, agak lumayan tampangnya kalau begini, batinku. ”Sering pakai panty liner ya?” dia bertanya. Aku mengangguk.

”Mulai sekarang jangan di pakai ya...” pesennya. Aku mengangguk lagi.

”Punya pohon sirih?” tanyanya. Aku menggelengkan kepala, lumayan bersuara nih si Mbah sekarang. ”Ya sudah, ayo masuk.” perintahnya.

Di dalam, aku disuruhnya tengkurap. Bajuku yang kutaruh ada di atas tempat tidur diambil kemudian dia taruh diluar. Entah di laci yang sama dengan tasku atau dimana, entahlah.

Pengalamanku ini bermula dari sini. Dari ruangan ini dan dimulai dari sejak tangan-tangan si Mbah memijitku. Maaf buat pembaca pria, mungkin aku kurang pandai bercerita.

Si Mbah mulai melakukan pijitan refleksinya di ke dua telapak kakiku. Namun tidak membuatku terlalu kesakitan seperti pemijat-pemijat refleksi lainnya, namun cukup lama dan dia melakukannya dengan sangat teliti. Satu persatu, dan sama sekali tidak berbicara. Beberapa kali aku bertanya sekedar memecahkan suasana. Tapi dia diam saja. Terakhir aku bertanya lagi, ”Mbah, minggu kan tutup, tapi kemarin Priska ke sini ya?”

Dia pertamanya diam. Namun dengan sedikit menekan jempol kaki kiriku dia menjawab, ”Minggu dia gak terapi kok. Ini gak sakit ya?”

”Nggak, Mbah.” Berarti kemana tuh anak tiap minggu? batinku. Soalnya kalau minggu dia berangkat pagi sampai di rumah paling jam 6 atau jam 7 malam.

Selesai dengan refleksi, dia mulai memijit betisku. Ohh, pake pijit toh, batinku. Dia mengoleskan minyak yang cukup harum ke betisku dan mulai memijatnya. Dia membalurkan minyak itu sampai ke dua pahaku. Dan secara tidak sengaja ketika aku menggerakkan telapak kakiku, aku menyentuh selangkangannya. Hah! Sepertinya si Mbah gak pake CD, batinku.

”Maaf, mbah.” ujarku canggung.

”Jangan banyak asin-asin sama pedes-pedes dulu ya untuk sementara waktu, sama jangan pake sepatu tinggi. Kan kamu sudah tinggi kamu.” aku melirik ke cermin di dinding kiri, nampak dia menunjukkan keloid yang ada di pahaku. Oh, itu toh fungsinya kaca ini, batinku. Dan dia juga gak membahas insiden tadi sama sekali.

Kimonoku disibakkan lagi. Dari kaca aku melihat tangannya mulai memijit-mijit ke arah pantatku dan bagian bawah kimono ini sudah tersingkap hingga ke pinggangku. Kalau begini, kenapa Priska gak bilang ya? Mestinya aku kan ditemani suamiku atau paling tidak Priska sendiri. Aku kan berjilbab.

Tapi nampaknya si Mbah cukup professional, selama dia gak kurang ajar mungkin aku diam saja. Dan lagipula sepertinya dia gak aneh-aneh dengan Priska selama ini. Begitu pijitannya di pantatku selesai, dia lagi-lagi tanpa ba bi bu, langsung membuka celana dalamku. Aku yang agak kaget dan hendak protes jadi diam karena dia langsung sigap memijit pantatku hingga pinggang.

”Nah ini kalau kamu rajin ngepel setiap hari, pasti kenceng kok.” sambil kedua jempolnya menekan dia tulang panggulku.

”Aduh, ngilu, Mbah.” aku merintih.

”Coba agak nungging.” perintahnya.

Aku menurut saja, sambil melihat apa yang dilakukan si Mbah lewat kaca cermin. Ketika aku nungging dengan bertumpu di atas dengkul, si Mbah mengurut bagian samping pantat dan pahaku. Dan kurang ajarnya, celdamku diturunkan hingga ke dengkul. Tapi pijatannya membuatku kesakitan hingga tak bisa protes.

”Kamu harus sering-sering olah raga, dan ini panty liner jangan di pake lagi.” ujarnya sambil memungut panty linerku dan membuangnya. Aku hanya diam saja.

”Sudah, tengkurap lagi.” perintahnya. Ditariknya kimonoku hingga pantat yang tak tertutup celana itu tertutup kimono.

”Mbah, celananya saya pake dulu...”

Belum selesai aku bicara, ”Ga usah, nanti juga ditusuk jarum, buka dulu kimononya!”

Aku gak bisa protes dan nurut saja membuka lengan kimononya. Kimonoku diturunkan untuk menutupi area pinggang dan bawahku. Dia mulai memijit punggungku. Dan aku diam saja ketika dia membuka braku dari belakang. Dia mulai memijit dan mengurut punggungku. Kuakui, pijitannya lumayan enak. Dan kali ini dia tidak banyak bicara, nampaknya dia sangat berkonsentrasi. Dia pun membiarkan saja waktu kimono yang menutupi pantatku secara tidak sengaja jatuh ke lantai.

Sementara aku melihat diriku di kaca agak bingung mengatakan dan membayangkannya. Aku berjilbab tapi boleh dibilang di bawah sana benar-benar telanjang. Celana dalamku melingkar di dengkulku, sedangkan bra-ku sudah tidak benar-benar terpasang dengan sempurna. Waktu si Mbah memijat leherku, aku pun bertanya, ”Apa kerudungku di buka saja, Mbah?”

”Nggak usah, bisa kok.” jawabnya.

Wah, di luar dugaan. Berarti dia benar-benar professional. Aku pun berpikir, di ruangan ini cuma ada kami berdua, dan aku telanjang. Bahkan bukan cuma di ruangan ini, tapi di ruko ini tidak ada siapa-siapa!.

Si Mbah Nampak tenang-tenang saja. Lengannya nampak mulai berkeringat. Dia mengambil remote AC dan mengatur suhu ruangan agar aku tidak terlalu kedinginan. Diambilnya lagi kimono yang di lantai dan mulai ditutupkan ke punggungku. Dia berpindah ke atas kepalaku, dan memijat pundakku dari atas. Otomatis ’anunya’ berada tepat diatas kepalaku.

Dia terus mengurut pundakku, dan aku melihatnya dari cermin. Sesekali ’anunya’ tentu menyentuh kepalaku. Aku agak geli melihat apa yang terjadi lewat cermin. Tapi si Mbah dengan tenang dan dingin meneruskan pekerjaannya.

Selesai melakukan pijitan, si Mbah mengambil jarum-jarum akupunktur yang berada di ujung ruangan. ”Semuanya masih baru ya, Pris.” dia menunjukkan.

”Mila, Mbah.” sahutku mengoreksi.

”Oh ya, maaf.” jawabnya.


”Priska sudah berapa lama Mbah ke sini?”

”Oh, Lama juga, hampir sejak buka.”

”Bukannya sekarang dia sudah langsing, Mbah?”

”Kalian sama, manja. Jarang olah raga.”

Bah, jawabannya selalu sepotong-sepotong. Tiba-tiba perhatianku mengarah ke sarungnya. Hmm, ’anunya’ ternyata bereaksi juga. Aku agak geli, apalagi kalau dipikir-pikir, lagi-lagi seperti tadi, aku telanjang dan cuma berdua dengannya, dan lagi-lagi kulihat ’anunya’ yang bangun dari balik sarung. Tapi sejauh ini, tidak ada tanda-tanda si Mbah kurang ajar kepadaku.

Ketika semua jarum sudah dipasang di betis, paha, pantat, pinggang dan punggung, dia mengambil celana dalamku. ”Ini saya cuci terus jemur ya?” serunya.

”Iya, mbah. Maaf ya, agak basah.”

“Gak apa-apa.” si Mbah sekarang mematikan AC, dan keluar ruangan. Tak lama kemudian dia kembali, dan hendak memasang jarum di belikat dan pundakku. ”Sudah terpasang semua, nanti tidur saja.”

“Boleh saya Nelson, Mbah?” aku bertanya.

”Sebetulnya ga boleh ada HP di ruang rawat.” dia nampak keberatan.

”Anak saya ke Bandung sama Priska, Mbah.” aku menjelaskan.

Si Mbah keluar dan kembali membawa HP. Saya menelepon Priska. “Ka, sudah sampe mana?”

”Masih di Tol, mbak, memang belum di terapi ya?” tanyanya.

”Sudah, ini sudah dipakein jarum.”

”Lho, kok boleh telpon?”

”Iya, aku minta ijin.”

”Anakmu tidur, Mbak.”

”Ya sudah deh, nanti sms ya kalau sudah sampe.”

“Ya, Mbak, sudah minum jamu mbak?”

”Sudah tadi, 2 gelas waktu sebelum dipijit.”

”Gelas? Kok pake gelas?”

”Ya gak tau deh, ya sudah ya, Ka?”

“Ya, Mbak.”

Aku tutup telepon. Tadinya aku mau telpon suami tapi ya sudah nggak enak. HP pun aku switch off dan kuberikan pada Si Mbah. Si Mbah pun berlalu.

Selama aku sendiri, aku merasa tusukan-tusukan jarum ini membuatku sedikit merinding, terbayang bagaimana tadinya jarum ini satu persatu dipasang di badanku. Waktu tangan si Mbah memegang semua seluk beluk tubuhku. Terus terang itu saja yang aku pikirkan, terutama ‘anunya’ si Mbah yang berdiri. Aku juga kepikiran apa yang dilakukan dengan Priska, apa dia tegang juga, dan Priska yang jauh masih muda, langsing dan putih apa tidak membuat si Mbah tergoda. Apalagi reaksi Priska yang merahasiakan tempat ini.

Aku melirik ke kaca lagi. Hmm, pantatku terlihat membumbung dengan jarum-jarum berasap di atasnya. Tadi si Mbah sempat mengintip miss V-ku dong? Apa yang ada di pikirannya hingga dia ngaceng seperti tadi ya? Mungkin dia ingin melakukannya dari belakang. Hehehe, aku agak geli memikirkannya. Ah, tapi aku belum pernah dibegitukan oleh suamiku. Tapi dipikir-pikir, dia professional juga ya. Oh ya, bagaimana keputihanku ya? Aduh, jangan-jangan keluar deh. Kok tadi belum diterapi ya?

