Minggu, 04 Agustus 2013

Kisah Wiwid

Di depan mataku, didengar langsung oleh kupingku, Jojo bicara lembut, sangat lembut kepada orang di seberang sana. Bangsatnya, ketika aku bertanya, “Kita mau ke mana?” Jari telunjuknya langsung ditempelkan ke bibir memberi kode agar aku diam. Aku terang melotot.

Apa-apaan ini? Siapa yang tengah ia ajak bicara lewat telpon.

“Iya, aku paham. Aku ngerti kondisimu. Nanti kita ketemu dan aku dengar ceritamu, ya?” Jojo berkata. “Oh, tadi? Bukan. Kawanku. Aku lagi jalan sama kawan. Aku lagi bantuin acara dia.” lanjutnya.

Anjing!! Kawan? Bangsat!! Jelas sudah siapa yang dia ajak bicara. Aku mencoba bersikap wajar. Ini di depan umum, Non. Kami lagi berjalan menuju parkiran Mal Taman Anggrek. Aku hanya bertanya dengan gerak bibir tanpa bersuara, “Ratih?”

Jojo mengangguk. Betul-betul bangsat. Ratih adalah mantan pacar Jojo sebelum aku.

Tanpa banyak ba-bi-bu, aku mempercepat langkah menuju parkiran, meninggalkan Jojo yang berjalan sangat pelan seperti sengaja mendapat kesempatan. “Tunggu di mobil ya, man.” Jojo berteriak kepadaku.

Man? Kenapa ga sekalian “pren” atau “coy” aja?

Taik!!

Aku makin mempercepat langkah. Masuk ke mobil dan langsung starter. Go. Good bye.

Sembari melaju di jalan, kutelepon Selly. “Ke mana nanti malam?” tanyaku.

“Oh, ok. See ya.” sahutku setelah mendengar jawabannya.

***

Pukul 22.20 waktu Kemang. Aku, Selly, Ratih (shit nama teman Selly ini sama dengan nama si bangsat yang pernah dipacari Jojo), dan Angga, masuk ke Bedroom. Angga berasa bener jadi raja minyak diapit tiga cewek yang penampilannya bikin semua orang sejak dari parkiran ga berkedip dan menelan air ludah. Ratih dan Angga, keduanya teman Selly. Aku sendiri baru dikenalkan saat bertemu di meeting point, Taman Suropati, tadi.

Kami diantar ke bed yang sudah di-book Angga. Biasa saja penampilannya. Muka agak bulat, tanpa kumis dan janggut karena selalu dicukur bersih, kulit lumayan putih, tinggi nyaris sepantar denganku, karenanya tidak terlalu atletis. Bokongnya saja yang cukup menarik. Aku berani taksir ukuran di dalam celana bagian depannya. Pasti tidak terlalu panjang tapi cukup gemuk. Tiba-tiba aku berdesir sedikit membayangkan isi celananya.

Aku tepis perasaan itu. Aku tahu aku tengah diamuk kemarahan pada Jojo. Dan aku tahu juga diriku, tak bisa membayangkan isi celana begitu saja dan pasti penasaran untuk melihatnya. Sukur kalau bisa memegang.

Tapi, aku yakin bisa menepis keinginan terhadap Angga, karena dia kelihatannya sedang antusias dengan Ratih. Sedari berangkat, ia mempersilakan Ratih duduk di depan. Turun membukakan pintu, menggandeng ketika berjalan, aih. Kata Selly, Angga memang ngincer Ratih sejak ia kenalkan dua minggu lalu di Blowfish.

“Trus sudah berapa kali ketemu? Kok belum dapat juga?” You know what i mean with “belum dapat juga” kan? Aku percaya lah si Angga ini bukan berniat betulan mau jalan sama Ratih, paling cuma pengen nyobain service-nya aja.

“Kayaknya belum,” ujar Selly. “Buktinya Angga masih ajak gue untuk pergi bareng, kan?”

Aih, apa yang sedang dimainkan Ratih? Mau 5-6 kali hang-out dulu biar puas baru ngasih? Ahahaha…

***

Wuh, sudah dua jam lebih kami bergerak bersama musik. Aku nyaris hanya sesekali saja kembali ke bed untuk menyeruput punch atau air mineral. Lalu kembali ke kerumunan. Terutama bergerak berempat. Angga benar-benar jadi raja minyak. Aku harus menghormati orang yang mengajak bila dia bergeser dari Ratih, Selly lalu hanya berdua denganku. Ahahaha… kurasa dia tak tahan juga melihat gerakku yang memang sengaja menggoda siapapun. Sebelum balik ke bed yang kedua, aku sengaja melepas bra di toilet. Sumpek. Terang sekarang Angga yang pasti melihat perubahan bentuk di dadaku jadi godeg juga.

Sorry, Rat, ini perkara simple aja. Kompetisi, jeng. Sialnya, namamu sama dengan nama si bangsat-nya Jojo itu!

Aku biarkan tangan Angga sesekali menarik pinggangku untuk lebih mendekat agar kedua pangkal paha kami bersentuhan. Sempat juga tangannya diletakkan di bokongku, yang segera kuturunkan lebih rendah agar menyentuh ujung dress-ku. “Kalau mau, naik dari situ,” ujarku dalam hati. Tapi gerakanku mengisyaratkan seolah semuanya kulakukan tanpa sadar. Padahal, apa yang tak sadar? Aku tak menenggak apapun yang memabukkan.

Angga memfaatkan kesempatan itu untuk meraba terus ke atas. Aku sengaja pura-pura kaget, lalu mengambil tangan Angga secara sopan dan mengembalikan ke pinggang, lalu aku angkat lagi untuk kemudian aku berputar. Aku beri dia senyum sopan sembari jemari yang lain menyentuh dagunya. Angga paham, aku tak mau di-”kurangajari”. Ahhahaha… Lebih dari itu pun kukasih, Ngga. Tapi, nantilah. Memang Ratih doang yang bisa bikin kamu penasaran.

