Minggu, 04 Agustus 2013

Istri Tetangga yang Seksi

Sebut saja namaku Fariz, 25 tahun, sekarang telah menjadi Guru. Bodiku seperti orang Indonesia pada umumnya, dengan tinggi 170cm dan berat 65kg. Kejadian yang aku ceritakan ini terjadi 5 tahun yang lalu yang mengakibatkan aku sangat tertarik dengan wanita yang gemuk tetapi syaratnya teteknya besar.

Waktu itu aku seorang mahasiswa salah satu universitas swasta di Solo yang tinggal di Boyolali. Karena dekat, aku tidak kost, tapi tinggal dengan orang tua. Aku mempunyai tetangga, namanya Pak Slamet, usianya 35 tahun. Aku biasa memanggilnya mas Slamet, seorang sopir truk gandeng yang mengangkut susu dari Boyolali ke Jakarta. Mas Slamet mempunyai istri yang bernama mbak Lasmi, 30 tahun, seorang ibu rumah tangga yang baik. Mbak Lasmi sangat cantik dengan kulit putih, sedikit gemuk tetapi proposional karena pantat dan teteknya sangat besar untuk ukuran... aku tidak tahu, pokoknya menantang!

Sebagai tetangga dekat, aku sering main ke rumah mbak Lasmi ketika mas Slamet ada. Aku sangat hormat kepada beliau karena aku sudah dianggap adiknya sendiri. Dan aku waktu itu tidak sedikitpun berani menghayal ngentot dengan istrinya meskipun bodi mbak Lasmi sangat menggairahkan. Dan kuakui, aku gemar sekali onani, maklum seusia itu dan aku berprinsip lebih baik onani daripada lebih dari itu.

***

Suatu malam, karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mencari teman ngobrol. Setelah muter-muter, tidak ada yang nongol. Aku berpikir, ke rumah mas Slamet saja karena beliau tidak bekerja, mungkin dapat teman ngobrol, untung-untung dapat makan minum gratis.

Pada waktu sampai di samping rumah mas Slamet, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi. Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja.

Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ternyata itu suara orang yang lagi bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur mas Slamet dan istrinya.

Aku lebih mendekat lagi, suara dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dari goyangan tempat tidur terdengar lebih jelas. "Ssshh... hhemm... uughh... ugghh...” terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu.

Jelas itu suara mbak Lasmi yang sedang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis mas Slamet sedang mengocok liang vagina mbak Lasmi yang tembem. Aduh, darahku langsung naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan mas Slamet menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi mbak Lasmi yang cantik dan bahenol itu.

"Oohh... sshh... bune, aku mau keluar! Ssshh... sshh..." terdengar suara mas Slamet yang tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok menjadi semakin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya mas Slamet sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina mbak Lasmi.

Selesailah sudah persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi. Akhirnya aku kembali ke rumah, ingin tidur tetapi ternyata sulit. Aku coba onani, bayangan yang keluar adalah mbak Lasmi. Aku malam itu membayangkan ngentot mbak Lasmi, malam itu onaniku begitu nikmat.

***

Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya, kalau mas slamet pas ada di rumah. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektif yang mengamati kegiatan mereka di sore hari.

Biasanya kalau mas Slamet tidak kerja, pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur, mungkin mbak Lasmi baru haid.

Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih mbak Lasmi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh mas Slamet), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara mas Slamet dan khususnya suara mbak Lasmi yang keenakan disetubuhi suaminya.

***

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu mbak Lasmi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri mas Slamet itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi, sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena mbak Lasmi istri orang. Kalau aku berani menggoda mbak Lasmi, pasti jadi masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku.

Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh mbak Lasmi...!!!

***

Pada suatu hari, aku mendengar mas Slamet ditahan di Polresta Solo karena kecelakaan yang mengakibatkan korbannya meninggal, sehingga mas Slamet harus bertanggung jawab meskipun dia tidak bersalah, mungkin karena dia mengendarai kendaraan lebih besar. Sebagai tetangga dan masih bujangan, aku langsung diajak mbak Lasmi untuk menengok suaminya di Polresta Solo. Dengan ikhlas aku mengantar mbak Lasmi dengan motornya karena beliau sedang kesusahan. Dan yang penting, aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengannya.

Hari itu aku terharu melihat mereka saling menangis meratapi nasib sial mas Slamet. Dalam perjalanan pulang, mbak Lasmi tetap sesenggukan menangis. Aku hanya bisa diam saja. Karena kacau pikirannya, mbak Lasmi membonceng seperti ketika dibonceng suaminya, tanggannya melingkar di pinggangku, otomatis teteknya yang besar menekan kuat ke pundakku, tapi tidak aku rasakan. Jujur, aku hari itu tidak terangsang karena akupun turut bersedih.

***

Dua hari aku sibuk kuliah dengan tugas yang menumpuk. Begitu tugas selesai, aku setelah pulang kuliah pingin tahu kabar mas Slamet karena kebetulan besok libur. Aku sambangi rumah mbak Lasmi. Aku ketuk pintu rumahnya.

”Permisi, mbak Lasmi!!!” kataku.

”Ya, sebentar. Siapa ya?“ teriak mbak Lasmi, kedengaranya dari kamar mandi.

”Saya Fariz, mbak!” kataku.

”Masuk dulu, Riz!” teriak mbak Lasmi karena aku memang sudah dianggap adiknya sendiri.

Aku masuk dan duduk di meja tamu sambil membaca majalah yang ada di meja. Lagi asik membaca, mbak Lasmi menegur. ”Kebetulan, Riz...”

Aku kaget, dan lebih kaget lagi saat melihat mbak Lasmi yang berdiri di depan pintu hanya dengan menggunakan handuk besar tetapi tetap tidak bisa menutupi seluruh tubuhnya yang montok, paha dan sebagian teteknya kelihatan. Aku tertegun.

”A-ada apa, mbak?“ jawabku gelagapan tanpa berkedip.

Mbak Lasmi hanya tersenyum, mungkin menyadari kekagetanku dan padanganku yang penuh nafsu abg. ”Maaf ngagetin, mbak ganti baju dulu aja.” katanya sambil masuk ke dalam kamarnya.

Aku tidak berkedip memandang pahanya. Otomatis rudalku berdiri tegak. Pintu kamar ditutup, tapi aku masih bengong memandanginya.

Tak lama, mbak Lasmi keluar dari kamar. Ia kini mengenakan pakaian muslimah, baju panjang dan jilbab lebar menutupi bentuk tubuhnya yang sempurna, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kemontokannya. Mbak Lasmi duduk di depanku sambil ngomong, “Maaf, tadi bikin kami gelagapan. Mbak nggak sadar kalau belum pakai baju, karena mbak mau ajak kamu ke rumah manager pabrik di Solo Baru. Bisa nggak? Untuk ngurus mas Slamet supaya cepat bebas.”

”Ok, mbak. Untuk mbak Lasmi yang cantik, apapun aku siap laksanakan.” kataku tanpa berpikir panjang.

”Oo, sekarang adikku mulai bisa ngerayu ya?” katanya sambil ketawa.

***

Akhirnya kita berangkat ke Solo Baru. Setelah ketemu dengan managernya, hasilnya sangat memuaskan. Perusahaan akan mengurus penahanan mas Slamet, maksimal seminggu sudah selesai.

Sehabis Isya, aku bersama mbak Lasmi pulang. Hati mbak Lasmi kelihatan senang banget. Dalam perjalanan, kami ngobrol dan mbak Lasmi minta mampir di bebek goreng Wong Solountuk makan dulu, katanya. Kami berhenti di warung bebek goreng, kita cari yang lesehan.

“Riz, kami mau dada apa paha?” kata mbak Lasmi sambil memegang dada dan pahanya yang montok.

“Ah, a-anu, mbak... dada, mbak!“ kataku gelagapan karena membayangkan dada mbak Lasmi yang membusung indah.

Setelah pesanan diserahkan ke pelayan, kita ngobrol. ”Kamu itu tadi kok jawabnya gelagapan... kaya orang bingung, Riz?“ tanya mbak Lasmi.

“Maksud mbak Lasmi gimana?“ tanyaku balik.

“Tadi lho, ditanya paha apa dada kok bingung?” tanya mbak Lasmi lagi.

“Gimana ya, mbak, ngomongnya? Lha tanya paha, pegang paha. Ngomong dada, pegang dada. Lha kalau jerohan, pegang apa ya, mbak?” jawabku asal-asalan

“Hahaha... kamu ada-ada saja. Gimana ya, nanti di rumah tak jelasin!“ kata mbak Lasmi memancing.

Kami mulai mengobrol, mengenai masalah Mas slamet. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekati mbak Lasmi.

"Mbak, maaf ya... ngomong-ngomong, mbak Lasmi kan sudah berkeluarga sekitar 3 tahun, kok belum diberi momongan ya?" kataku hati-hati.

"Ya itulah, Riz. Kami kan hanya menjalani. Barangkali Tuhan belum mengizinkan." jawab mbak Lasmi.

"Tapi, mbak, anu… itu, mbak... anuu... bikinnya jalan terus to?" godaku.

"Ooh... apa?! Oh, kalau itu sih iya, Riz." jawab mbak Lasmi agak kikuk.

Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minimal 2 kali bersetubuh. Terbayang kembali desahan mbak Lasmi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.

"Tapi, kok belum berhasil juga ya, mbak?" lanjutku.

"Ya itulah, tapi kami tetap berusaha terus kok. Ngomong-ngomong, cewek kamu kok nggak pernah diajak pulang?" kata mbak Lasmi.

“Saya nggak punya cewek, mbak. Nggak ada yang mau.“ jawabku.

“Mosok cowok cakep gini nggak ada yang naksir, mungkin kamu jual mahal?“ kata mbak Lasmi.

"Eh, benar nih, mbak, aku cakep? Ah kebetulan, tolong carikan aku, mbak. Tolong carikan yang kayak mbak Lasmi ini lho," kataku menggodanya.

"Lho, kok hanya kayak aku? Yang lain yang lebih cakep kan banyak! Aku kan sudah tua, jelek lagi." katanya sambil ketawa.

"Eh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak mbak Lasmi dong. Benar nih. Soalnya begini, mbak, tapi... eeh, nanti mbak Lasmi marah sama aku. Nggak usah aku katakan aja deh." kubuat mbak Lasmi penasaran.

"Emangnya kenapa sih?" mbak Lasmi memandangku penuh tanda tanya.

"Tapi janji nggak marah lho..." kataku memancing.

Dia mengangguk kecil.

"Anu, mbak... tapi janji tidak marah lho ya?"

Dia mengangguk lagi.

"Mbak Lasmi, terus terang, aku terobsesi punya istri seperti mbak. Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan mbak Lasmi. Aku menyadari ini nggak betul. Mbak Lasmi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati. Aduh, maaf, maaf sekali, mbak. Aku sudah kurang ajar sekali!" kataku menghiba.

Mbak Lasmi melongo, memandangiku. Sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia. Dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.

Sampai selesai, kami jadi berdiam-diaman. Kami lalu pulang. Dalam perjalanan pulang, aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Jadi sambil menahan nafas, kucoba memegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang kemudi. Di luar dugaan, mbak Lasmi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami, telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang.

Mendadak ada sepeda motor menyalib motorku. Aku kaget.

"Awas! hati-hati!" mbak Lasmi menjerit.

"Aduh, nyalip kok nekad amat sih?" gerutuku.

"Makanya, kalau naik motor jangan macam-macam." kata mbak Lasmi.

Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah.

”Besok kamu kuliah tidak, Riz?“ tanya mbak Lasmi.

“Tidak, mbak. Kalaupun ke kampus, hanya cuci mata. Mau kemana, mbak? Aku siap mengantar.” jawabku penuh semangat.

“Nggak kemana-mana, cuma mbak perlu terima kasih ke kamu sehingga urusan mbak bisa ringan. Ada surprise untukmu!“ kata mbak Lasmi.

”Nggak usah, mbak. Aku tulus membantu, mbak. Kita kan tetangga.” jawabku.

“Aku percaya itu, tapi aku pengin merayakan keberhasilan ini sehingga mas Slamet segera bebas.” sambung mbak Lasmi.

“Ok, mbak, trus surprisenya apa?” tanyaku kaya orang bloon.

“Haha.. yang namanya surprise yang nggak dikasih tahu dong.” sahut mbak Lasmi.

“Ok, mbak, asal jangan dikasih uang, aku tak mau. Terus kapan?” tanyaku berharap.

“Kalau uang aku jelas tidak punya. Gini aja, setelah ini kamu pulang. Nanti jam sembilan, kamu ke rumah lewat samping. Jangan ada yang lihat, seperti biasa kamu main ke rumah. Pakai baju yang longgar, kalau perlu pakai sarung.“ jawab mbak Lasmi kaya sutradara.

“Kok suruh pakai sarung, apa saya disuruh jadi satpam di rumah mbak?” jawabku ngaco.

“Nanti tak kasih ayam spesial, kan kalau pakai sarung kekenyangan enak... kalau perlu tanpa daleman, haha...” kata mbak Lasmi semakin bikin penasaran.

“Ok deh, mbak, bikin tambah penasaran ayamnya kayak apa?” jawabku.

“Ayam yang tidak akan kamu lupakan selamanya!“ kata mbak Lasmi.

Tak terasa, kita sudah sampai di rumah. Aku antar mbak Lasmi sampai pintu masuk, lalu aku pamit pulang.

“Tak tunggu lho, jam sembilan, lewat pintu samping.” kata mbak Lasmi sebelum turun.

Aku hanya mengangguk penuh tanda tanya, mbak Lasmi hanya tersenyum penuh arti.

Sampai di rumah, bapak dan ibuku sedang lihat TV. “Gimana, Riz, mas Slamet?” tanya bapakku.

“Anu, pak, bossnya yang tanggung jawab. Mungkin seminggu lagi keluar.” kataku sambil masuk kamar.

Aku malah bingung mau ngapain. Nanti mau dikasih apa sama mbak Lasmi? Aku hanya bisa tiduran di kamarku. Mending mandi saja dari pada harap-harap cemas. Setelah mandi, sesuai kata mbak Lasmi, aku pakai kaos oblong dan kolor. Jam sembilan terasa begitu lama, aku akhirnya ikut nonton TV sama bapak ibu. Jam setengah sembilan, bapak ibu masuk kamar. Kelihatannya payah, mungkin karena kerja seharian. Seperempat jam kemudian, kelihatannya mereka sudah tertidur. Aku semakin bingung, waktu kok tambah lama ya.

Jam sembilan kurang, aku masuk kamar. Kukunci semua pintu. Aku berpikir, akan kuturuti semua perintah mbak Lasmi apapun yang terjadi. Cepat kuganti kolorku dengan sarung, tanpa daleman apapun. Aku lewat jendela samping kamarku karena rumahku dengan rumah mbak Lasmi bersebelahan. Aku lihat kondisi sekitar, kelihatannya sepi. Aku berjalan ke rumah mbak Lasmi dengan hati-hati. Sampai di depan rumah mbak Lasmi, dengan ragu-ragu aku lewat pintu samping. Pintu itu masih terbuka sedikit, aku dorong pelan-pelan.

“Tutup pintunya, Riz.” perintah mbak Lasmi mengagetkanku.

“Ya, mbak.” jawabku.

Aku masuk ke ruang tengah mengikuti mbak Lasmi, tanpa berani melihatnya sedikitpun. Setelah sampai di ruang tengah, lampu dinyalakan. Aku duduk di kursi dekat TV. Aku tidak berani ngomong apa-apa, suasana terasa kikuk. Kulihat mbak Lasmi memakai kain panjang dan kerudung dengan dandanan agak mencolok.

“Ayo kita rayakan keberhasilan tadi, kamu harus mengikuti perintahku.” kata mbak Lasmi. Aku mengangguk agak ragu. Mbak Lasmi menyadari itu. “Rileks aja, Riz. Tidak kusakiti kok, katanya mau ayam spesial?”

Aku mengangguk.

“Kamu sekarang duduk, nanti hanya boleh bergerak atau berbicara ketika kutanya.” sambung mbak Lasmi.

“OK, siap, boss!” jawabku mantap.

“Lha gitu itu namanya lelaki sejati,” kata mbak Lasmi.

Aku duduk, mbak Lasmi mengambil tali dan tanganku diikat di kursi. Aku pasrah saja. “Ok, sekarang terimalah pertunjukanku!” teriak mbak Lasmi sambil masuk ke kamarnya.