Aku terus memikirkan yang tidak-tidak hingga aku tertidur. Begitu terbangun, si Mbah sudah berada di ruangan lagi. Dan aku makin merinding ketika tangannya mulai mencabuti jarum-jarum tadi.

”Mbah, keputihan saya bagaimana?” aku bertanya.

“Iya, satu-satu dong.” jawabnya.

”Maaf, saya takut keluar tadi.”

Tiba-tiba tangannya memegang vaginaku dan aku benar-benar kaget ketika dia pun mengusap-usapnya. Aku yang benar-benar kaget tapi tidak marah atau bagaimana, malah melihatnya dari kaca cermin. Oh, pemandangan itu makin membuatku sesak. Apalagi jari-jari tangan itu mulai membelai liang miss V, dan aku diam.

”Coba nungging lagi?” pintanya. Aku pun menuruti perintah itu sambil melihat di cermin bagaimana erotisnya posisiku. Dipegangnya lagi miss V-ku, dan terus terang aku terangsang.

”Coba sekarang terlentang.” suruhnya lagi. OK, sekarang aku benar-benar bugil di depannya, dan aku diam saja, menurutinya.

Dia mengambil jarum lagi dan menusukkan disekitar miss V-ku. Lalu diambilnya minyak lagi dan dibalur di perut dan akhirnya payudaraku pun mendapatkan jatahnya. Aku melihatnya di cermin, bagaimana aku kini benar-benar telanjang dan hanya menggunakan jilbab. Aku tahu putingku berdiri saat dia membalurku. Aku malu tapi diam saja, malah menikmati pemandangan di cermin.

”Gak terlalu kendor kok, apa ukurannya mau dikecilin?” ujar si Mbah sambil membalurkan minyaknya.

Aku diam, bahkan mungkin tidak sadar kalau si Mbah sedang bertanya. ”Memang dari dulu sudah segitu, Mbah, cuma takut kendor.” sahutku. Aku tahu putingku sekarang benar-benar tegak, dan ketika si mbah menyentuhnya, aku benar-benar tidak bisa menahan rasa geli yang sepertinya nyambung dengan tusukan jarum di sekitar vaginaku. Tanganku pun tanpa sadar melingkar di pinggangnya, napasku menderu, dan aku sedikit melenguh.

Si Mbah terus memainkan jempolnya diputingku. Aku tidak berani menatapnya, hanya melihat cermin dari balik tubuhnya. Reaksinya masih dingin-dingin saja. Sementara itu tangan yang satunya sudah berpindah ke arah miss V-ku. Di putar-putarnya jarum itu dan aku pun mengelinjang dibuatnya. Satu per satu dicabutnya dan setelah tak ada satu jarum di tubuhku, aku pun membalikkan tubuh ke arahnya, membiarkan tangan kirinya bermain di putingku dan kanannya di vaginaku.

Vaginaku membasah, apalagi saat jari yang kedua ikut menusuk ke dalamnya. Aku menggelinjang gak karuan. Si Mbah menarik kedua tangannya, aku agak kaget, atau kecewa? aku agak lupa, tapi ternyata dia hanya membuka sarungnya, dan benar saja, ternyata tak ada celana dalam dibaliknya. Dan Mr Happy yang berukuran sedang tak jauh beda dengan milik suamiku itu tegak terpampang dihadapanku.

”Ayo,” ujar si Mbah, memintaku untuk menyepong kontolnya.

”Saya belum pernah begini mbah sama...” Tangan si Mbah lebih cepat bergerak mendorong kepalaku dan mulutku pun bungkam oleh ’anunya’.

Aku yang tidur menyamping menghadap cermin bisa melihat si Mbah bottomless dengan tangan kirinya memainkan payudaraku dan tangan kanannya memainkan vaginaku. Sementara mulutku penuh dengan anunya. Gerakan tangan si Mbah di vaginaku benar-benar luar biasa, tidak sampai 5 manit, aku pun kelojotan dibuatnya.

Tak lama setelah aku meregang, tangan si Mbah mulai masuk lagi dan aku terbeliak saat tiga jarinya kini masuk. Akupun tidak kuasa menahan teriakan kecilku. Dan apalagi, sepertinya salah satu jarinya menyentuh sesuatu yang bener-bener membuatku kelojotan. Itukah G Spotku?

Si Mbah mengurangi satu jarinya, hingga aku sedikit bisa bernafas, sedangkan tangan kirinya memegang kepalaku. Kali ini anunya yang tadi terlepas, dibenamkan ke tenggorokanku. Dengan posisi miring begini benar-benar membuat mulutku penuh. Dan kini si Mbah mulai menggenjotku. Aku lupa detailnya bagimana, tapi tak lama kemudian yang aku tahu aku pun orgasme lagi.

Tapi si Mbah tetap saja tidak mengeluarkan tangan dan anunya dari tubuhku. Mataku sudah berkali-kali terbelalak-lalak karena tidak kuat dengan apa yang terjadi. Aku sedikit mendorong tubuh si mbah, tapi itu cuma bisa membuat anunya keluar dari mulutku. Tangannya tetap bermain di anuku. Aku menggelinjang gak karuan hingga aku meregang dan akhirnya setengah terduduk menahan rasa di vaginaku.

”Mbaaaaaaaaaaaaaaaah... stop!” tanganku meraih tangan kanannya, meminta untuk mencabutnya dari vaginaku. Namun sekali lagi, mungkin karena dia sudah tau di mana G Spotku, si mbah menekannya kuat-kuat dan menggosokkannya lagi. Akupun kelojotan lagi sambil menahan tangan kanan si Mbah agar keluar dari vaginaku. Sementara tangan kiriku mencakar pundaknya. Tapi upayaku sia-sia walaupun aku sudah meminta-minta agar si Mbah menudahinya, tetap saja tangan kanannya menggosok-gosok vaginaku.

Akhirnya setelah orgasme lagi, akupun terkencing-kencing dibuatnya. Aku sudah gak tahan lagi. Aku yang lemas lunglai tergeletak masih harus menerima hujaman anunya si mbah. Walaupun agak lama juga, akhirnya keluar semua sperma si Mbah di mulutku. Aku diharuskannya meminum semuanya, sementara sisanya masih meletup-letup mengenai wajahku. Aku tidak boleh memuntahkan spermanya, atau membersihkan wajahku.

”Saya belum pernah begini, mbah.” terangku lirih.

”Begini apa?”

”Oral.” sahutku.

”Aku nggak ngerti istilah oral.” jawab si mbah.

”Saya nggak pernah cium anunya suamiku sendiri, mbah.”

Si mbah mendekatkan wajahnya ke wajahku. ”Maksud kamu nyepong?”

”Iya, mbah, nyepong.” aku membenarkan.

Si mbah memberi aba-aba agar aku membersihkan anunya. Akupun menuruti dengan menjilatinya hingga bersih. ”Yang bersih ya, mungkin sebentar lagi ada pasien lain yang datang.” kata si Mbah dengan dingin.

Setelah bersih, si mbah mengenakan sarungnya lagi. Dia mengambil sebuah gulungan daun sirih. ”Ini obat supaya gak keputihan.” Dimasukkannya gulungan sirih itu ke vaginaku. Dan ikatannya yang dari seutas benang kasur diikatkan ke pinggangku. ”Jangan sampe lepas.” katanya.

Aku pun berdiri ketika si mbah meraih kain sprei yang basah oleh kencingku atau apalah tadi itu, aku gak tau.

”Bajumu di luar.” ujar si mbah dengan dingin.

Sebetulnya aku ingin di peluk olehnya, tapi aku gak berani meminta. Sekejap aku melirik ke cermin, ada sedikit sisa air maninya menggantung dari kening ke hidungku, dan aku tidak berani membersihkannya. Aku melihat ikat pinggang dari benang kasur dan aku pun berjalan dengan sangat hati-hati agar gulungan daun sirih ini tidak lepas. Tapi sebetulnya ukurannya cukup besar dan layaknya tampon, semestinya tidak usah diikat begini.

Sesampai di luar, yang ada hanya celana panjang dan bajuku saja. “Aku simpan semua bh dan celana dalam pasienku.” ujar si mbah menjawab pertanyaanku. Aku pun diam saja.

Setelah berpakaian, aku pun bertanya. “Semua berapa, Mbah?”

“700 ribu.” sahut si Mbah.

“Mbah, kok mahal sekali?”

“Memang Priska nggak bilang? Ya memang segitu, mestinya satu juta, tapi kamu tadi nyepongnya lumayan, jadi 700 ribu.”

Aku bingung dengan jawaban itu. Aku tersinggung, tapi gak bisa marah. ”Cuma ada 300, Mbah.”

“Di ruko seberang ada ATM Center. Saya tunggu ya.” si mbah masuk ke kamar mandi.

Saya pun bergegas turun. Saat di anak tangga, pengaruh dari daun sirih di vaginaku mulai bereaksi. Aku geliii sekali. Apa lagi ketika aku harus menyeberang jalan. Di bawah terik sinar matahari jalan ramai, mulai terpikir olehku, di balik bajuku ini aku tidak menggunakan underwear. Aku bingung bagaimana kalau ada temanku. Karena biarpun atasan ini berlengan panjang dan berleher penuh tertutup, tapi bahan kaos ini cukup bisa memperlihatkan payudaraku yang tanpa BH, atau celanaku yang juga dari bahan kaos. Duh, gimana kalau ada yang melihat.

Setelah bertanya ke satpam, aku pun menuju atm center. Bekas sperma si Mbah mulai mengering di wajahku. Baunya sedikit menggangu, tapi aku takut menhilangkannya si mbah tidak menyuruh soalnya. Aku jadi takut kalau ketemu saudara teman atau apalah. Karena tidak tenang, aku berjalan agak cepat, tapi gesekan daun sirih di vaginaku membuatku benar-benar geli.

Tak lama, efek daun sirih yang memberikan rasa isis mulai menyiksaku. Vaginaku terasa hangat sekaligus dingin terkena desiran angin. Daun sirih yang tadinya kering, setelah terkena cairan vaginaku yang keluar karena geli, mulai mengembang. Dan akupun mulai sulit berjalan.

