Senin, 05 Agustus 2013

Aku dan Keponakan Nakalku

Marwah baru berusia 29 tahun, tapi sudah menjanda. Suaminya mati dalam sebuah kecelakaan bus, meninggalkannya sendirian dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Hidupnya jadi susah, karena itulah ia pulang ke desa untuk hidup bersama kedua orang tuanya.

Menjadi seorang janda bukan berarti sudah tidak menginginkan seks lagi. Itu salah. Buktinya, Marwah masih saja menginginkannya, apalagi sudah lama ia tidak mendapatkannya. Memeknya jadi gatal, tapi ia harus sekuat tenaga menahannya. Sebagai seorang wanita yang baik, ia tidak boleh terlalu vulgar mengumbar nafsu birahinya.

Di desa, Marwah memelihara bebek dan ayam. Dia juga mempunyai sebuah kolam ikan peninggalan almarhum suaminya serta beberepa petak sawah dan sedikit ladang kering. Sehari-hari ia sibuk mengurusnya, lumayan untuk sedikit mengalihkan perhatiannya.

Sehari-hari, ia akrab dengan seorang anak pengangon kambing yang sesekali suka mengusilinya. Namanya Adi, umurnya baru limabelas tahun. Selain usil, Adi juga suka bicara seenaknya. Mulanya Marwah risih juga mendengar perkataannya yang tak senonoh itu. Tapi setelah memperhatikan, ternyata anak itu hanya berkata jorok bila mereka berdua saja, dan semua kata-katanya tidak sampai terdengar keluar. Hanya mereka berdua yang tahu. Itu membuat Marwah yakin kalau Adi adalah anak yang pintar menjaga rahasia.

Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa itu...

Hari sudah beranjak sore ketika Marwah berniat untuk mandi. Itu adalah rutinitasnya seperti biasa, tapi entah mengapa, sore itu ia merasa tidak enak hati, seperti ada yang membuatnya deg-degan. Perasaannya jadi tidak menentu, naluri kewanitaannya mengatakan bakal ada sesuatu yang terjadi. Entah itu baik ataupun buruk.

Dan benar saja, saat mau menyirami tubuh telanjangnya yang sudah disabuni, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sepasang mata yang mengintip penasaran dari balik dinding gedek. Seperti umumnya kamar mandi di desa, kamar mandi Marwah juga cuma ditutup gedeg atau anyaman bambu sebagai sekatnya. Siapapun yang berniat mengintip akan dengan mudah melihat dari celah dinding bambu. Dan sore ini, Adi melakukannya. Ya, Marwah sangat hafal sekali, itu adalah sepasang mata milik si bocah.

”Adi, ngapain kamu?!” tanya Marwah dari dalam.

"Ya, ini aku, Budhe..." jawab Adi enteng tanpa merasa bersalah sedikitpun. Ia malah tersenyum lebar karena sudah berhasil mengintip tubuh montok Marwah yang sehari-hari tertutup jubah panjang dan jilbab lebar. Memang, tidak semua orang bisa seberuntung dirinya saat ini.

Dalam hati, Marwah membatin, ”Nakal sekali anak ini, harus aku kasih pelajaran!” Dan pelajaran yang cocok untuk anak semacam Adi adalah... Marwah akan membiarkan bocah kecil itu terus mengintip tubuhnya! Rasain, biar saja dia jadi puyeng karena melihat seluruh tubuhnya. Marwah tidak peduli. Salah sendiri jadi anak kok nakal banget.

Pura-pura tidak terjadi apa-apa, Marwah meneruskan acara mandinya. Sambil mengguyur tubuh montoknya yang masih penuh busa sabun, ia sedikit meliuk-liukkan tubuhnya, memamerkan bokong dan payudaranya yang bulat montok pada Adi. Tersenyum dalam hati, Marwah memperhatikan betapa Adi terdiam dan terkagum-kagum memandanginya. Bocah itu melotot dengan air liur hampir menetes keluar.

Jangankan Adi yang baru beranjak gede, orang-orang di pasar saja suka usil bila melihat Marwah. Mereka suka mencolek dan menggodanya kala Marwah menjual telur bebek ke salah satu kios langganannya. Dengan kemolekan tubuhnya, Marwah dengan cepat menjadi idola para pedagang telur di pasar inpres. Tapi untunglah, dengan dandanannya yang alim dan sopan, sampai saat ini belum ada yang berani berbuat macam-macam kepada dirinya. Dan Marwah berharap, semoga selamanya juga tidak ada. Dia ingin menjalani hidupnya di desa ini dengan tenang. Marwah tidak ingin mencari masalah.

Setelah tubuhnya bersih, Marwah mengambil handuk yang ada di cantolan baju. Pelan dia mengusap sisa-sisa air yang masih menempel di tubuh montoknya. Diperhatikannya Adi yang masih tetap setia mengintip dari celah dinding. Marwah tersenyum, ia berniat untuk unjuk diri sekali lagi. Entah kenapa, menghadapi Adi yang usil, sisi liar Marwah jadi bergejolak seperti ini. Padahal biasanya ia cukup teliti menjaga aurat, buktinya ia selalu mengenakan baju panjang dan jilbab kalau keluar rumah. Marwah tidak ingin ada yang menikmati lekuk tubuh montoknya secara gratis.

Menghadap persis ke arah Adi, Marwah mulai beraksi. Sedikit membusungkan dada, ia mulai meremas-remas kedua bukit kembarnya berulang kali, membuat benda yang masih kelihatan padat meski sudah digunakan menyusui 3 orang bayi itu semakin terlihat indah. Marwah juga memilin-milin putingnya yang mungil kecoklatan, yang kelihatan sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih mulus. Tak berhenti sampai di situ, tangan Marwah turun ke bawah dan mulai mengusap-usap bibir vaginanya. Dia mencolokkan dua jarinya ke dalam dan mulai mengocoknya dengan begitu lembut. Di luar, Adi menegang dan terpana saat melihat Marwah yang mulai bermasturbasi di depan matanya.

Adegan itu terus berlangsung selama beberapa menit sampai akhirnya Marwah menjerit keenakan tak lama kemudian. Dari memeknya memancar air bening yang amat deras. Adi tak berkedip memandanginya, bahkan ia terlihat semakin menempelkan matanya di dinding kamar mandi agar bisa melihat lebih jelas lagi.

Terengah-engah penuh kepuasan, Marwah mengguyur tubuhnya. Ia mandi sekali lagi. Dilihatnya Adi masih setia mengintip apapun yang ia lakukan. Marwah segera menegurnya. ”Sudah, Di. Sudah tidak ada yang bisa dilihat.” katanya begitu acara mandi sore itu selesai.

Tidak mendengar jawaban, Marwah menebak kalau Adi sudah pergi. Hari sudah mulai gelap hingga ia tidak bisa melihat ke antara celah dinding kamar mandi. Marwah segera mengenakan baju panjangnya kembali dan berjalan keluar menuju rumah.