Dan kini aku kembali ke bed. Betul-betul capek. Aku sempat sendirian cukup lama di floor sementara Selly, Ratih dan Angga istirahat. Kini aku sendirian istirahat. Aku ambil gelas, menyedotnya, kosong. Habis, rupanya. Air mineral juga tinggal sedikit. Aku baru mau memberi isyarat untuk memesan segelas lagi, ketika seseorang menyodorkan gelas yang aku tahu isinya.

“Ini kalau haus bener,” aku mendongak. Hmh. Lumayan. Aku ambil tawarannya, Jack-D. Kulihat jam di tangan sudah pukul 1 lewat. Bolehlah, sudah waktunya boleh mabuk.

Ia mengenalkan dirinya dengan nama Wisnu. Aku sendiri tak begitu soal benar apa ini nama benar atau bukan, makanya kusebut “mengenalkan dirinya dengan nama Wisnu.” Toh, aku sudah tahu maunya, icip-icip, sukur kalau dapat lebih, dan selanjutnya tuker-tukeran nomor telepon lalu “bye”. Kalau lagi butuh kontak, kalau gak ya wassalam.

Selanjutnya kami bicara. Karena situasi amat berisik, tentu yang namanya bicara itu saling merapat mulut ke telinga masing-masing. Wisnu telah menuang dua kali ke gelasku, hingga Angga dan Ratih datang. Mereka saling berkenalan.

Angga sesudah berbasa-basi langsung selonjor di bed, ditemani Ratih. Rasanya kurang dari satu menit, saat aku melirik mereka, keduanya sudah saling berpagutan. Tangan Angga masih melingkar di pinggang Ratih sedangkan Ratih memegang lengan kiri Angga.

Melihat itu, Wisnu mengajak aku ke bed-nya. “Mau pindah ke tempatku? Biar mereka ga terganggu.”

“Di tempatmu ramai,” ujarku. Sesungguhnya tempat yang ia tunjuk tak ada yang menempati. Semua temannya mungkin masih di floor. Tapi aku memang mau melihat seberapa jauh Angga dan Ratih bermain. Duileh, bermain.

Ah, rupanya Angga tipe tak sabaran. Kulihat tangannya sudah menuntun jemari Ratih untuk meraba bagian pentingnya. Satu tangan Angga membuka tali pinggang dan resluiting, membiarkan jemari Ratih masuk lebih dalam. Mengelus dari kepala hingga pangkal. Lalu Angga mengeluarkan penisnya dari selipan boxernya.

Bener kan gue, ujarku dalam hati. Punya Angga ini tak terlalu panjang tapi gemuk.

“Shit!” aku mengumpat pelan. Tapi cukup untuk didengar Wisnu.

“Tuh, kan. Pindah yuk, nanti gue jadi pengen,” ajak Wisnu.

“Gue juga, yuk. Lo kasih gue,” tangannya langsung kutarik.

Di bed Wisnu tak ada lagi percakapan. Tangannya langsung meraih leherku, dan langsung melahap bibir dan mulutku dengan bibir dan mulutnya. Aku ingin ia masuk lebih dalam, sehingga jemariku menekan kepalanya.

Lebih dalam masuki aku. Oh, inilah aku. Milikmu saat ini. Jangan sia-siakan. Karena saat berikutnya boleh jadi aku sudah buat orang lain. Lumat aku dari atas hingga ke bawah. Tak ada yang akan kucegah. Karena tubuhku ini milikku dan hanya aku yang berhak menentukan kepada siapa akan berbagi. Jojo hanyalah salah satu penikmat yang kebetulan baginya kuberi juga cinta. Tapi, kebangsatan sikapnya siang tadi harus mendapat pelajaran yang setimpal. Perempuannya dipakai orang lain.

Balasan aksiku ke Wisnu membuat birahinya cepat naik tinggi. Aku bercampur hasrat yang dipengaruhi sepenuhnya oleh Jack-D dan kemarahan kepada Jojo.

Hanya saja, ini hanyalah sebuah tempat riuh yang dipenuhi orang. Seliar apapun kubuat tak bisa diteruskan sampai melepas pakaian. Wisnu pun hanya bisa menjamah, meraba dan menjilati payudaraku, menusuk vaginaku dengan jarinya yang kubiarkan satu, dua hingga tiga. Aku pun hanya bisa membalas budinya dengan lidahku ke lehernya, lidahnya, bibirnya dan tanganku yang meraba, lalu mengocok dari pelan hingga kuat penisnya. Hingga ia berbisik yang di telingaku seperti berteriak, “Wid, aduh… Gue mau keluar, di mana?”

“Sekarang?” tanyaku. Wisnu hanya mengangguk. Aku langsung mempercepat kocokan dan memindahkan mulutku dari lehernya ke leher penisnya. Menyemburlah cairan yang setengah kental setengah cair ke tenggorokan. Aku menghapus sisanya dengan lidah.

“Kok sedikit?” tanyaku sembari meminum sisa Jack-D. Membersihkan keset di tenggorokan. “Udah dikeluarin di mana? Lo main dulu ya sebelum ke sini?”

“Enggak, coli sendiri aja,” kata Wisnu. “Gue pengen ngewe malam ini sebetulnya. Makanya tadi gue kocok dulu sebelum berangkat. Biar bisa main lebih lama.”

Aku tertawa kecil. “Begok bener, sih?” Lalu aku duduk setengah rebah. “Nu, gue belum. Colok lagi, dong?”

***

“Lo ganas juga, ya?” kata Angga ketika kami mau memasuki mobil. Hari sudah menjelang pagi. Subuh belum dimulai memang. Tapi badan harus dikeluarkan dari tempat bising itu.

Aku memiringkan kepala meminta penjelasan.

“Gue lihat tadi lo sama cowok itu, siapa namanya?”

“Oh,” aku paham. “Wisnu. Ganas gimana?”

“Ya ganas. Gimana ya? Ganas.” Aku tertawa kecil. Sebelum benar-benar masuk mobil, Angga bertanya, “Kita antar mereka dulu ya.”

Aku tak mengangguk juga tak menggeleng. Aku tahu maksudnya. Hebat bener nih anak. Semalam minta dua sekaligus.