Aku bingung, jantungku berdetak sangat kencang. Mungkin kalau dilihat, aku kaya orang paling bloon di dunia. Tak lama, mbak Lasmi keluar dari kamarnya, masih pakai pakaian lengkap tetapi bawa tulisan : “Ayam Special ektra HOT!!!” sambil berjalan kaya pelayan genit.

Setelah berlenggak-lenggok, mbak Lasmi berdiri di depanku sambil berkata, “Mau ayam, Riz?”

Aku hanya mengangguk.

Mbak Lasmi kemudian mundur sambil berkata, “Nikmati cakar special...!!!“ sambil menyingkap kain bawahnya. Dia masih menggunakan celana sedengkul, kakinya yang putih tanpa cacat didekatkan sambil berbicara, “Selamat menikmati!”

Kakinya benar-benar putih, aku hanya bisa mengangguk-angguk pasrah.

“Kurang kenyang, Riz? Nikmati sajian berikutnya, kepala spesial...” kata mbak Lasmi sambil melepas kerudungnya, rambutnya yang panjang terurai. menambah kecantikannya. Dia membelai rambutnya, memperlihatkan tengkuknya yang putih sambil bergoyang mendekatiku. “Gimana, Riz, mau lagi?“ kata mbak Lasmi.

Aku hanya menjawab, ”Ya,” dengan penuh nafsu. Terasa rudalku mulai bergerak. Aku berpikir, ini tujuannya pakai sarung...

“Ok, Riz, karena kamu mau, jadi kukasih lagi, sayap tanpa rambut spesial.“ kata mbak Lasmi sambil membelakangiku.

Aku melihat tanpa sanggup berkedip. Dari belakang, kulihat tangan mbak Lasmi mulai melepas kancing bajunya dan melepas salah satu dari tangan kanannya sambil menengok dan menjulurkan lidah ke arahku, kemudian disusul lengan kirinya dan melemparkan bajunya begitu saja, sehingga tali branya kelihatan dan punggungnya yang putih dan mulus terlihat dengan jelas. Mbak Lasmi berjalan mundur mendekatiku semakin dekat dan hampir menabrakku.

Aku kaget, dan langsung bilang. “Awas, mbak...!!!“

“Takut ketabrak, ya? Apa mbak dikira truk gandeng?“ kata mbak Lasmi. “Ini, Riz, nikmati sayap tanpa rambut!” lanjutnya sambil mengangkat kedua tangannya, mendekatkan ke arah kepalaku. Aku hanya bisa memandangi dan mencium aroma tubuh mbak Lasmi yang wangi.

“Gimana, Riz, mau yang lain atau sudah kenyang?” tanyanya.

”Belum, mbak. Ayam seperti ini nggak bikin kenyang!” jawabku sambil menahan nafas birahi.

“Memang tidak bikin kenyang, tapi bikin kentang.“ kata mbak Lasmi sambil menunjuk sarungku yang menonjol. Aku sedikit malu, tapi kupikir wajar saja.

“Kalau belum, nih aku kasih paha putih dan gurih” kata mbak Lasmi sambil berjalan menjauhiku. Dengan gerakan erotis, dia melepas celana pendeknya dan melemparnya entah kemana. Mataku hanya tertuju pada pahanya yang putih dan mulus. Mbak Lasmi berjalan berlenggok-lenggok layaknya peragawati, dengan hanya memakai bra dan celana dalam saja.

Aku tidak bisa berkedip dan berpikir, body mbak Lasmi bener-bener sintal dan bahenol. Aku pandangi dari atas sampai bawah tubuh yang mulus dan menggiurkan itu. Mbak Lasmi yang mengetahuinya berkata, “Riz, kalau ditawari paha, yang dilihat paha dong... mosok matanya kemana mana,” sindirnya halus.

“Emm, nggak bisa, mbak. Soalnya yang lain juga menggoda, besar dan mantap!” jawabku jujur, tapi aku ikuti perintah mbak Lasmi, kufokuskan pandanganku melihat pahanya yang besar, yang putih dan bersih.

Mbak Lasmi berjalan mendekatiku, kaki paha kanannya didekatkan ke mukaku. Setelah puas kupandangi, kemudian ganti paha kirinya yang didekatkan, sambil berkata, “Gimana, Riz, pahaku. Bagus nggak?”

“Mantap, mbak. Aku jadi pengen menjilatnya.” jawabku penuh nafsu, ingin sekali menyentuhnya.

“Sorry, Riz, belum saatnya. Nikmati dulu ini.” kata mbak Lasmi sambil menari dengan erotis. Aku hanya diam, tapi rudalku yang masih tertutup sarung sudah berdiri tegak seperti menara.

“Sekarang terimalah, dada montok rasa susu!!!” kata mbak Lasmi sambil berjalan mundur satu langkah. Tangan kirinya melingkar ke belakang untuk melepas kait behanya. Sekali tarik, lepaslah beha mungil itu. Isinya yang dari ditahan, meloncat keluar dengan indahnya, terlempar tepat ke mukaku.

“Ini yang kau suka kan, Riz?” mbak Lasmi menggoyang-goyangkan teteknya, menampar-nampar hidung dan pipiku. Benda itu benar benar besar, juga sangat empuk. Rasanya juga hangat. Aku jadi teringat film BF yang sering aku tonton. Bentuk dan besarnya sama, tapi ini asli, tanpa silicon.

“Riz, mau minum susu ini?” tanya mbak Lasmi sambil menyodorkan teteknya yang bulat besar ke mulutku. Benda itu terlihat belum menggantung, dengan puting sebesar ibu jari yang mengacung tegak ke depan, berwarna coklat kemerahan, benar-benar mantab.

“Emm, m-mau, mbak.” jawabku menahan nafsu.

“Lihatlah wadahnya dulu, gimana pendapatmu?” kata mbak Lasmi. Ia mendekatkan teteknya ke arahku. Begitu dekatnya hingga bisa kulihat urat-urat halus kehijauan yang tumbuh merata di seputar tonjolan bukitnya.

“Mantap, mbak… aku jadi pengen banget, mbak.” kataku dengan mata tak berkedip, tak ingin melewatkan pemandangan indah itu barang sedetik pun. Aku ingin menjilat atau meremasnya, tapi apa daya, tanganku terbelenggu di kursi. Kelihatannya mbak Lasmi pengin mengujiku.

“Tetek mbak gede banget, branya ukuran berapa, mbak?” tanyaku.

“Emangnya kamu mau ngasih?” jawabnya sambil mengelus-elus permukaan teteknya yang halus dan mulus.

“Enggak, mbak, aku lebih suka isinya bra. Tapi aku pengin tahu, mbak.” jawabku.

Mbak Lasmi mengambil branya dan memperlihatkan ukurannya. Dia berlagak kaya guru, menerangkan sambil memegang tetek dan branya. “Ini lho, Riz, ukurannya 38D. Karena mbak besar, maka lingkar dadanya juga besar, 38. Sedangkan D itu menunjukkan cup atau mangkoknya. Karena tetek mbak super montok, maka pakai D. Gimana, Riz, jelas?” tanyanya.

“Jelas, mbak. Jelas banget. Besok tak cari istri yang ukurannya kaya mbak Lasmi. Sudah cantik, bahenol lagi.” pujiku.

Mbak Lasmi tertawa. “Aku jadi tersanjung, Riz.” jawabnya dengan mimik muka bangga. Dia masih memain-mainkan teteknya, meremas-remasnya pelan sambil memilin-milin pentilnya, membuat benda itu semakin kelihatan besar dan menonjol, mungkin karena menahan nafsu juga.

“Riz, mbak mau kasih tahu semua milik mbak. Kamu orang yang kedua setelah mas Slamet. Kamu mau lihat memekku?” bisik mbak Lasmi dekat di telingaku. Suaranya parau.

Aku mengangguk. “Please, mbak. Aku sangat pengin melihat memek mbak!” jawabku penuh harap.

Mbak Lasmi mundur, kemudian mengambil kursi dan melepas satu-satunya kain penutup yang masih menempel di tubuhnya. Dia lalu mengangkang, membuka kedua kakinya lebar-lebar. Terpampanglah memeknya yang penuh dengan jembut, tapi rapi. Aku hanya bisa menelan ludah saat melihatnya, sambil berkata, “Hutannya kok lebat banget, mbak?”

“Riz, meskipun lebat, tapi memek mbak tembem. Ini yang bikin laki-laki ketagihan.” sahut mbak Lasmi sambil menyibakkan jembutnya.

Kulihat belahan vaginanya tanpa berkedip, tampak masih sempit dan memerah. Rudalku langsung berontak ingin menerobos sarungku. Mbak Lasmi yang mengetahuinya kemudian berdiri, ia mendekatkan memeknya yang berbau sirih itu ke mukaku. Kucium aromanya yang memabukkan dengan penuh nafsu.

“Gimana baunya, Riz, harum?“ tanya mbak Lasmi.

“Wangi, mbak.” jawabku. ”Tapi agak basah, mbak pipis ya?” candaku.

“Kamu bisa aja, Riz.” mbak Lasmi tertawa, membuat teteknya yang besar berguncang-guncang indah karenanya. ”Karena kamu baru pertama kali, akan mbak jelaskan.“ katanya sambil kembali mengangkang.

Dia menunjuk-nunjuk memeknya, seperti guru biologi saja. ”Ini yang dinamakan memek, Riz, atau vagina kalau kata orang kota. Ini benda kenikmatan bagi para pria.” jelas mbak Lasmi sambil meraba memeknya.

Aku mengangguk mengiyakan.

“Yang kecil ini disebut itil, ini kelemahan wanita. Kalau disentuh atau dijilat, semua wanita akan kelabakan dibuatnya.” mbak Lasmi menunjuk bulatan mungil kemerahan sebesar biji kacang yang berada di bagian atas kemaluannya.

”Yang bawah ini, lubang tempat sarang burung.” mbak Lasmi membuka memeknya makin lebar, menunjukkan lubangnya yang masih kelihatan sempit dan mungil. ”Baru satu burung yang bersangkar di lubangku ini.” tambahnya.

”Punya mas Slamet ya, mbak?” tebakku.

Mbak Lasmi mengangguk. ”Aku sebenarnya pengin yang lain, Riz, yang lebih besar dan lebih panjang dari punya mas Slamet. Aku pengen dipuaskan.” katanya sambil memegang itilnya dan memasukan jarinya ke lubang memeknya berkali-kali.

“Mbak, kok jarinya basah, mbak?“ tanyaku memancing, mataku tak berkedip menatap tingkahnya.

“Iya, Riz. Mbak akui, mbak terangsang sekali sekarang, jadi memek mbak agak becek. Coba kamu cium ini.” dengan agak malu malu, mbak Lasmi mengoleskan jarinya di hidungku.

Aku kaget mencium aroma surgawi itu. “M-mbak, aku pingin ngentot, mbak!” kataku tanpa bisa dicegah lagi. ”Ngentot seperti mas Slamet.” seruku penuh nafsu.

“Jangan, Riz, belum saatnya.” jawab mbak Lasmi bijaksana meskipun aku yakin dia juga menginginkannya.

”Emang kenapa, mbak?” aku tidak terima dengan penolakannya. Sudah menggodaku seperti ini, dia malah nggak mau kuajak ngentot. Maunya apa sih?

Bukannya menjawab, mbak Lasmi malah mengelus-elus tonjolan burungku dari luar sarung. “Riz, kasihan ini adikmu, dari tadi berdiri terus. Mbak pingin lihat, boleh?” pintanya.

Aku hanya mengangguk.

Dengan cepat, mbak Lasmi segera menarik sarungku. Kontolku yang sudah menegang tak karuan, langsung meloncat keluar, berdiri tegak bak tugu monas. “Ehm, gede juga kontolmu, Riz.” gumanya kagum.

”Gede mana dari punya mas Slamet, mbak?” aku bertanya.

”Lebih gede punyamu. Juga lebih panjang.” dengan tangan gemetar, mbak Lasmi memegangnya. ”Lebih kaku juga. Terasa keras banget, Riz.” bisiknya parau. Matanya yang bulat tak berkedip menatap batang penisku, terlihat sangat terpesona dan mengaguminya.

“Berarti boleh dong bersangkar di lubang mbak Lasmi?” kataku memancing.

“Jangan, kapan-kapan aja. Nggak sekarang. Biar aku kocok aja. Mbak yakin, anak seusiamu, pasti sering onani. Bener kan?” kata mbak Lasmi sambil mulai membelai dan meremas penisku pelan.

Aku hanya bisa mengangguk dan menikmati sensasi ini. “Mbak.. mbak.. oughhh...” desisku keenakan.

”Kalau onani, siapa yang biasanya kamu bayangkan?” tanya mbak Lasmi sambil tetap memainkan kontolku. Dia terlihat senang sekali, seperti mendapat mainan baru.

”Mbak. Mbak Lasmi yang aku bayangkan!” gumamku terus terang. Aku tidak perlu malu-malu lagi di depannya.

”Ah, benarkah?” dia tampak gembira mendengar jawabanku. Kocokannya menjadi semakin cepat dan nikmat.

Aku hanya bisa bergerak-gerak menggelinjang tanpa perlawanan karena aku terikat, tidak bisa membalasnya barang sedikit pun. Padahal aku sangat ingin sekali menjamah dan membelai tubuh mulusnya itu. Terutama payudaranya, ingin aku meremas dan memijit-mijitnya dengan kedua tanganku, merasakan betapa empuk dan kenyal bulatannya. Putingnya yang menonjol kemerahan, akan kujilat dan kuhisap-hisap dengan mulutku. Ughh, tapi sayang aku tak bisa.

“Kontol seperti ini nih yang bikin wanita ketagihan.” kata mbak Lasmi sambil mengocok batang kontolku semakin cepat.

Aku jadi makin tak tahan. Terasa ada sesuatu yang mau meledak keluar dari dalam sana. “M-mbak, aku mau keluar.“ teriakku tertahan.

Mbak Lasmi bukannya berhenti, malah mengocok lebih cepat. Membuatku makin tak bisa menahan diri. Tak sampai tiga detik, aku pun meronta. ”M-mbak, aku keluar! ARRGHHHHH...!!!” Kurasakan sesuatu yang hangat dan nikmat menyembur kencang dari lubang kontolku. Spermaku yang kental berhamburan membasahi muka dan rambut mbak Lasmi.

Setelah semburan itu mereda, aku pun lemas. Beban yang aku tahan dari tadi, lepas lah sudah. Tubuhku terasa lelah, tapi sangat puas. Kurasakan ada sesuatu yang basah menyentuh ujung kontolku. Dengan nafas masih terengah-engah, aku mengintipnya. Ternyata mbak Lasmi yang tengah membersihkan sisa-sisa lelehan spermaku dengan menjilatinya lembut. Aku hanya diam saja, menikmatinya.

Mbak Lasmi terus mengulum dan mengemutnya, menampung semua cairanku di dalam mulutnya, termasuk juga sperma yang menempel di muka dan rambutnya, lalu menelan semuanya dalam sekali teguk. Dia tidak menyadari kalau kuperhatikan.

Setelah sadar, dengan agak malu mbak Lasmi berkata. ”Maaf, Riz, keterusan. Sperma perjaka, bagus buat obat awet muda.” terangnya.

“Nggak jijik, mbak?“ tanyaku.

“Justru ini yang bikin ketagihan.” jawabnya sambil tetap mengelus kontolku. Merasakan itu, kontolku yang sudah lemas, langsung berdiri kembali. Mbak Lasmi kelihatan kaget saat melihatnya. ”Ini kontol kok nggak ada matinya ya?” katanya sambil nyengir.

Tanpa membuang waktu, dia kembali menjilatinya. Dengan tangan kanannya, mbak Lasmi mengocok batangku. Sedang tangan kirinya, sibuk mengobok-obok memeknya. Aku pingin menjamah tubuh mbak Lasmi, membantunya bermasturbasi, tapi aku masih terkekang. Akhirnya aku hanya bisa menikmati surprisenya sambil merem melek.

Tidak beberapa lama, aku kembali orgasme. Sambil menikmati sepongan mbak Lasmi, aku berteriak. ”Mbak, aku keluar! Aahhhh...!” rasanya nikmat, tapi tidak senikmat tadi. Spermaku yang muncrat juga tidak sebanyak tadi, dan kali ini agak sedikit encer.

Dengan sengaja, mbak Lasmi mengeluarkan kontolku dari mulutnya, sehingga spermaku kembali bebas berhamburan mengenai wajah dan teteknya. Mbak Lasmi menikmati dengan meratakan spermaku ke seluruh bulatan payudaranya, sementara tangan satunya tetap mengobok-obok lubang memeknya. Aku menikmati pertunjukan itu dengan mata sayu. Badanku benar-benar lemas. Aku kelelahan.