***

Hari masih pagi ketika Marwah pergi ke sawah untuk melihat bebek-bebeknya. Saat itu dia membawa beberapa buah singkong goreng sebagai bekal. Setelah memastikan bebeknya tidak ada yang hilang dan selesai memberi makan mereka, Marwah pergi ke gubuk di tengah sawah untuk beristirahat. Saat sedang asyik memakan bekalnya, dilihatnya Adi datang mendekat. ”Hmm, mau apa bocah nakal itu sekarang?” batin Marwah dalam hati. Dilihat dari cengirannya yang usil, sepertinya Adi tidak merasa bersalah dengan peristiwa kemarin.

”Pagi, Budhe... habis ngasih makan bebek ya?” tanyanya.

”Iya,” Marwah mengangguk. ”Mana kambingmu?” ia bertanya. Tidak biasanya Adi pergi sendirian ke sawah tanpa dibuntuti kambing-kambingnya.

”Sudah dibawa bapak ke bukit sana,” Adi menunjuk bukit kecil yang ada di sebelah kiri mereka.

”Kemarin kamu mengintip Budhe ya, kenapa?” tanya Marwah saat Adi sudah duduk di sebelahnya.

”Adi suka nglihat tetek Budhe yang gede,” jawab Adi enteng.

Marwah memperhatikan payudaranya. Memang benar, meski tertutup baju panjang dan jilbab lebar, benda itu terlihat sangat bulat dan menggiurkan. Anak sekecil Adi aja tahu kalau tetek Marwah begitu montok dan besar. Bocah itu tidak salah. ”Selain tetek Budhe, kamu mau lihat apa lagi?” pancing Marwah, entah kenapa dia jadi bertanya seperti ini.

"Ya... apalagi kalau bukan tempeknya Budhe," kata Adi seenaknya. Yang dimaksud dengan tempek adalah kemaluan wanita, alias vagina.

"Kamu masih kecil, tapi sudah gatal," Marwah nyeletuk. Meski tahu kalau Adi sedikit nakal, dia tetap sayang kepada bocah itu karena Adi suka membantunya kalau Marwah lagi sibuk di sawah sendirian. Semua penduduk desa tahu kalau mereka sangat dekat dan akrab. Tapi tak seorang yang tahu kalau Adi suka ngomong jorok dan seenaknya.

”Tempek Budhe kemarin gatal ya, kok sampe digaruk segala?” tanya Adi mengenai masturbasi Marwah.

Marwah tersenyum lebar, ”Bukan gatal, Budhe cuma pengen kencing aja.” dia mengarang alasan.

”Perasaan, kalau ibuku kencing nggak sampai seperti itu deh,” sahut Adi.

”Kamu pernah melihat ibumu kencing?” tanya Marwah tak percaya, benar-benar sudah kelewatan bocah satu ini.

”Nggak ngeliat langsung, cuman nggak sengaja saat ibu jongkok di kebun belakang.” jelas Adi.

”Dasar kamu ya,” Marwah mengacak-acak rambut bocah itu. ”Eh, kalau ngintip ibumu mandi mandi, pernah nggak?” tanya Marwah, tiba-tiba saja terlintas pikiran itu di otaknya yang tertutup jilbab.

Adi mengangguk. ”Iya, pernah.”

"Gimana tetek ibumu, gede kan?" tanya Marwah penasaran. Dia memang pernah sekali melihat ibu Adi sedang mandi di sungai, dan menurutnya tubuh perempuan itu cukup menarik juga meski wajahnya tidak cantik-cantik amat.

Adi terdiam membayangkan, ”Lumayan sih, tapi tetep lebih gede punya Budhe,” jawabnya sesaat kemudian.

Marwah tertawa mendengarnya. ”Itu karena usia ibumu sudah tua, jadi teteknya kendor. Coba kalau seusia Budhe, pasti ukurannya bakal sama.”

Adi menggeleng, ”Nggak, masih lebih bagus punya Budhe.”

Marwah tertawa lagi. “Trus, emang kenapa kalau lebih bagus punya Budhe? Kamu mau ngapain?” tantangnya.

Adi tersipu malu, ”Ya nggak apa-apa sih. Adi cuma pingin pegang, pingin hisap, pingin remas-remas!" kata bocah itu sekenanya.

"Ah, kamu ini... dasar anak kecil!" Marwah kembali mengacak-acak rambut gondrong Adi.

"Kecil apanya? Nih Budhe lihat!" tanpa disangka oleh Marwah, Adi tiba-tiba berdiri dan memelorotkan celananya.

”Adi!” pekik Marwah saat melihat kontol Adi yang sudah ngaceng keras. Walau bulunya masih sangat sedikit, tapi benda itu tampak begitu mempesona. Bagi seorang wanita yang haus akan sentuhan seperti Marwah, melihat kontol tepat di depan matanya seperti sekarang, tak urung dengan cepat membuat darahnya berdesir. ”Gila. Anak umur limabelas tahun, tapi kontolnya sudah mirip orang dewasa,” batin Marwah dalam hati.

"Gimana, besar kan, Budhe?" tanya Adi bangga sambil semakin memamerkan penisnya.

"Ya, lumayan juga.” Marwah tak sanggup memalingkan mukanya dari benda coklat panjang itu.

”Kok cuma lumayan, ini kan sudah gede banget.” protes Adi tidak terima.

”Memang gede sih, tapi kan belum pernah dipakai. Mana bisa tahu kuat apa nggak?" pancing Marwah lebih nakal lagi.

"Dipakai buat ngentot ya, Budhe?” tanya Adi polos.

Marwah mengangguk mengiyakan. ”Iya, kamu sudah pernah ngentot belum? Aku yakin belum!” yakin Marwah.

Adi tersipu malu, “Aku kepingin ngentot, Budhe, tapi bagaimana?” tanyanya bingung.

”Bukan bagaimana, tapi sama siapa! Kalau soal cara ngentot sih, Budhe bisa ngajarin.” tawar Marwah.

Adi langsung menyeringai lebar mendengarnya, ”Ya betul! Kenapa nggak sama Budhe aja?” kata Adi ceplas-ceplos.

"Gila kamu! Ngajarin kan bisa lewat tulisan atau cerita, nggak perlu harus ngentot langsung." kilah Marwah.

"Ayolah, Budhe. Masak cuma lewat tulisan, nggak seru dong!” kata Adi.

Marwah diam tidak menjawab. Dia tampak berpikir keras. Sebagai seorang wanita berjilbab, ia tidak boleh melakukannya. Tapi di sisi lain, hati kecilnya tidak bisa dibohongi. Pembicaraan ini telah memancing gairahnya. Ditambah dengan kontol Adi yang besar, yang terus tersaji indah di depannya, membuat Marwah jadi sangat kesulitan untuk menentukan sikap.

Bebek-bebek terus bersuara di sekitar mereka, terkadang berenang kian kemari di air sawah yang baru saja dipanen. Binatang berkaki selaput itu berebutan memakan biji padi yang masih banyak berserakan disana. Sisanya yang tidak kebagian mencocorkan paruhnya ke pematang sawah, berharap mendapat cacing atau siput yang sedang sial.