Selanjutnya aku sudah tidak tahu apa-apa. Begitu masuk mobil aku langsung tidur. Kulihat Selly dan Ratih begitu juga. Tak sopan benar memang, membiarkan Angga sendirian hanya ditemani musik menyupiri kami bertiga. Yang kutahu, aku sudah di depan sebuah pagar, masih di dalam mobil, duduk di belakang sedangkan bangku di sebelahku kosong, sedang Angga di depan sendirian tanpa Ratih.

“Kita di mana, Ngga?”

“Oh, ini kontrakan temanku. Dia sama istrinya lagi pergi, nitip sama aku. Rumahku lagi banyak orang, Wid. Tadinya aku mau bawa kamu check-in, tapi masak aku bopong kamu masuk hotel?”

“Kenapa ga dibangunin dan aku bisa naik taksi pulang, ini sudah pagi, Ngga.”

“Iya, enggak apa. Sebentar aja, kok. Aku buka pagar dulu.” Lalu ia sudah keluar mobil dan membuka pagar. Tak lama masuk lagi, membawa mobil, keluar, menutup pagar dan kembali ke mobil membuka pintu untukku.

“Yuk.” ajaknya.

“Aduh, Ngga, gue pulang aja, ya. Udah pagi banget. Itu udah adzan. Gue capek banget. Lagian mau ngapain sih?”

“Gue nafsu banget sama lo, Wid.”

“Ah, lo gila. Enggak, ah. Nanti malam minggu, bokin gue pasti datang, gue dah gak dipake berhari-hari, nanti kalau dia berasa beda seperti udah ada yang make gimana?”

Demi menyebut kata “bokin” kemarahanku kembali bangkit dan sesungguhnya ingin segera telanjang saat itu juga di depan Angga. Tapi, aku juga sepertinya sengaja mengeluarkan kalimat itu. Aku tahu Angga tak akan goyah dan justru makin naik nafsunya mendengar nanti malam aku dipake bokin. “Aduh, make bokin orang, sebelum si bokin pula.” Uuh lelaki mana yang ga nafsu dikasih kesempatan gitu. I know what’s in your brain, guys.

“Please, Wid. Nanti gue anter pulang, deh. Atau setidaknya ngopi aja dikit. Udah tanggung masuk rumah.”

Aku mengangguk pelan lalu turun.

Ketika pintu depan belum ditutup rapat benar, Angga langsung meraih pinggangku dari belakang. Ia membalikanku dan meraup mulutku dengan mulutnya. Aku diam tak membalas, juga tak berontak.

Aku tahu Angga tipe yang “tak lama”, tak sabaran pula. Meski masih di antara perasaan marah, tapi ada sedikit malas pagi ini. Hanya, meski begitu, aku tak mau rugi juga. Maka, kuminta Angga melepas bajunya semua.

“Langsung masukin aja, Ngga. Ga usah kelamaan pemanasan.”

“Lo horny banget?” tanya Angga tak mengerti maksudku.

Aku cuma mengangguk. “Udah cepetan buka semua. Langsung masukin.”

“Tapi, gue belum bangun nih.”

“Lo telanjang juga langsung bangun, kok. Percaya ama gue, deh. Ayok,” aku pun langsung melepas semua yang menutup tubuh. Lalu rebah di sofa panjang terdekat.

“Plis, langsung, Ngga. Mana kontol lo?” Tangan kiriku membelai vagina yang bersih tanpa satu rambut pun.

Angga menyorongkan bokongnya, kuelus sebentar batang kontol yang memang naik pelahan itu. Aku bangkit sedikit, mengulum sebentar, memberi basah pada kontol Angga, sebab memekku masih kering setelah hampir dua jam lalu selesai. Rasanya belum sempat dibersihkan.

“Give the best for mama, ya?” kataku pada batang kontol Angga. Angga tersenyum, lalu mengambil posisi.

“Ayoo, Ngga, plis… sekarang…” perintahku.

Dan Angga menurut. Ia langsung memasukkan kontolnya pelan-pelan.

“Oh, langsung Ngga, ga usah pelan-pelan,” Angga menurut lagi.

Aku langsung memekik. Kejutan ini yang kuharapkan. Aku bisa mengukur kemampuan Angga melihat gayanya dengan Ratih, pagi ini pun ia pasti keletihan, cuma nafsunya saja yang tak bisa ditahan hingga fisik lebih fit. Maka, aku memutuskan untuk memuaskan diriku dengan caraku. Hentakan Angga cukup memberiku pukulan nikmat sampai ke kepala.

“Enak, Wid?” tanyanya sambil meremas bulatan payudaraku.

“Hajar, Ngga. Habisin. Habisin. Oww… terus, fuck… iya begitu…” aku meracau memberinya semangat. Sesekali kusapu putingnya dengan lidahku. Meraba dan memasukkan jari tengah kiriku ke anusnya. Bersamaan itu kujepit keras kontolnya dengan vaginaku.

Angga melenguh panjang. “Wiiiid… Oouughhhh…”

Aku tahu satu posisi misionari ini bisa membuatnya klimaks, dan aku juga bertekad memberi kepuasan bagiku pada posisi ini. Beberapa hentakan berikutnya, Angga menunjukkan tanda-tanda mau mencapai titiknya.

“Tahan, Ngga. Gw dikit lagi, percepat, Ngga, percepat.”

Dan Angga tumpah, kususul sedetik kemudian. Ia ambruk di atasku. Beberapa detik kemudian, ia sadar ada yang salah. “Wid? Sorry, gue tumpah di dalam ya?” Ia mengangkat badan tanpa mencabut penisnya.

“Gak apa, aman kok. Kalau ga salah.”

“Kalau jadi gimana?” tanyanya.

“Buang.”

***

Aku tahu Jojo akan datang malam ini. Ia terus menerus menelponku, meninggalkan SMS, sejak kemarin sore. Aku tak pernah mereply atau pun menjawab. Baru sore ini kujawab. Baru 5 menit aku bangun. Sepulang tadi, membersihkan make up dan membasuh muka dengan sabun, aku lepas semua pakaian termasuk bra dan cd, lalu bugil di balik selimut.

Aku: SORRY… G dgr,br BaNGun.Smlm pgi ma kwn2

Jojo: Siapa?

Aku: KWN2

Jojo: Co/ce?