Tidak berapa lama, mbak Lasmi berdiri di atasku. Memeknya tepat berada di atas batang kontolku. Sambil tetap menusuk memeknya dengan jari, dia merintih, ”Aahhh... aku keluar, Riz… ahh… ahh...”

Tubuhnya berguncang-guncang saat cairan kenikmatannya menyembur dengan deras, mengguyur kontolku hingga basah kuyup. Rupanya begitu hebat orgasme yang diterima oleh istri tetanggaku itu. Setelahnya, mbak Lasmi duduk di kursi di depanku sambil mengatur nafasnya.

Beberapa menit kita berdiam diri, menikmati apa yang telah kita perbuat.

“Riz, terima kasih ya, mbak bisa puas meskipun tanpa kita ngentot.” kata mbak Lasmi. Dia tersenyum manis sekali.

“Sama-sama, mbak. Ini tidak akan bisa kulupakan. Ini pengalaman paling menarik seumur hidupku.” sahutku.

“Maaf ya, kamu seperti kayak tahanan. Tapi ini supaya kita bisa control diri.” kata mbak Lasmi.

“Nggak masalah, mbak, yang penting enak banget ayam spesialnya. Hahaha...” candaku.

“Jangan minta yang lebih dari ini ya?” pintanya.

Aku mengangguk. ”Iya, mbak. Gini aja sudah enak kok.”

”Sekarang kamu pulang. Tapi jangan sekali-kali sentuh aku kalau talimu aku lepas, atau tidak ada lagi acara ayam spesial seperti ini lagi!!!” kata mbak Lasmi, mengancam.

“Ok, mbak. Kutunggu pelajaran selanjutnya dari mbak.” sahutku sambil mengangguk.

Mbak Lasmi kemudian melepas tali yang mengikatku. Karena sudah janji, lagian aku juga sudah sangat lelah, meski saat itu mbak Lasmi masih telanjang, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Malah, dengan langkah gontai, aku segera merapikan pakaianku. “Mbak, aku pulang dulu ya.” pamitku setelah kukenakan kembali sarung dan bajuku.

“Iya, hati-hati ya, jangan sampai ada yang nglihat.” pesan mbak Lasmi di depan pintu.

“Ok, mbak. Kalau perlu apa-apa, bilang ke aku ya, aku ikhlas bantu mbak. Syukur-syukur kalau dapat hadiah lagi, hahaha...“ candaku.

“Maunya,” mbak Lasmi memencet hidungku. ”Sana, aku muak lihat kamu…” sambungnya sambil mendorongku.

“Muak? Memang kalau muak itu bisa bikin memek muntah ya?” kataku sambil ngacir meninggalkan rumah mbak Lasmi. Dengan tubuh masih bugil, istri mas Slamet melepas kepergianku.
.
Dengan hati-hati, aku masuk ke rumah lewat jendela kamarku. Kulihat jam di dinding, sudah pukul 12 malam. Berarti aku tadi main dengan mbak Lasmi hampir tiga jam. Dengan perasaan puas, aku rebahkan tubuh lelahku di kasur. Masih terbayang aroma memek mbak Lasmi, aku jatuh tertidur sampai pagi.

Setelah kejadian kemarin, aku dua hari tidak ketemu mbak Lasmi karena aku sibuk kuliah, tetapi konsentrasiku kacau, pikiranku selalu ke mbak Lasmi. Kelihatannya rumahnya kosong, dengar-dengar mbak Lasmi ada acara ke Jogja ketemu saudara mas Slamet yang kebetulan bekerja di kejaksaan untuk memperlancar kebebasan mas Slamet.

Ketika nongkrong di kampus lihat cewek, aku jadi lebih memperhatikan cewek yang lebih gemuk, seolah-olah melihat mbak Lasmi yang telanjang. Aku jadi tidak kerasan di kampus. Akhirnya aku pulang, berharap ketemu mbak Lasmi. Tapi sampai rumah, aku terus tidur karena kulihat rumah mbak Lasmi masih sepi. Jam 4 sore aku bangun dan kelihatannya ada orang berbincang-bincang di kamar tamu. Karena kamarku letaknya di depan dan harus melewati ruang tamu, aku keluar dan sempat aku kaget karena disitu ada mbak Lasmi sama ibu sedang ngobrol. Aku agak canggung ketika lewat di situ, tapi mbak Lasmi menyadari itu sehingga berusaha mencairkan suasana.

“Baru bangun, Riz, kelihatan kok kusut banget?” kata mbak Lasmi.

“Iya, mbak. Habis kuliah langsung tidur.“ jawabku.

“Si Fariz kerjanya tidur sama main, dan dua hari ini kurang semangat.” kata ibuku. “Sana mandi, trus antar mbak Lasmi daripada kamu bengong aja di rumah.“ sambung ibu.

“Iya, bu… “ jawabku kaya ada semangat baru.

“Tapi kamu ada tugas kuliah tidak, Riz?” kata mbak Lasmi.

“Tidak, mbak. Aku siap nanti, yang penting ada bonusnya kaya kemarin.” kataku keceplosan.

Mbak Lasmi kelihatan kaget dengan jawabanku.

“Kamu kasih apa, mbak? Jangan dikasih yang kira-kira memberatkanmu lho, mbak, kamu kan lagi banyak kebutuhan.” kata ibu.

"Paling makan aja kok," jawab mbak Lasmi agak tenang.

Akhirnya aku tinggalkan mereka berdua yang masih asyik ngobrol untuk mandi. Pada waktu mandi, terbayang mbak Lasmi yang telanjang memandikan dan mengelus tubuhku, membuatku horny dan aku tuntaskan di kamar mandi dengan tanganku, sambil aku bicara sendiri pada kontolku. “Nanti malam kamu dapat belaian tangan dan mulut yang lebih halus, dijepit tetek, kejepit memek mbak Lasmi.”

Selesai mandi, aku lihat kamar tamu sudah sepi, mungkin mbak Lasmi sudah pulang. Aku masuk kamar dan berganti baju. Setelah itu keluar dan ambil motor, kelihatan mbak Lasmi berjalan ke rumah, disitu ada ibuku.

“Semoga lancar urusannya ya, mbak.“ kata ibu pada mbak Lasmi.

“Doakan saja, mbakyu.” jawab mbak Lasmi.

“Hati-hati ya, Riz, jangan ngebut. Kalau sudah selesai langsung pulang, tidak usah minta jajan ke mbak Lasmi.” pesen ibu kepadaku.

“Siap laksanakan perintah, Komandan.” jawabku bercanda.

Akhirnya kami berangkat. Mbak Lasmi membonceng aku dengan sopan, masih ada jarak di antara kita. Setelah sampai jalan besar, aku ngomong: “Pegangan, mbak, aku mau cepet nih.”

“Malu, Riz, nanti dikira aku tante girang... bawa brondong.” canda mbak Lasmi, tapi tetap melingkarkan tangannya di pinggangku sehingga teteknya yang besar menempel mantap di punggungku.

“Kalau ngak pegangan malah nanti dikira aku tukang ojek, mbak.” jawabku.

"Mosok cowok ganteng dikira ojek, kalau gigolo mungkin, haha.." kata mbak Lasmi.

"Kalau gigolo sama tante girang kan pasangan," jawabku.

“Tadi dipesen ibu nggak boleh kenceng-kenceng gitu... kita nyantai aja, toh jam besuk masih lama. Kamu kan bukan pengin kenceng, tapi pengin tetekku yang kenceng nempel kan? Hahaha...“ canda mbak Lasmi.

“Tapi kok nular ke bawah ya? Kontolku jadi ikut kenceng.” candaku.

“Masak... kok bisa ya?” kata mbak Lasmi sambil memegang kontolku dari luar celana.

Dalam perjalanan, kami selalu bercanda. Mungkin orang menganggap kami adalah sepasang kekasih yang berpacaran. Tak terasa kami sudah sampai di pintu masuk Polresta. Setelah lapor sana-sini, akhirnya kita dipertemukan di ruangan paling pojok tanpa pengamanan karena bukan merupakan tindak kriminal sehingga lebih bebas. Ketika aku ketemu mas Slamet, ada perasaan bersalah di hatiku. Mbak Lasmi langsung memeluk mas Slamet sambil sama-sama meneteskan air mata. Aku tak kuasa melihatnya, akhirnya aku tinggalkan mereka berdua ke luar ruangan. Aku ngasih kesempatan mereka untuk berbicara.

Setelah beberapa saat, aku kembali ke ruangan. Tapi aku terhenti karena dari kejauhan yang kebetulan agak gelap, kulihat mereka tidak lagi berbicara, tapi saling berciuman kaya mau bercinta. Aku urungkan niatku untuk masuk, memberi kesempatan bagi mereka sambil aku menjaga setuasi kalau ada penjaga yang akan masuk. Aku nikmati permainan live show dengan lebih mendekat sehingga suara mereka terdengar tanpa perlu ngintip, karena kebetulan ada lubang yang kemungkinan bekas loket yang ditutup tidak sempurna, masih ada celah yang cukup lebar. Jarak aku dan mereka hanya beberapa meter saja sehingga suara mereka terdengar cukup jelas.

Kelihatan mereka mulai horny, mas Slamet tangannya mulai masuk di blus mbak Lasmi. “Ma, aku pingin ngentot.“ minta mas Slamet penuh nafsu.

“Tapi, Pa... apa mungkin? Nanti ketahuan, malah repot.” jawab mbak Lasmi menahan nafsu juga.

“Tidak masalah, kita kan dikasih waktu seperempat jam, ayo... Ma!” bujuk mas Slamet sambil menciumi mbak Lasmi.

“Tapi cepet aja ya, Pa... aku kurang tenang.” kata mbak Lasmi.

“Iya, yang penting ini masuk aja.” kata mas Slamet sambil menurunkan celana dan menunjuk kontolnya yang sudah tegang.

“Kalau polisi atau Fariz tahu, gimana, Pa? Nanti papa dihajar.” kata mbak Lasmi kurang tenang.

“Ya... kalau mereka tahu, paling mereka ikut ngentot mama. Hahaha...” kata mas Slamet bercanda mesum.

“Memangnya papa ikhlas kalau mama dientot orang lain?” kata mbak Lasmi mulai terbawa suasana.

“Ya gimana mama aja, yang penting saat ini pejuhku bisa muncrat.“ kata mas Slamet.

Mereka mulai bercinta meskipun kelihatan mbak Lasmi kurang tenang. Mulut mereka masih saling lumat. Mas Slamet kelihatan kurang sabar, tangannya langsung masuk di blus mbak Lasmi dan menaikkan blus tersebut sehingga tetek mbak Lasmi yang masih tertutup bra, yang bikin aku pusing kemarin, terlihat.

“Sebentar, Pa.“ kata mbak Lasmi sambil melepas branya, meloncatlah tetek yang super mantap itu. Entah gimana caranya, tahu-tahu bra sudah di tangan mbak lasmi dan dimasukkan ke tasnya.

Mas Slamet dengan rakus memainkan tetek itu dengan tangan dan mulut serta lidahnya. “Kangen ya, Pa, sama tetekku?“ kata mbak Lasmi. Mas Slamet hanya mengangguk, tetap menikmati tetek istrinya seperti anak kecil dapat mainan baru.

“Sudah, Pa. Pingin yang lain tidak?” kata mbak Lasmi sambil berdiri dan menurunkan celana dalamnya sampai di bawah dengkul. Terpampanglah memek yang tembem dan rimbun seperti gunung Lawu.

“Ma, kok rimbun banget ya? Papa pingin besok di rumah, mama gunduli itu jembut... untuk syukuran kebebasanku, papa akan gunduli juga kontolku.” kata mas Slamet sambil mengamati memek mbak Lasmi dan terus menjilatnya.

Mbak Lasmi kelihatan sudah enjoy menikmati kelakuan sang suami, mulai terdengar erangannya yang tertahan. ”Eghmm... Pah!”

Aku yang menyaksikan tidak kuat, aku benar-benar horny. Tapi mau bagaimana? Aku berpikir pingin masuk dan langsung ikut ngentot, tapi aku tidak berani.

Mbak Lasmi sekarang duduk di kursi dengan posisi tetek dan memek terpampang bebas. Mas Slamet sudah tidak tahan mau ngentot wanita itu. “Sebentar, Pa.“ kata mbak Lasmi sambil melumat kontol mas Slamet, membasahinya agar nanti lancar saat dimasukkan ke dalam memek.

“Ma, aku sudah tak tahan, mau keluar di memek mama!“ jerit mas Slamet tertahan.

Karena posisi kurang nyaman, akhirnya mbak Lasmi telentang di lantai. Aku berpikir, kalau sudah nafsu, dimanapun jadi. Kaki mbak Lasmi dikangkangkan sehingga memeknya yang tembem menjedol minta ditusuk. Mas Slamet memegang kaki mbak Lasmi karena kurang leluasa, akhirnya celananya ia lepas. Aku khawatir juga kalau ada penjaga yang datang, mereka tidak bisa cepat memakai, tapi aku tetap menikmati tontonan ini. Mas Slamet menciumi muka mbak Lasmi yang masih tertutup jilbab, tangannya menopang tubuhnya dan salah satunya memainkan tetek mbak Lasmi secara bergantian.

“Mas, ayo entot aku. Memekku pengin ditusuk,“ pinta mbak Lasmi parau.

Tanpa disuruh dua kali, mas Slamet langsung mengarahkan kontolnya ke memek mbak Lasmi. Dengan sekali hentakan, kontol itu tertelan masuk ke dalam. Ternyata mudah ya ngentot itu, pikirku. Mereka saling menggoyang maju mundur dengan cepat dan penuh nafsu, tanpa henti, kira-kira beberapa menit. Lalu kemudian...

“Ma, aku mau keluar.” kata mas Slamet ngos-ngosan.

“Iya, Pa, aku juga. Memekku siap menerima semprotanmu.” sahut mbak Lasmi.

Mereka kembali berpacu sambil terengah-engah. Akhirnya, dengan sedikit teriakan yang tertahan, mereka mengejang dan kelihatan mas Slamet menekan kontolnya semakin dalam, seolah-olah tidak pengin lepas. Demikian juga mbak Lasmi, mereka kelihatannya sudah orgasme berbarengan, terlihat mereka langsung terkapar lemas. Menyadari waktu yang tidak banyak tersisa, mereka mulai bangun dan berpakaian.

“Terima kasih, Ma... sekarang papa puas.” kata mas Slamet sambil meremas-remas tetek mbak Lasmi yang menggelantung indah.

“Sama-sama, Pa. Memek mama juga sudah tidak gatel karena sudah ditusuk.” canda mbak Lasmi.

Setelah itu mbak Lasmi melepas CD-nya untuk digunakan mengelap memeknya dan kontol mas Slamet karena memang cairan kenikmatan mereka keluar sangat banyak. Mbak Lasmi merapikan kembali baju panjangnya, sementara mas Slamet menaikkan kembali celananya. CD mbak Lasmi yang kotor oleh cairan, dimasukkan ke dalam tas bercampur dengan bra.

“Tidak dipakai, Ma?” tanya mas Slamet.

“Nanti lengket kotor, Pa. Kan juga nggak kelihatan, baju mama panjang dan lebar.” kata mbak Lasmi.

“Iya, benar sih. Tapi nanti kan mama bonceng Fariz, nanti dia tahu kamu tidak pakai bra, apa tidak malu?” kata mas Slamet.

“Nggak masalah, Pa. Ya kalau Fariz merasa, anggap aja sedekah karena dia sudah nolongin kita selama ini, hahaha...” canda mbak Lasmi.

Aku menahan nafsu mendengarnya, tapi apa daya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Supaya tidak ketahuan, aku segera menjauh dari situ sambil pura-pura melihat poster di dinding. Saat mbak Lasmi keluar mencariku, aku segera mendekat sambil menyapanya, ”Ada apa, mbak?”

“Yuk, kita pulang dulu.” kata mbak Lasmi.

Aku mengikuti masuk ke ruang tersebut, terbayang mbak Lasmi tanpa bra dan celana dalam, kelihatan semakin cantik. Kelihatan mas Slamet sudah rapi meskipun kelihatan mereka agak kelelahan. Dan setelah itu kita pamit. “Mas, aku pulang dulu ya?” kataku.

“Makasih ya, Riz, kamu telah membantu mbakmu. Aku tidak bisa membalasnya,” kata mas Slamet.

“Sama-sama, mas, kan aku saudara sendiri.“ kataku berusaha sok tulus.