"Boleh ya, Budhe?" Adi mendesak semakin berani.

Marwah menghela nafas. Ia memandangi bocah kecil itu dan tersenyum, "Benar kamu mau tahu?" tanyanya penasaran dengan kemampuan Adi.

"Iya, Budhe. Aku pengen sekali ngentot. Apalagi dengan orang secantik Budhe, aku pingin sekali!!" seru Adi penuh semangat.

"Tapi kamu tidak boleh bercerita kepada siapapun juga. Sumpah?" kata Marwah serius.

"Sumpah, Budhe. Aku nggak bakal cerita sama siapapun." Adi menganggukkan kepalanya.

Marwah tersenyum dan kembali mengacak-acak rambut gondrong Adi. ”Sebentar ya,” dia melihat sekeliling, memastikan kalau mereka aman. Gubuk itu berbentuk terbuka, dengan anyaman bambu yang menutupi hingga sebatas pundak. Kalau mereka duduk, dari kejauhan, hanya kepala mereka yang terlihat. Marwah menyadari hal ini dan tersenyum. Mereka bisa melakukannya!

Situasi juga sangat memungkinkan. Hari yang masih pagi membuat para petani sibuk di sawah masing-masing. Tidak akan ada yang melihat ke arah gubuk, atau bahkan mendatangi tempat dimana Adi dan Marwah sedang berada sekarang. Ditambah suara ratusan bebek yang berkuek-kuek nyaring, itu bisa menyamarkan dengan baik suara desahan mereka saat ngentot nanti. ”Sempurna!” Marwah membatin dalam hati. Dia kemudian berpaling kembali pada Adi.

"Kamu telentang di sini dan tetap pakai bajumu. Kalau ada orang lewat, kamu cepat menaikkan kembali celanamu!" kata Marwah memberi instruksi.

Adi segera mengikuti apa yang dianjurkan oleh perempuan cantik itu. Dia tidur telentang dan celana melorot hingga sebatas paha, memperlihatkan burung besarnya yang mendongak gagah mencari mangsa. Marwah mengelus-elus burung Adi sebentar sampai benda itu menjadi benar-benar keras. Gila, ternyata kontol itu bisa membengkak sampai dua kali lipat, ukurannya juga menjadi sedikit lebih panjang. Marwah sampai geleng-geleng kepala dibuatnya.

”Baru umur segini sudah begini gede, gimana kalau sudah besar nanti?” Marwah membatin dalam hati, menyadari potensi pada diri Adi sebagai pria perkasa.

Tak tahan, Marwah segera mengangkat baju panjangnya ke atas, ia menyingkapnya hingga ke pinggang. Dibiarkannya Adi mengelus-elus kulit pahanya yang putih mulus sebentar. ”Kamu suka, Di?” tanyanya sambil melepaskan celana dalam. Dengan nakal dipamerkannya lubang memeknya yang sempit pada bocah kecil itu.

”S-suka... suka banget, Budhe!” sahut Adi dengan mata nanar menatap gundukan memek Marwah yang tersaji indah di depan hidungnya. Dengan tangan gemetar ia mulai mengusap-usap dan memijitinya.

”Isap, Di,” kata Marwah sambil menggeser sedikit tubuhnya, ia menaruh belahan memeknya tepat di depan mulut si bocah kecil.

Adi dengan penasaran segera menjulurkan lidahnya. Rasa memek Marwah yang segar dan harum membuatnya suka, iapun menjilat dan menghisap benda itu dengan begitu rakus. Adi bahkan sampai membenamkan muka ke dalam lubangnya. Ia bernafas disana. Marwah yang menerimanya jadi kelojotan tak karuan. Sudah lama ia tidak merasakan yang seperti ini, dan begitu mendapatkannya, ternyata Adi begitu pintar. Gerakan lidahnya bagai orang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun, padahal Marwah tahu, ini juga saat pertama Adi.

”Ahh.. Terus, Di. Yah, disitu... isep yang mungil itu. Itu namanya itil, Di. Enak banget kalau diisep! Oughhh!” Marwah merintih tak karuan. Tangannya menggapai-gapai untuk mencari pegangan agar tidak sampai ambruk karena saking nikmatnya. Tapi yang ia temukan malah kontol besar Adi. Tak apalah, daripada tidak ada sama sekali. Marwah segera memeganginya dan mulai mengocoknya pelan.

Adi yang mendapat suntikan rangsangan dari Marwah, melenguh pelan dan mulai menjilat semakin keras. sekarang bukan lidahnya saja yang bekerja, tapi juga tangannya. Adi menyusupkan tangannya ke balik baju terusan Marwah dan menyelipkannya di balik BH perempuan cantik itu. Diremas-remas tetek Marwah yang menggantung indah, yang selama ini selalu menjadi obsesinya dengan penuh nafsu. Ugh, benda itu terasa begitu empuk dan kenyal. Ukurannya yang sangat besar membuat tangan mungil Adi tidak bisa mencakup semuanya. Dengan dua jari, Adi menjepit dan memilin-milin putingnya yang terasa mengganjal. Sebentar saja, benda itu sudah menjadi begitu kaku dan keras, sama dengan kontolnya yang kini mulai dijilat dan diciumi oleh Marwah.

Saling mengulum kemaluan, mereka kini berposisi 69. Marwah di atas dan Adi di bawah. Melihat kontol Adi yang menjadi kian keras dan panjang membuat Marwah jadi tak tahan. Maka sambil menyodorkan memeknya ke mulut mungil si bocah, ia pun mulai menunduk untuk mengulum dan menjilati batang penis Adi.

Adi yang mendapat tambahan rangsangan dari Marwah, memekik gembira. Dengan penuh nafsu ia menjilat dan menghisap memek sempit si ibu muda, sementara kedua tangannya terus bergerilya meremas-remas gundukan payudara Marwah yang sekarang menggantung indah di balik bajunya dan sudah tidak tertutup BH.

Cukup lama mereka berada dalam posisi seperti itu sebelum akhirnya Marwah bangkit dan mulai mengangkangi tubuh Adi. Menghadap lurus ke arah si bocah, Marwah menaruh kedua lututnya di atas balai-balai gubuk yang terbuat dari bambu. Ditangkapnya burung Adi yang sudah menyundul-nyundul tak sabar di depan pintu gerbang surganya, lalu dituntunnya benda itu agar segera memasukinya secara perlahan. Memek Marwah terasa sangat lengket dan basah, campuran antara cairan kewanitaannya yang merembes keluar dan air liur Adi. Marwah terus menekan tubuhnya ke bawah saat batang penis Adi sudah menyelinap masuk.

”Oughhh...” Adi merintih begitu merasakan kehangatan lubang memek Marwah yang menyelimuti batang penisnya. Lorongnya terasa begitu lembut dan hangat, juga sangat menggigit sekali hingga membuat Adi yang doyan onani jadi merem melek keenakan.