Aku: ce ce & CO

Aku tak bohong kan? Memang dua cewek satu cowok.

Jojo: Siapa co-nya?

Duileh yang ditanya cuma nama cowoknya. Mau menunjukkan cemburu? Aku tak menjawab. Sepuluh menit kemudian, saat aku masih malas-malasan di atas tempat tidur, ia menelpon. Kali ini kuangkat. “Ada apa?”

“Siapa cowoknya?”

“Angga.”

“Siapa Angga? Aku baru dengar.”

“Temannya Selly.”

“Siapa Selly? Kok aku baru dengar juga?”

“Teman fitness,” kataku.

“Aku ke rumah nanti malam atau kita ketemu di luar?” tanya Jojo.

“Ga dua-duanya. Aku malas. Udah dulu ya, masih ngantuk.” Klik.

Jojo tak menilpun lagi. Aku pun tak tidur lagi. Meraba vagina sebentar. Kering. Mengering tepatnya. Tadi aku sudah membasuhnya di tempat Angga. Tapi aku tahu masih ada sisa-sisa di sana yang mengering. Aku merasakan Angga mengeluarkan cukup banyak, meski sudah sempat dikeluarkan oleh tangan Ratih.

Jariku terus masuk ke dalam. Lebih dalam. Mengocoknya pelahan agar basah dan sisa-sisa sperma yang mengering bisa keluar. Aku hentikan.

Tiba-tiba aku punya ide yang menarik. Buatku, tentu saja. Aku ke kamar mandi, membasuh vagina sedikit tanpa mengelap dengan handuk kecil. Membiarkannya kering oleh udara.

Aku mengambil kaos dan membiarkan tubuhku hanya dibalut oleh bahan tipis yang agak panjang hingga nyaris selutut itu. Aku keluar kamar, menjumpai Sari, pembantuku di ruang keluarga yang sedang menonton tivi.

“Mama ke mana?” aku bertanya.

“Pergi sama dek Citra dan dek Anto,” Citra dan Anto, keduanya adikku. “Katanya menginap di villa.” tambah Sari.

Kami memiliki sebuah villa kecil di puncak. Biasanya dipakai kalau papa sedang pulang untuk waktu yang lama. Berarti sekarang hanya aku dan dua pembantuku.

“Siapin makan, mbak. Lapar.” aku meminta.

Lalu aku kembali ke kamar, menyalakan tivi dan memilih siaran yang ingin kutonton. Memeriksa HP, membaca semua SMS yang masuk. Kebanyakan dari Jojo. Ada satu yang kureply, dari Selly. Gila nih anak udah bangun duluan. Selly tanya apa aku minggu depan sibuk atau enggak. Ada sepupunya yang datang dari Semarang untuk panggilan kerja. Selly meminta aku menemani dia bersama sepupunya.

“Ganteng ga?” aku mereply asal-asalan. Tak ada jawaban langsung. Maklum sih, SMS Selly sudah 4 jam lalu. Sebenarnya aku malas juga temani orang. Lagian cuma dari Semarang, pasti kan sering ke Jakarta juga. Buat apa ditemani? Toh ga bakal nyasar.

***

Sudah hampir pukul 7, aku mendengar bunyi motor berhenti di depan rumah. Kamarku terletak paling depan, dan hanya berjarak 6 meter dari pagar. Aku tahu siapa yang datang dari suara motornya. Itu Jojo.

Aku bangun dari leyeh-leyeh, melepas kaos, ke kamar mandi yang ada di dalam kamar. Aku tak mandi, aku tak mau membersihkan sisa-sisa jilatan dan tumpahan dua lelaki semalam dari tubuhku. Aku hanya membasuh membersihkan tangan, kaki dan membasuh muka, lalu menyemprotkan body splash, memberi parfum pada bagian belakang telinga, dada dan leher, lalu mengambil rok celana pendek, aku gunakan tank top untuk atasan.

Ketika di kamar mandi tadi, Sari sudah mengetuk memberitahu aku kedatangan Jojo. Ia tak perlu menunggu terlalu lama. Sari sudah berpindah menonton tivi di ruang atas.

“Hai, sayang,” sapa Jojo. “Maafin aku kemarin, ya. Aku mau jelasin persoalannya.”

Aku hanya diam, mendekat padanya, lalu meraih mukanya dan melahap mulut Jojo. “Jangan ngomong dulu bisa, nggak? Kamu kebanyakan ngomong, kebanyakan bohong.”

Jojo yang masih bingung tapi pasti nggak nolak, membalas seranganku. Setelah berciuman agak lama, aku menariknya masuk ke kamar. Aku membuka rok celanaku, mengangkang dengan satu kaki ke tempat tidur, kuminta Jojo berjongkok. Ia langsung memainkan lidahnya begitu tiba di bawahku. Aku memintanya untuk terus menjulurkan lidah ke dalam dengan menekan kepalanya. Jojo tahu isyaratku dan terus memutar lidahnya sembari masuk, rasanya seperti dibor dengan bahan lembut.

Lalu ia mengganti pola dengan lidah keluar masuk. Aku menekan kepalanya agar terus memainkan lidah di dalam. Oh, terus Jo. Rasakan hangatnya di dalam sana. Semalam tiga jari masuk ke sana dan tadi pagi satu penis melesak dengan keras. Bukan jari dan penismu. Oh, Jo. Teruskan. Ada sisa-sisa cairan yang mestinya kau hirup dari dalam sana asal saja kau tak datang selambat ini. Sekarang mungkin cairan itu sudah bersih karena meleleh atau masuk ke dalam sekalian. Tapi, pasti ada sisa di dalamnya.

“Kamu lagi keputihan, ya?” Jo mengangkat muka sebentar.

Uh, begok. Mungkin itu peju Angga.

“Kenapa? Jijik ya? Bukan kok, bukan keputihan, itu mungkin punyaku,” jawabku asal. Dan Jojo kembali bersemangat.

Selanjutnya aku menarik kepala Jojo agar melepas vaginaku. Aku rebah di atas tempat tidur. Jojo langsung naik untuk 69. Ia sorongkan batangnya yang lebih panjang dan hampir sama besar dengan Angga ke mulutku. Aku menyambutnya dari pelahan hingga menyodokkan ke tenggorokan.

