Minggu, 04 Agustus 2013

Sahabat Jadi Cinta

Aku bekerja di biro penyelidik yang membantu tugas kepolisian. Bersama team yang berjumlah lima orang kami banyak bekerja di laboratorium lapangan yang bisa berpindah pindah tergantung situasinya. Kalau ada kasus yang pelik terkadang kami harus nglembur berhari hari di lab. Lab juga menyediakan tempat tidur dan loker yang nyaman.

Team kami terdiri dari 3 cowok dan 2 cewek, tidak terasa sudah 5 tahun kami bersama sama dalam suka dan duka. Dimulai dari tugas tugas yang ajaib, tugas yang memerlukan konsentrasi tinggi, dan situasi situasi yang terkadang berbahaya. Tetapi justru kondisi kondisi ekstrem itulah yang menyebabkan kami jadi kompak.

Hubungan kami semua sudah seperti kakak dan adik. Aku paling dekat dengan Rini dan Niken. Mereka aku anggap adikku sendiri. Sering mereka bermanja manja denganku. Terkadang mereka suka iseng duduk dipangkuanku. Atau kalau kami kecapekan mengerjakan tugas dan harus tidur di kantor, Rini tidak sungkan tidur di sebelahku sambil peluk-peluk. Aku juga tidak merasa aneh, malah sering merasa kasihan karena mereka jauh dari keluarga demi tuntutan tugas.

Rini baru menikah jalan satu tahun. Sementara Niken masih single. Sebagai pasangan yang masih baru menikah, hubungan Rini dengan suaminya bukannya mesra tapi malah sering bertengkar. Alasannya sederhana, suami keberatan dengan cara kerja kami yang jarang pulang. Aku jadi berpikir, ,bagaimana dulu mereka memutuskan untuk menikah kalau tahu situasinya seperti ini. Sedang aku sendiri memilih untuk tidak menikah. Karena aku sangat menikmati ke jombloanku ini.

Kali ini kami mendapat kasus yang luar biasa rumit. Korban pembunuhan ditemukan di laut di bawah Rig di lepas pantai Karimun Jawa. Kondisi korban mengenaskan, melepuh seperti terkena cairan amonia. Padahal jelas di daerah tersebut tidak ada celah dalam laut yang mengeluarkan gas tersebut. Kami melakukan penelitian, penyusuran, selama 2 minggu tapi hasilnya masih nihil. Aku sendiri sudah berkali- kali diving di bawah Rig untuk memeriksa TKP, mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Melakukan wawancara dengan orang-orang yang dicurigai.

Kondisi under pressure ini membuat kami sering bertengkar antar team. Bayangkan, di tengah laut, udara dingin, badai yang kadang menerpa membuat kami mudah naik darah. Terutama Andi , Niken dan Rini. Aku dengan Tony lebih sering mendengarkan saja apa yang mereka ributkan. Ujung-ujungnya Niken atau Rini mengalah dengan kembali ke kabin mungil mereka di lantai bagian bawah rig ini. Dan seperti biasa aku menghibur dengan mengajak bercanda. Sejauh ini sih ok-ok saja dan selalu berhasil mengembalikan keceriaan mereka.

Tapi kali ini tampaknya cara ini sudah tidak manjur lagi.

“Rin... Rini...” aku ketok pintu kabinnya.

Perlahan pintu terbuka. ”Masuk, Rud.” kata Rini sambil mengusap air matanya.

“Aduh, bidadariku kok nangis terus neh, yuk main monopoly sama Tony. Aku panggil ya,” Seperti biasa aku berusaha mengalihkan perasaan sedihnya, ke sesuatu yang aku harap bisa sedikit menghibur.

“Gak usah, Rud. Kita ngobrol aja.” kata Rini sambil mengangkat kakinya mojok di ujung cabin. “Gue pengen ke darat, Rud. Pusing. Pengen ketemu suami.“ Dilemparnya jas lab ke pojok kamar.

“ Yeee, jemputan helicopter baru datang 2 minggu lagi, non. Minggu ini kan bagiannya si Tony. Ia udah 3 bulan lho gak pulang. Kamu kan baru 2 minggu.” kataku mengingatkan.

“Gak deh, gue mau keluar aja, mengundurkan diri. Gue udah nikah. Loe tahu kan, Rud, kalo udah nikah kalo pusing harus bagaimana?” katanya sambil merengut.