Sambil mengoyang perlahan-lahan, Marwah berpura-pura lagi menjaga bebeknya. Ketika ada seseorang lewat di pematang seberang, dia sengaja berteriak-teriak menghalau bebek-bebeknya. Orang itu tersenyum dan menyapa Marwah, ”Giat amat, Mbak Marwah. Pagi-pagi sudah ke sawah.”

Menahan desahannya, Marwah tersenyum dan menjawab, ”Iya nih, Pak, oughhh... bebeknya nakal, ahh... suka nyosor ke sawah orang, ughh!”

Petani tua yang menyapanya memicingkan mata, ”Mbak Marwah nggak apa-apa? Kok kayak kesakitan gitu?” tanyanya curiga.

Marwah kembali tersenyum, ”B-banyak semut, ehss... pada ngegigit kaki saya!”

Pak Tua tersenyum, ”Hati-hati, Mbak. Disini semutnya nakal-nakal, sukanya gigit wanita cantik.”

”I-iya, Pak, arghhh!” Marwah memekik. Saat itu, berbaring di bawah tubuhnya, Adi menggenjot penisnya semakin keras. Begitu kencangnya tusukan itu hingga beberapa kali kontolnya yang panjang menembus memek Marwah hingga ke pangkal. Marwah jadi kelojotan dibuatnya. Ia merasa sangat nikmat sekali.

Tetap tersenyum, sambil geleng-geleng kepala, si Petani Tua pergi meninggalkan Marwah. Dia meneruskan langkah menuju ke sawahnya sendiri.

”Eghh... Budhe!” Adi memeluk kedua paha Marwah dan menggoyang pinggulnya semakin cepat. Dia juga merasa nikmat, bahkan lebih nikmat daripada yang dirasakan Marwah, mungkin karena ini adalah persetubuhan pertamanya.

Setiap hari, setiap kali angon kambing, Adi selalu berfantasi dan berbicara tentang kecantikan Marwah dengan teman-temannya. Bocah-bocah kecil itu ramai ngomongin betapa molek dan montoknya ibu muda itu. Beberapa kali mereka saling menantang, bertanya siapa yang berani menggoda Marwah duluan. Dan sampai berbulan-bulan, ternyata hanya Adi yang berani mendekatinya. Dan sekarang dia mendapatkan hasilnya, Adi bisa merasakan tubuh montok Marwah meski dalam situasi yang sangat menegangkan. Tapi justru itu yang bikin nikmat, rasa deg-degan karena takut terpergok membuat mereka meresapi setiap detik tautan alat kelamin mereka.

Memandang sekeliling, Marwah memastikan kalau tidak ada lagi orang yang lewat. Sambil terus menggoyang tubuhnya dari atas, ia semakin kencang menekan pinggulnya jauh ke bawah, membuat kontol Adi jadi menusuk dan menancap lebih dalam. Mereka memekik bersamaan, cukup keras terdengar, tapi untung ada suara celoteh bebek-bebek yang menyamarkannya. Marwah membungkuk dan mengeluarkan teteknya dari balik jubah, ia meminta Adi untuk menghisapnya. ”Ini kan yang kau inginkan?” tanyanya dengan kerlingan nakal.

Tak menjawab, Adi segera menyosor benda bulat itu. Gerakan mulutnya secepat paruh para bebek yang lagi berebutan cacing. Bedanya, kali ini puting Marwah lah yang menjadi sasarannya. Adi mencucup dan menghisapnya dengan rakus. Ia menjilatinya secara bergantian, dua-duanya ia garap secara adil, dari kiri ke kanan, lalu balik lagi lagi ke kiri. Kalau sudah kelelahan, ia benamkan mukanya ke belahannya yang curam.

”Auw!” Marwah memekik kegelian menerimanya, tapi bukannya berhenti, ia malah meminta Adi agar menggigit-gigit ringan putingnya. Dengan senang hati, Adipun melakukannya. Dan Marwah semakin kelojotan dibuatnya, ia terus menekan tubunnya sampai dirasakannya Adi orgasme tak lama kemudian. Sperma bocah itu berhamburan memenuhi lubang memeknya.

”Budhe, aku keluar!” pekik bocah itu sambil meremas kuat-kuat tetek besar Marwah.

Marwah terdiam, membiarkan Adi menikmati puncak permainannya. ”Dasar bocah, baru sebentar sudah keluar.” batinnya dalam hati. Tapi Marwah tak bisa menyalahkannya juga. Siapa juga yang bisa tahan main lama dengannya? Jangankan Adi yang masih bau kencur, dulu suaminya saja hanya sanggup bertahan lima menit.

”Tubuhmu terlalu nikmat, Sayang!” begitu kata suaminya beralasan kalau Marwah mendengus kecewa. Dan sampai laki-laki itu meninggal, Marwah tidak pernah merasakan indahnya orgasme. Jadi dia maklum saja kalau Adi yang baru pertama kali ini ngentot, jadi kelihatan cupu di depannya.

”Kamu salah memilih sasaran, Di.” gumam Marwah sambil membenahi pakaiannya. Dia sudah mencabut penis Adi dari belahan memeknya dan sekarang menyuruh bocah nakal itu untuk mencuci tubuhnya di sungai. Marwah menyusul tak lama kemudian. Jongkok di tepi sungai, ia membasuh lubang kencingnya yang penuh oleh sperma Adi.

”Budhe, punyaku bangun lagi.” seru Adi yang duduk di sebelahnya.

Marwah menoleh, dan mendapati kontol Adi yang sudah tegang kembali. ”Kenapa, kamu pengen lagi?” tanya Marwah menggoda. Dia memegangi penis itu dan kembali mengocoknya pelan.

Adi mengangguk malu-malu, ”Iya, Budhe.”

”Kan tadi sudah,” kilah Marwah.

”Tapi masih pengen,” rengek Adi manja.

”Besok lagi ya? Sekarang Budhe harus pulang, sudah siang.” Marwah melepas kontol Adi, membuat si bocah melenguh kecewa.

”Besok? Disini? Seperti tadi? tanya Adi penasaran.

Marwah tersenyum dan mengangguk. Hatinya gembira, dia kini sudah punya ’teman’ yang bisa membantunya melepas birahi, meski itu adalah Adi, anak tetangganya yang baru berusia limabelas tahun. Tapi tak apa, biarpun masih kecil, tapi kontolnya sudah keras dan panjang. Dan kalau dilatih dengan benar, dengan bimbingan Marwah tentunya, sebentar lagi benda itu akan menjadi dewasa dan siap untuk digunakan sepenuhnya.

“Gimana, Budhe?” tanya Adi lagi, menagih janji Marwah.

Marwah mengangguk. "Iya, disini. Tapi ingat, kamu harus jaga rahasia ini. Kalau sampai ada orang yang tahu, bisa-bisa kamu akan dibunuh orang. Kamu nggak mau kan itu terjadi?” ancam Marwah.

Adi mengangguk setuju.