“Tapi jangan sampai ganggu kuliahmu lho. Kalau perlu atau pingin apa-apa, minta aja sama mbakmu.” kata mas Slamet.

“Iya, mas.“ jawabku singkat untuk memberi kesempatan mereka bicara.

“Pa, aku pulang dulu ya? Yang sabar disini,” kata mbak Lasmi.

“Iya, Ma. Kamu juga hati-hati di rumah, kalau perlu bantuan, ngomong sama Fariz saja. Tapi kalau dia perlu atau pingin apa, kamu usahakan.” pesen mas Slamet.

Akhirnya kita keluar dari Polresta, kita diam pada pikiran masing-masing. Mbak Lasmi bonceng tetap melingkarkan tangannya di pinggangku sehingga otomatis teteknya yang tidak pakai bra menempel ketat di punggungku. Terasa sangat empuk, beda dari waktu berangkat tadi. Mbak Lasmi tidak menyadari atau sengaja, aku tidak tahu. Di perjalanan, aku lebih berkonsentrasi pada rasa di punggungku yang hangat-hangat kenyal daripada jalanan di depan yang sepi dan lengang.

Akhirnya mbak Lasmi ngomong, “Riz, kita makan dulu yuk?”

“Nggak usah, mbak. Aku kalau sama mbak kenyang terus, haha...” candaku.

“Kok bisa, Riz?” tanya mbak Lasmi heran.

“Maaf, mbak. Kan aku minum susu terus meskipun cuma punggungku.” jawabku semakin kurang ajar.

Mbak Lasmi tertawa. ”Kamu bisa aja,”

“Mbak, kok rasanya beda ya dari waktu berangkat tadi, lebih empuk?” tanyaku.

“Haha... kamu ngerasa to, Ris?” jawab mbak Lasmi agak malu-malu.

“Ya pasti to, mbak. Aku kan punya kulit yang bisa merasakan. Kok empuk, mbak, apa mbak kedinginan?” tanyaku sok bloon.

“Maaf, Riz, sebenarnya aku malu ngomong ini. Mbak sekarang tidak pakai bra, tadi mas Slamet minta netek. Daripada repot, ya mbak lepas aja, sekarang belum sempat makai. Apa berhenti dulu di pom bensin? mbak pakai dulu kalau kamu tidak nyaman,” cerocos mbak Lasmi.

“Jangan, mbak, begini malah lebih nikmat.” kataku semakin berani.

“Haha… kamu bisa aja, Riz. Atau jangan-jangan, kamu pingin netek juga ya?” tanya mbak Lasmi memancing.

“Nggak kok, mbak, nggak pingin. Tapi... puingin buanget!” jawabku penuh harap.

“Hush, jangan ngawur. Kamu kenyang apa kentang?“ kata mbak Lasmi sambil mengelus kontolku.

Aku semakin berani, “Aku pingin ini.“ kataku sambil tanganku memegang memeknya dari luar gamis karena terbawa nafsu.

Tapi ini jadi fatal, karena mbak Lasmi langsung memukul sambil berkata agak keras. “Kurang ajar kamu, Riz, kamu anggap aku ini apa?!”

“M-maaf, mbak... maaf. Saya tidak bermaksud begitu.” kataku penuh melas.

“Iya.” jawab mbak Lasmi ketus.

Aku merasa bersalah. Selama perjalanan, kita diam. Akhirnya sampai depan rumahnya, aku turunkan mbak Lasmi.

“Maafkan kelancanganku tadi, mbak. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” kataku pelan.

“Iya.” jawab mbak Lasmi tanpa melihatku, kelihatan begitu kecewa.

Aku berpikir, haruskah berakhir seperti ini? Tidak, harus dilanjutkan…

***

HADIAH YANG SEBENARNYA

Kumasukan motor ke rumah. Di kamar, aku mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan mbak Lasmi yang sedang marah. Aku kecewa merasakan kelancangan dan kegagalanku saat ini. Akhirnya aku berpikir harus menyelesaikan malam ini juga. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah mbak Lasmi. Berani nggak, berani nggak? Mengapa nggak berani, aku kan seorang lelaki. Entah apa yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah lewat tempat biasa: jendela.

Aku mendatangi rumah mbak Lasmi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya, "Mbak Lasmi, aku Fariz." kataku lirih.

Terdengar gemerisik suara orang berjalan, lalu sepi. Mungkin mbak Lasmi masih belum tidur dan takut. Bisa juga mengira aku maling. "Aku Fariz, mbak." kataku lagi.

Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. "Lewat samping!" kata mbak Lasmi.

Aku segera menuju ke samping, ke pintu ruang keluarga. Pintu terbuka, aku masuk, pintu lalu kututup kembali. Malam itu, mbak Lasmi mengenakan daster di atas dengkul warna merah yang kontras dengan kulitnya yang putih dan bersih dengan seutas tali yang dikaitkan di leher sehingga teteknya yang montok kelihatan menantang, mungkin ini baju tidur kesukaannya. Jilbabnya sudah ia lepas, rambutnya yang lurus sebahu tergerai indah membingkai wajah cantiknya. Ada bau harum sabun mandi, kelihatannya mbak Lasmi baru mandi, maklum tadi sore habis dipakai mas Slamet. Aku langsung terangsang, pingin memperkosanya, tapi aku sadar aku kesini untuk minta maaf, bukan buat masalah lagi. Aku duduk di ruang santai tempat pertunjukan kemarin, aku tidak berani melihat, hanya berani melirik mbak Lasmi, kita berdua diam tanpa kata. Akhirnya kuberanikan bicara.

“Mbak, maafkan aku atas kekurangajaranku tadi.” kataku penuh harap.

“Iya, Riz. Mbak juga salah telah membuat kamu kecewa, kamu kan yang paling perhatian kepadaku.” kata mbak Lasmi.

”Iya, mbak.” aku mengangguk, sedikit lega dengan jawabannya.

“Aku salut sama kamu, memang lelaki harus berani bertanggung jawab.” sambung mbak Lasmi.

Aku tambah lega, tidak ada jarak lagi diantara kita.

“Riz, kamu kesini mau apa?” tanya mbak Lasmi.

“Hanya pingin minta maaf, mbak.” jawabku mantap.

“Iya, sudah mbak maafkan dari tadi, Riz… kamu pingin minta apa, tadi mas Slamet kan sudah pesan kalau perlu apa-apa ngomong langsung aja sama mbak.” tanya mbak Lasmi dengan suara parau, terlihat ada sesuatu yang ditahan.

“Iya, mbak, makasih banget. Aku kesini tidak pingin apa-apa, aku sudah lega kalau mbak maafin aku. Kalau begitu aku pulang dulu, mbak.“ kataku sambil berdiri.

Mbak Lasmi ikut berdiri, kami lalu bersalaman. Aku berjalan ke pintu, mau membukanya, saat tiba-tiba... “Riz, sebentar...” panggil mbak Lasmi dengan suara tertahan.

Aku langsung membalik tubuhku, menghadap ke arahnya yang berdiri agak ragu. “Iya, mbak?” jawabku penuh tanda tanya.

“Aku percaya ada yang kamu inginkan, tapi tidak berani berucap.” kata mbak Lasmi, aku hanya diam kaya patung.

“Kamu mau ini, Riz... hadiah untukmu.” lanjut mbak Lasmi. Aku tetap diam tak berkedip saat melihat tangan mbak Lasmi melingkar ke belakang leher sehingga teteknya yang montok makin kelihatan menantang. Dengan sedikit tarikan, ia melepas tali daster dan membiarkan kain berwarna merah itu meluncur ke bawah. Aku kaget dan terpana karena mbak Lasmi langsung bugil total, ternyata dari tadi dia tidak pakai daleman. Kuperhatikan tubuh indahnya dari atas sampai bawah, teteknya yang montok langsung terekspos dengan jelas, sangat menantang untuk dijamah. Dan astaga! memeknya yang tembem sekarang jadi gundul. Kemana gerangan jembut lebat yang kulihat tadi siang?

Aku masih terpana, tidak mampu bergerak. Yang bisa bereaksi cuma kontolku, benda itu mulai berontak dan menegang saat melihat pemandangan indah itu. Tapi aku tidak berani berbuat apapun. Mbak Lasmi berjalan mendekatiku, teteknya yang montok bergoyang-goyang saat ia melangkahkan kaki. Aku hanya mematung saat mbak Lasmi mengambil inisiatif dengan langsung menarik kaosku ke atas hingga terlepas. Ia kemudian jongkok dan menarik turun kolor dan CD-ku. Aku sedikit mengangkat kakiku, memudahkan mbak Lasmi melepasnya. Ia melempar celanaku entah kemana. Kontolku yang sudah ngaceng berat langsung meloncat dan berdiri tegak bagai tongkat. Berdua, di ruang tengah rumah mbak Lasmi, kami sama-sama bugil sekarang.

Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Aku nggak tahan lagi, segera kupeluk tubuh montok mbak Lasmi erat-erat. Kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya, dengan lembut dan mesra, tapi penuh nafsu. Mbak Lasmi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.

"Maaf, mbak, aku pingin banget kaya kemarin." bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora.

“Riz, akan aku kasih yang lebih dari kemarin. Jamahlah tubuh mbak sesukamu, mana yang kamu mau, tubuh mbak semua untukmu!” kata mbak Lasmi.

“Iya, mbak. Tapi ajari aku ya, karena ini baru pertama.” kataku memohon.

“Kamu memang anak baik, Riz. Jangan terburu-buru, ikuti naluri saja.” terang mbak Lasmi. Aku ditariknya ke tempat tidur. Mbak Lasmi kemudian membaringkan dirinya. Aku langsung menubruknya.

“Riz, jangan terburu-buru. Nodai dulu bibirku.“ kata mbak Lasmi sambil menyorongkan mulutnya. Aku menyambutnya. Bibirnya terasa hangat dan lembut. Aku yang baru pertama berciuman, dengan kasar melakukannya, asal sedot dan lumat saja. Mbak Lasmi dengan santai mengajariku, aku mengikutinya. Hingga beberapa menit kemudian, kita bisa saling lumat dan hisap dengan lebih nikmat.

“Enak, Riz?” kata mbak Lasmi dengan sedikit senyum. Aku hanya bisa mengangguk. Dia kemudian mendorong tubuhku ke atas. “Ini yang menempel di punggungmu tadi, Riz. Nikmatilah, jangan bengong aja.” kata mbak Lasmi sambil menyorongkan teteknya yang besar dan bulat.

Aku tidak tahan lagi, segera kujamah buah dada yang kenyal dan empuk itu. Ukurannya benar-benar besar, sampai tanganku tidak muat menangkup semuanya. Aduh! terasa nikmat sekali. Kuelus bulatan daging itu dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Putingnya terlihat memerah dan menggemaskan. Kuciumi, kukulum, kubenamkan wajahku di kedua bulatan mungil itu, sampai aku tidak bisa bernapas. Aku mainkan buah dada mbak Lasmi sesuai naluri dan teori dari film bokep yang sering kulihat. Mbak Lasmi terlihat menikmati sambil sedikit mengarahkan kalau aku berbuat salah.

“Riz, biar wanita bisa horny kalau teteknya dimainin kayak gini,” kata mbak Lasmi, “kamu mulai dari bagian bawah dulu, jangan langsung kamu sentuh bagian putingnya.” terangnya.

Aku hanya menurut seperti anak TK yang nurut sama ibu gurunya. Mulai kujilati bagian bawah tetek mbak Lasmi yang besar, melingkar dari kanan ke kiri. Kelihatan puting mbak Lasmi tambah menjulang saat aku melakukan itu, mungkin ia benar-benar horny, mbak Lasmi terlihat menikmatinya. Tanpa diduga, aku langsung menyedot dan melumat putingnya secara bergantian. Mbak Lasmi kaget tapi tidak menolak. Dia malah berkata, ”Pinter kamu, Riz. Ughh... enak banget!”

Aku masih memainkan tetek mbak Lasmi sesukaku. Istri mas Slamet itu membiarkan dan menikmatinya sambil mengelus kepalaku penuh kasih sayang, seperti perlakuan seorang ibu pada anak bayinya yang lagi netek. Aku tidak bosan-bosannya memainkan gundukan padat itu dengan mulutku, sementara tanganku mulai merogoh memeknya. Saat kurasakan benda itu jadi licin, tak tahan aku bertanya. “Kok gundul, mbak, nggak takut banjir?” tanyaku konyol.

”Spesial untukmu, Riz. Biar bersih, biar kamu tahu gimana bentuk memek yang sebenarnya, kamu kan baru belajar.” jawab mbak Lasmi sabar.

”Iya, mbak.” kubelai dan kuusap-usap belahan tembem itu. Kutusukkan jari telunjukku ke lubangnya yang sempit, terasa sangat hangat dan basah disana.

“Riz, mbak tidak kuat lagi. Jilati memekku, Riz!” pinta mbak Lasmi sambil mendorongku ke bawah.

“Kok basah, mbak?” kataku penuh nafsu. Kupandangi bibir vaginanya yang terlihat merah mengkilat karena terlumasi cairan.

“Nikmati, Riz, mainin itilku!” kata mbak Lasmi tanpa menjawab pertanyaanku. Dia membuka kakinya makin lebar, membuat belahan memeknya makin jelas terlihat. Lorongnya yang sempit berwarna merah cerah, hampir kekuningan. Terasa berkedut-kedut ringan saat aku merabanya.

Kuikuti perintah mbak Lasmi. Segera aku jongkok dan menghisap benda itu. Mbak Lasmi mengarahkan jilatanku yang masih kasar dan asal dengan membuka bagian atas memeknya. Karena memang memeknya gundul, maka segera terpampanglah daging kecil berwarna merah sebesar biji kacang miliknya. Aku pikir, ini pasti itil yang ia maksud. Langsung kujilat dan kumainkan benda itu. Mbak Lasmi hanya bisa mendesah sambil berkata, ”Iya, begitu, Riz! Jilat terus. Sedot. Lumat itilku dengan mulutmu, Riz!”

Aku mainin terus itil itu. Terasa ada cairan yang membasahi memek mbak Lasmi dengan aroma yang khas, benar-benar menambah sensasiku. Semakin kupercepat jilatanku, semakin Mbak Lasmi tidak tahan. Hingga akhirnya ia menarik tubuhku dan kembali menciumiku bertubi-tubi. Terasa teteknya yang bulat padat mengganjal tepat di dadaku.

“Riz, masukin kontolmu. Entot aku. Tusuk memekku, Riz!” kata mbak Lasmi seperti tante girang. Dia segera menggenggam dan mengocok-ngocok pelan batang penisku, dari ujung hingga ke pangkalnya. Aduh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku jadi nggak sabar lagi.

Kaki mbak Lasmi kukangkangkan lebar-lebar, aku coba langsung memasukan penisku ke memeknya seperti mas Slamet tadi, tapi meleset terus.

“Hehe... aku percaya kamu memang baru pertama, Riz.” kata mbak Lasmi. ”Mbak akan nikmati perjakamu,” sambil tersenyum, dia membimbing penisku untuk memasuki liang memeknya yang sudah basah. Digesek-gesekannya ujung penisku di bibir memeknya, makin lama semakin terasa basah, hingga ketika kudorong pelan, sudah bisa agak sedikit masuk, meski masih tetap sulit. Memek mbak Lasmi terasa sangat sempit. Dia dengan sabar terus membimbingku.

“Pelan-pelan aja, Riz. Kontolmu besar lebih dari milik mas Slamet.” bisik mbak Lasmi gembira.

“Memek mbak sempit banget, kontolku muat nggak, mbak?” tanyaku kaya orang bego.

Mbak Lasmi tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil terus membimbing kontolku memasuki lubang memeknya. Aku sendiri terus menekan dengan pelan, hingga akhirnya kontolku masuk semakin dalam, semakin dalam... sudah setengah terbenam, kutekan terus... lagi, lagi, dan lagi, dan akhirnya... tinggal sedikit lagi, lalu... penuh nafsu, blees! kutekan kontolku keras-keras hingga semuanya terbenam ke dalam memek mbak Lasmi yang tembem.

“Auw, pelan-pelan, Riz… sakit!” teriak mbak Lasmi tertahan. Aku hanya diam, membiarkan penisku tetap menancap. Terasa nikmat kurasakan, kontolku seperti dijepit sesuatu yang tidak tergambarkan; hangat, basah, geli, lengket, dan berkedut-kedut. Melenguh keenakan, kunikmati lubang memek mbak Lasmi.

“Riz, memek mbak jadi penuh banget, kontolmu mantap!” teriak mbak Lasmi.