“Iya-iya, gue ngerti. Elu sih, ngapain nikah? Mending kayak gue nih, kalo pusing gak pengen macam- macam. Paling oleh raga bentar udah ilang pusingnya. Kalo elu udah ngrasain yang satu itu bakal keenakan dan pasti larinya kesitu deh kalo pusing.” kataku sok memberi saran.

Aku memang bukan tipe cowok yang suka ke cewek untuk pelarian. Bagiku sex tidak terlalu penting. Entahlah, masih banyak yang menarik selain sex untuk melepas kepenatan dan stress. Bisa diving, mendaki gunung, ke ujung kulon atau rafting. Wow, semua itu jauh lebih menarik daripada sex. Aku punya kelainan? Ahh, gak juga. Aku suka juga kok lihat cewek sexy. Aku suka Sandra Dewi, aku juga suka si sexy Aura Kasih, hahahaha… cuma menurutku ribet kalo sudah berurusan dengan yang namanya perempuan.

“Rud, kenapa sih loe kok gak menikah? gak tertarik sama perempuan ya? Gue lihat loe kok gak punya temen cewek, alim banget gitu.“ tanya Rini ingin tahu. “Sorry, Rud, jangan tersinggung ya. Gue tanya ya, loe homo ya, Rud? Sorry lho. Tapi gak pa-pa kok, homo juga manusia. Soalnya gue sudah curiga ketika gue tiduran di sebelah loe kapan itu. Kok loe nggak nakal sama sekali. Biasanya cowok suka jahil.” kata Rini menyerocos.

“Walah, Rin. Loe ini lucu. Gue juga normal kok. Kemarin gue gak nakal sama loe karena loe udah gue anggap adik saja. Selain itu rasanya aneh, masa temen sendiri dijahilin. Ah, loe ini ada-ada saja. Gue normal, non. Normal senormal normalnya. Coba deh loe ganti baju di depan gue, dijamin gue horny, pusing juga. Hahahahaha…” kataku asal ngomong.

“Ah, gak percaya. Paling loe gak mau ngaku, iya kan? Biasa cowok suka gengsi kalo ketahuan, iya kan?” katanya sambil perlahan membuka blazer diikuti rok spannya kemudian melemparnya ke pojok kamar. Aku hanya memandangnya terkaget-kaget.

Ups! Bra hitam menerawang dan berenda membuat Rini lumayan seksi. Hmm, eh, sebenarnya malah seksi banget. Hmmm, ukuran berapa tuh ya?!


Sengaja Rini menggodaku. “Coba, loe terangsang nggak lihat gue?” dia tersenyum-senyum sambil melepas stocking hitamnya yang berenda di depanku. Kemudian kaki jenjangnya dinaikkan diantara pahaku. “Tolong dong lepasin kaitannya, please.” rajuknya sambil menarik tanganku ke pahanya.

“Rin, kamu nakal deh. Gue nggak terangsang bukan karena homo, non. Udah, cepetan ganti bajunya.” suaraku serak sambil membuka kaitan stokingnya.

“Nah ketahuan kan kalo homo, hehehe... Gitu aja gak mau ngaku.” kata Rini sambil mencubit dadaku. Kemudian tangannya ke belakang untuk membuka kaitan branya. Dadanya sengaja didekatkan ke wajahku. ”Rud, gimana, dadaku seksi nggak? Gue buka deh. Kalo loe gak terangsang, berarti loe harus ngaku kalo homo.” kata Rini sambil mengedipkan matanya menggoda. Sedikit mendesah menggoda, ia menggoyangkan dadanya ketika meloloskan bra 15 cm di depan hidungku. Geletar buah dadanya yang ternyata putih mulus mulai membangunkan ‘adikku’. Ujung putingnya mungil dan merah muda! Gila!

“Hhhhhh, Rin, kamu jahil banget.“ kataku serak agak gemetar. Rini kini topless di depanku hanya menggunakan cd hitam kecil menerawang. Mau tak mau aku agak menunduk jengah. Sialan anak ini. Rupanya dia masih bersikukuh kalo aku homo.

“Bener kan loe homo, hehehehe… Lihat tuh, gak terangsang sama sekali.“ dia menunjuk benda yang ada di balik celana jeansku.