***

Esoknya, setelah mengikat kambing-kambingnya ke pohon terdekat, Adi mendekati Marwah yang sudah menunggu di dalam gubuk. ”Pagi, Budhe?” sapanya ramah.

Marwah melirik celana bocah itu, tampak sudah ada sedikit tonjolan disana, Adi rupanya sudah tak sabar. ”Kok bawa kambing, kemana ayahmu?” tanya Marwah basa-basi.

Tidak menjawab, Adi malah meloncat duduk di samping Marwah dan langsung menjulurkan tangannya untuk meremas-remas tetek Marwah yang tersembunyi di balik baju kurung. ”Adi kangen ini, Budhe.” kata bocah itu.

Marwah tersenyum dan tetap membiarkan Adi melakukannya. ”Budhe juga kangen ini?” balas Marwah sambil mengelus-elus kontol Adi dari luar celana. Cukup lama mereka saling merangsang hingga ada beberapa orang ibu-ibu yang lewat di belakang gubuk.

Marwah segera berpura-pura menawari Adi minum kopi. ”Cepat minum, Di, sebelum keburu dingin!”

Adi langsung menenggaknya, sama sekali tidak menyangka kalau kopi itu masih sangat panas. Dia langsung mengaduh sambil jingkrak-jingkrak, lidahnya serasa terbakar. Para ibu tertawa melihatnya, bahkan Marwah juga ikutan tertawa. Adi jadi tersipu karena jadi bahan tertawaan. Tapi untunglah, karena tingkahnya itu, jadi tidak ada yang curiga dengan apa yang baru saja ia lakukan bersama Marwah.

”Dapat kue apa, Di, dari Budhe Marwah?” tanya salah seorang ibu. Mereka rupanya hendak menuju sawah Haji karim yang hari ini dipanen.

Adipun menjawab sekenanya, ”Ini, ada singkong goreng. Tapi masih belum boleh dimakan, nunggu dibuka dulu.”

ibu-ibu tertawa mendengarnya, setelah pamit pada Marwah, mereka melanjutkan perjalanan. Marwah yang mengerti apa yang dimaksud oleh Adi, langsung menjitak kepala bocah itu kuat-kuat.

”Hati-hati kalau bicara, kan sudah Budhe peringatkan kemarin.” ancam Marwah.

”I-iya, Budhe.” sambil mengusap-usap kepalanya yang jadi benjol, Adi menjawab takut-takut.

Marwah jadi kasihan melihatnya. Setelah melihat sekeliling, memastikan kalau situasi aman, iapun berkata pada Adi. ”Udah... sini, sekarang kamu rebahan di pahaku. Kepalamu di sini,” Marwah menunjuk pangkal paha di bawah perutnya. ”Kamu hisap tetek Budhe biar lidahmu jadi dingin lagi.” kata Marwah, merujuk pada kekonyolan Adi tadi.

Mengangguk kesenengan, Adipun merebahkan kepalanya di paha Marwah, dinantikannya Marwah yang sedang sibuk melepas kancing baju panjangnya. Tersenyum, Marwah mengeluarkan teteknya dan memberikannya pada Adi, ia menarik keluar dua-duanya, menyajikan pemandangan yang sangat indah di mata si bocah. Tak berkedip, Adi segera mencium dan mengulumnya, ia hisap putingnya yang bulat runcing bergantian, kiri dan kanan. Bagai bayi yang kehausan, mulutnya terus menempel di dada Marwah. Dengan jilbab lebarnya, Marwah menyembunyikan kepala Adi, membuat perbuatan mesum mereka jadi terasa aman.

Di sisi lain, Marwah juga tak mau tinggal diam, dia mulai mengelus-elus burung Adi. Tak puas dari luar celana, ia masukkan tangannya ke dalam celana si bocah. Masih tak puas juga, akhirnya ia pelorotkan celana pendek Adi ke bawah hingga kontolnya yang sudah menegang dahsyat terlontar keluar. Marwah segera menangkap dan menggenggamnya, lalu dengan perlahan mulai dielusnya. Sementara Adi terus menghisap teteknya secara bergantian, Marwah mulai mengocok benda itu kuat-kuat, ia benar-benar gemas dengan kontol muda Adi.

”Ehm... ehss... enak, Budhe!” desis Adi dengan mulut tetap menempel di puting Marwah, sekarang benda itu sudah terlihat basah dan memerah karena air liurnya.

Marwah membalas dengan mengocok penis Adi semakin cepat, dan saat ia sudah mulai tak tahan, cepat-cepat Marwah menyingkap baju panjangnya dan berbaring telentang di papan. Sedikit tak sabar, ia bimbing Adi agar segera menindih tubuhnya. Gemas ditangkapnya burung bocah itu lalu cepat dimasukkannya ke dalam memek saat Adi tampak kesulitan melakukannya. Begitu sudah masuk, reflek Adi segera memompa tubuhnya, membuat alat kelamin mereka sekali lagi saling mengisi dan menggesek.

Mereka melenguh berbarengan, juga merintih bersama-sama, serta berkeringat berdua sampai akhirnya Adi melepaskan spermanya tak lama kemudian. Sama seperti kemarin, Marwah juga belum apa-apa. Ia baru merasa nikmat, tapi Adi sudah keburu terkapar duluan. Tapi lumayan, sudah sedikit lebih lama dari kemarin.

Adi segera mencabut penisnya dan duduk terengah-engah di samping Marwah, ia melihat sekeliling sembari memperbaiki celananya.

"Bagaimana, ada orang" tanya Marwah yang masih tiduran. Tangannya menarik kembali bajunya ke bawah hingga menutup ke mata kaki. Untuk payudaranya, tetap ia biarkan terbuka karena Adi masih mengusap-usap dan meremas-remasnya pelan. Bocah itu tampak sangat menyukainya.

Tidak menjawab, mata Adi tetap awas melihat sekeliling. Sementara tangannya juga tetap berada di atas gundukan payudara Marwah, meremas-remas lembut disana sambil sesekali memijit dan menjepit putingnya yang bulat mungil.

Merasa diperdayai, Marwah segera bangkit dan duduk di samping Adi. Benar, sawah kelihatan sepi, sama sekali tidak ada orang. Ia segera menjitak kepala bocah itu keras-keras, ”Dasar kamu, ya!” umpatnya karena sudah dibohongi.

Adi tertawa cengengesan sambil mengusap-usap kepalanya yang nyeri, sama sekali tidak kelihatan marah. Malah dia mengajak Marwah untuk pergi ke sungai membersihkan diri.

Sejak itu, hubungan mereka menjadi semakin ’akrab’. Adi setiap hari meminta jatah kepada Marwah, dia sudah tidak malu-malu lagi melakukannya, sepertinya dia sudah ketagihan dengan tubuh molek ibu muda itu. Marwah yang melihatnya, jadi punya ide lain. Dengan senang hati ia memberikan tubuhnya pada Adi dengan sedikit permintaan; disuruhnya Adi ini dan itu, mulai dari menjaga bebek hingga mengangkat pakan ternak yang beratnya minta ampun. Tapi Adi tampak senang-senang saja melakukannya, yang penting ia dapat merasakan tubuh mulus Marwah.