“Ehm, memek mbak juga enak banget! Masih sakit, mbak?” tanyaku sambil memainkan puting susunya.

“Sebentar, Riz, jangan bergerak dulu. Biar kelamin kita kenalan dulu, kontolmu terlalu besar, memekku jadi kaget.” kata mbak Lasmi.

”Iya, mbak.” aku mengangguk.

Kita tetap dalam posisi seperti itu selama kurang lebih lima menit, hingga kemudian mbak Lasmi berkata, ”Riz, aku siap digoyang.” bisiknya mesra.

Aku pun mulai menggerakkan pinggulku naik-turun dengan pelan seperti yang kulihat dilakukan oleh mas Slamet. Aku melakukannya dengan teratur. Aduh, nikmat sekali rasanya. Penisku rasanya dijepit erat oleh kemaluan mbak Lasmi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, makin erat memek itu mencekik kontolku. Aku terus menggerakkannya keluar-masuk, turun-naik, kadang memutar dan kutekan dalam-dalam dengan penuh nafsu, menggesek dinding kelamin mbak Lasmi hingga membuatku kami merintih keenakan.

"Aduh, Riz, Fariz... enak sekali! Yang cepat... terus, ya begitu!" bisik mbak Lasmi sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi genjotanku. Suara memek mbak Lasmi makin kecepak-kecepok, menambah semangatku. "Riz, aku mau muncak... terus... terus!" rintihnya.

Aku juga sudah mau keluar, ada sesuatu yang mau meledak di ujung kontolku. Aku percepat goyanganku, dan penisku merasa akan segera muncrat. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina mbak Lasmi sampai amblas, mentok seluruhnya. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat, menyembur berkali-kali di dalam vagina sempit mbak Lasmi.

Bersamaan dengan itu, mbak Lasmi mengejang. Terasa basah di ujung kontolku. Rupanya dia juga orgasme. Kami berangkulan kuat-kuat, nafas kami seakan berhenti. Saking nikmatnya, dalam beberapa detik, nyawaku seperti melayang entah kemana. Aku ambruk di atas tubuh montok mbak Lasmi untuk beberapa saat menikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih mendera.
Setelah rasa itu hilang, barulah kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berdiam diri, mengatur napas kami masing-masing. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.

“Terima kasih, mbak, hadiahnya. Tidak akan terlupakan,” bisikku di telinganya.

“Iya, Riz. Mbak juga puas. Mbak bisa keluar lepas, tidak seperti tadi sama mas Slamet.” kata mbak Lasmi keceplosan.

“Memangnya tadi sempat ngentot sama mas Slamet?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Eh, nggak, nggak, Riz!” kata mbak Lasmi gelagapan, mukanya merah padam, menambah kecantikannya.

“Mbak cantik deh kalau lagi bohong,” rayuku. ”Tapi mas Slamet ahli ya, mbak? Tanpa bantuan nyoblos, langsung bisa masuk.” lanjutku.

“Kamu kurang ajar ya, Riz! Berarti kamu tadi ngintip... kamu memang kurang ajar,” kata mbak Lasmi berlagak marah.

“Salah sendiri, ngentot di tempat gituan. Beralaskan lantai apa enaknya? Aku tidak ngintip, aku lihat kok.” candaku.

“Iya, Riz, aku ngaku. Habis tadi tidak tahan. Kasihan mas Slamet, mosok punya istri harus pakai tangan?” akhirnya mbak Lasmi mengakui perbuatannya. “Tapi kamu memang kurang ajar, Riz. Mosok suamiku di sel, istrinya kamu nodai!” katanya kemudian.

“Biarin, wong ini mbak juga gatel.” kataku sambil membelai memeknya.

“Kamu kebablasan, Riz.“ teriak mbak Lasmi sambil berdiri.

Aku kaget dengan responnya. Langsung aku diam, apa aku salah lagi? Mbak Lasmi bikin pusing saja. Aku masih terlentang diam, sementara dia mulai bergerak mengangkangi tubuhku. Bisa kulihat sisa-sisa spermaku masih menetes-netes di celah-celah belahan memeknya.

“Ini, kubalas kekurang-ajaranmu!” maki mbak Lasmi. Dia lalu memegang kontolku yang masih lesu, terus dijilat dan langsung ditelannya tanpa rasa jijik. Mendapat perlakuan seperti itu, kontolku langsung berdiri tegak menjulang.

“Mbak, jadi berdiri lagi, gimana ini?” rengekku pura-pura lugu.

“Dasar, kontol muda nggak ada matinya!” maki mbak Lasmi sambil menggenggamnya erat. Dia langsung naik ke atas tubuhku, memeknya berada tepat di depan kontolku. Tanpa permisi, mbak Lasmi menurunkan tubuhnya, batang kontolku langsung amblas ditelan mekinya.

“Mbak, ughh… sakit, mbak!” kataku.

“Biarin, rasakan pembalasan atas kekurang-ajaranmu!” kata mbak Lasmi sambil mulai bergoyang tak beraturan. Teteknya yang besar bergoyang ke kanan dan ke kiri kayak mau jatuh. Aku nikmati pertunjukan ini.

Mbak Lasmi seperti kesetanan. Aku rasakan meskipun badannya gemuk, kalau begini rasanya enteng. “Riz, jangan bego gitu, remas tetekku!” teriaknya gemas. Aku diam saja, mosok aku dikatakan bego?!

“Kalau kamu kurang, rasakan ini!” kata mbak Lasmi sambil menghentikan goyangannya. Terasa ada pijatan kuat yang menjepit batang kontolku, seolah-olah membetot dan menyedot spermaku. Dia melakukannya berulang-ulang hingga membuatku merintih dan menggelinjang keenakan.

“Mbak, enak banget... aku tak kuat!” teriakku tertahan. Segera kugapai gundukan payudaranya dan kuremas-remas dengan penuh nafsu.

“Gimana empot ayamku, Riz?” kata mbak Lasmi sambil tersenyum.

“Enak banget, mbak, lagi dong!” pintaku sambil memilin-milin putingnya.

Mbak Lasmi langsung mengeluarkan jurus empotannya yang bikin kontolku panas dingin tak karuan. Aku nikmati sambil merem melek dan memenceti terus tonjolan buah dadanya berulang-ulang.

“Riz, kamu kuat juga, biasanya mas Slamet kalau aku ginikan langsung nyembur.” puji mbak Lasmi.

“Darah muda, mbak.” sahutku.

“Riz, ayo goyang. Mbak udah mau nyampai, kita barengan lagi.” ajak mbak Lasmi.

Tanpa diminta lagi, aku mainkan memek mbak Lasmi. Kubalik tubuh sintalnya hingga ia sekarang berada di bawah, lalu aku hajar memeknya bertubi-tubi. Mbak Lasmi mengimbangi dengan memutar pinggulnya berlawanan arah dengan genjotan tubuhku. Kami terus melakukannya hingga akhirnya ada sesuatu yang mau mendesak keluar dari dalam batang kontolku.

“Mbak, aku mau nyampe. Siram dong kontolku!” kataku sambil balik lagi telentang, mbak Lasmi kembali berada di atas tubuhku. Dia tanpa kompromi langsung menggoyang, dan aku mengikutinya. Hingga akhirnya...

“Riz, mbak mau keluar!” teriak mbak Lasmi.

“Aku juga... barengan, mbak!” kataku menyahut. Kuikuti goyangan mbak Lasmi sambil menyodok memeknya semakin dalam saat sesuatu yang basah dan hangat menyembur keluar, mengguyur kontolku hingga terasa semakin licin dan lengket.

“Aku keluar, Riz!” teriak mbak Lasmi tertahan. Tubuh sintalnya terkejang-kejang seiring semprotan cairan dari dalam liang vaginanya.

Aku yang juga sudah di ujung orgasme, langsung membalik dan mengenjotnya tanpa ampun, dan baru berhenti saat spermaku yang kental menyembur untuk yang kedua kali di dalam memek mbak Lasmi.

Kami kembali roboh berpelukan. Karena kecapekan dan kepuasan, aku tertidur di atas tubuh montok mbak Lasmi dengan kontol tetap menancap di lubang memeknya. Setengah jam kami tidak sadar. Kami terbangun bersamaan saat merasakan kontolku menciut dan akhirnya lepas dengan sendirinya. Aku terlentang seperti tidak ada tenaga.

“Riz, mau lagi?“ tawar mbak Lasmi sambil tersenyum.

“Siap, mbak, sampai pagi pun siap!” kataku mantap.

“Uh, maunya! Sana kamu pulang, sudah jam satu. Nanti malah ketahuan ronda kampung, malah repot.” suruh mbak Lasmi sambil mengecup pipiku.

“Sekali lagi, mbak, please...” pintaku memelas.

“Besok aja mbak kasih lagi, sekarang pulanglah!” kata mbak Lasmi sambil berdiri dan keluar dari kamar.

Akhirnya aku nurut. Terlihat mbak Lasmi memunguti baju dan celanaku dan menyuruhku untuk memakainya, sementara dia masih tetap telanjang. Aku pakai bajuku dan duduk sambil istirahat melihat mbak Lasmi yang masih telanjang mengambilkan minum untukku.

“Ini, minum dulu biar kuat sampai rumah.” perintahnya sambil duduk di sebelahku, tetap telanjang.

“Rumahku kan di sebelah, mbak. Pacarku mbak Lasmi.” kataku bercanda.

“Riz, mbak minta ini jadi rahasia kita berdua.” kata mbak Lasmi.

“Iya, mbak…” sahutku.

“Kamu bisa minta kapan pun, asalkan pas suamiku tidak ada.” kata mbak Lasmi lagi. “Kamu boleh nikmati tubuhku, bibirku, tetekku dan memekku, semuanya untukmu... tapi ingat, jangan mencintai aku. Hatiku hanya untuk mas Slamet!” sambungnya penuh nasehat.

“Berarti ini hanya untuk nafsu saja, mbak?” tanyaku.

“Ya, begitulah. Kita sama-sama puas. Kamu bisa belajar dariku, tapi jangan sampai hal ini membuatmu gagal kuliah, mbak akan sangat kecewa.” kata mbak Lasmi.

“Ok, guruku yang binal dan bahenol.” jawabku bergurau.

“Sekarang pulang sana, brondongku. Besok tak kasih lagi jepitanku,” suruh mbak Lasmi.

“Pulang dulu ya, tante girang. Besok kusobek-sobek memekmu.” kataku sambil berdiri. Dengan berat hati, aku pergi meninggalkan mbak Lasmi. Aku masuk rumah lewat jendela dan langsung menuju kamar. Aku berusaha tidur sambil menyesali ketidak-perjakaanku. Tapi memang benar-benar enak memek tembem mbak Lasmi.

Aku bangun kesiangan dan langsung ke kampus dengan semangat akibat motivasi dari mbak Lasmi. Aku tidak mau mengecewakan orang tua dan mbak Lasmi. Selama tiga hari berikutnya, aku setiap malam ke rumah mbak Lasmi, tetapi dia selalu menanyakan tugasku sudah selesai belum. Kalau sudah selesai, baru kita mencari kepuasan. Sudah banyak cara dan gaya yang mbak Lasmi ajarkan, dan aku merasa menjadi lelaki kuat. Tapi aku tetap tidak berani macam-macam kalau mbak Lasmi tidak meminta.

Hari pertama berikutnya, tepat jam sepuluh malam, aku datang. Seperti biasa, kita ngobrol sebentar baru kemudian mulai ngentot. Tapi mbak Lasmi minta situasi gelap, jadi kita melakukannya di kamar tanpa ada cahaya sedikitpun. Malam itu, seperti biasa, dua kali kita keluar berbarengan.

Hari kedua, aku sengaja datang agak cepat, jam setengah sepuluh. Aku langsung masuk ke rumahnya, terdengar suara gemericik air di kamar mandi. Kelihatannya mbak Lasmi baru mandi. Pintu kamar mandi tidak tertutup, sehingga aku dapat melihat mbak Lasmi yang sedang menggosok-gosok tubuh sintalnya dengan sabun. Aku langsung pengin mengentotnya, tapi tidak berani. Akhirnya aku ikut telanjang sambil berbicara, ”Mbak, boleh ikut mandi?”

“Hei, ngapain kamu?!” teriak mbak Lasmi kaget saat aku membuka pintu kamar mandi.

“Kalau mandi ya ditutup dong pintunya!” aku membela diri.

Mbak Lasmi tersenyum menyadari keteledorannya. “Sini, Riz, mandi sekalian.” undangnya.

Kami pun mandi bareng sambil saling usap, saling remas dan saling belai hingga akhirnya kami pun tak tahan. Dengan posisi doggy style, kuentot tubuh mulus mbak Lasmi. Dia menungging sambil berpegangan di dinding kamar mandi, sementara aku dari arah belakang menusuknya bertubi-tubi. Ternyata enak sekali, aku bisa remas tetek mbak Lasmi yang menggantung indah dan bisa kulihat wajah cantiknya lewat kaca yang cukup besar di kamar mandi, rasanya jadi tambah hot.

Malam yang dingin itu jadi panas penuh gairah oleh nafsu kami berdua. Aku dan mbak Lasmi keluar bersamaan waktu doggy style. Dan setelah itu kita mandi lagi sebelum coba posisi 69 setelah berpindah ke depan TV. Memang setelah mandi ada rasa yang lain karena memek mbak Lasmi jadi lebih harum, aku semprotkan spermaku di mulut mbak Lasmi, sementara memek mbak Lasmi banjir di mulutku. Sebelum pulang, kami lakukan posisi normal: aku di atas, mbak Lasmi di bawah, tapi terasa lebih enak. Malam itu aku sama sekali tidak melihat mbak Lasmi pakai baju. Setelah puas mengentotinya, aku pulang.

Malam ketiga merupakan malam terakhir sebelum kepulangan mas Slamet. Sengaja agak malam aku datang, sekitar jam sebelas. Mbak Lasmi kelihatan sudah menungguku. Sebelum aku sampai, dia sudah membukakan pintu. Dengan kesal mbak Lasmi berkata, ”Jadi kering nih memekku, Riz, apa sudah bosen?”

“Maaf, mbak, ada tugas kuliah yang harus kukerjakan.“ alasanku biar mbak Lasmi tidak marah.

“Ya sudah, tapi malam ini kamu harus temani mbak sampai pagi.” pintanya sambil membuka baju dan jilbabnya.

“Ok, mbak, siapa takut?” jawabku mantap.

Malam itu kita ngentot di ruang tengah, diawali dengan melihat VCD bokep koleksi mbak Lasmi, dan kita ikuti semua gaya yang dicontohkan disitu, kecuali anal, memang aku tidak suka dan mbak Lasmi juga tidak mau, terlalu jorok katanya.

Setelah selesai, mbak Lasmi berkata. ”Riz, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu.”

“Tapi, mbak, aku belum siap jadi bapak.” tanyaku agak cemas.

“Yang tahu bapaknya siapa kan hanya aku sendiri, dengan siapa aku membuat anak," katanya sambil mencubitku.

“Mbak, malam ini terakhir bagiku ya?“ tanyaku.

“Jangan khawatir, Riz. Ingat, tubuh mbak kan milikmu, jadi memek mbak tetep kangen sama kontolmu.” jawab mbak Lasmi mesra.

“Lha mas Slamet gimana?” tanyaku lebih berharap.

“Kalau mas Slamet lagi di rumah, aku milik mas Slamet. Tapi kalau pas dia lagi jalan, memek gatelku ini bisa kamu sodok.” kata mbak Laami sambil memegang memeknya. “Kalau perlu, mbak dipakai bareng-bareng juga kuat kok.” candanya.

“Salome, mbak, satu lobang rame-rame.” balasku.

“Ya tidak begitu. Kan cuma dua; kamu mulut, mas Slamet memek, nanti gentian.“ jawab mbak Lasmi genit.

setelah itu kita ON lagi, kali ini kami melakukannya di kamar mbak Lasmi. Setelah tiga kali orgasme, sebelum pulang, aku sempatkan sodok memek mbak Lasmi sekali lagi saat dia mengantarku ke pintu. Tapi kubuat tidak sampai keluar supaya dia ketagihan. Aku semprotkan pejuh terakhir malam itu di gundukan payudaranya. Setelah itu, aku langsung buka pintu dan pergi meninggalkan mbak Lasmi yang masih menggantung sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Lanjutin pakai tangan dulu ya, mbak.” kataku.

“Kurang ajar kamu, Riz!” umpat mbak Lasmi.

Aku pun pulang dan masuk rumah lewat jendela seperti biasa. Baru juga mau tidur, tapi kok ayamnya sudah berkokok ya? Ketika kulihat jam, ternyata sudah pukul empat pagi. Pantes aja!