Setelah mengambil uang, aku pun kembali. Di halaman Mall, rasa di vaginaku makin menghebat, terutama setelah terkena terpaan angin yang mengenai tubuhku, vaginaku makin terasa isis. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Sempoyongan aku menyeberang jalan dan terus melangkah ke arah ruko si mbah. Tiba di depan pintu, aku benar-benar tak tahan, aku merasa vaginaku makin basah. Untungnya aku masih kuat masuk ke ruko si Mbah. Di dalam, jalanku makin tertatih-tatih, terutama ketika menaikki tangga. Sesampainya aku di lantai dua, aku sangat terengah-engah.

”Mbah, sirihnya aku lepas saja ya. Aku gak kuat.” seruku.

Si Mbah yang sedang duduk di sofa membuka sarungnya, ”Ini dulu dong,” tangannya menunjuk anunya yang sedikit tegang.

Tanpa membantah, aku bersimpuh di depannya, menuruti perintahnya. Mulai kumasukkan batang kamaluannya yang belum ereksi penuh itu ke dalam mulutku. Si mbah menarik baju kaosku hingga akupun telanjang. Begitu terbuka, dimainkannya payudaraku.

”Masih bagus. Berapa ukurannya?” dia bertanya.

”34 C, Mbah, tapi... hmphh!” aku disumpal lagi dengan anunya yang membesar tegang taklama kemudian. Aku disuruhnya berdiri dan dibukanya celanaku dan dibuka ikat pinggang daun sirih itu.

”Hmm, sudah basah.” katanya.

”Seperti tadi saja ya, mbah?” maksudku mengatakan itu adalah untuk menolak berhubungan badan dan melakukan oral saja, tapi si Mbah mulai menjilati vaginaku dan permainan lidah dan jarinya membuatku geli dan tak tahan lagi.

Aku pun menurunkan tubuhku, kupegang kemaluannya dan kuarahkan ke vaginaku. Blesss...! belahanku yang sudah basah penuh itu melahap habis anunya si mbah. Aku memejamkan mata, aku sedikit malu. Ketika aku mulai bergerak naik turun, putingku sedikit sakit tergesek dengan safari si Mbah yang masih terpasang.

”Mbah curang, kok aku aja yang telanjang.” seruku.

Si Mbah menepuk pantatku, aku pun mencabut vaginaku dari anunya. Dia berjalan menuju satu kamar. Di kamar ini terdapat ranjang besar, dengan seluruh dindingnya dilapisi cermin. Dalam keadaan berdiri, aku disuruhnya membukakan bajunya. Kini dia telanjang. Tubuhnya biasa-biasa saja. Dia merebahkan badannya, dimintanya aku menjilati anunya agar kembali mengeras.

Saat aku menyepongnya, HP-ku berbunyi tanda ada SMS masuk. ”Ambil.” ujar si Mbah. Aku mengambilnya. Ketika kembali, kulihat si Mbah sedang berbaring sambil mengusap-usap kontolnya yang makin tegang.

”Sini,” dia memanggilku. Aku menuruti dan memang sudah tak sabar. Aku melihat di cermin bagaimana aku berada di atas tubuh si Mbah, meraih penisnya, dan memasukkannya ke dalam vaginaku. Ohhh... sungguh luar biasa, lagi-lagi aku hanya bisa memejamkan mataku.

Aku mulai bergerak seperti penunggang kuda, payudaraku berayun-rayun tak karuan. Si Mbah meraihnya, dan memainkannya. Dibandingkan Priska payudaraku jauh lebih besar. Dia hanya 34 A. Tapi Priska tinggi semampai dan putih seperti ayahku. Sedangkan aku coklat terang.

”Vaginamu enak, Mil. Ayo goyang!” ujar si Mbah sambil menepuk pantatku. Dia pun aktif menyodok-nyodok dari bawah. Tak lama aku pun kecapekan di atas.

”Belum keluar kan?” dia bertanya. Aku tidak menjawab. Dia kini di atas dan aku di bawah. Aku melihat dari kaca yang ada di plafon. Ya ampun, ini toh fungsinya kaca-kaca ini. Aku bisa melihat bagaimana si mbah menarik kakiku hingga mengkangkang, menaruh bantal di pantatku dan menghujamkan anunya keras-keras. Apa yang aku lihat dan aku rasakan benar-benar membuatku melayang. Walaupun gaya misionaris biasa, aku tetap bisa menikmatinya, sungguh-sungguh luar biasa rasanya.

Inikah yang dilakukan si Mbah pada Priska, dan juga pasien-pasien lainnya. Si Mbah tak kan menciumku, aku tahu itu karena seluruh wajahku masih belum bersih sehingga selama ini dia berkonsentrasi dengan genjotannya saja.

Tiba-tiba dia meminta aku untuk menungging seperti tadi. Ahh, aku belum pernah melakukannya. Saat aku mengambil posisi itu, aku masih bisa melihat kaca di depan dan samping apa yang si Mbah lakukan.

”Siapa namamu?” si mbah bertanya.

”Mila, Mbah.” aku menjawab serak.

”Mila siapa?”

”Mila Karmelia, Mbah.”

”Ini apa?” bentaknya.

”Ini kontol, mbah.”

”Mau kontol?”

”Iya, Mbah.” Aku mengangguk.

Bles! Dihujamkannya batang hitam panjang itu kuat-kuat ke vaginaku yang sudah siap dari tadi. “Uugghhhhhhhh…” aku melenguh panjang.

“Kalau begini, berarti kamu sedang diapain?”

”Dientot. Mbah.”

Aku ingat benar dialog itu. Akhirnya itu benar-benar terjadi, dan aku juga ingat bagaimana kontolnya menghujam memekku tanpa ampun walaupun aku baru saja orgasme. Dalam posisi doggy style memang memungkinkan si Mbah menyentuh G Spotku.

Aku orgasme 2 kali lagi. Dalam kondisi lemas, akhirnya si Mbah mengalungkan kakiku di pundaknya. ”Sorry, di dalam ya?” dia pun menggenjotku penuh nafsu, dan itupun terjadi... dia berejakulasi di dalam vaginaku!

Aku sudah terlalu lemas untuk menolak. Kuingat ketika tubuh si Mbah mengejang di atas tubuhku, dan aku melihatnya melalui cermin, bagaimana tanganku mencengkeram kuat pantat si Mbah yang sedang menghujamkan kontolnya dalam-dalam ke vaginaku dan menyemburkan spermanya dengan begitu keras dan deras.

Aku menciumi pipi si Mbah. Laki-laki itu mencabut torpedonya, sisa spermanya yang masih ada disemprotkan ke payudara, perut, dan pahaku. Dan aku pun mengerti untuk menjilatinya hingga bersih sebagai penutup.

Sekitar setengah jam kami berbaring lemas. Bel tanda pasien datang berbunyi. Si Mbah bangkit, ”Tunggu 1 jam lagi ya,” ujarnya. Dia ke kamar mandi.

Saat si Mbah sedang membersihkan tubuh, aku melihat diriku yang telanjang di cermin yang terletak di atap ruangan kamar ini. Tubuhku benar-benar bugil, aku memegang selangkanganku yang masih terasa panas. Aku tersenyum melihat diriku sendiri. Apalagi mengingat apa yang baru saja terjadi. Selangkangan, perut, dada, leher dan wajah masih berbekas semprotan spermanya. Si Mbah memang gila, batinku. Aku benar-benar dilecehkan. Tapi anehnya, aku tidak menyesal.

Tak lama setelah dia keluar, aku pun hendak mandi. Tapi dilarangnya. ”Gak usah, gitu aja.”

Aku pun menurutinya. ”Mbah, besok saya boleh ke sini terapi lagi.” tanyaku.

”Boleh, jangan lupa bawa uang yang cukup ya biar gak usah ke ATM. 700 ribu ya.”

Aku pun ingat dengan uang yang aku ambil tadi, lalu menyerahkan ke si Mbah. Sialan, dia sudah pake aku seenaknya, sekarang tetap saja aku harus bayar. ”Mbah, memang gak ada diskon buat aku? Mana cukup uangku, Mbah? Priska kok bisa?”

”Dia juga bayar kok, yah kalau bisa bawain langganan baru yang ok, bisa diskon.” ekspresinya masih saja dingin. Aku bersiap-siap menggunakan bajuku. Melihat si Mbah sudah rapi, aku tahu kalau sudah waktunya aku pergi.

”Tunggu dulu di sini ya?” si Mbah turun menghampiri pasiennya dan dari suara yang ada, aku pun tahu, pasiennya perempuan lagi. Tak lama suara mereka hilang dari pendengaranku. Sepertinya mereka berdua memasuki sebuah kamar lain. Tapi tak lama kemudian si Mbah yang masih rapi berada di kamarku lagi.

”Cantik ya, Mbah?” aku bertanya.

”Nggak, biasa aja,”

”Ah, mbah pasti bohong.” aku pun bersiap-siap pulang.

”Tunggu dulu, semua baju dalamnya buat aku. Cepat buka!” serunya.

Aku menuruti perintah si mbah, kubuka bra dan celana dalamku dan kuberikan padanya. Setelah itu Mbah mengantarkan aku turun hingga ke parkiran. Ketika aku sudah di mobil, mbah mengetuk jendela kacaku. Setelah kubuka kaca mobil, kepalanya menjulur ke dalam.

”Kamu enak juga.” tangannya meremas-remas dadaku. Sambil menyeringai dia berkata padaku, ”Buka rokmu!”

Aku menuruti perintahnya. Gila! Apa dia mau grepe-grepe aku dalam kondisi begini ya? Atau dia masih mau main lagi? Ternyata tidak, rokku diambilnya.

”Sekarang kamu pulang,” setelah berkata begitu, dia mundur dan melambaikan tangannya. Aku berkali-kali protes namun tidak didengar, dia malah berbalik masuk ke dalam ruang prakteknya.

Aku kebingungan karena tidak mungkin turun, belum lagi aku malu oleh beberapa orang yang sempat melihat ke arahku. Akhirnya aku pulang juga. Sepanjang perjalanan aku menutupi bawahanku hanya dengan tas. Berkali-kali aku mengumpat ulah si Mbah. Aku benar-benar dilecehkan.