“Hrooargh, hrooargh, hrooargh… ah,” aku mencabut sebentar bersamaan dengan banyaknya air liur akibat tersedak hingga dalam. Aku sungguh menikmati blow job begini. Disedak oleh sodokan penis.

Lidah Jojo terus mengorek vaginaku sembari sesekali melenguh nikmat oleh permainan lidah, tenggorokan dan mulutku di kontolnya. (Duh, sumpah, setiap menulis kata kontol, selalu ada yang berdenyut di bagian bawahku. Beberapa kali aku harus berhenti untuk mengoreknya dengan jariku. Aku ingin menggantinya dengan kata yang lebih lembut semacam “barang”, “punya lelaki”, atau “penis”, tapi akhirnya aku lebih suka kata “kontol”. DUH! Tuh kan).

Satu jariku masuk ke anusnya sampai Jojo mejen-mejen. Lalu ia menurunkan bokongnya hingga penisnya (sorry ga kuat) ke payudaraku. Aku menjepit dengan bongkahan 36C-ku, lalu mendongak sedikit agar lidahku menjangkau anusnya. Kusapu pelahan bagian luarnya dan pelahan memasukan lidah mengorek isi anusnya.

“Oooh, yang…” Jojo bangkit dari posisinya dan langsung celentang. Aku segera menaikinya, memasukkan kontolnya (duh!) ke memekku. Selanjutnya aku bekerja dengan cepat.

Setelah beberapa menit aku bergoyang dan naik turun, Jojo menaikkan tubuhnya, melahap tetekku sembari memberi gigitan pelan. Kali ini aku maju mundur sembari menikmati hisapan. Tak berapa lama di sini, Jojo memegang pinggangku dan menaik turunkan bokongnya, mengambil alih goyangku. Ditusuk dari bawah, aku menjerit-jerit kecil.

“Oooh.. oooh.. oooh.. yang… yang keras, yang… oooh…”

Ia lalu membalikkanku tanpa mencabut dan menyodok dari atas. Aku tahu sebentar lagi ia keluar. Aku segera menjepit-jepit keras agar turut merasakan permainan yang dipersingkat ini. Tak lama kemudian, ia benar-benar menjerit dan mencabut, menumpahkan semuanya di atas badanku. Mengusapkan kepala penisnya ke bawah pusar, lalu memasukkan lagi ke vaginaku. Memberi aku kesempatan untuk mencapai orgasmeku sebelum penis itu benar-benar mengecil. Dan aku mendapatkannya malam itu.

“Aku minta maaf ya, yang,” Jojo kembali membuka topik kemarin.

Aku menggeleng, dan bangkit dari tempat tidur. “Enggak.”

“Loh, tapi tadi?”

“Kenapa tadi? Kamu suka, kan? Kamu enak kan?”

Jojo mengangguk.

“Ya sudah, jangan ditanya. Aku ga maafin kamu. Kamu ga boleh gitu lagi kalau terima telpon Ratih. Bila perlu kamu tak perlu menerima telponnya lagi. Aku tak akan maafin kamu sampai kamu benar-benar membuktikan bahwa kamu sudah tak ada apa-apa dengan Ratih.”

Jojo mengangguk lagi.

“Aku menerimamu lagi, kok. Sekarang kamu istirahat, gih. Recovery. Aku mau mandi, orang rumah ga ada, kok.”

***

Bas meneleponku, ia akan datang malam ini. Segera kukontak Jojo agar untuk sementara tidak mengusikku.

Saat pesawatnya tiba di Soekarno-Hatta, sore itu, dan kami bertemu, aku melihatnya begitu kuyu. Letih luar biasa terlihat dari kuyu itu. Seminggu dia meninggalkanku untuk pekerjaan di Berau, Kalimantan Timur. Bila malam, ia masih sempat menelponku berjam-jam, dan pagi sekali sudah bangun. Apalagi waktu di tempatnya satu jam lebih cepat dari Jakarta.

Bisa kubayangkan keletihan itu. Makanya aku membiarkan dia tertidur sepanjang perjalanan kami menuju Carita, langsung dari airport. Bas hanya bangun untuk makan di tempat peristirahatan di jalan tol. Sempat juga dia memesan satu cup coffee yang baru dia minum menjelang kami tiba di Carita. Rupanya segelas kopi dan tidur selama sejam cukup membuat tubuhnya sedikit pulih.

Sebelum turun, aku sempat menggodanya. “Beib, aku butuh kamu terjaga malam ini, ya? Aku kangen banget.”

“Trus memang kita mau ronda?” canda Bas.

“Ah, beib. Aku butuh ini,” lalu aku mengelus selangkangannya dari luar celana.

“Wuih, aku juga butuh ini, yang,” kata Bas sambil memasuki rokku dengan jarinya. “Juga ini (tangannya menyentuh payudaraku), dan ini (lalu Bas memulas bibirku dengan bibirnya).”

Kami lalu tak mau menunda lama untuk melepas kangen itu. Setelah check-in dan mendapat kamar, aku langsung menubruknya, menelanjanginya dan tak mau berlama-lama untuk pemanasan. Selangkanganku sudah basah sekali. Sepanjang perjalanan aku sudah membayangkan untuk ditusuki oleh penis Bas yang tak pernah terlupakan rasanya olehku itu. Sudah ingin diporak-porandakan oleh gayanya yang cenderung ugal-ugalan bila get laid.

“Oh, punyamu sudah keras, Bas.”

“Apaku?”

“Kontolmu, sayang. Sudah keras banget,” ralatku menyadari dia menyukai kevulgaran dalam bercinta. “Masukin, sayang,” pintaku sambil menuntun penisnya memasukiku.

“Oh, kamu basah sekali, Wid. Habis dipakai, ya?” tanya Bas seraya mendesah.

“Iya, sama dua kontol. Gede banget. Kamu sih kelamaan,” aku menjawab mengikuti seleranya yang suka meracau tak karuan kalau bercinta.

“Shit!” Bas mempercepat kocokan di memekku. “Mereka tumpah di mana?”