Hari-hari berikutnya, selama dua minggu mas Slamet berada di rumah karena masih belum boleh nyetir, masih masa pemulihan katanya. Aku jadinya blingsatan tak karuan, apalagi ketika ketemu mbak Lasmi. Kadang kulihat dia lagi bermesraan di rumah dengan mas Slamet, atau malah kadang-kadang mbak Lasmi seperti sengaja memamerkan tubuhnya yang polos ketika habis mandi waktu aku sedang main catur dengan suaminya. Mbak Lasmi mengejekku sambil menjulurkan lidahnya. Sering dia meremas-remas teteknya sendiri saat aku meliriknya, itu ia lakukan ketika mas Slamet tidak melihat atau lagi diluar rumah.

Ah, dasar. Awas, mbak, tunggu pembalasanku!

Setelah mas Slamet di rumah, memang aku seperti duda dan kembali ke kebiasaan lama yaitu onani, tetapi kadang aku membayangkan ngentot dengan cewek atau artis tapi ujung-ujungnya yang terbayang kebahenolan mbak Lasmi, ditambah setiap hari ketemu entah dalam pakaian komplit maupun terbuka ataupun membukakan diri. Dan koleksi bf-ku sekarang kebanyakan wanita-wanita dengan tetek besar (bigtits).

Kuingat hari itu hari kamis, aku pulang dari kuliah sampai sore. Mbak Lasmi datang ke rumah, ngomong kalau aku dicari mas Slamet, ada yang perlu diomongkan. Hatiku was-was, apa mas Slamet tahu apa yang kami perbuat? Akhirnya setelah aku mandi, aku datang ke rumah mas Slamet. Kulihat mas Slamet duduk santai di meja tamu. Dengan hati-hati aku menyapanya. “Ada apa, mas, kok mencariku?” kataku dengan was-was.

“Anu, Ris, cuma tanya, kamu ada acara tidak malam ini?“ tanya mas Slamet.

“Ti-tidak, mas.” jawabku agak canggung.

“Ini kan malam jum’at, aku mau ajak kamu ritual di Umbul Kendat, Pengging. Itupun kalau kamu mau, sekalian kamu nanti nemani mbakmu.” ajak mas Slamet.

“Iya, mas. Aku besok libur kok. Ngapain ritual segala, mas?” kataku.

“Gini lho, Ris, aku kan baru lepas dari cobaan kemarin dan besok minggu depan aku harus nyetir lagi. Supaya aku lancar dikemudian hari maka harus ritual.” jelas mas Slamet. “Kalau kamu mau, boleh sekalian ikut kungkum sekalian minta apa yang kamu inginkan.” sambungnya.

“Iya, mas, sekalian aku nanti minta cepat lulus dan dapat istri cantik dan bahenol kaya mbak Lasmi, haha...” jawabku keceplosan karena kebetulan kulihat mbak Lasmi keluar dari kamar.

“Kamu bisa aja, Riz. Mau ikut mas slamet?” tanya mbak Lasmi.

“Ya itu, Ris, mbakmu itu kalau tak ajak tidak mau, alasannya takut. Gimana, ma, kalau Fariz ikut, mama mau tidak?” tanya mas Slamet.

“Ok, mas. Kalau gitu kan aku jadi ada temannya. Sekalian aku nanti minta biar kita cepat dapat momongan.” jawab mbak Lasmi.

“Kalau semua mau gini, Riz, nanti jam sembilan kita berangkat naik motor.” ajak mas Slamet.

“Nanti prosesnya gimana, mas?” tanyaku.

“Pokoknya nanti kamu ikuti aku. Kalau misalnya tidak kuat, kamu naik. Nanti setelah aku hampir selesai nanti tak panggil.” jelas mas Slamet.

“Nanti bawa apa?” tanyaku penasaran meskipun aku kurang percaya hal-hal tersebut, tapi yang penting bisa bersama mbak Lasmi.

“Bawa badan sehat aja, Riz. Nanti semua sesaji dan yang lain aku persiapkan.” kata mas Slamet.

“Iya, mas. Aku pamit dulu, nanti kalau mas berangkat, aku susul tapi tunggu dipertigaan.“ kataku.

“Kebetulan, Riz, kamu tunggu di rumah dulu, ada yang perlu dikerjakan sama mas Slamet untuk malam jum’at.” kata mbak Lasmi memancing.

“Apa, mbak, aku kok tidak tahu?” tanyaku.

“Mbak-mu bisa aja, Riz. Biasa, proses membuat momongan.” kata mas Slamet.

Aku langsung tertawa iri membayangkan mbak Lasmi sama mas Slamet akan bercumbu. “Oo… aku baru tahu, monggo. Aku tak pulang dulu.” kataku sambil pamit.

Aku langsung pulang dan masuk kamar, terlihat rumah mas Alamet langsung gelap, perkiraanku mereka langsung bertempur. Aku hanya bisa membayangkan dan berakhir dengan kenikmatan meskipun cuma onani. Aku terkapar beberapa menit kemudian. Kulihat jam sembilan kurang seperempat, aku sekedar mengguyur badan agar bugar lagi sekalian biar bersih. Motor mas Slamet sudah berderu, langsung aku keluar menyusul mereka.

Dipertigaan, mereka menungguku. Terlihat mbak Lasmi membawa tas lumayan besar. Kami pun berangkat. Setelah beberapa saat mengikuti mereka, tibalah kami disebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi, meskipun hanya dekat mungkin sekitar tiga kilo dari rumah kami.

Tempat yang di tepi sungai dimana terdapat sebuah makam yang besar, dan sebuah sumber air kira-kira 10m persegi, penerangan hanya dari sinar bulan yang kebetulan sedang purnama. Aku sebenarnya tidak percaya tahayul, tapi karena diajak, aku mau juga.

“Riz, ini Umbul Kendat yang sering aku kunjungi.” terang mas Slamet.

“Kok sepi, mas?” tanyaku sedikit gimana.

“Sini ramainya kalau sore. Jam segini kebanyakan orang ke Pengging, tapi aku lebih senang disini, lebih khusuk. Kamu ikuti saja aku.” terang mas Slamet. “Nanti kita ziarah dulu di makam kyai sambil minta apa yang kita inginkan, terus kita turun untuk kungkum, setelah itu kita bersihkan diri di pancuran itu.” jelasnya lagi.

“Tidak dingin, mas? Kalau aku nggak kuat gimana?” tanyaku.

“Gini, Riz, nanti kamu sama mbakmu ikuti saja aku. Tapi waktu kungkum, aku biasa satu setengah jam. Kalau kamu tidak kuat, mungkin baru pertama, ya nanti naik dulu. Baru kalau aku sudah selesai, kamu ikut di pancuran.” jelas mas Slamet.

Mas Slamet menyuruh mbak Lasmi mengelar tikar dan mengeluarkan sesaji yang kita perlukan. Mbak Lasmi mengeluarkan handuk besar dan sarung tiga buah. Sesuai perintah mas Slamet, aku hanya mengikuti saja. Pertama kita melepas jaket. Mas Slamet melepas kaos lalu memakai sarung, kemudian melepas celana dan cd-nya dan memberikannya kepada mbak Lasmi untuk dilipat. Aku hanya mengikuti tapi melipat sendiri bajuku, sambil melihat mbak Lasmi melepas bajunya.

Pertama dia melepas jilbabnya, lalu mengalungkan sarung menghadap ke arah yang berlawanan. Dia mengangkat bajunya dan melepas branya, kemudian menurunkan sarung untuk menutupi teteknya yang montok. Disusul melepas celana dan cd-nya sambil sedikit menggodaku dengan memperlihatkan bokongnya yang bahenol sambil tersenyum sedikit. Aku nikmati pertunjukan itu, dan tahu-tahu kontolku bergerak.

Kita berjalan. pertama mas Slamet, kemudian mbak Lasmi, terakhir aku. Mas Slamet memberikan sesaji sambil berdoa, aku dan mbak Lasmi hanya mengamini saja. Terlihat mas Slamet sangat khusuk melakukannya, tapi aku lebih sering melirik tetek mbak Lasmi yang kelihatan seperti mau tumpah.

Setelah berdoa, kita turun untuk kungkum atau berendam. Mas Slamet mengangkat sarungnya dan langsung masuk ke dalam kolam dan meletakkan sarungnya di tepian batu yang kering. Kulihat mbak Lasmi mengangkat sarungnya sehingga dia bugil, terlihat teteknya bergoyang indah ke kanan dan ke kiri. Meskipun aku pernah merasakan dan melihat benda itu, tapi hari itu lain karena di ruang terbuka dan ditunggui suaminya. Aku hanya berani melirik, terlihat mbak Lasmi sedikit berlama-lama, seperti mau memamerkannya kepadaku. Aku yang tidak kuat, langsung ikut masuk air untuk meredam nafsuku yang sudah diubun-ubun.

Kolam itu ternyata lumayan dalam, aku dan mas Slamet sampai dada, dan mbak Lasmi teteknya terendam sebatas air. Karena posisi mas Slamet sebagai petunjuk, maka dia akan di depan, aku dan mbak Lasmi berdampingan di belakangnya. Dengan khusuk kita berendam tanpa bersuara sedikitpun, utamanya mas Slamet. Tapi nafsuku mengalahkan semuanya. Bayangkan, disampingku ada wanita telanjang yang selalu aku pingin entot, tapi suaminya berada didepanku.

Aku melirik mbak Lasmi, dengan hati-hati aku pegang dan remas tangannya. Di luar dugaan, mbak Lasmi membalas meremasku. Beberapa saat kita saling remas, akhirnya mbak Lasmi melepas tangannya sambil menoleh ke arahku dan tersenyum sangat manis. Ingin aku lumat bibirnya, tapi masih kutahan. Tak kusangka mbak Lasmi malah langsung memegang kontolku yang sudah setengah berdiri, otomatis benda itu langsung berdiri total karenanya. Aku hanya merem melek menikmati elusannya. Aku yang tidak tahan, akhirnya tanganku memegang memeknya, kukocok dengan pelan.

Tak terasa kita benar-benar horni. Mbak Lasmi menoleh ke arahku sambil mengedipkan matanya, memberi isyarat. Dia lalu menepuk mas Slamet dan ijin untuk naik duluan. Dengan tubuh telanjang, mbak Lasmi naik sambil membawa sarung tanpa memakainya, dia berjalan ke arah tikar tempat kita duduk tadi. Aku tidak konsentrasi, pengen menyusul mbak Lasmi, tapi masih ragu. Dalam keraguan itu, kulihat mbak Lasmi menyuruhku naik dengan isyarat tangan sambil memegang teteknya.

Tanpa kompromi, aku tepuk punggung mas Slamet dengan hati-hati. Mas Slamet hanya mengangguk menyetujui. Aku langsung naik menyusul mbak Lasmi dengan telanjang. Terlihat mbak Lasmi masih telanjang. Kita geser tikar sedikit ke belakang batu supaya tidak terlihat oleh mas Slamet. Aku yang sudah tidak tahan langsung memeluk tubuh montok mbak Lasmi dengan penuh nafsu. Mbak Lasmi membalasnya. Menyadari situasi yang mendesak, mbak Lasmi lekas merebahkan badannya. Dalam posisi mengangkang memperlihatkan memeknya, dia siap kueksekusi. Tanpa perlu diminta, aku langsung menubruknya. Kutindih tubuh mulusnya. Terasa hangat badan mbak Lasmi di suasana yang dingin itu.

“Mbak, aku pingin. Mbak tidak takut?” bisikku.

“Aku takut kalau ada ular.” jawab mbak Lasmi.

“Kalau ular ini gimana, mbak?“ kataku sambil mengarahkan kontolku ke belahan memeknya.

“Riz, ohhh… aku rindu dengan ularmu. Cepat masukkan ke sarangku.” perintah mbak Lasmi.

Tanpa kompromi, dengan tekanan yang kuat, kumasukan kontolku ke lubang memeknya. Terasa mudah karena memang sudah sangat basah.

“Aduh, Riz, jangan kasar-kasar. Memekku bisa rusak.“ bisik mbak Lasmi.

“Salah sendiri, aku nggak pernah dikasih.” jawabku sambil kugenjot memeknya tanpa ampun.

Mbak Lasmi menikmatinya sambil ikut menggoyang pinggulnya. Kita nikmati persetubuhan terlarang ini tanpa perduli orang atau mas Slamet melihat, yang penting kami berdua bisa puas. Terdengar nafas kami yang berpacu dengan nafsu.Tak berapa lama, terlihat mbak Lasmi mulai mengejang dan akupun sudah hampir sampai.

“Mbak, aku mau keluar.” bisikku.

“Aku juga, Riz. Kita barengan, siram memekku!” teriaknya tertahan.

Kugenjot pinggulku tanpa aturan, hingga akhirnya diiringin teriakan yang tertahan, aku dan mbak Lasmi keluar secara bersamaan dengan posisi kontolku terbenam sempurna di dalam memeknya. Aku tahan terus sambil merasakan sisa- sisa kenikmatan yang masih menjalar. Setelah beberapa saat, baru kita mengatur nafas. Menyadari situasi, kita langsung melihat mas Slamet. Terlihat mas Slamet masih khusuk dengan kungkumnya. Kulihat jam yang ada di atas tas, menujukkan pukul setengah sebelas. Aku dan mbak Lasmi kemudian duduk, masih dalam kondisi tubuh telanjang. Bayangkan saja, duduk di alam terbuka dengan badan polos tanpa ada yang melekat di tubuh kami masing-masing, dimana suami mbak Lasmi berada sekitar beberapa meter di depan, benar-benar memberi sensasi tersendiri.

“Riz, kamu kok kaya orang kesetanan pas ngentot aku?” tanya mbak Lasmi sambil mempermainkan burungku.

“Maaf, mbak, sudah dua minggu ngempet.” jawabku, kubalas dengan meremas-remas bulatan payudaranya.

”Mosok main langsung sodok aja tanpa permisi, jadi sakit nih memekku disodok kontolmu yang besar ini.” kata mbak Lasmi.

“Mbak tidak takut ketahuan mas Slamet?” kataku agak was-was.

“Ya takut sih, tapi nggak masalah, mas Slamet kalau sudah kungkum tidak peduli siapapun, paling-paling tengah malam baru selesai.” jawab mbak Lasmi.

“Mbak, katanya memeknya sakit, mungkin lecet, coba kulihat.” kataku penuh nafsu.

“Nggak usah, Riz, kan gelap. Apa kelihatan?“ kata mbak Lasmi sambil mengangkang sehingga memeknya terhidang di depanku.

“Coba, mbak, tak lihat.” kataku sambil mendekatkan mukaku ke memeknya. Tanganku meraba memeknya dan membukanya sedikit, tapi bukannya mataku yang kudekatkan, malah mulutku langsung menciumi memeknya dan lidahku langsung menari di itilnya.

Mbak Lasmi hanya menahan rintihan sambil berkata, ”Enak, Riz… mbak jadi pingin lagi.”

“Katanya perih, kok minta lagi? Kan sudah dua kontol yang masuk sejak tadi sore!” kataku.

“Tapi aku pengin kontolmu yang besar ini, Riz.” kata mbak Lasmi sambil mencari kontolku. Tanpa permisi, dia langsung membalik tubuhku dengan posisi 69. Kontolku langsung dimasukan ke mulutnya, tanpa jijik mbak Lasmi mengulum dan menjilatnya. Aku lebih semangat lagi menyedot dan mempermainkan memeknya. Beberapa saat kita dalam posisi 69.

“Riz, kita masih punya waktu, cumbui aku dulu.“ kata mbak Lasmi sambil telentang.

Melihat tubuh yang montok dan bahenol itu, aku hanya bisa mengangguk. Langsung aku lumat bibir mbak Lasmi tanpa ampun. Mbak Lasmi mengimbanginya dengan menyedot mulutku kuat-kuat.

“Riz, kamu tidak kangen tetek mbak?” kata mbak Lasmi sambil memamerkan teteknya yang super montok itu. Meskipun hanya diterangi sinar bulan, tapi terlihat lebih menggairahkan.

Tanpa diminta dua kali, segera aku remas benda favoritku itu. Karena memang besar sehingga perlu dua tangan untuk memainkannya secara bergantian. Aku yang sudah tidak tahan, langsung melumat putingnya dengan mulutku dan menyedotnya dengan sekuat tenaga. Tidak bosan-bosan aku memainkan tetek itu. Mbak Lasmi terlihat menikmatinya, perlahan nafasnya mulai berpacu dan menjadi berat. Menyadari itu, segera aku sudahi permainan tetek. Aku mau langsung entot tubuh molek mbak Lasmi. Tapi mbak Lasmi malah berdiri sambil melihat situasi.