Sesampainya di depan rumah, aku menelepon pembantuku agar membuka pintu pagar dan garasi. Di dalam garasi aku tidak langsung turun, aku menunggu Siti membawakan sarung untukku.

Begitulah pengalaman pertamaku dengan si Mbah. Setelah itu aku memang selalu merasa bersalah, dan tidak pernah membahasnya dengan Priska. Hubungan kami sebagai kakak adik selalu canggung, dan tidak pernah bertatap mata secara langsung.

Walaupun begitu, setiap malam atau pagi-pagi sekali, aku selalu ingin ke sana, tapi bagaimana, aku tak punya uang yang cukup. Aku kadang-kadang iri dengan Priska yang berpenghasilan sendiri dan bisa dua minggu sekali ke sana.

Sampai akhirnya setelah tiga minggu tidak kesana, suamiku bertanya bagaimana perkembangan terapiku. Aku keceplosan menjawab bahwa biayanya sangat tinggi. Suamiku tanpa diduga-duga mendorongku ke sana lagi, terutama untuk terapi keputihanku.

Akhirnya berbekal dengan uang dan ijin dari suami, akupun berangkat. Dan hari itu aku melakukannya lagi dengan si Mbah. Bagaikan orang kelaparan, aku tidak hanya diam pasrah menunggu perlakuan si Mbah, aku aktif melakukan apa saja yang aku bayangkan.

Apalagi sesuai dengan syarat si Mbah, aku harus datang tanpa underware. Sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya merasa kegelian dan sudah turn on tingkat tinggi begitu aku sampai dihadapannya. Sehingga hari itu aku memaksanya untuk main dulu baru terapi.

Setelah puas, akhirnya aku di terapi juga. Kali ini sudah tentu tanpa minuman jamu khususnya itu. Selama aku menunggu punggungku di akupunktur, aku mendengar si Mbah menerima pasien di kamar sebelah. Tapi sepertinya tidak terjadi apa-apa. Ketika dia kembali ke kamarku dan mencabut semua jarum di punggungku, sempat aku bertanya. ”Pasiennya gak cantik ya, Mbah? Kok ga di apa-apain?”

“Cantik kok. Cuma kayanya gak bisa atau belum bisa. Lagian, masa semua pasien aku kerjain. Kamu dulu kan gak mau aku gituin.”

”Kok gak bisa? Memangnya ada pantangannya ya, Mbah?”

Dia diam saja tidak menjawab. Dan menyuruhku berbalik untuk memijit bagian atasku. Aku sekearang tidur terlentang dan tidak lagi telungkup, dan yah tanpa busana sedikit pun kecuali jilbab yang memang tidak diijinkan untuk dilepas. Setelah dia memijit-mijit kaki, perut dan dada, uh... I love it. Dia mulai memasang jarum-jarum akupunkturnya. Ingin sekali aku memintanya menyetubuhiku sekali lagi, tapi aku tidak ingin terkesan murahan. Aku mencoba menahan sekuat tenaga setiap dia memegang payudara dan vaginaku.

Setelah selesai memasangnya, dia pun keluar. Aku berkaca di cermin yang menempel di atap ruangan ini. Gila, posisiku menantang sekali. Si Mbah menerima pasien lagi, dan yang aku tau lagi-lagi tidak terjadi apa-apa. Setelah semua jarum di badanku dicabut, dia memintaku untuk berbilas membersihkan diri di kamar mandi. Sedangkan dia kembali menerima pasien. Setelah mandi dengan air hangat, aku pun keluar dan sempat bertemu dengan si Mbah yang baru keluar dari kamar pasien bersama sang pasien.

Sang pasien yang wanita muda dan kira-kira memiliki problem berat badan juga memberi salam pada si Mbah dan berlalu dengan senyum ramah kepadaku. Si Mbah mengantarnya turun dan aku kembali ke kamarku. Ketika si Mbah masuk, lagi-lagi aku bertanya. ”Yang tadi cantik juga, kok nggak di...”

”Kan aku sudah bilang, nggak semuanya aku tidurin. Memang yang tadi oke, tapi belum waktunya.”

”Kok belum waktunya, Mbah? Memang biar mau, mbah pake kaya pelet gitu ya, dan sekarang belum bereaksi?”

Si Mbah, diam. Aku jadi ngeri karena takut salah ngomong dan lancang. ”Iya, memang pake. Mana mau kalau gak digituin dulu, apalagi perawan kaya tadi, aku harus tahu dia sudah pernah lihat burungnya cowok apa belum.”

Kaget aku mendapat jawaban dari Si Mbah, jadi semua cewek korban dia pasti dikasih pelet, tapi kok dia bilang ke aku? ”Oh, jadi pake pelet ya, Mbah?”

”Ya iya lah, saat akupunktur, aku masukin semua ke badannya.” jawabnya tenang.

”Tapi kok... yang sekarang harus nunggu dulu? Kalau aku kok cepet reaksinya?”

”Kamu mah ga aku kasih apa-apa. Kamu beda. Adikmu yang aku kasih pelet pengasihan. Kalau kamu sama sekali nggak.”

Aku bener-bener kaget dengan jawaban si Mbah yang tenang apa adanya tapi benar menampar. ”Jadi... aku kaya cewe murahan yang kegatelan ya, Mbah?”

”Hahaha!” si Mbah menyeringai bengis. ”Aku memang membuatmu terangsang habis-habisan kemaren, karena aku tahu kamu memang mau dientot. Dan yang aku suka...” Mbah mendekati aku sambil menarik tali kimonoku hingga aku telanjang. Sambil tangannya merengkuh vaginaku, dia berbisik di telingaku. ”Kamu enak, vaginamu empot-empot.”

Aku ingat sekali perkataan itu. Perkataan yang membuatku jijik dengan diriku sendiri. Setelah itu si Mbah melampiaskan semua nafsunya kepadaku. Dan berbeda dengan yang tadi pagi, dia melakukannya dengan sangat beringas dan dia mulai berani menciumku. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Aku hanya bisa melihat apa yang terjadi melalui cermin, bagaimana tubuhku disetubuhi oleh si Mbah berkali-kali. Semua perkataan si Mbah tadi terngiang-ngiang di otakku walau tak berlangsung lama, karena setelahnya aku terlalu sibuk dengan permainan si Mbah.

Kami baru selesai jam tiga sore. Aku capek dan lapar walaupun mulutku sempat disuruhnya mengulum bersih penis si Mbah. Seperti biasa, aku dilarang mandi dan disuruh pulang langsung.

”Mbah, kalau aku beda, kenapa aku masih tetap harus bayar?”


”Kan biaya terapinya sudah aku potong.” jawab si Mbah dengan kurang ajarnya.

”Kenapa nggak gratis?” tanyaku.

”Bawa cewek lain. Kalau kamu bisa, aku gratisin deh. Priska juga bawa temannya, Debby sama Nine.”

Ohh, aku ngerti sekarang. ”Jadi aku juga bawaannya Priska dong, Mbah?”

”Aku sudah bilang, kamu itu beda. Bagiku, kamu adalah bonus. Nggak percaya? Ayo kamu nungging!” akhirnya, si Mbah pun melakukannya lagi kepadaku. Kali ini aku masih menggunakan baju yang baru saja aku pakai. Hari ini aku menggunakan baju muslim terusan dari atas ke bawah.

Begitu aku nungging, di singkapnya bajuku dan sedikit dia memintaku mengulum penisnya dulu agar kembali siap tempur. Tidak sampai 15 menit, kali ini kami menyudahinya bersama-sama. Si Mbah tidak mencopot penisnya, justru ditekannya dalam-dalam sehingga orgasmeku luar biasa sekali rasanya, apalagi aku melihatnya dari cermin, aku benar-benar merasakan puas saat itu.

Sambil memelukku dari belakang, si Mbah berkata. ”Kalau kamu hamil, bilang saja, aku yang tanggung jawab.”

Kali ini entah mengapa, aku yang menciuminya berkali kali dan memeluknya erat-erat. Ketika dia bangun pun aku mengulum penisnya untuk membersihkannya dengan penuh semangat hingga si Mbah sempat kelojotan dibuatnya.

”Aku punya temen, Mbah, sesama ibu-ibu yang nunggu anaknya pulang sekolah TK. Nanti aku tawarin ke mereka.”

Si Mbah memelukku dengan mesra, Dia setuju dengan ideku itu.

***

Seminggu setelah kejadian itu, ketika aku sedang memarkirkan kendaraanku di lapangan kosong dekat sekolah anakku. Jendela mobilku ada yang mengetuk. Si Mbah! Aku pun mempersilahkan dia masuk. Untung anakku sudah turun tadi.

”Ada apa, Mbah?”

”Mana yang katanya mau kamu kasih ke aku?”

”Oh, a-aku sudah tawar-tawarin ke mereka, Mbah.” sahutku terbata-bata. Aku benar-benar kaget.

”Iya, tapi yang mana? Aku gak mau yang sembarangan.”

”Itu, mereka yang duduk di dekat mobil van itu sambil jajan dan ngobrol.”

”Kok nggak ada yang keren?”

”Yah, beberapa yang agak gemuk kan lumayan Mbah, buat pasien biasa.”

”Hmmm,” si Mbah nampak tidak puas, dan aku benar-benar masih kaget dan ketakutan kalau ada yang lihat si Mbah masuk. Walaupun kaca mobilku cukup gelap, pasti tadi ada yang liat si Mbah di samping mobilku.

”Yang itu kan cantik, Mbah, namanya Lis, dan yang itu Regy, juga ok kan?”

”Jangan nunjuk-nunjuk, nanti keliatan.” ujar si Mbah.

”Kalau di dalam mobil nggak keliatan kok, kaca mobil ini gelap, apa lagi pohonnya kan rindang, Mbah.”

”Hmm, coba kamu turun, ngobrol sama mereka, terus kamu tunjukin mana yang Lis mana yang Regy mana. Yang pake jilbab itu nggak kan?”

”Oh, itu Rita, dia yang paling tajir, mbah. Dia cantik kok. Masa nggak mau? Dia punya rumah banyak lo, Mbah.”