Wajahku merah padam karena malu. Perlahan benda imut dibalik celana jeansku bertambah besar. Hmmm, anak ini perlu diberi pelajaran. “Ok, non, kalo itu maumu. Nih gue tunjukin!!“ kataku sambil melepas kancing jeansku. Belum tahu dia kalo punyaku gede banget. “Ini, coba liat, besar kan?“ kataku sambil mengeluarkan batangku yang mulai membesar.

“ Wooo... besar juga punya loe! Tapi gak keras gitu, loe terangsangnya terpaksa ya? Hahahaha.” Rini tertawa.

“Kan belum loe lepas semua, gimana gue bisa terangsang hebat? Ayo lepas semua!” tantangku sambil menarik ringan cdnya.

“Ok-ok, gue lepas.” katanya senyum-senyum sambil memejamkan matanya. “Gimana, udah besar belum? Udah keras kan? Atau... apa perlu di cium biar gede?”

Gila nih cewek, nantang terus. Aku pegang tangannya lalu aku arahkan untuk memegang batangku yang sudah mengeras dan membesar. Mata Rini membelalak ketika meremas batangku. ”Gede banget, Rud!!!” katanya sambil melepas remasannya kemudian menutup mulutnya. Mungkin dia kaget melihat ukuran milikku yang diatas rata-rata, maklum aku sedikit ada keturunan arab.

“Jadi loe normal dong?” katanya memandangku dengan pandangan aneh.

“Ah, loe ini bandel banget. Gue udah bilang gue normal. Gue terangsang berat nih sekarang! Loe kudu tanggung jawab,“ kataku bercanda pura-pura protes.

Tapi tanpa kusangka, perlahan Rini mendekat. Sambil menyentuh dadaku, dia berbisik serak, ”Gue tanggung jawabnya musti gimana, Rud? Trus kita enaknya ngapain, pake baju lagi?“ wajahnya mendekat ke wajahku. Ganti aku yang bengong, terkaget-kaget melihat reaksinya. Wajahnya cuma berjarak 10 cm dari wajahku. Tambah mendekat dan mendekat.

Aku agak panik, aku tidak tahu harus berbuat apa. Jujur, aku memang gak ahli soal perempuan. Bahkan aku sebenarnya belum pernah tidur dengan perempuan. Hahahaha… aku masih perjaka!! Goblok ya?! Tapi kenyataannya memang begitu. Dan kini tangan Rini mulai melingkar di leherku sementara aku masih tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi entahlah, seperti ada magnet yang membuat bibirku harus menyentuh bibirnya yang menawan itu. Matanya yang ternyata indah, kecoklatan dengan bulu matanya yang lentik itu terpejam lembut, bibirnya sedikit membuka seakan menunggu aku menyentuhnya dengan bibirku. Perlahan aku sentuh sekilas, kemudian aku ulangi lagi lebih lama, bibirnya terasa hangat, empuk sekali, terasa badanku meremang. Jantungku berdentangan di dadaku. Kakiku mendadak lemas.

Sialan, aku baru sadar ternyata Rini cantik dan menggairahkan sekali. Secara naluri tanganku yang gemetar mulai mengarah memegang buah dadanya yang ternyata juga empuk dan lembut. Tangan Rini mulai menyentuh batangku yang menegang keras. Matanya kini membuka ketika mulai meremas batangku. Perlahan bibirnya turun mencium kedua puting dadaku kemudian turun sedikit bawah ke perut sixpack-ku. Turun… Turun… dan terus turun hingga tiba tiba terasa ujung batangku menjadi hangat. Kehangatannya bertambah panas menuju pangkal batangku. Uhh, ternyata begini rasanya di oral. Gila, ternyata nikmat banget. Kakiku sudah tidak kuat berdiri. Tanganku memegang meja untuk menahan tubuhku yang melemas. Dan Rini tampaknya mengerti, perlahan dia berdiri lagi lalu menarik tanganku menuju tempat tidur kecil. O..oo.. apa aku harus menidurinya? Aduh, rasanya aneh. Tapi entahlah, aku tidak bisa menghentikan naluriku.

“Rud, loe kok pasif sekali sih?” bisiknya lembut ditelingaku. “Gue kurang sexy ya?”

“Mmm. Rin… Gue belum pernah.” kataku tercekat dengan wajah memerah.