“Riz, entot mbak dari belakang.“ perintahnya.

“Ok, mbak.“ jawabku sambil mengikuti berdiri.

Mbak lami langsung membungkukkan badannya sambil menahan tangannya di batu, terlihat teteknya menggantung dengan indahnya dan memeknya terlihat jelas dari belakang karena kakinya dikangkangkan lebar. Aku berdiri dibelakang mbak Lasmi, karena posisiku berdiri maka aku dapat melihat dengan jelas mas Slamet yang masih asyik kungkum. Aku tak peduli itu, malah aku merasa lebih aman karena bisa ngentoti istrinya dengan lebih bebas.

“Riz, cepat entot mbak!” kata mbak Lasmi sambil mencari kontolku. Diarahkan kontolku ke lubang memeknya yang tembem. Dengan sekali sodokan, kontolku sudah amblas menerobos memeknya.

Kupompa memek mbak Lasmi sambil sesekali meremas teteknya yang menggantung kaya melon. Mbak Lasmi hanya menahan teriakannya, takut didengar oleh mas Slamet. Aku waspada melihat mas Slamet. Aku sempat berpikir, kalau mas Slamet sampai tahu perbuatan kami, akan aku suruh pegangin tetek istrinya biar aku ngentotnya lebih enjoy. Aku tarik tubuh mbak Lasmi agak berdiri sehingga dapat melihat suaminya yang sedang kungkum.

Ada sensasi tersendiri kita ngentot di belakang suaminya, di alam terbuka lagi. Mbak Lasmi kelihatan tambah gairah. Karena posisiku kurang nyaman untuk menuntaskannya, maka mbak Lasmi langsung mendorongku untuk rebahan. Tanpa ampun dimasukkannya kontolku ke memeknya, dan langsung digoyang sehingga teteknya bergerak ke kanan dan ke kiri tanpa aturan. Melihat itu, aku langsung meremasnya. Mbak Lasmi tampak akan keluar, akupun sama. Akhirnya terasa kejang di memeknya dan ada cairan yang banyak mengguyur kontolku yang sudah di ujung orgasme. Hanya selisih beberapa detik, aku semprotkan spermaku di rahimnya. Mbak Lasmi langsung ambruk di tubuhku dengan kontolku tetap menancap di memeknya. Kita mengatur nafas, kemudian bangkit dan terus duduk berdampingan lagi.

“Riz, mbak puas banget malam ini.” kata mbak Lasmi.

“Iya, mbak, aku juga sama. Kok tadi tambah nafsu begitu lihat mas Slamet?” tanyaku.

“Entahlah, Riz. Seperti ada perasaan aneh ketika kita ngentot di depan mas Slamet.” kata mbak Lasmi.

“Kan mbak tadi udah sama mas Slamet,” kataku.

“Mbak pingin dientot dua orang, Riz. Kelihatannya enak banget ya?” kata mbak Lasmi.

“Apa mbak kuat nerima kontolku dan kontol mas Slamet?” tanyaku.

“Siapa takut. Tunggu waktunya, Riz.” jawab mbak Lasmi penuh teka-teki.

Kita ngobrol sebentar, terus mbak Lasmi berjalan ke kolam untuk menyusul suaminya, aku disuruh nanti supaya mas Slamet tidak curiga. Dengan langkah gontai, mbak Lasmi berjalan menyusul suaminya dengan menggunakan sarung, dan masuk ke air untuk membasuh memeknya yang habis kuhajar. Mereka berendam sebentar, kelihatan mas Slamet sudah mau selesai. Dia melihat kanan kiri mencariku, kemudian memanggilku saat sudah melihatku. Aku yang pura-pura tidur langsung ikut masuk kolam dengan lemas, pura-pura kelihatan baru bangun.

Prosesi kungkum sudah selesai, terakhir kita mandi di pancuran dengan telanjang. Mas Slamet menutup kontolnya dengan tangan, aku mengikutinya. Terlihat mbak Lasmi mau pakai sarung, tapi oleh mas Slamet dilarang, disuruh menutupi memek dan teteknya dengan tangan. Kebetulan pancuran ada tiga, aku paling kiri membelakangi mereka, mas Slamet di tengah menghadap mbak Lasmi, sedangkan mbak Lasmi di kanan membelakangi kami berdua. Aku tidak berani meliriknya. Setelah bersih, kita naik. Aku mendahului untuk ganti baju. Terlihat mas Slamet horny memeluk istrinya. Aku hanya bisa melihat dari jauh, tapi hanya sebatas itu. Kemudian mereka naik ke atas untuk berganti baju. Kita duduk sebentar, mbak Lasmi menuangkan kopi yang dibawa dari rumah dengan termos. Kita minum sambil ngobrol.

“Riz, kamu kalau pingin berhasil permintaanmu harus kuat, jangan tidur saja.” kata mas Slamet.

“Iya, mas. Besok aku tahan lebih lama.“ kataku sambil melirik mbak Lasmi yang sudah berpakaian lengkap.

“Mosok diajak tirakat malah tidur?“ sambung mbak Lasmi untuk menutupi perbuatan kami. Aku hanya tertawa menanggapi. “Gimana, mas, sudah siap untuk keluar kota?“ tanya mbak Lasmi pada mas Slamet.

“Sudah, mas kalau habis dari sini jadi mantap. Mama sendiri gimana, sudah siap hamil?” canda mas Slamet.

“Ya tergantung semprotannya papa, pas apa tidak?!“ canda mbak Lasmi.

“Beres itu, nanti sampai rumah tak semprot lagi, biar ini segera isi.“ kata mas Slamet sambil mengelus perut istrinya.

“Ih, malu, Pa. Ada Fariz, mosok tadi berangkat minta, pulang minta lagi?” kata mbak Lasmi munafik.

“Namanya suami istri, ya nggak apa-apa dong, biar cepet jadi. Kan tadi sudah minta ke kyai, kalau semprotannya papa kurang pas, nanti biar dibantu Fariz… haha.“ canda mas Slamet.

Aku dan mbak Lasmi langsung kaget. Wajahku langsung terlihat pucat, tapi karena gelap jadi tidak terlihat jelas.

 “Gimana, Riz, mau nyemprot mbakmu tidak?” tanya mas Slamet sambil terawa terbahak-bahak.

“Papa! Mosok istrinya ditawarkan?! Kasihan itu fariz jadi bingung.” elak mbak Lasmi.

Aku hanya tersenyum kecut. Dalam hati aku berkata, sudah berulang kali memek istrimu kusemprot, mas!

Kita langsung beres-beres mau pulang, tapi mas Slamet merasa ada sesaji yang tertinggal di makam. Dia pergi untuk mengambilnya.

“Apa tidak rusak tuh memek dipakai terus?” candaku kepada mbak Lasmi waktu mas Slamet pergi.

“Ini kan bukan buatan Jepang, setelah mandi juga jadi bagus lagi.” kata mbak Lasmi.

“Mbak tidak capek, digarap terus semalaman?” tanyaku.

“Untuk itu tidak ada capeknya, Riz. Kan mas slamet baru sekali, biar dia tidak curiga.” jawabnya.

"Apa nanti tidak longgar, kan habis disodok kontol yang lebih besar?" tanyaku.

"Kan sudah direndam, jadinya normal lagi. Bisa jepit kuat, mau coba?" canda mbak Lasmi.

Terlihat mas Slamet sudah kembali berjalan ke arah kami.

“Mbak, terima kasih hadiahnya, ngentot outdor penuh sensasi.” kataku.

“Riz, kamu pengin hadiah yang lain? Tunggu saja nanti. Malam ini aku milik mas Slamet, tapi besok, dua malam memekku milikmu sepenuhnya karena mas slamet sudah mulai keluar kota.” kata mbak Lasmi.

“Iya, mbak, gigolomu ini siap untuk tante girangku.” candaku.

“Besok malam kutunggu semprotanmu biar mengisi rahimku, Riz.” pesan mbak Lasmi.

Mas Slamet datang, kita langsung pulang. Aku duluan sampai rumah, baru setelah aku masuk kamar, kulihat mereka datang, kuintip dari jendela kamarku. Terlihat mas Slamet memasukkan motornya. Tidak sadar atau memang sengaja, mbak Lasmi membuka jendelanya, sehingga dari kamarku dapat terlihat jelas apa yang dilakukan orang yang di dalam. Terlihat mbak Lasmi membuka bajunya hingga telanjang bulat, tahu-tahu mas Slamet masuk juga sudah dalam posisi telajang. Langsung ia melumat bibir mbak Lasmi dan menggerayangi tetek mbak Lasmi yang besar sambil berdiri. Aku sudah akan onani sambil menonton saat kemudian mereka tidak terlihat, mungkin mbak Lasmi sudah terbaring ngangkang dientot oleh mas Slamet.

Dalam kegundahanku, aku bicara sendiri. ”Itu memek kok nggak ada matinya?! Tunggu, mbak, besok gantian kupakai.”

 Aku pun merebahkan diri dan tidur sampai siang. Esoknya mas Slamet sudah mulai menyopir truk lagi ke Surabaya, berarti perlu dua malam. Senangnya, jadi ada memek nganggur dua malam ke depan… siap kusemprot…

Aku bangun dari tidur setelah ritual yang melelahkan karena kenikmatan. Aku makan siang, terus buka diktat kuliahku kalau-kalau ada tugas. Aku ingat bahwa ada tugas yang belum aku kerjakan. Dengan terpaksa aku berangkat ke kost temanku untuk kerjakan tugas yang terlupakan. Setelah sampai kost, ternyata teman-temanku sudah ngumpul, sudah mengerjakan tugas yang cukup menyita waktu itu. Aku langsung nimbrung ngerjakan tugas dengan semangat, jangan sampai aku tidak berhasil gara-gara memek mbak Lasmi. Aku lupakan dulu semua, toh mbak Lasmi pun mungkin akan menerima alasanku tidak nyodok memeknya. Sampai tengah malam, aku baru selesai. Akhirnya aku tertidur kelelahan di rumah temenku sampai pagi.

Tanpa pulang dulu, aku langsung kuliah dengan pakaian seadanya. Maklum mahasiswa teknik, isinya cowok semua, kuliah tidak ganti baju tidak masalah. Tugas berhasil aku kumpulkan meskipun masih ada sedikit kesalahan, tapi dosen memakluminya. Ia menghargai mahasiswa yang masih mau berusaha. Sampai sore, aku sibuk di kampus. Jam tiga baru aku pulang ke rumahku. Dalam perjalanan pulang, sudah mulai terbayang lagi kemontokan tubuh mbak Lasmi. Dalam hati aku berucap, ”Mbak, akan kuganti ketidakhadiranku. Akan kuentot mbak sampai pagi.”

Sampai rumah...

“Pergi kok sehari semalam to, Riz, kemana kamu?” tanya ibuku.

“Anu, bu, semalam ngerjakan tugas di kost teman, trus langsung kuliah.“ jawabku.

“Oalah, masak anak ibu kuliah tidak ganti baju... tugasnya beres tidak?” kata ibu.

“Beres dong, lha ibu mau kemana?” tanyaku melihat kedua orang tuaku siap dengan tas besar.

“Ini, Riz, aku dan bapak mau ke Semarang sama om Joko, ada acara mantenan besok pagi. Malam ini acara midodareni, jadi aku sama bapak nginep di sana.“ jelas ibuku.

“Lha kok gantian yang pergi, aku jadi sendirian lagi.” kataku sambil ngeloyor ke kamarku.

Tak berapa lama, mobil om Joko datang. Aku keluar untuk bantu angkat-angkat barang bawaan orang tuaku.

“Kamu nggak ikut, Riz?” tanya om Joko.

“Tidak, om. Besok masuk.“ jawabku singkat. Dalam hati: ”Aku malam ini mau merengkuh kenikmatan, om.”

“Walah, paling kamu kencan sama pacarmu ya?” canda om Joko.

“Ti-tidak, om. Belum ada yang mau.” jawabku agak gelagapan.

"Hati-hati di rumah ya, Riz. Jangan kamu tinggalkan rumah lagi." pesan ibu.

"Iya, bu. Salam untuk keluarga disana." jawabku.

Akhirnya mereka berangkat, aku lambaikan tanganku mengantar mereka pergi, dalam hati aku berdoa semoga lancar perjalanan mereka. Aku lihat rumah mbak Lasmi kosong, mungkin lagi pergi. Sebenarnya aku pengin kesana, tapi akhirnya aku langsung tidur di kamarku. Sampai sore aku tertidur, terasa lapar saat aku bangun. Aku langsung makan dan mandi. Sore itu kuisi dengan mengobrol dengan tetangga di luar rumah sambil melihat keadaan rumah mbak Lasmi.

Habis maghrib hujan malah turun, kelihatan jalan sudah sepi. Aku merasa sepi di rumah, sementara kulihat rumah mbak Lasmi masih saja gelap pertanda tidak ada kehidupan disana, mungkin mbak Lasmi memang pergi atau malah marah karena semalam aku tidak main ke rumahnya. Mungkin dia ingin balas dendam kepadaku. Dalam kesendirian, terlihat sepeda motor mbak Lasmi datang, tapi dia cuek saja, tidak sedikitpun melihat ke rumahku. Aku tidak sabar ingin langsung ke rumah mbak Lasmi, tapi sebelumnya tak lupa beres-beres rumah supaya kelihatan aku pergi jauh. Motor kusembunyikan di belakang supaya kalau ada yang datang mengira aku pergi keluar. Aku pingin memberi kejutan kepada mbak Lasmi. kulihat rumah mbak Lasmi lampunya sudah menyala. Karena situasi saat itu yang sepi, akupun masuk ke rumahnya lewat pintu samping seperti biasa dan mendengar ada yang sedang mandi. Kulihat pintu kamar mandi terbuka sedikit. Saat akan mengintipnya, kurasa ada yang memergokiku dan langsung menguncinya dari dalam. Aku jadi ragu, apakah mbak Lasmi benar-benar marah?

Setelah pintu samping kututup, kupanggil mbak Lasmi yang ada di kamar mandi. "Mbak, lagi mandi yah?” tanyaku basa-basi.

Tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi. Akupun melanjutkan. "Kamu marah yah. mbak? Maaf yah, aku gak kasih tahu kalo aku mau nginep di kost temanku. Malam ini aku mau buat mbak puas. Aku akan cium mbak, bikin mbak puas hari ini. Aku akan jilati tubuh mbak mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki." rayuku.

Masih tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi. Aku mendekati pintu kamar mandi sambil berkata, "Mbak. Aku akan bikin kamu puas beberapa kali hari ini sebelum kau rasakan kontolku. Aku akan cium memekmu sampai kau menggelinjang puas dan memohon agar aku memasukkan kontolku. Mbak ingat waktu memekmu kusodok dibelakang mas slamet?"

Terdengar suara batuk kecil dari dalam kamar mandi, sudah tidak terdengar guyuran air lagi, tinggal suara orang yang menggunakan handuk.

"Mbak, maafkan aku. Aku rela mencium kakimu untuk memohon maaf. Mbak nggak usah pakai baju saja, toh nanti akan kuciumi semua. Tidak hanya kakimu, pokoknya semua, sampai itilmu. Aku kunci pintu depan dulu dan matikan lampunya ya, mbak." Akupun berbalik untuk mengunci pintu dan mematikan lampu depan, sekarang tinggal lampu ruang tengah yang menyala. Kupikir dengan begini, aku bisa ngentot mbak Lasmi dengan tenang.

Ketika kumatikan lampu depan, kudengar pintu kamar mandi terbuka. Akupun tersenyum dan bersorak dalam hati. Aku langsung balik ke ruang tengah, pengin langsung memeluk mbak Lasmi. Tapi ternyata, yang ada dalam kamar bukanlah mbak Lasmi, tapi mbak Tari, adiknya. Aku jadi kaget dan mematung, memang mbak Tari mirip sekali dengan mbak Lasmi, tapi agak sedikit hitam. Namun untuk masalah bodi, tidak kalah sama mbak Lasmi, malah menurutku lebih bahenol mbak Tari. Aku memang sering memperhatikan bodinya ketika ia berkunjung kesini. Mbak Tari umurnya lebih muda dua tahun dari pada mbak Lasmi, suaminya seorang PNS di Jogja. Mereka belum dikaruniai anak, entah apa sebabnya, aku tidak tahu.