”Aku nggak Suka! Kamu turun, hidupin HP kamu, telpon nomerku dan jangan dimatiin biar aku bisa denger. Oh ya, buka semua baju dalammu, aku nggak suka ketemu kamu, kamunya pake kutang dan celdam.”

Aku menurutinya, aku lepas semuanya. Untung aku belum mens, padahal sudah hampir waktunya. Apa aku hamil ya? Aku pun turun dan aku segera menghampiri ibu-ibu itu. Kami ngobrol cukup lama. Tak lama kemudian HP-ku berbunyi dan aku tahu kalau itu si Mbah memanggilku. Mungkin dia kepanasan di mobil. Aku pun pamitan ke ibu-ibu, dan sebagian dari mereka juga pamit pulang, termasuk Lis dan Regy. Kumpulan ibu-ibu itu pun bubar. Begitu sampai di Mobil, aku melihat kaca depanku sudah tertutup lembaran koran.

”Kok ditutupin, Mbah? Tadi gak liat si Lis sama Regy dong?”

”Liat kok, aku sudah tau yang mana, aku gak suka Regy, apalagi Rita.”

”Regy itu badannya bagus lo, mbah. Rita apalagi, dia sudah mau ikutan, dia mau besok katanya.”

”Iya, aku dengar, tapi aku gak suka.”

”Ya terserah Mbah sih, ini korannya aku lepas ya. Dari luar juga gak keliatan kok. Kalau mau aku cium juga boleh tapi gak usah pake koran gini.” aku lepas koran itu sambil menciumnya. Dia diam saja.

”Kalau itu siapa yang pake baju kuning, rambutnya panjang?”

”Ya itu Lis, cantik kan?”

“Iya, cuma kok gak ada toketnya, Regi yang baju coklat kan? Sama juga, susunya rata. Makanya aku gak suka sama Regy. Kalau Lis boleh deh.”

”Oh, iya deh. Eh, ada lagi sih Mbah yang cantik, cuma dia datengnya pagi. Namanya Ida, tapi dia nganter ponakannya, terus langsung pulang. Oh iya, saya punya fotonya. Ini lihat.” aku tunjukkan foto Ida dari HP-ku. Nampaknya dia suka.

”Yah, ini lumayan, kayanya toketnya OK.”

”Duh, si Mbah, dia mah lebih gede dari aku.” sahutku. Aku menciumnya lagi, kali ini dia membalas. Kami berciuman cukup lama sampai akhirnya dia membuka kancing baju hem putihku, menciumi buah dadaku dan mengajakku pindah ke jok belakang sambil melepas celananya.

”Di sini, Mbah?” tanyaku dari jok depan.

Dia tidak menjawab. Aku pun dengan terpaksa berpindah ke belakang, membuka hemku yang separuh terbuka dan melepas rok panjangku, sedangkan dia masih menggunakan hem lengen pendeknya. Aku menaiki pahanya dan perlahan-lahan kubimbing penisnya yang sudah tegang ke belahan vaginaku.

Bles! disentakkannya penis itu begitu kepalanya telah bearada di bibir vaginaku. Mataku terbeliak dan sedikit berkunang-kunang, belum pulih dari efek itu, dia pun memompanya dari bawah, kali ini aku tidak kuasa untuk tidak berteriak. Selangkanganku serasa penuh, dan dia pun bergerak liar sambil menciumi leherku, aku memang sudah turn on sejak tadi tak berunderware jalan-jalan ke mana-mana.

Gila! Tak lama, aku pun lemas. Direbahkannya tubuhku menyamping di jok belakang, sedang kakiku dibukanya lebar-lebar, dia pun memasukkan lagi penisnya, dan menggenjotnya dalam-dalam. Mulutku melongo tak mampu bersuara, aku maunya teriak-teriak karena orgasmeku belum tuntas tadi, tapi si Mbah sudah mendorong-dorong dengan kuat dan dalam. Aku pun dapat lagi.

Dia agak lama kemudian keluar. Cukup deras terasa di vaginaku. Sebagian dia keluarkan di perut dan dadaku. Akhirnya pun aku masih harus membersihkan dengan mulutku. Badan kami basah kuyup oleh keringat.

”Cepat pergi dari sini, aku belum tuntas.” disuruhnya aku menggunakan baju dan celana, padahal aku masih lemas.

Ketika mobil mulai bergerak, aku pun masih belum bisa berkonsentrasi, sehingga aku biarkan saja lambaian tangan ibu-ibu yang masih tersisa di situ. Mbah mengajakku ke sebuah motel kecil yang tak jauh dari situ. Yang aku tahu, motel ini seperti ada cottagenya dan ada garasi yang tertutup rolling door.

Para penjaga hotelnya berlarian menghampiriku dan menawarkan ruangan. Ketika aku membuka jendela, mereka kaget karena ternyata aku wanita dan berjilbab. Kami memasuki salah satu cottage dan setelah membayar sebesar 250 ribu, si petugas memberikan kunci dan menutup garasi. Masih jam Sembilan pagi waktu itu. Dan kamipun melakukannya hingga jam sepuluh saja. Itupun aku harus bergegas kembali ke sekolah.

Waktu pulang, si Mbah yang nyetir, sementara aku sepanjang perjalanan masih harus melakukan blow job. Si Mbah baru tuntas waktu sampai di depan sekolah. Si Mbah memarkirkan mobil agak jauh, baru setelah mobil terparkir dan berhenti, Si Mbah memegang erat kepalaku dari belakang dan berejakulasi. Semua spermanya memenuhi mulutku dan kutelan habis. Aku sudah terbiasa dengan rasanya yang terus terang, nggak enak. Aku cepat-cepat membersihkan mulutku dan merapikan bajuku.

”Mbah, aku sudah telat, anakku paling sudah nunggu.”

”Yah, gak apa-apa.” si Mbah mengerti dan cepat-cepat dia merapihkan diri dan keluar dari mobil.

Setelah yakin dia pergi jauh, baru aku keluar. Kulihat Lis dan anaknya beserta anakku sedang berjalan ke arah mobilku. ”Hei, kok telat, ke mana dulu sih mama ini?” kata si Lis. Aku berbasa-basi sedikit dan berterima kasih padanya karena sudah menjaga anakku.

”Ayo cepet berangkat, kan anak-anak mau sempoa?” ujar si Lis. Aku dan dia sama-sama meleskan anak kita sempoa. ”Hei, Mil, bersihin tuh mulut.” ujar Lis mengaget kan aku.

Aku gelagapan dan membersihkan mulutku dengan lengan bajuku. ”Hehehe, ini lho,” si Lis memungut sesuatu dari pipiku. ”Ih, punya siapa nih?” Aduh, ternyata ada bulunya si Mbah di pipiku.

Lis tertawa terbahak-bahak, ”Ohh, habis ketemu papanya anak-anak ya?”

Anakku ribut bertanya-tanya, dipikirnya papanya ada di dekat situ. Aku kebingungan menjawab. ”Iya, cepet berangkat yuk,”

”Ngaca dulu atuh, di deket dagu lu ada apaan?” ujar Lis lagi. Aku otomatis kaget lagi. Cepat-cepat aku mematut diri di spion. Yakin sudah bersih dari semua rambut-rambut, aku pun berangkat mengikuti mobil si Lis ke tempat sempoa.

Ternyata sesampai di tempat sempoa, kekagetanku belum usai. Setelah turun dan mengantarkan anakku masuk kelas, Lis menghampiriku dengan menawarkan tissue dan menunjukkan cermin compact powdernya. ”Liat nih, muncrat ke mana-mana”

Aduh, aku malu, ternyata di bawah daguku ada bekas sperma si Mbah. Lis pun tertawa dan menyuruhku pulang. Sesampainya di rumah, mobil kubiarkan di luar dan aku segera masuk. Siti pembantuku yang bertanya ada apa, tak aku hiraukan.

Ketika aku sedang membersihkan wajahku Siti mengetuk pintu. ”Ibu, ada tamu.”

Aduh, belum aku mandi udah ada tamu. Ketika aku keluar, aku pucat. Si Mbah! Dia sudah menungguku di teras. Aku bingung. ”Mbah, aduh... kok kesini?” kataku setengah berbisik.

”Sudah lama aku mau tahu, di mana rumahmu dan Priska?”

Aku pun diam menahan rasa bingung dan sedikit marah. ”Sebentar, Mbah.” aku memanggil siti dan kusuruh dia berangkat dengan ojek menjemput anakku. Ah, pokoknya harus tidak ada siapa-siapa di rumah ini, jangan sampai aku berantem sama si Mbah, Siti tahu.

”Cepet berangkat, Sit, aku ada tamu.”

Setelah yakin Siti jauh, aku pun mengajak si Mbah masuk. Si Mbah menutup pintu dan menyergapku. Dibukanya seluruh bajuku, dan kali ini jilbabku juga hingga aku benar-benar telanjang bulat di ruang tamuku. Aku sempat menolak dan memintanya menghentikan apa yang ia lakukan, namun ketika dia sudah membuka semua bajunya dan mencengkeram vaginaku, aku tidak bisa apa-apa lagi.

Di sofa depan TV, aku digenjotnya habis-habisan dari belakang. Yup, doggy style yang tadi terlewatkan. Ketika aku mendapat peluang untuk lepas, aku meronta dan memintanya berhenti sebentar. Aku membuka kamar tamu yang biasanya digunakan oleh Priska kalau datang, dan mengajak si Mbah ke dalam. Kuhidupkan AC dan tanpa diminta, aku bersiap-siap nungging di atas tempat tidur. Kalau di sofa dengkulku sakit. Dan lagi kalau di sini, aku bisa berteriak.

Akhirnya aku dihajar habis di situ. Si Mbah mengakhiri permainannya dengan memposisikan aku dengan gaya misionaris. Lehernya penuh dengan cupanganku. Aku juga begitu. Gila nih Si Mbah. Tadi keluar di mobil dua kali, waktu pagi dan kembali dari motel waktu aku blow job, sekarang di rumahku. Sudah tiga kali. Sedangkan aku sudah gak tahu berapa kali.