“Hah! Belum pernah?” wajah Rini benar-benar terkejut. Sampai perlu-perlunya dia menarik tubuhnya agak menjauh saking kagetnya.

Tapi rupanya Rini cepat paham, dia tidak mau memperpanjang pertanyaan-pertanyaan konyolnya yang bakal membuatku makin bertambah malu. “Kita santai aja ya, loe berbaring aja…” bisiknya tersenyum sambil mempermainkan ujung dadaku. Tubuh hangatnya kembali menyatu dengan menindih tubuhku.

Kami kembali berciuman dengan lembut. Makin lama makin liar, ganas. Ludah kami sudah saling bertukar. Nafas Rini makin menderu, perlahan jemarinya kembali meremas batangku. Kemudian Rini duduk diatas tubuhku sambil mengarahkan batangku ke miss V nya.

“Meski belum pernah, jangan buru-buru loe keluarin ya, Rud…” katanya memohon. ”Gila, punya loe jauh lebih besar dari punya suami gue!” bisiknya mendesah sambil mulai memasukkan batangku. Posisinya yang diatas memudahkan dirinya mengatur penetrasi batangku.

Perlahan batangku mulai sedikit demi sedikit menghilang tenggelam di miss V nya.
Rini merintih sambil memejamkan matanya menikmati. Gila rasanya batangku dijepit kuat. Apakah memang begini rasanya bercinta. Apakah memang senikmat ini? Perlahan Rini menggerakkan tubuhnya naik turun. Ya ampun, gesekannya ternyata geli dan enak sekali. Gerakannya mulai liar dan cepat.

“Rud, besar sekali! Aaaahh… enak, Rud. Aduh, kok enak sih! Jangan keluar dulu ya, Rud.”

Sementara dia sibuk menerocos, aku malah terkagum-kagum melihat wajahnya yang terangsang hebat. Aku baru sadar ternyata Rini cantik sekali, wajahnya sensual, dan ini bukan wajah yang sehari hari aku lihat. Dalam hati aku menyesal, kenapa gue goblok banget, ngapain aja aku selama ini.

Aku mencoba mencium puting buah dadanya. Ingin tahu bagaimana rasanya puting buah dadanya yang indah itu. Aku kulum pelan-pelan. Gila, ternyata enak sekali! Perasaanku melayang. Matanya terpejam, keringatnya yang wangi berjatuhan di dadaku. Bibirnya yang tipis sedikit terbuka. Puting buah dadanya yang merah muda benar-benar suatu keindahan yang tiada taranya.

Ya ampun, bodoh sekali aku. Timbul penyesalan dalam diriku mengapa Rini harus menikah dengan laki- laki lain. Seharusnya aku yang mendapatkan dirinya. Seharusnya aku yang resmi menikmati tubuhnya. Seharusnya aku sadar kalau dia juga menyukaiku.

Rini makin mempercepat gerakan tubuhnya. Sementara aku sendiri merasa ada yang sesuatu yang akan keluar. Gila, masa aku harus secepat ini ejakulasi? Malu dong. Aku coba tahan. Aku mulai mengerang. Rini mulai menjerit kecil. Tiba-tiba tubuhnya tersentak-sentak. Suaranya tercekat, inikah yang dinamakan orgasme? Kemudian tubuhnya lunglai di dadaku.

Aku masih berusaha memompa miss V nya. Semakin lama semakin geli. Juga semakin nikmat, aku sudah tidak kuat. Dan… aaah, Rini menjerit kecil ketika aku menyemprotkan spermaku jauh ke dalam memeknya.

Kami berpelukan lama. Nafsu liar Rini mulai kembali normal. “Rud, terima kasih.” bisiknya. Aku mencium keningnya sambil memeluknya erat. Kemudian kembali melumat bibirnya, lama. Sepertinya aku mulai menikmati permainan cinta ini.

Dug dug dug...!! Suara tendangan sepatu Niken yang sudah aku hafal terdengar jelas menggedor pintu.

” Rin, suamimu datang pake helicopter tuh, kayaknya dia bikin surprise nih.” teriak Niken dari balik pintu cabin. “Kamu ngapain sih? Cepet temuin dia, katanya kangen…!! Ditunggu di atas tuh!!” teriaknya lagi.

Upppsss! Kami sama-sama terlonjak kaget.