“Di mana-mana. Di mulut, di dalem memek. Oooooh, Bassss… teruuus…”

Setelah beberapa menit, Bas mencabut kontolnya. Menyodorkan ke mulutku. Dia memang paling menyukai aku menikmati aroma memekku sendiri yang menempel di penisnya. Setelah itu dia melap memekku yang sangat basah, lalu menjilatinya beberapa saat dan kembali memasukiku. Makin lama gerakannya makin cepat, aku mulai kuatir. Aku memang sudah ingin meledak dari tadi, tapi perjalanan yang cukup panjang membuatku butuh waktu agak lama dari biasanya untuk orgasme.

“Wid, Wid, Wiiiiid… Oh aku mau tumpah, mana mukamu.”

“Tahan, Bas. Tahan, sayang. Sebentar lagiiiii…”

“Wiiiiiddd…” terlambat, Bas telah mencabut penisnya dari lobangku dan mendekatkan selangkangan ke wajahku. Lalu seer, seer, crottt, crottt, seer…

Aku ambil penis Bas, kujilati sisanya.

“Ooh, sorry, sayang. Aku tak tahan.” Lalu dia ambruk di sisiku.

“Iya, sayang. Gak apa. Istirahat dulu, nanti lagi, ya. Aku belum.”

Lalu, Bas menarikku. Memeluk dan mencium bibirku, lalu ambruk dengan tangan memegang kiri tetekku.

Aku menenangkan diri sebentar dengan segelas air putih, tak beranjak menemaninya, lalu menyalakan televisi. Kulirik jam, 15 menitan tadi. Mestinya aku pun sampai. Tapi, barangkali karena tiba-tiba aku butuh agak lama, dan Bas terlampau letih, hingga permainan itu tak bisa dicapai secara bersama.

Aku memutuskan untuk menunggunya. Setengah jam. Pelan kudengar dia mendengkur. Oh, my God. No. Aku tahu petanda apa ini. Bas kalau sudah mendengkur berarti butuh tidur lama. Oh, no. No. No.

Benar saja, sejam setengah kemudian dia tetap tak bergerak. Kadang dengkurnya keras, kadang lembut, lalu hilang, tapi tak lama mendengkur lagi. Oh, kau letih sekali, Bas. Mereka mengambil tenagamu dan aku tadi tak menunggu kau pulih.

Tapi di bawahku sangat bergelora. Aku lalu bangun, berinisiatif membangunkannya dengan caraku. Kucelentangkan dia, kuambil kontolnya, kujilati pelan lalu mengulumnya, menjilati bolanya, naik ke atas menjilati putingnya. Dan Bas mengelus rambutku, aku mendongak, melihatnya tersenyum tapi mata tetap terpejam.

“Enak, yang. Bobo, yuk.”

Uh! Enak, yang, tapi bobo yuk. Aku tak peduli, mencoba terus. Lima menit berlalu, agaknya usahaku sia-sia. Penisnya tak kunjung tegak. Ini bukan biasanya. Biasanya mata Bas merem tapi penisnya bisa tegak dan aku tinggal menaikinya. Tak peduli dia tidur. Oh, Bas kamu kenapa?

Akhirnya aku menyerah. Aku turun dari tempat tidur ke toilet. Membersihkan mukaku, lalu mandi sebentar, sekadar basah dan seka dengan sabun sekenanya, bilas lalu mengeringkan badan. Kulihat dia tetap tidur.

Air dingin tadi tak sanggup mendinginkan geloraku. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Tak bisa melihat Bas terus tanpa terangsang.

Aku mengambil pakaian tidurku. Merah menyala dengan bordir bunga, dengan panjang hanya sejengkal dari selangkanganku. Hanya CD yang kukenakan di dalam, aku tak mengambil lagi bra-ku. Lalu kuambil cardigan hitam dan mengancingnya hingga atas. Kurasa di bawah tak terlalu dingin. Dan aku tak mau repot nanti kalau sewaktu-waktu Bas menelponku, memintaku ke atas dan mengulangi permainan tadi.

Kukecup pipinya dan pamitan, “Beib, aku ke bawah ya. Cari minuman. Kamu telpon aku kalau udah siap, ya.”

Kulihat Bas mengangguk.

***

Bar hotel ini kecil saja. Hari masih pukul 23.00, belum terlalu malam, tapi sudah sepi. Tak ada siapapun kecuali satu bartender dan satu orang yang memainkan organ tunggal. Mereka berdiam masing-masing. Memang sepi. Barangkali karena ini hari Senin dan Carita adalah tempat berlibur, bukan bisnis sehingga sepi pengunjung di hari kerja.

Aku mendekat dan memesan Margarita. Campuran 1,5 oz tequila ditambah setengah oz triple sec, diberi lime juice dan dibubuhi garam. Ini cukup membuat darahku agak tenang rasanya.

Aku meminta pemain organ memainkan musik yang agak lembut. “Apa saja, asal lembut,” pesanku kepada bartender. Sebelum pergi, aku meminta sebungkus rokok mentol putih.

Sembari berdiam sendiri, aku mengirim SMS ke beberapa kawan, sekadar hai dan yang membalas kulanjutkan ngobrol dengannya via SMS. Aku memesan satu margarita lagi sembari melihat jam. Sudah 00.10, hmh… Bas belum bangun juga.

“Datang sendiri?” tanya bartender sembari menyorongkan margarita gelas kedua.

“Nggak. Sama suami. Di atas dia, lagi ada pekerjaan,” jawabku asal.

Dia mengangguk-angguk.

“Sepi, ya? Apa karena hari Senin?” aku balik bertanya.

“Belakangan ini, Jumat atau Sabtu pun di bar ini sepi. Tamu hotel lebih suka pergi keluar. Yang dari luar juga sudah mulai jarang datang. Apalagi sekarang tamu hotel juga kayaknya gak banyak,” dia menjawab panjang lebar. Lalu, kepalanya mendongak dan menebar senyum. Rupanya ada yang datang di belakangku.

“Hai, mister… please,” ia menyorongkan tangannya terbuka menunjuk ke tempat di mana saja yang baru datang itu bisa duduk.

Aku tak menoleh. Dari sapaan mister, aku bisa menduga seorang bule tua sedang masuk.