Setelah selesai, aku minta si Mbah pergi, karena takut anakku pulang. Aku tidak tahu berapa lama kita main tadi. Dan benar saja. Gak sampai setengah jam, anakku sudah pulang. Lis mengantarkan Siti dan anakku. Di depan pagar, Lis memintaku mengambil kunci mobil. ”Mit, mainan anakku tadi kebawa sama anakmu di mobil kayanya.” katanya.

Aku mengambil kunci dan membuka pintu mobil mencari mainan anak Lis. Sementara anak-anak kami sudah berhamburan ke dalam rumah bersama pembantuku. Waktu aku mencari mainan anak Lis, Lis menemukan BH dan celana dalamku, lagi-lagi dia mentertawakanku.

Hari ini memang gila. Tapi masih tak seberapa. Dalam hati aku berkata, tunggu sampai hal ini menimpamu juga, Lis...

***

"Gila loe, quicky dimana kemarin?" tanya Lis. Aku cuma mesam-mesem saja menanggapi seruannya. Sementara teman-teman yang lain bersorak menanggapi kata-kata Lis.

"Kok lu tahu, Lis?" Ruth bertanya penasaran.

"Woooy… udah!" aku coba memotong pembicaraan,

"Ah, ya tau lah, wong underwarenya dimana-mana sama mulutnya masih cemot!" kata Lis.

Gila! Aku malu abis, pembicaraan pun meluncur dari yang menjurus sampe bener-bener jorok. Ah, tiba-tiba aku berpikir, tunggu aja kalau mulutmu yang kebobolan, Lis. Aku gak jadi marah, malah menimpali semua omongan yang sudah benar-bener jorok itu. Akhirnya setelah bel sekolah berbunyi dan sebagian ibu-ibu berangkat pergi, aku pun beranjak hendak pulang.

Saat itulah, Lis menghampiriku, "Mil, anterin ke situ dong, akupunktur."

"Aku pikir lo ga mau, Lis."

"Mau, cuma gue malu kalau ketauan, nih perut gue besar." Oh, pantesan dia selalu pake baju longgar selama ini. Lis tidak terlalu tinggi, hanya 160 cm. Rambutnya panjang sebahu, berkaca mata tipis, putih mirip cina. Sebetulnya dia biasa saja, cuma bibirnya agak sensual, dan wajahnya cukup manis. Badan biasa dan memang benar kata si mbah, dadanya tidak terlalu besar. Sepertinya 32A saja. Tapi pantatnya memang bohai, walaupun itu tidak pernah benar-benar kelihatan karena Lis selalu berbaju longgar dan bercelana panjang. Satu hal yang aku tahu belakangan, kulitnya putih mulus dan bentuk paha dan betisnya cukup indah.

Setelah berdiskusi apa yang ia ingin lakukan, akhirnya kami semobil dengan memakai mobil Lis, menuju ruko si NBA. Sebelum pergi, aku sempatkan pergi ke toilet untuk melepas semua underwareku. Lis ingin mengecilkan perutnya yang agak membesar dan ingin bertanya apakah akupunktur bisa membantu kesuburannya. Aku dan Lis sama-sama baru memiliki anak satu dan sulit mendapatkan lagi. Walaupun entah mengana, aku mulai yakin aku sekarang benar-benar telat mens dan mungkin sudah mulai hamil oleh si Mbah.

Singkat cerita, sesampainya di ruko si Mbah, dia menerima kami dengan gembira. Setelah merawat Lis, si Mbah pun melayani aku dengan buasnya di kamar lain. Dia mengatakan semua bagaimana indahnya tubuh Lis. Seperti biasa, dia merawat bagian belakang tubuh Lis dulu dan setelah semua jarum tertancap, dia menggarapku dia ruang sebelah. Dan itu ronde pertama.

Ronde ke dua dilanjutkan setelah si Mbah membalikkan tubuh Lis dan menancapkan jarum akupunktur di bagian atas tubuh Lis. Si Mbah bercerita bahwa dia tidak membuka semua underware Lis, dan mengatakan bahwa sekarang bukan waktunya menggauli Lis. Hingga akulah yang menjadi pelampiasan si Mbah, dan aku seperti biasa menikmatinya walau aku tak bebas berteriak-teriak keenakan merasakan permainan si Mbah.

Setelah selesai semuanya, aku cepat-cepat menunggu Lis di ruang tunggu. Dan aku yakin memang si Mbah tidak mengeksekusi Lis hari itu. Dalam hati aku cukup puas, dan apa yang aku peroleh mulai hari itu resmi gratisss. Horeee!

Keesokan harinya, seperti biasa, kami para ibu-ibu berkumpul di dekat halaman parkir sekolah. Begitu kulihat Lis berangkat pergi, cepat-cepat aku pun berangkat menuju ruko Si Mbah. Sesampainya di sana, aku tidak menjumpai Lis, bahkan ketika aku masuk pun, dia tidak ada. Bahkan belum ada satu pasien pun karena masih belum jam delapan pagi. Sambil
menunggu, aku membantu si Mbah menyiapkan seluruh ruangan terapi. Rupanya si Mbah ini cukup rajin, seluruh lantai sudah di sapu dan di pel dari sejak tadi pagi dia bangun. Dan dia pun sudah rapi dan mandi. Aku cuma membantu membereskan tempat tidur sementara si Mbah menyiapkan semua jarum akupunkturnya.

Jam 8:30, semua sudah siap, akhirnya aku pun dirawat oleh si Mbah, dan diakhiri dengan hal yang selalu aku nanti-nantikan, hehehe. Sejam kemudian, aku sudah Sian-siap berangkat kembali ke sekolah. Aneh, kemana si Lis? Ketika aku pamitan dan turun ke ruang tunggu pasien, tidak ada juga si Lis. Yang ada hanya dua orang pasien, satu laki-laki gemuk dan perempuan muda yang aku yakin bukan type yang Mbah suka.

***

Kejadian itu berlangsung terus hingga akhir minggu, Lis tak datang ke si Mbah dan aku sekarang jadi rajin datang ke ruko Mbah pagi-pagi untuk membantu Mbah dan menunggu Lis datang. Mbah pun bertanya-tanya mengapa Lis tak datang-datang. Namun efek baiknya dari hal ini, aku sekarang diberi akses untuk masuk ke dalam tanpa harus memencet bel dulu. Mbah memberikan PIN code pintunya, sehingga aku bisa masuk dengan leluasa.

Pada hari Jumat dimana sekolah pulang lebih pagi, dan setelah mengantarkan anakku pulang, aku sempatkan mengunjungi si Mbah. Ketika sudah parkir dan hendak turun, aku melihat Regy berjalan terseok-seok ke arah ruko si Mbah. Wajahnya memerah kepanasan dan keringatnya bercucuran. Hmm, nampaknya dia baru mengambil uang di Mall dan pastinya ada gulungan sirih di lubang vaginanya.

Begitu dia masuk dan setelah yakin Regy sudah berada di atas, aku pun masuk ke dalam. Ruang tunggu pasien nampak kosong, sepi. Memang hari jumat biasanya ramai tapi rata-rata setelah jam dua atau jam tiga siang. Aku pun bergegas masuk ke atas dan benar saja, dari salah satu ruangan, aku mendengar suara-suara yang pastinya itu si Mbah dengan Regy sedang ML.

Ah, si Mbah yang katanya gak suka, ternyata Regy diembat juga. Aku mendengarkan semua erangan Regy dan teriakan-teriakannya yang ternyata lebih keras dari aku. Dan tak jarang wanita itu menyumpah-nyumpahi si Mbah dengan kata-kata jorok. Sedangkan si Mbah yang terdengar hanya lenguhannya saja, atau perintah si Mbah seperti, ”Ayo, kamu nungging!”

Halah, ini pasti si Mbah akan menunjukkan kemampuannya. Dan benar saja, tak lama kemudian, Regy pun berteriak-teriak dan melolong-lolong dengan kerasnya. Aku mendengarkan saja apa yang terjadi di ruangan itu hingga suatu saat, setelah Regy berteriak panjang dan ruangan menjadi sepi, si Mbah tiba-tiba keluar dengan kondisi masih telanjang bulat. Dia kaget melihat aku yang duduk santai di ruang tengah.

Aku hanya tersenyum. Si mbah pun diam saja sambil mengisyaratkan agar aku juga diam. Si mbah mengambil air minum dan sebatang rokok. Dia menghidupkan TV dan ternyata itu caranya dia mengecek ada tamu atau tidak di ruangan depan.

Ah, kenapa selama ini aku tidak diberi tahu. Aku pikir itu TV biasa, dan tidak ada program CCTV nya. Setelah melihat tidak ada siapapun di ruangan depan, si Mbah memindahkan chanel dan ternyata ruangan tempat Regy berada pun ada kameranya. Tampak Regy tidur tertelungkup kelelahan.

Aku yang gemas melihat penis si Mbah dari tadi berdiri menantang, mencoba meraihnya untuk membersihkannya. Si Mbah melarangnya, dia menuju ke kulkas dan mengambil tiga buah ice cube. Es batu itu digenggamnya sekaligus untuk membalur penisnya. Penis yang pasti kepanasan itu membuat semua ice cube itu meleleh, hehehe.

Aku makin gemas dan aku rebut butiran es itu dan mulai aku gosok-gosokan ke penis Mbah. Batang itu makin mengeras dan membusung sehingga aku tak tahan untuk tidak mengulumnya. Aku tahu Batang yang masih kuat itu tak akan meledak di mulutku. Aku berdiri dan mengajaknya ke salah satu ruangan, yah, aku minta jatah.

Aku buang tiga es batu yang tadinya aku genggam ke salah satu sudut ruangan, dan segera aku peluk dan cium dengan erat si Mbah. Mulutnya yang masih bau rokok itu menyambut ciumanku dengan buas. Sementara tangannya menyingkap rok panjangku serta memainkan vaginaku yang memang sesuai peraturan mbah, tidak menggunakan apapun. Setelah merebahkan aku di tempat tidur dan melucuti rokku, si Mbah menindihku dan menciumi aku dengan kuat.

Tiba-tiba aku merasakan ada rasa dingin di selangkanganku. Aku pikir itu penis Mbah, ternyata tangan Mbah yang tengah memasukkan satu buah es batu ke vaginaku. Aku yang sempat hendak menjerit, tertahan oleh bibir si Mbah yang masih menciumku dengan kuatnya hingga nafasku sesak dibuatnya.