Hubungan itu terus berjalan hingga tanpa terasa sudah memasuki bulan ketiga. Adi sudah semakin ahli dan pintar, beberapa kali ia bisa mengantar Marwah menuju orgasmenya. Marwah senang bukan main menerimanya, ia semakin sayang pada bocah itu. Untuk jaga-jaga, Marwah ikut KB. Tiap hari ia minum pil agar tidak sampai hamil. Hubungan ini tidak boleh sampai berakhir.

Dan bukan hanya mereka berdua yang senang, orang tua Adi juga ikut gembira karena anaknya diperlakukan dengan baik oleh Marwah. Mereka ikhlas saja melepas Adi, bahkan menyuruh bocah itu agar tak segan membantu Marwah bila ada kesulitan. Misalnya seperti hari ini, saat Marwah sibuk membuat telor asin, dengan senang hati orang tua Adi mengijinkan anak mereka agar menginap di rumah Marwah.

”Biar bisa cepat selesai,” begitu kata ayahnya.

Marwah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Di belakang, Adi bersorak gembira karena tadi siang, Marwah menjanjikannya sesuatu yang ’spesial’, dengan syarat dia mau tidur di rumahnya. Adi jadi tidak sabar menunggu, apakah sesuatu yang spesial itu?

Malam bergerak lamban bagi Adi. Sampai pukul 21.00, mereka masih mengerjakan pesanan telor asin yang tinggal sedikit lagi selesai. Di luar, suasana cukup sepi. Di Desa itu memang jarang yang keluar malam. Kelelahan setelah bekerja seharian di ladang membuat banyak rumah yang sudah menutup pintu, bahkan tidak sedikit yang mematikan lampu. Tak terkecuali kediaman Marwah, bahkan anak dan orang tua Marwah sudah pada tidur sejak sore tadi. Hanya tinggal Adi dan Marwah yang masih melek di malam yang dingin itu.

Adi yang sudah tak sabar segera mencolek lengan Marwah, ”Gimana, Budhe?” tanyanya konak.

Marwah membalas dengan mengusap pelan kontol Ade, benda itu terasa sudah mengeras dan menegang penuh. ”Sabar, tinggal sedikit lagi.” bisiknya.

Adi memindahkan tangannya ke gundukan payudara Marwah, membuat baju kurung yang dikenakan wanita itu jadi bernoda tanah saat dia mulai meremas-remas pelan disana. Marwah hanya mendesah, tapi tidak menolak. Sambil terus membuat telor asin, dia membiarkan tangan Adi tetap berkreasi. Sekarang bocah itu malah sudah memasukkan jari-jemarinya ke sela kancing baju Marwah, menyentuh gundukan payudaranya secara langsung dan memilin-milin putingnya yang sudah mulai terasa sedikit mengeras. Marwah sadar, Adi sudah benar-benar pengen, nafsu bocah itu sudah tidak dapat ditangguhkan lagi.

Meletakkan telornya yang tinggal sekeranjang lagi, Marwah segera mengajak Adi untuk mencuci tangan ke sumur belakang. Setelah itu ia segera menuntun si bocah masuk ke dalam kamarnya. Saat melewati dapur, Marwah mengambil sedikit minyak goreng, ditaruhnya di dalam sebuah mangkok kecil.

”Buat apa, Budhe?” tanya Adi penasaran.

“Ini yang kubilang spesial kemarin,” sahut Marwah.

”Budhe mau menggoreng ikan di kamar?” tanya Adi polos.

Tawa Marwah meledak mendengarnya, ”Sudah, kamu diam saja.”

Mereka masuk ke kamar dan Marwah segera mengunci pintunya. Dua anaknya sudah tidur di kamar yang lain, sedang yang terkecil lebih sering tidur bersama neneknya. Marwah tidur sendiri di kamar ini. Tapi tidak malam ini, sekarang ia ditemani Adi, yang sudah ditelanjanginya sampai bugil dan disuruhnya berbaring di atas ranjang. Marwah sudah melapisi spreinya dengan plastik putih tipis transaparan.

”Panas, Budhe.” Adi mengomentari alas tidurnya yang aneh.

Marwah tersenyum saja, tapi tidak menjawab. Ia mulai mencopoti seluruh bajunya hingga tak lama kemudian sudah sama-sama bugil. Kontol Adi tampak semakin menegang dahsyat melihat tubuh montok Marwah yang tersaji indah di depannya. Inilah untuk pertama kalinya ia melihat tubuh Budhenya secara utuh, dalam jarak yang begitu dekat, tanpa perlu harus mengintip seperti yang dilakukannya dulu.

Tetap tersenyum, Marwah segera berjalan mendekat sambil membawa mangkok berisi minyak goreng. Ia duduk di samping Adi. Dibiarkannya tangan Adi yang nakal mulai merambat untuk mengelus-elus seluruh tubuhnya. ”Kamu suka tubuh Budhe?” tanya Marwah memancing sambil tangannya mulai melumuri burung Adi memakai minyak goreng. Adi tentu saja langsung tersentak dibuatnya.

”Ehm... suka banget, Budhe! Uughh... enak!” rintihnya saat Marwah mulai mengocok kontolnya pelan.

Marwah kembali mengucurkan minyaknya, kali ini giliran perut dan dada Adi yang menjadi sasaran. Dengan menggunakan gundukan payudaranya, Marwah kemudian menunduk untuk meratakannya. Adi tentu saja langsung terkejang-kejang dipijit-pijit seperti itu. Apalagi saat Marwah mulai menindih tubuhnya, dan secara perlahan memasukkan penisnya yang sudah menegang dahsyat ke dalam lubang memeknya... ugh, nyawa Adi bagai terbang ke langit ke tujuh merasakannya!

Tapi baru saja ia menggoyang, kira-kira masih sepuluh tusukan, tiba-tiba Marwah berhenti menggerakkan pinggulnya, membuat kontol Adi yang baru merasa nikmat jadi ngaceng tanggung. ”Budhe, kok berhenti?” tanya Adi kecewa.

Marwah tersenyum penuh arti, ”Kamu suka, enak tidak?” tanya Marwah nakal.

Adi mengangguk cepat, ”Enak banget, Budhe. Ayo goyang lagi!” pintanya.

Marwah menggeleng. ”Ada lagi yang lebih enak, kamu pasti suka!” sambil berkata, dia turun dari tubuh Adi, membuat si bocah makin mendengus kesal karena merasa dipermainkan.

”Apaan, Budhe? Ayo cepetan!” seru Adi tak sabar, rasanya dia tega untuk memperkosa Marwah kalau wanita itu terus menggodanya seperti ini.