“Hai, apa kabar?” oh dia bisa berbahasa Indonesia. Lalu duduk. “Boleh?” pertanyaan ini buatku.

“Oh, silakan.” Lalu ia duduk di sebelahku di meja bar itu.

“Beer,” pesannya.

Mereka lalu bercakap. Sesekali aku melihat. Oh, salah rupanya. Bukan bule tua. Tidak muda juga. Kutaksir usianya mungkin sekitar 40-an. Bulu tangannya sedikit bahkan terlalu sedikit untuk ukuran orang Indonesia. Aku sendiri tak suka dengan bulu tangan atau bulu di bagian manapun sehingga menganggap cowok ini cukup memikat. Perawakannya tinggi, lebih tinggi bahkan dari Bas yang bagi orang Indonesia sudah masuk golongan tinggi. Sedikit kekar.

Ia menggunakan celana putih selutut longgar dan kemeja tipis biru. Sesekali ia melirik ke bawah dan terus ke bawah kanan. Itu berarti melirik pahaku yang memang bertebaran ke mana-mana karena hanya menggunakan lingerie strach lace. Tangan kirinya kadang turun ke bawah membetulkan sesuatu di selangkangannya. Aku bisa melihat ia menggeser posisi penisnya ke arah kiri dan meratakn posisinya.

Oh, shit! Aku tentu bisa melihat panjang dan besarnya dari luar celananya. Agaknya bule ini tak menggunakan celana dalam lagi. Aku mulai pusing.

Kucoba telpon ke HP Bas, lima kali tak juga diangkat. Meminta ke bartender untuk menelpon ke kamarku berbarengan dan aku menelponnya lagi. Juga tidak ada yang mengangkat. Bas tidur atau pingsan ini?

Aku lalu bangun, meminta bartender memasukkan tagihanku ke kamar. Tapi si bule ini menyela, “biar masukkan ke saya saja. Kamu sudah mau tidur? Kita jalan bersama.”

Ia lalu mengenalkan dirinya, Martin. Dari Swedia. Ia tengah datang untuk assessment suatu bisnis di Banten ini.

“Kamu datang dengan boy friend?”

Aku mengangguk.

“Dia yang tadi kamu telpon dan tidak angkat?”

Aku mengangguk lagi. Kami sama-sama memilih tangga ketimbang lift. Toh aku di lantai dua.

Setiba di lantai dua, aku bertanya? “Kamu di lantai ini juga?”

Martin menggeleng, “tidak saya satu lantai lagi. Mau ke atas sama saya? Your boy friend need some rest, I think. And I can see you didn’t sleepy actually.”

“Kamu juga belum mau tidur?” tanyaku. Dia menggeleng.

Aku mengikuti ajakannya.

“Mengapa kamu belum tidur?” Martin bertanya. Kami sudah tiba di muka kamarnya.

“Honestly,” kataku. “I need sex tonight.”

Martin mempercepat membuka kamarnya. Menyilakan aku masuk lebih dulu. Menyelipkan kuncinya sehingga kamarnya terang. Dan di pintu itu juga ia meraih leherku, yang itu berarti ia harus tertunduk sangat jauh, membisikan kata-kata di telingaku. “Saya bisa kasih kalau kamu mau.”

Aku agak ill feel sebetulnya mendengar dia berbahasa Indonesia, seperti mendengar kumpeni bicara. Tapi aku hargai keinginannya untuk belajar mengasah bahasa Indonesianya.

“So, fuck me, Martin. Here, now, and very hard.”

Martin membopongku ke tempat tidur. Lalu aku membuka cardigan dan menyisakan lingerie saja. Martin membuka kemejanya, lalu menciumku, memainkan lidahku dan tiba-tiba ia turun ke bawah, ke selangkanganku. Mengelus celana dalamku dari luar, lalu menjilati tepiannya sementara satu tangannya sibuk menjalar ke mana-mana. Oh, aku mulai meledak lagi.

Ia lalu membuka CD-ku dan terpana melihat vagina menumpuk milikku yang tanpa satu bulu pun.

“Oh, its nice. I love your pussy. I’ll make you sweat, I promise.”

“So, make it happen and don’t talk too much,” aku merintih.

Lidahnya telah mengorek memekku, masuk terus ke dalam, berputar di dalam dan sesekali keluar masuk menusuk-nusuk. Lidahnya kasar, lebih kasar dari Bas yang sangat kusukai permainan oralnya. Kedua tanganku meraba rambutnya, mengusapnya, lalu aku mengangkat kaki, menggantikan tanganku dengan kaki. Ia terus bekerja tanpa memedulikan kakiku yang telah mengusak-usak rambut tipisnya, sementara kedua tanganku bekerja di dua tetekku.

“Shit, Martin… I love your tounge.”

Cukup lama ia bermain di bawah sana, hingga aku tak tahan dan betul-betul meledak. Aku melenguh panjang dan merentangkan kaki. Martin menaikiku, mencium lembut bibirku. Aku tiba pada keinginanku yang tertunda tadi.

“Oh, enak Martin. Kamu hebat. Aku merasakannya barusan.”

“Kamu sudah?”

Aku mengangguk. “But not enough.”

Martin tersenyum lalu melumat bibirku. Lidahnya dijulurkan lagi, aku menyambutnya. Lalu aku membalik tubuh, gantian menaikinya sambil terus berciuman sangat dalam. Kusapu gigi atas dan bawahnya bergantian dengan lidahku. Lalu kuambi kedua bibirnya masuk ke dalam bibirku.

“Mmmmhh… fuck. Your fuckin’ cunt, Wiwid. Great kisser.”

Aku lalu turun terus ke leher, mampir ke kedua putingnya, bergerak agak lama di sana. Memainkan lidahku bergantian, terus turun ke perut, pusar. Membantu Martin membuka celananya. Bangsat! Aku sudah dikerjainya sekali dan dia tegak benar pun belum. Lidahku lalu bermain di selangkangannya. Menjilati seputaran kontolanya sembari tanganku meraih batang yang mulai memanjang dan membesar itu. Lidahku menjalar terus ke dua bolanya. Menjilati bagian itu yang menyisakan sedikit rambut di sana, terus memutar lidahku di kedua bola sembari tanganku mulai mengocok pelan batangnya yang betul-betul kian membesar dan memanjang itu. Lidahku mulai naik dari kantong zakarnya ke atas, menyusuri batang yang kurasa sangat lama hingga ke ujungnya.