Sementara aku mengelinjang-gelinjang akibat kemasukan es batu yang dingin di vaginaku, apalagi jari-jari si Mbah menusuk-nusuk juga kesana hingga es itu pun makin masuk ke dalam.

Si Mbah bangkit sedikit dan diarahkannya penis ke vaginaku. Begitu masuk, akupun tak kuasa untuk tidak menjerit-jerit. Apalagi saat si Mbah memompa vaginaku, aku pun berteriak-teriak merasakan sensasi yang ada. Tanganku mencengkeram punggung si Mbah sebagai pelampiasan atas apa yang terjadi pada diriku.

Si Mbah tiba-tiba berhenti bergerak, rupanya dia ingin membuka kaos lengan panjang yang masih kukenakan. Tapi kaos itu tak dibuka dengan sempurna, ketika aku berusaha melepaskan kaos di lenganku, si Mbah menahannya. Tanganku berada di atas kepalaku, terjerat oleh kaosku sendiri, dan tertahan oleh tangan si Mbah. Ini membuat dadaku makin membusung sehingga membuat si Mbah dengan lapar menciumi dan menggigit-gigitnya kecil.

Aku berteriak-teriak lagi, dan sudah tak peduli kalau ada Regy di ruangan sebelah. Mbah menggenjotku dengan makin hebat, membuat butiran es yang ada di dalam vaginaku terdesak hingga ke ujung rahimku. Aku tak kuat lagi, hingga akhirnya orgasmeku pun datang. Tapi si Mbah bukannya berhenti, malah menggenjotku habis-habisan. Mataku terbelalak, aku mengerang-erang, berteriak memintanya untuk berhenti. Berkali-kali aku memanggil namanya dan akhirnya seperti halnya Regy, aku pun menyumpahi si Mbah.

Tiba-tiba kepalaku pusing dan orgasme keduaku yang tidak berselang lama dari yang pertama tadi, datang tak terbendung. Aku mengelepar merasakan nikmatnya. Si Mbah menciumi ketiakku yang terlentang menganga. Dia menyingkapkan jilbabku, dan kali ini membiarkan aku membuka kaos lengan panjang yang tadi ditahannya. Tapi ketika aku hendak sedikit menarik pinggulku, Si Mbah malah menghentakkannya, membuatku ngilu.

Dia menciumi bibir dan leherku, sementara aku masih mengerang merasakan sodokan yang ada di dalam vaginaku. Tangan si mbah memeras-meras dadaku. Sedikit-sedikit dia mulai memompaku kembali. Aku sudah memintanya untuk stop dulu, malah membuat si Mbah memompanya makin hebat. Aku rasa, tak sampai 1 menit, aku jebol lagi. Mulutku pun dibuatnya melongo saat dengan teganya dia menggenjot dengan lebih kuat lagi. Aku pun hanya kuat mengejang sekali dan meronta-ronta dengan memukul dadanya sebentar, sesudah itu aku lemas, nyaris tak sadarkan diri.

Aku merasa lega ketika si Mbah menarik keluar penisnya dan berlalu dari ruangan. Tapi tak lama dia kembali, ternyata dia mengajak Regy masuk. Mereka berbincang-bincang dan nampaknya memang Regy sudah mengira kalau aku yang ada di ruangan ini karena terdengar jelas tadi. Aku sudah tidak perduli lagi. Aku benar-benar lemas.

Mereka berciuman sambil berdiri. Regy mengusap-ngusap penis si Mbah yang sudah tak sekeras tadi. Si Mbah sepertinya sudah merencanakan ini. Setelah merebahkan Regy di sampingku, mereka berciuman dengan mesra sekali. Tapi itu tak lama, Regy mengalami hal yang sama. Si Mbah mengambil es batu yang tersisa tadi walaupun tinggal dua butiran kecil, tapi pastinya membuat Regy bergetar-getar dan berteriak-teriak
seperti aku.

Bahkan setelah KO yang pertama, si Mbah membalikkan tubuh Regy dan di doggy style. Aku mulai agak sadar dan melihat penderitaan Regy. Wajahnya yang tak jauh dari wajahku terlihat berkeringat dan hanya bisa memejamkan mata sambil sesekali mulutnya menjadi monyong dan berteriak menahan apa yang dia rasakan. Tangannya akhirnya tak bisa menopang tubuh lemasnya. Regy tersungkur lemas namun masih menungging karena pinggangnya yang ramping ditahan oleh si Mbah.

”Mila, sini.” perintah si Mbah. Aku menghampirinya dan si Mbah pun menciumi bibirku. Aku pun balas menciuminya sambil memeluknya. Sementara si Mbah juga masih memompa Regy. ”Ambilin Es lagi,” bisiknya.

Aku pun berlalu keluar ruangan, sementara Regy berteriak. ”Jangaaan... aku sudah gak kuaaat!”

Ketika aku sedang mengambil es batu, aku pikir satu saja cukup, aku tidak tega melihat Regy, walaupun sejujurnya sekarang kalau aku mengingat-ingat bagaimana rasanya tadi, kayanya enak sekali. Belum sampai masuk kamar, terdengar Regy berteriak keras. ”Ampun, mbaaaaaah...”

Ketika aku membuka pintu, nampak Regy tersungkur dan telah lepas dari sodokan si Mbah. Aku menghampiri si Mbah, kuberikan es batu itu. Ternyata Mbah mengambilnya dan memasukkan ke mulutnya.

”Mau minum, Mbah?”

Si Mbah menggelengkan kepala. ”Nggak, Kamu aja.”

Aku keluar mengambil segelas air putih, meminumnya dan setelah mengisinya lagi, aku membawanya ke kamar. Mbah cuma meminumnya sedikit. Dia kini sedang mengusap-usapkan es itu ke kontolnya. Aduh, itu benda dari tadi belum juga meledak. Diambilnya jilbabku dan dielapnya penisnya dengan jilbab itu hingga bersih dan sekali lagi dibalurnya penis itu dengan es batu.

”Sepong dong!” perintah singkat itu ditujukan ke Regy.

Regy sudah nampak lemas, tapi masih bisa menuruti kemauan si Mbah. Sedangkan aku di gamitnya dan kami pun berciuman sambil berdiri, sementara Regy mengulum penis si Mbah.

”Temanmu ternyata ok juga.” kata si Mbah sambil tangan kirinya mencengkeram kepala Regy dari belakang. Mbah melepaskan pelukannya, kemudian memerintah Regy nungging lagi. Regy menuruti semua perintah si Mbah dan kembali lagi si Mbah memasukkan es ke liang vagina si Regy, walaupun Regy sempat meronta-ronta namun tenaga Mbah masih lebih kuat.

Setelah Regy mengalami orgasme lagi, si Mbah memintaku untuk nungging juga. Begitu terus dilakukan bergantian antara aku dan Regy. This is my first 3some. Sampai akhirnya si Mbah menuntaskannya kepada Regy. Semburan pertamanya di dalam vagina Regy. Namun tak lama Regy pun disuruh Si Mbah untuk menyepongnya hingga sisa-sisa spermanya habis. Aku melihatnya dengan terkulai lemas setelah tidak tahu sudah berapa kali aku orgasme.

Ketika Mbah keluar ruangan untuk mandi, aku dan Regy hanya saling berpandangan. Aku agak lega waktu Regy tersenyum. ”Gila tuh orang.” bisiknya. Kami sempat berbincang-bincang sedikit tapi tak lama terdiam karena nampaknya si Mbah sedang mempersilahkan seorang pasien di ruang sebelah. Aku terdiam dan tanpa aku sadari aku tertidur.

Ketika aku bangun, aku tak tahu sudah jam berapa. Regy yang ternyata juga tertidur, aku bangunkan. Aku segera berpakaian. Regy meminta aku mengambilkan baju di ruangannya. Setelah kami sama-sama berpakaian dan rapi, kami pun beranjak hendak pulang. Ketika kami berpamitan kepada si Mbah, nampaknya dia sedang sibuk dengan pasiennya yang entah siapa.

Begitu kami turun di ruang tunggu pasien, aku sempat melihat ada empat orang pasien yang sedang menunggu. Begitu di luar, kami baru sadar bahwa hari sudah gelap. ”Mil, sudah jam 7 malem!?” kata Regy.

Aku meraih HP di tas. Aduuuuh... ada 4 miscall dari suamiku. “Gy, bantuin aku. Jangan pulang dulu.”

Aku pun segera menelepon suamiku. Sebisa mungkin aku waktu itu beralasan bahwa aku dan Regy baru saja selsesai melakukan fitness, spa dan sauna. Untungnya suamiku tidak terlalu marah, apalagi dia juga mendengar bantuan alasanku saat dia berbicara dengan Regy. Aku juga gentian membantu Regy. Selesai saling membantu, kami saling tertawa.

”Gy, lain kali yang lebih seru ya?”

”Oh, iya dong, gimana kalau nanti gantian kita yang ngerjain si Mbah?”

”Wah, ide bagus tuh, cariin caranya ya?”

Kami pun larut dalam pembicaraan dan saling menimpali memberi komentar atas permainan si Mbah tadi. Dalam perjalanan pulang, aku puas dengan yang terjadi tadi. Walau ada dua hal yang masih mengganjal: masih belum tahu aku hamil apa nggak, dan… kemana si Lis?

***

Hampir dua minggu setelah Lis mendapatkan terapi yang pertama. Lagi-lagi di hari jumat, jam 11:30 saat aku baru sampai di ruko si Mbah dan membantunya membersihkan ruangan yang baru digunakan Mbah untuk menerima pasien langganannya.

Aku terkejut waktu melihat CCTV, ternyata Lis datang! Singkat cerita, setelah Lis berada di dalam ruangan terapi, aku pun keluar dan melihat ke CCTV apa yang dilakukan Mbah pada Lis.

Mbah membuka kimono Lis dan mulai memijat-mijat bagian betis dan paha Lis. Aku tak tahu apa yang dibicarakan mereka karena hanya terdengar sayup-sayup dari luar ruangan. Kalau aku nguping, aku gak bisa lihat TV. Aku tak sabar menunggu Si Mbah membuka celdam Lis. Ternyata Mbah malah membuka pengait BH terlebih dahulu sambil terus memijat Lis. Nampak Lis agak kaget dengan perlakuan Mbah.