Tidak menjawab, Marwah mengambil minyak goreng lalu mulai melumuri lubang pantatnya sendiri. Setelah dirasa cukup merata, dia kemudian membungkuk di depan Adi, mempertontonkan lubang pantatnya yang tampak licin dan mengkilat. Adi yang tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Marwah, segera menyerbu dari belakang dan menusukkan batang kontolnya ke lubang memek si ibu muda.

”Bukan yang itu, Di.” Marwah cepat mendorong tubuh Adi ke belakang. ”Tapi yang ini!” dia menunjuk lubang anusnya.

Adi celingukan, ”Apa cukup, Budhe?” tanyanya sambil membandingkan ukuran penisnya dengan lubang itu.

”Lakukan saja, nanti aku tuntun,” kata Marwah tak sabar. Dia kembali menungging saat Adi mulai berlutut di belakangnya. Cepat ditangkapnya burung bocah itu lalu ia tempelkan ujungnya yang tumpul ke lubang pantatnya. "Ayo tusuk, Di. Tekan yang kuat," Marwah memberi perintah.

Adi mengikuti, ia tekan kontolnya kuat-kuat hingga menembus lubang sempit itu. Ia merasakan bagaimana cengkeraman lubang anus Marwah bagai mencekik burungnya, tapi tetap berusaha ia tahan karena di sisi lain ia juga merasa nikmat karenanya. Adi merasa kontolnya bagai diremas-remas dan dielus-elus ringan oleh lorong anus Marwah.

"Ayo goyang, Di," bisik Marwah saat rasa kebas di pantatnya sudah mulai hilang.

Adi melakukannya, ia mulai menggoyang pinggulnya perlahan hingga batang penisnya yang besar bergerak keluar-masuk dengan pelan di dalam lubang sempit Marwah. ”Eghs... Terus, Di... ughh... enak!” desah Marwah keenakan. Mereka terus berada dalam posisi seperti itu hingga beberapa menit lamanya.

Sambil menggoyang, Adi menggapai tetek Marwah yang menggantung indah di depannya untuk digunakannya sebagai pegangan. Putingnya yang mungil ia pilin-pilin kuat saat penisnya keluar-masuk semakin cepat di pantat perempuan cantik itu

”Ough... enak, Di! Terus! Tusuk yang dalam! Ahh...” Marwah menggeleng-gelengkan kepala, merasa sangat nikmat sekali. Sudah lama ia tidak merasakan yang seperti ini, terakhir dengan suaminya beberapa tahun yang lalu, itupun tidak lama karena sang suami lebih suka mencoblos liang memeknya daripada lubang pantatnya. Dengan Adi, Marwah jadi bisa menyalurkan fantasinya yang tertunda.

”Arghhh... Adi... aku… oughhh...” tak sanggup meneruskan kata-katanya, Marwah meledak tak lama kemudian. Ia orgasme, air cintanya tumpah ruah membasahi plastik bening di atas sprei.

Adi sedikit kaget dibuatnya, ia sempat menghentikan goyangannya sebentar untuk mengintip apa yang terjadi. Saat tahu kalau Marwah baik-baik saja, bahkan wanita itu terlihat puas dan bahagia sekali, barulah Adi meneruskan genjotannya, bahkan kali ini menjadi lebih cepat karena ia juga merasa tidak tahan lagi. Jepitan anus Marwah yang sangat ketat dan kuat mustahil untuk dilawan.

”Arghhhh... Budhe!” menjerit tak kalah keras, Adi memeluk kuat tubuh montok Marwah dan menusukkan penisnya sedalam mungkin ke lubang dubur perempuan cantik itu, disana ia melepaskan semua spermanya berkali-kali.

 Marwah tersenyum, semua pelajarannya untuk mendewasakan Adi kini tuntas sudah. Anak itu sudah resmi menjadi lelaki dewasa. Dipeluknya tubuh kurus Adi yang ambruk kelelahan di atas ranjang.

Ibu Sahabatku

Namaku ANJAS , Aku Seorang Pemuda Biasa berumu 17 , Gayaku yang Biasa saja Bahkan bisa di bilang URAKAN ini jika dipandang wanita mungkin tidak menarik.Aku mempunyai seorang teman dekat sebut saja Tomo.Dia merupakan teman dekat bahkan bisa dibilang seorang sahabat karib sejak kecil.Aku sering main ke rumah Tomo.Keluarganya yg baik & ramah membuatku betah jika aku berada di rumahnya.Ibu nya TOMO sebut saja Bu Mawar , Ibu 38 Tahun (kira kira) yg sangat baik terhadap anak nya bahkan Diriku ini sangat dimanja ketika aku bermain di rumah Tomo , sedangkan ayahnya adalah Pak Pai berprofesi sebagai buruh pabrik. Suatu Saat aku Pernah ditawari Tomo untuk tidur di rumah nya , Pas banget waktu itu ada acara Bola dan yg bermain adalah klub sepakbola kesukaanku & Tomo tentunya.Akhirnya akupun setuju saja ketika di suruh untuk tidur di rumah Tomo karena di saat bersamaan ayah tomo ditugaskan keluar kota.Akhirnya tiba lah hari itu , aku sudah bersiap dengan "dandan'an"yang Rapih (maklum ini kan mau tidur di rumah teman , Sopan donk hehe).Namun aku tidak langsung ke rumah tomo , melainkan aku ingin mencari angin segar dan lagipula acara Sepakbola itu mulai dini hari.Pukul 7 malam aku sudah bersiap menanti Tomo untuk sekedar mencari angin & kami pun memutuskan untuk pergi ke angkringan , disitu kami pun ngopi ngopi sambil menikmati Gorengan yg ada.Kami Pun memutuskan untuk langsung Pergi ke rumah TOMO karena ibu nya sudah berulang kali Telfon & sms kalau hari sudah larut malam , memang tak terasa kami nongkrong sudah 4 jam lamanya (pukul 11malam).Sesampai nya di rumah Tomo kami pun langsung di sambut oleh ibu Mawar. Bu Mawar : "kemana saja kamu , jam segini baru pulang , mamah di rumah sendirian sayang , tak ada laki laki di rumah ini , jadi maaf saja kalau mamah Was Was" Tomo : "Maaf mah , aku habis nongkrong bareng Anjas di angkringan" Bu Mawar : "oh" Aku : "maaf bu , ini semua aku yg mengatur (dengan kepala tertunduk hehe)" Bu Mawar : "Gpp sayang (sejak kecil memang dia memanggilku dengan kata sayang) , lain kali kalau mau pergi lama bilang ibu dulu ya" Aku pun hanya mengangguk dengan sedikit senyuman. Saat itu Bu Mawar hanya menggunakan Kaos Ketat berwarna Putih & Celana Pendek (kira kira sepaha gan).Sengaja kucuri curi perhatian ke arah Payudara Bu mawar yg pada saat itu mengenakan BH berwarna hitam."Wah kenapa dengan ku , kok rasanya ada yg beda dengan bu mawar" gumamku dalam hati. Akhir nya kami masuk rumah , sembari kami menunggu acara bola , Tomo pun memutuskan untuk tidur dulu & minta di bangunkan oleh aku.Tiba Tiba saja aku mendadak ingin Kencing , lalu kuputuskan untuk pergi ke kamar Mandi , Saat itu keadaan rumah Gelap , karna sudah biasanya orang rumah ini tidur dengan keadaan gelap.Aku pun hanya menggunakan Senter dari HP.Aku pun tiba di depan WC , namun keadaan WC terkunci.Akhir nya aku pun mengetuk pintu WC itu dan Sedikit bertanya apakah ada Orang , dan ternyata Bu Mawar sedang buang air kecil.Aku pun terpaksa menunggu , namun aku sudah sangat tidak tahan , kemudian aku pun bertanya kepada Bu Mawar. Aku : "bu bisa cepetan diki ga , anjas udh g tahan nih" Bu Mawar : "oh iya iya" dan akhirnya bu Mawar keluar dari WC.Aku pun lega.Setelah kencing , niatku hanya langsung menuju Kamar TOMO , namun tanpa Kusangka ternyata Bu Mawar belum beranjak dari depan pintu WC. Aku: "lho , ibu kok blm masuk" Bu Mawar : "nunggu kamu , aku takut" Aku : "loh bukan nya tadi ibu berani sendirian ke WC (terheran heran). Bu Mawar : "gpp kok , ibu cuma ingin masuk bersama mu saja Njas (dengan sedikit senyuman". Ohhh tidak , Penisku menjadi tegang gara gara melihat Buah Dada bu Mawar yg lumayan besar yg tertutupi BH hitamnya.Aku pun menjadi pucat karena Malu kalau ketahuan Penisku ini sudah Ngaceng berat. Bu Mawar : "ayo masuk" Aku : "i..iii ya , dengan perlahan lahan aku berjalan" Bu Mawar : "kamu kenapa Njas (tanya bu Mawar)" Aku : "ehh Anu bu , Gpp kok" Bu Mawar pun cuek saja. Sesampai nya di depan kamar bu Mawar. (kamar Tomo berada di depan , sedangkan kamar Orang tuanya berada di Tengah).