Ooh… aku bisa memastikan bakal ada rasa perih pada mulanya kelak. Aku memerhatikan dari atas kontol Martin yang telah tegak sempurna. Lalu aku mulai mengocok dengan mulutku. Masuk, batangnya dapat masuk meski aku harus membuka mulut terlalu lebar. Lalu kucoba memasukkan terus… Horgh… ohhhh... horgh… rasanya sudah mentok dan batang itu masih menyisakan segenggaman jariku di luar. Aku betul-betul bernafsu hebat membayangkan bahwa sebentar lagi, kapanpun aku mau, batang besar dan panjang ini, lebih besar dari milik siapapun yang pernah kurasai, akan memasuki. Terserah dengan cara apa ia akan memasukiku, sekasar apapun aku akan menerimanya. Aku pun mempercepat keluar masuk kontolnya di mulutku, memberi putaran lidah di dalam sehingga membuat Martin menggelinjang dan sedikit menjambak rambutku. Ia lalu tak melepaskan pegangan pada rambutku itu lalu membimbingku lebih cepat dengan menaikturunkan kepalaku.

Aku tak kuat. Aku langsung bangkit, menyiapkan lubangku dan menuntun penisnya memasuki vaginaku. (Ah tak enak istilahnya penis dan vagina, kukoreksi: menuntun kontol besar dan panjangnya memasuki memekku yang haus akan sodokan keras). Kontol Martin ini terbesar yang akan segera memasukiku. Lebih besar dari siapapun yang pernah mengeram di dalam sana. Hampir dua kali lebih besar dari Bas, bahkan lebih besar dari Valdi yang sebelumnya kurasa paling besar yang pernah melesak ke dalam memekku dan menumpahkan peju di sana. Lebih besar dari bule… shit siapa namanya mantan pacar Hesti yang pernah kuberi hand and blow job di kontrakan mereka, ketika Hesti terkapar mabuk dan tak sanggup melayani pacarnya sendiri.

Martin mau bangkit untuk mengambil alih posisi. Aku mencegahnya. “No, no baby… biar aku saja.” Kontol ini terlalu besar untuk dibiarkan masuk sendiri. Bisa-bisa aku menjerit kesakitan.

Dan ini pun, oh dan ini pun, ampun…. Aku tak bisa mengontrol diriku. Meski aku yang mengambil peran di atas tapi aku tak sanggup untuk menahan diriku untuk tidak berteriak. Belum semua milik Martin masuk.

“Ooooohhhh… damn you, Martin. Diam, Martin, diam.” Aku meracau tak karuan.

Oooh, kapan habisnya ini. Belum masuk semua. Aku menahannya pada suatu posisi yang kurasa sudah cukup dalam, lalu bergerak pelan naik turun. Merasakan tiap inchinya.

Martin keenakan di bawah sana. Tangannya memainkan kedua payudaraku, terus meraba ke bawah hingga bongkahan pantatku dan membantuku menahan beban tubuh yang setelah lima menit mulai merasa berada di ujung nikmat.

Oh, tapi aku belum mau selesai. Aku mencabut penisnya, memberi istirahat pada memekku yang langsung berkedut hebat. Aku memulas batang besar ini dengan lidahku, lalu mengambil posisi menungging.

“Lick my ass, Martin and stick your big dig into my wet pussy,” perintahku.

Martin bangun, menjilati dan mengecup semua bongkah pantatku hingga tiba di mulutnya dan mulai memainkan lidahnya, dari luar lalu pelan memutar ke dalam, terus ke dalam.

Ooohhh…

Ia mengulanginya lagi dari luar hingga empat kali, lalu bangkit, mengarahkan batangnya yang kulihat menggantung tegak. Aku mengangkang agak lebar agar memberi jalan lebih mudah, dan… heg!

“Anjing!” Aku memekik.

“What?” Martin belum tahu apa itu anjing atau ia tak tahu dalam beberapa situasi “anjing” bisa berarti pujian atau rasa sukur.

“Rape, me. Drill your bitch!”

Martin mulai mengerti, ia lalu menghentak sekali lagi. “Anjing!”

Lalu ia menusuk dengan lebih cepat, lebih cepat, lebih cepat…

Aaaaahhhhh… aku tiada merasakan apapun kecuali kesakitan. Tapi aku tak mau ia berhenti. Aku menjerit sekuatnya.

“Aaaaaahhhh… Martin your hurt me, fuck… you hurt me… don’t stop… Martiiiiiiiiiiinnn…”

Tak ada lima menit ia mengendurkan adukannya pada lubangku. Aku mulai mengatur nafas, dan merasakan gesekan nikmat yang gak ketulungan. Oh, rasanya sedikit lagi. Aku membutuhkan gerakan keras dan cepat.

“Martin, I’ll cummin’ … I’ll cummin’, make it quit.”

“Yes, baby… I’m coming now…” rupanya ia pun merasakan sensasi hebat di dalam sana. Ia makin cepat, cepat, cepat dan akhirnya…

“Bitch! Oh, Wid. Your tight pussy… Oooh… fuck!! Fuck!!! Oooh…” bersamaan dengan itu ia menyembur… terasa benar. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, dan oh, masih… enam kali. Aku ambruk tengkurap dan ia langsung setengah menindihku. Menciumi pelan keringat di pundakku.

“Oh, thank you, Wiwid. I love your tight pussy.”

Aku berbalik dan mengambil kontolnya yang sedang perlahan melemas. Aku beri lumatan di kepalanya dan membuat ia menjerit… “Oooh… no, please…. I can’t take it.”

Aku tak peduli, ia berusaha terus menarik kepalaku dari sana. Tapi aku terus menyedot sisa sperma dan mengulum kepala penisnya yang mengilat karena bergesekan dengan vaginaku.

Oh, Bas. I’m sorry. I know you will understand. Kau terlalu lelah malam ini, Bas.