Terlihat mbak Tari yang baru saja selesai mandi keluar dengan menggunakan daster bertali merah milik mbak Lasmi yang sangat ketat membalut tubuh sintalnya. Ia berdiri memandangiku penuh pertanyaan. Ia memang sudah mengenalku. Aku juga memandanginya; mulai dari kakinya yang mulus terawat, betisnya yang indah, pahanya yang kencang, bokong dan pinggulnya yang besar, pinggangnya yang ramping, hingga ke belahan buah dadanya yang terlihat sangat menantang sekali untuk diremas dan dielus. Ukurannya jelas sedikit lebih besar dari punya mbak Lasmi.

Mbak Tari hanya tersenyum sambil berkata, ”Cari siapa, Riz, kok langsung nylonong masuk?”

“Anu, mbak, aku cuma pingin nyambangi rumah ini. Kan mbak tahu aku sudah seperti keluarga sendiri.” kataku berkelit. “Mbak Lasmi kemana, mbak, kok nggak kelihatan?” tanyaku sambil duduk di sofa.

Mbak Tari pun ikut duduk. "Mbak Lasmi sedang ke Yogya, menginap di acara dikeluarga mas Slamet. Tadi aku ketemu di Solo, mbak Lasmi ke Jogja dan motornya aku pakai. Karena besok masih ada acara, maka aku menginap disini." terang mbak Tari sambil menyilangkan kakinya sehingga hampir semua pahanya kelihatan. Tidak aku sia-siakan pemandangan itu, langsung aku memelototinya, otomatis kontolku yang tadi sempat tertidur sebentar langsung berdiri tegak.

“Kalau mbak sudah di sini, aku sebaiknya pulang saja. Mau jaga rumah, kebetulan rumahku juga kosong.” kataku kaya maling ketahuan.

“Tunggu, Riz, ada yang perlu aku omongkan.“ kata mbak Tari mencegah kepergianku.

“A-ada apa, mbak?” tanyaku penuh cemas, jangan-jangan mbak Tari akan marah atas rayuanku yang salah sasaran tadi.

"Kamu harus jawab jujur! Tadi mbak sudah dengar rayuanmu, maaf mbak memang sengaja mendengarkan rayuanmu ataupun pengakuanmu, jadi selama ini kamu suka ngentot ya sama mbak Lasmi? Padahal aku percaya kamu tidak akan begitu sama kakakku." kata mbak Tari.

“Kuakui, mbak, aku memang pernah ngentot sama mbak Lasmi. Tapi mungkin baru sebulan ini, semenjak mas Slamet ditahan kemarin karena kita sama-sama mau dan keadaan memungkinkan.” jelasku sambil menunduk.

“Kamu cinta mbak Lasmi?” tanya mbak Tari.

“Tidak, mbak. Hubungan kita cuma atas nama nafsu, saya tidak akan mengganggu rumah tangga mas Slamet, itu prinsip kami.” jawabku sedikit lebih berani.

“Kamu pernah ngentot yang lain selain mbak Lasmi?” tanya mbak Tari lebih lanjut.

“Tidak, mbak. Baru sama mbak Lasmi dan itupun aku banyak diajari untuk menjadi lelaki sejati olehnya.“ jelasku.

Kami diam beberapa saat dengan pikiran masing-masing. Akhirnya aku beranikan ngomong untuk mencairkan suasana. "Maaf, mbak. Aku nggak tahu kalo yang di dalam itu mbak Tari." kataku sambil kuberanikan diri memandangnya meskipun aku masih takut. Tapi di lain sisi aku juga terangsang melihat tubuhnya. Mbak Tari menyadari kalau aku sedang memandanginya, tapi ia membiarkannya saja. Rambutnya yang hitam sepundak tampak tergerai basah. Dada yang menantang dengan belahan yang terlihat cukup dalam. Paha yang mulus dan kencang hingga betis yang terawat rapi. Kalau menurutku, mbak Tari boleh mendapat nilai 8 hingga 8,5 dari 10.

"Lalu kalo bukan mbak Lasmi kenapa? Kamu nggak mau mencium mbak, buat mbak puas, menjilati tubuh mbak seperti yang kamu bilang tadi?" tanya mbak Tari memancingku.

"Aku sih mau aja, mbak, kalo mbak kasih!" jawabku langsung tanpa berpikir, seperti kejatuhan duren lagi sambil melangkah mendekatinya. Sebab sebagai laki-laki normal, aku sudah tidak kuat menahan nafsuku melihat sesosok wanita cantik yang hampir pasti telanjang karena baru selesai mandi. Belum lagi pemandangan dada putih mulusnya yang sangat menggoda.

Setelah duduk di sebelahnya, aku mencium wangi harum tubuhnya. "Tubuh Mbak harum sekali," kataku sambil mencium lehernya yang putih dan jenjang.

Mbak Tari menggeliat dan mendesah ketika lehernya kucium, mulutku pun naik dan mencium bibirnya yang mungil dan merah merekah. Mbak Tari pun membalas ciumanku dengan hangatnya. Perlahan kumasukkan lidahku ke dalam rongga mulutnya dan lidah kami pun saling bersentuhan, hal itu membuat mbak Tari semakin hangat.

Perlahan tangan kiriku menyelusup ke dalam dasternya, ternyata mbak Tari tidak memakai bra, persis seperti dugaanku. Kuraba payudaranya yang hangat dan kenyal, terasa lebih besar dari punya mbak Lasmi. Sambil terus berciuman, kuusap dan kupijat lembut kedua payudaranya bergantian. Payudaranya pun makin mengeras dan putingnya pun mulai naik. Sesekali kumainkan putingnya dengan tanganku sambil terus melumat bibirnya.

Tidak puas dengan itu, aku angkat dasternya dan mbak Tari membantuku sehingga dengan mudah kain itu melewati kepalanya. Aku pun mengubah posisiku, kurebahkan tubuh mbak Tari di sofa sambil terus melumat bibirnya dan meraba payudaranya.. Aku berhenti mencium lehernya sebentar untuk melihat tubuh wanita yang akan kutiduri sebentar lagi ini, karena aku belum pernah melihat tubuh mbak Tari tanpa seutas benang sedikitpun. Sungguh pemandangan yang indah dan tanpa cela.

Payudaranya yang montok dan tegak menantang berukuran lebih mantap dari milik mbak Lasmi, dengan puting yang sudah naik penuh, terlihat sangat menggairahkan. Pinggangnya juga langsing karena perutnya yang kecil. Bulu halus yang tumbuh di sekitar selangkangannya tampak rapi, mungkin mbak Tari baru saja mencukur rambut kemaluannya. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan menggiurkan.

"Hh, gimana, Riz, kamu mau ngentot denganku?" desah mbak Tari membuyarkan lamunanku.

Aku pun langsung melanjutkan kegiatanku yang tadi sempat terhenti karena mengagumi keindahan tubuhnya. Kembali kulumat bibir mbak Tari sambil tanganku mengelus payudaranya dan perlahan-lahan turun ke perutnya. Ciumanku pun turun ke lehernya. Desahan mbak Tari pun makin terdengar. Perlahan mulutku pun turun ke payudaranya dan menciuminya dengan leluasa. Payudaranya yang kenyal pun mengeras ketika aku mencium sekeliling putingnya.

Tanganku yang sedang mengelus perutnya pun turun ke pahanya. Sengaja aku membelai sekeliling memeknya dahulu untuk memancing reaksi mbak Tari. Ketika tanganku mengelus paha bagian dalamnya, kaki mbak Tari pun merapat. Terus kuelus paha mbak Tari hingga akhirnya perlahan tanganku pun ditarik olehnya dan diarahkan ke belahan memeknya.

"Elus dong, Riz. Biar mbak ngerasa enak, Riz." ucapnya sambil mendesah.

Bibir memek mbak Tari sudah basah ketika kusentuh. Kugesekkan jariku sepanjang bibir kemaluannya, dan iapun mendesah. Tangannya meremas kepalaku yang masih berada di atas gundukan payudaranya.

"Ahh, terus, Riz!" Pinggulnya makin bergoyang hebat sejalan dengan rabaan tanganku yang makin cepat. Jari-jariku kumasukkan ke dalam lubang memeknya yang semakin terasa basah. "Ohh... Riz, enak sekali, Riz!!" desah mbak Tari makin hebat dan goyangan pinggulnya juga menjadi semakin cepat.

Jariku pun semakin leluasa bermain dalam lorong sempit memek mbak Tari. Kucoba memasukkan kedua jariku dan desahan serta goyangan mbak Tari makin hebat, membuatku semakin terangsang.

"Ahh... Riz!!" mbak Tari pun merapatkan kedua kakinya sehingga tanganku terjepit di dalam lipatan pahanya, tapi jariku masih terus mengobok-obok memeknya yang sempit dan basah dengan leluasa.

Remasan tangan mbak Tari di kepalaku semakin kencang, mbak Tari seperti sedang menikmati puncak kenikmatannya. Setelah berlangsung cukup lama, mbak Tari pun melenguh panjang, jepitan tangan dan kakinya pun perlahan mengendur.

Kesempatan ini langsung kupergunakan secepat mungkin untuk melepas kaos dan sarungku. Setelah aku tinggal mengunakan CD saja, kuubah posisi tidur mbak Tari. Semula seluruh badan mbak Tari ada di atas sofa, sekarang kubuat hanya pinggul ke atas saja yang ada di atas sofa, sedangkan kakinya menjuntai ke bawah. Dengan posisi ini, aku bisa melihat memek mbak Tari yang merah merekah. Kuusap sesekali benda itu, masih terasa basah. Akupun mulai menciuminya. Terasa lengket tapi harum sekali. Pasti mbak Tari selalu menjaga bagian kewanitaannya ini dengan teratur sekali.

"Ahh… Riz, enak, Riz!!" racau mbak Tari. Pinggulnya bergoyang seiring jilatan lidahku di sepanjang memeknya. Memek merahnya semakin basah oleh lendir cinta yang harum lengket. Desahan mbak Tari pun makin hebat ketika kumasukkan lidahku ke dalam lubang memeknya. Ia menggelinjang hebat. "Terus, Riz!!" desahnya.

Tanganku yang sedang meremas pantatnya yang padat ditariknya ke payudara. Tangannku pun bergerak meremas-remas payudaranya yang kenyal. Sementara lidahku terus menerus menjilati memeknya. Kakinya menjepit kepalaku dan pinggulnya bergerak tidak beraturan. Sepuluh menit hal ini berlangsung dan mbak Tari pun mengalami orgasme yang kedua. "Ahh... Riz, aku keluar, Riz!!!" jeritnya.

Aku pun merasakan cairan hangat keluar dari lubang memeknya. Cairan itu pun kujilat dan kuhabiskan dan kusimpan dalam mulutku dan secepatnya kucium bibir mbak Tari yang sedang terbuka agar dia merasakan cairannya sendiri.

Lama kami berciuman, dan perlahan posisi penisku sudah berada tepat di depan memeknya. Sambil terus menciumnya, kugesekkan ujung penisku yang mencuat keluar dari CD-ku ke bibir memeknya. Tangan mbak Tari yang semula berada disamping, kini bergerak ke arah penisku dan menariknya. Tangannya mengocok penisku perlahan-lahan.

"Besar juga punya kamu, Riz, panjang lagi. Lebih besar dari milik suamiku dan mas Slamet." ucap mbak Tari di sela-sela ciuman kami.

Aku kaget, kok mbak Tari bisa ngomong lebih besar dari milik mas Slamet? Berarti dia pernah merasakannya. "Kok kontol mas Slamet? Jangan-jangan mbak pernah ngentot sama mas Slamet ya?" tanyaku.

"Iya, Riz. Tapi itu tidak sengaja. Cepat, Riz, mau nggak sama memek mbak?” desaknya. ”Meskipun sudah dipakai dua orang, tapi kurasa akan nikmat untuk kontolmu yang besar ini." kata mbak Tari lagi. "Nanti aku ceritakan bagaimana kau bisa ngentot sama mas Slamet, sekarang cepet sodok memekku, Riz." tambahnya.

Aku sudah tanggung pinging ngentot meskipun dapat dua memek yang semuanya pernah dipakai oleh mas Slamet, tapi kurasa akan tetap sempit sebab milikku lebih besar. Sambil masih berciuman, aku melepaskan CD-ku sehingga tangan mbak Tari bisa leluasa mengocok kontolku. Setelah lima menit, akupun menepis tangan mbak Tari dan menggesekkan kontolku ke bibir memeknya. Posisi ini lebih enak dibandingkan dikocok.

Perlahan aku mulai mengarahkan penisku ke dalam memeknya. Ketika penisku mulai masuk, badan mbak Tari pun sedikit terangkat. Terasa basah sekali sekaligus nikmat. Lobang memeknya lebih sempit dibandingkan punya mbak Lasmi, atau mungkin karena lubang memeknya belum terbiasa dengan kontolku?

"Ahh... Fariz. Ya, begitu, sayang! Uhh, enak sekali!" racaunya ketika kontolku mulai kugerakkan maju mundur. Pinggul mbak Tari bergoyang liar mengimbangi gerakanku. Akupun terus menciumi bagian belakang lehernya.

"Ahh..." desahnya semakin menjadi. Akupun semakin bernafsu untuk terus memompanya. Semakin cepat gerakanku, semakin cepat pula goyangan pinggul mbak Tari. Kaki mbak Tari yang menjuntai ke bawah pun bergerak melingkari pinggangku. Akupun mengubah posisiku sehingga seluruh badan kami ada di atas sofa.

Setelah seluruh badan ada di atas sofa, akupun menjatuhkan dadaku diatas payudara besar dan kenyalnya. Tanganku bergerak ke belakang pinggulnya dan meremas pantatnya yang padat. Goyangan mbak Tari pun semakin menjadi-jadi oleh remasan tanganku. Sedangkan pinggulku pun terus menerus bergerak maju mundur dengan cepat yang diimbangi goyangan pinggul mbak Tari yang semakin lama menjadi semakin liar.

"Riz, kamu hebat, Riz. Terus, Riz. Penis kamu besar dan panjang, Riz. Terus. Goyang lebih cepat lagi, Riz." begitu racau mbak Tari di sela kenikmatannya.

Aku pun semakin cepat menggerakkan pinggulku. Memek mbak Tari memang lebih enak dari punya mbak Lasmi, lebih sempit, sehingga penisku sangat menikmati berada di dalam lorongnya. Goyangan mbak Tari yang semakin liar, juga desahannya yang tidak beraturan, membuatku semakin bernafsu hingga mempercepat gerakanku.

"Mbak, aku mau keluar, Mbak!" kataku tersengal.

"Di dalam aja, Riz, biar enak." desah mbak Tari sambil tangannya memegang pantatku seolah dia tidak mau penisku keluar dari memeknya barang sedikitpun.

"Ahh!!" desahku saat aku memuntahkan semua cairanku ke dalam lubang rahimnya.

Tangan mbak Tari menekan pantatku sambil pinggulnya mendorong keatas, seolah dia masih ingin melanjutkan lagi, matanya terpejam. Aku pun mencium bibir mbak Tari, dengan posisi badan masih diatasnya dan penisku masih dalam memeknya. Mata mbak Tari terbuka, dia membalas ciuman bibirku cukup lama. Badannya basah oleh keringat.

"Kamu hebat, Riz, aku belum pernah sepuas ini sebelumnya." kata mbak Tari.

"Mbak juga hebat. Memek Mbak sempit, legit dan harum lagi." ucapku.

"Memang memek mbak Lasmi nggak?" senyumnya sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Sedikit lebih sempit punya mbak dibanding punya mbak Lasmi." jawabku sambil menggerakkan penisku yang masih menancap di dalamnya. Sepertinya dia masih ingin melanjutkan lagi, pikirku.

"Penis kamu masih keras, Riz?" tanya mbak Tari sambil memutar pinggulnya.

"Masih, Mbak masih mau lagi?" tanyaku.

"Mau, tapi Mbak diatas ya?" kata mbak Tari. "Cabut dulu, Riz." Ia menyuruh.

Setelah kucabut, mulut mbak Tari pun bergerak untuk menciumi penisku. Ia mengulum penisku terlebih dahulu sambil memberikan memeknya kepadaku. Kembali terjadi pemanasan dengan posisi 69. Desahan-desahan mbak Tari dan hangat lubang memeknya yang harum membuatku melupakan mbak Lasmi untuk sementara waktu. Malam itu sampai pagi, aku ngentot mbak Tari. Mungkin sampai lima kali aku orgasme di memek maupun mulutnya, tapi mbak Tari lebih banyak lagi. Kupikir mumpung mbak Lasmi tidak ada, kucumbu saja adiknya dulu.