Selesai memijat, pada saat Mbah mempersiapkan jarum akupunkturnya, Lis berusaha mengenakan kembali BH-nya. Mbah membiarkan saja Lis melakukan itu. Ah, Lis sepertinya jauh lebih baik dibandingkan aku atau Regy, batinku.

Pada saat Mbah menancapkan jarum akupunkturnya, dengan tenang Mbah memelorotkan celdam Lis dan memasang jarum di pantatnya. Sementara celana Lis menggantung di paha. Hmm, sama saja cara si Mbah ini. Begitu juga pada saat menancapkan jarum di punggung Lis, Mbah pun membuka BH Lis dengan tenang juga.

Tapi jika dibandingkan dengan yang dilakukannya padaku, kenapa Mbah tidak mencoba merangsang Lis dengan sedikit meraba nakal di selangkangannya atau pura-pura tidak sengaja menyenggolkan penis di balik sarungnya ke kepala Lis saat memijatnya dari arah atas? Mbah lupa mungkin. Atau dia mendapat tanda seolah-olah Lis tidak bisa digauli. Aku gemas dan agak kecewa.

Ketika si Mbah keluar, sambil berbisik aku bertanya. ”Bagaimana, susah ya?”

Mbah mengangguk dan sedikit cuek. Ah, apa dia tidak berselera lagi dengan Lis? Gak tahu kenapa, aku penasaran sekali dengan Lis, terutama setelah kejadian dia membeberkan aku yang quicky di mobil. Dan keanehan dia yang tidak pernah datang-datang lagi setelah terapi pertama.

Berbeda dengan Regy, yang sekarang akrab denganku. Kami jadi sering bertukar cerita. Aku yang rajin datang pagi ke Si Mbah, sedangkan dia datang siang setelah mengantarkan anaknya pulang. Hanya saja yang aku tahu perbedaan antara aku dan Regy, dia memang di bawah pengaruh sesuatu yang si Mbah tanamkan. Ada beberapa pantangan makanan yang tidak boleh Regy makan dan minum. Sedangkan aku tidak, tapi karena aku diet, aku jarang sekali makan banyak.

Dan yang lebih menggembirakan, tubuhku sekarang lebih berbentuk. Dadaku lebih kencang, pahaku walaupun belum mengecil dengan signifikan, tapi terlihat lebih kencang. Dan mukaku juga jauh lebih bersih. Wajah Regy yang memang bermasalah dengan jerawat, juga jauh lebih bersih. Mungkin karena sekarang kami sering facial ala si Mbah yang senang sekali menyemprotkan spermanya di wajah kami berdua.

Aku sibuk dengan pikiranku walaupun seperti biasa Mbah sudah mulai melakukan serangannya di kamar yang jauh berseberangan dengan kamar Lis. Aku tidak pernah di kamar ini sebelumnya. Ketika Mbah mulai menghentakkan penisnya, baru semua pikiranku buyar.

Mbah membuka kakiku lebar-lebar dan mengganjal pantatku dengan bantal. Aduh, luar biasa rasanya. Aku menahan semua eranganku, dan karena sempat sibuk dengan pikiranku, aku jadi tidak terlalu enjoy. Namun tetap saja aku orgasme walaupun si Mbah tahu aku kurang bersemangat. Si Mbah mengambil gelas air minum, sambil berdiri di samping tempat tidur, dia memintaku melakukan blow job.

Aku menurutinya dan tidak seperti biasanya, 15 menit berlalu, Mbah sudah klimaks. Dan kali ini si Mbah sedikit menuangkan spermanya ke gelas yang tadi diminumnya. Gelas yang sudah kosong itu kini sedikit terisi sperma. Aku pikir buat apa, tapi ketika si Mbah memberi sedikit sirup jeruk, air, dan es, aku sedikit menebak bahwa itu akan diberikan ke Lis.

Dan benar saja, setelah berpakaian, si Mbah membawa masuk gelas itu dan melalui CCTV aku bisa melihat Lis yang sudah dicopoti jarum di punggungnya, meminum sirup jeruk itu. Hahaha… Lis, lo ga tau aja apa yang masuk ke mulut lo itu, batinku.

Sambil menonton CCTV dari ruangan Lis, pikiranku melayang pada apa yang sudah terjadi padaku. Apa memang ya aku cewek kegatelan? Apa karena aktivitas sexku biasa-biasa saja dengan suamiku? Kenapa aku berbeda dengan Lis, Regy, dan Priska yang harus diguna-guna dulu oleh si Mbah supaya bisa digaulinya? Aku juga berpikir, si Mbah dengan cara ini pasti memiliki pasien yang cukup banyak yang kembali lagi padanya bukan saja untuk terapi tapi juga untuk melakukan plus-plusnya.

Memang kasian juga si Mbah. Pasiennya belum terlalu banyak. Dari aku Regy, paling dia sebulan mendapat 2 juta. Untung aku gratis. Kalau ada 10 orang seperti Regy, pasti dia dapat 20 jutaan, belum cukup untuk seluruh biaya-biaya ini itu. Mungkin dari pasien-pasien tidak tetap lainnya, kalau sekali datang 150 ribu? Ah, aku malas berhitung.

Lagi-lagi aku kecewa dengan perkembangan yang ada di kamar Lis, setelah menancapkan jarum di paha dan perut, mbah tidak membuka BH Lis. Yah, pasti buat apa, toh Lis tidak ada komplain dengan buah dadanya. Hmm, tapi Mbah cukup berani membuka celana Lis dan menancapkan jarum di sekitar selangkangannya yang sedikit ditumbuhi rambut itu. Tapi reaksi Lis biasa-biasa saja. Dan Mbah pun keluar ruangan. Argh...!

Mbah kembali mengajakku ke ruangan pojok. Sesampainya di dalam kamar itu, Mbah bertanya, ”Kok kamu kaya yang kecewa?”

”Yah, aku pikir Lis mau, mbah. Kalau Lis gak mau, besok-besok aku gak gratis lagi dong ke sininya? Memang ajiannya Mbah sudah gak ada ya di badan Lis?”

”Ada kok, aku tau ada. Siapa bilang dia gak bisa?” Mbah melanjutkan penjelasannya yang kira-kita menurut dia mungkin Lis sudah memiliki PIL, sehingga keinginan bersenggamanya dilampiaskan ke PIL-nya. Semua yang bisa Mbah pake, adalah wanita-wanita yang kehidupan sexnya biasa saja, begitu penjelasannya. Juga atau perempuan-perempuan yang belum menikah, entah perawan atau tidak, tapi harus yang sudah pernah melihat asli penis, bukan melalui video atau gambar. Di luar itu, tidak bisa.

Mbah menjelaskan, pasien langganannya tadi yang juga cukup cantik yang keturunan India, walaupun cukup lama menjadi pasiennya sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh Mbah. Tapi perbedaannya dengan Lis, Mbah tahu Lis dengan suaminya biasa-biasa saja, jadi pasti ada PIL.

Aku bertanya, ”Bagaimana dengan Priska?”

Priska menurut Mbah, sangat mudah dia pengaruhi karena pastinya dia waktu pacaran sering memegang penis pacarnya, buktinya Priska sudah pandai melakukan blow job, walaupun menurut Mbah, keperawanan Priska Mbah yang merenggutnya. Sedangkan Debby, teman Priska, menurut Mbah sudah tidak perawan.

Dalam kesempatan itu aku mengaku pada Mbah bahwa aku sudah terlambat mens tiga minggu. Mbah tidak kaget, dia menciumiku, dan menyuruhku untuk tidak menggugurkannya. Bahkan kalau aku mau, aku dimintanya untuk cerai saja dari suamiku, dan hidup dengannya. Tapi aku harus mengerti bahwa dia bisa bermain sex dengan siapa saja, termasuk dengan Priska.

Mbah mengatakan bahwa sebetulnya Priska sudah pernah mengajaknya menikah, tapi Mbah menolaknya. Dia bilang sudah gak perlu lagi cinta, Mbah cukup senang dengan kondisinya sekarang. Mbah bilang, kalau dengan aku, dia juga nggak mau formil dalam lembaga pernikahan, hidup bersama saja, katanya. Aku gak peduli dengan kata-kata si Mbah, aku cukup puas si Mbah tidak memintaku untuk menggugurkan kandungan ini.

Ketika Mbah keluar kamar, aku pun bersiap-siap ingin melihat aksinya kepada Lis. Bener-bener bisa apa nggak ya? Di layar TV, aku melihat Mbah mulai membuka jarum di paha Lis, juga perutnya, dan ketika sudah mencabut jarum di daerah segi tiga Lis, tiba-tiba tangan si Mbah langsung masuk ke selangkangan Lis. Nampak Lis kaget dan berteriak. Namun Mbah diam saja, bahkan tangan satunya langsung menelusup ke dada Lis, mempermainkan salah satu susunya.

Lis sempat berteriak jangan, namun waktu jari si Mbah menekan lebih dalam, Lis yang tadinya mencoba menarik tangan si Mbah keluar dari selangkangannya, menjadi meregang dan sambil mengerang-ngerang, dia memencet tombol kecil yang tersembunyi di bawah tubuhnya.

Dalam sedetik, puluhan polisi masuk ke ruko mbah. Mbah ditangkap atas tuduhan pencabulan. Aku dan beberapa wanita yang ada disitu, ikut digiring ke kantor untuk dijadikan saksi. Disitulah aku baru tahu kalau Lis sebenarnya adalah anggota polisi yang menyamar, dan dia sudah lama mencurigai tempat praktik si mbah.

Suamiku, yang mengetahui aku hamil oleh si mbah, tidak bisa menerima. Dia menceraikanku tak lama kemudian. Dengan berbekal uang tabungan, aku pulang ke kampung asal, dan membuka warung kecil-kecilan. Hasratku yang menggebu-gebu seiring kehamilanku yang bertambah besar, kulampiaskan dengan melayani langganan warungku yang bersedia membayar mahal, 1 juta untuk sekali kencan. Sama dengan tarif yang dipatok si mbah.