Bu Mawar : "kamu mau ga temenin ibu tidur?" Aku pun sangat terkejut. Aku : "hah , apaan bu ga denger aku nya (pura pura bego" Bu Mawar : "Kamu mau ga temenin Ibu Tidur , ibu takut sendirian sayang (dengan sedikit senyuman)" Aku : "ehhmm tapi Bu .. TOMO gimana nan.." Bu Mawar : "sudah ayo masuk saja tidak apa apa (sambil menarik kaos ku). Aku sedikit gemetaran , apakah maksud bu mawar ini , dan aku pun pasrah karena tidak mungkin aku menolak nya (tdk enak gan). Malam itu terasa sangat Panas , akhir nya aku meminta izin untuk membuka jendela ventilasi rumah Aku : "Bu ini Ventilasi nya di buka sedikit ya , Gerah banget" Bu Mawar : "oh ya sudah buka saja , senyaman mungkin lah kamu di rumah ini Njas , mumpung suami ku tidak berada di rumah" Aku :"hehehe iya bu (sedikit senyuman)". Waktu sudah menunjukan pukul 1 malam , dan sampai saat itu pun aku blum bisa tidur , dan aku jg memikirkan tomo yg ingin dibangunkan nanti jika acara bola nya sdh mulai. Kamar bu Mawar ini lumayan Besar , Rapih dan Bagus.Bu Mawar tidak menyarankan aku untuk menyalakan AC & Kipas angin (aku pun hany mengikuti saja). Bu Mawar : "belum tidur kamu Njas" Aku : "blum bu panas banget ni padahal ventilasi udh di buka , aku kira ibu sudah tidur daritadi" Bu Mawar : "klo memang masih panas , di buka aja Baju nya , ibu ndak bisa tidur , insomnia mungkin" Aku : "emang gpp bu kalo baju Anjas ni di buka? , oh insomnia to (dengan lugu nya gan "D)" Bu Mawar :"gpp sayang , buka aja , buat senyaman mungkin saja , iya ibu sering insomnia ga tau kenapa , mungkin saat ini gara gara ada kamu". Memang sebelum nya aku blm pernah tidur di rumah Bu Mawar ini. Aku :"oke deh.eh sekalian celana boleh ga Bu , kan gerah pake Levis". Aku pun pura pura tidak perkataan yang tadi Bu Mawar. katakan. Bu Mawar : "ehmm .. it's oke" lalu kubuka kaos & celana ku , kni aku hanya di balut dengan celana dalam. Tiba tiba timbul pikiran kotor ku. Aku : "Bu apa ibu ga gerah dengan pakaian seperti itu?" tanyaku. Bu Mawar pun kaget. Bu Mawar : "sebener nya sih Gerah njas , tapi apa engga apa apa klo ibu buka" Aku : "lho gpp lah bu , emg kenapa , kan ibu yg punya rumah , jadi terserah ibu donk". Bu Mawar : "sekalian celana ya (sedikit kedipan mata)" Dibukalah baju & celana bu Mawar.WOOOOOOOOOW dalam hati ku , tubuh nya indah banget , payudaranya jg montok , bokong nya pun kencang , maklum mereka hanya punya 1 anak yaitu cuma TOMO. Bu Mawar : "gimana , gpp kan ? suka ga klo ibu kaya gini" Aku : "suka bu , cantik banget klo penampilan ibu kaya gini" Bu Mawar pun hanya tersenyum Malu mendengar perkatan ku. Aku : "bu , kita jangan 1 ranjang ya tidur nya" Bu Mawar : "engga , pokok nya 1 ranjang (dengan nada kesal mendengar perkataanku)". Aku : "ya udh deh klo itu mau nya ibu" Bu Mawar hanya tersenyum.Kemudian kami pun langsung menuju kasur empuk dan kami hanya di balut selimut (untuk 2 orang gan).Jantung ku merasa berdebar debar , darahku serasa naik , Hangat sekali rasanya".Karna sudah memuncak , Penisku menjadi Keras dan ingin rasanya ku muncratkan sperma ku ini di payudara Bu Mawar.Karena sudah tidak tahan , ku coba untuk mengocok Penisku ini , namun secara perlahan lahan takut bu Mawar terbangun dair tidurnya.Sambil ku kocok , ku lirik payudara bu Mawar yg lumayan Besar.Shiit Dammmn tanpa kusadari ternyata bu Mawar belum tidur.. Bu Mawar : "lagi ngapain kamu Njas (sambil tersenyum". Aku : "ehmm ,,aa ann,,anuu Buu"Tegang banget disini. Bu Mawar :"Ibu tau kok yg Kamu Lakuin , Kamu Terangsang yah gara gara ibu memakai pakaian seperti ini". Aku : "engg..ehh iyya bu sedikit". Bu Mawar :"Ibu sengaja pancing kamu untuk menemani ibu tidur , Ibu sudah jarang di sentuh oleh Suami ibu" Aku :"ooo.h..oohh" Bu Mawar :"Jadi , Mau kah Kamu Njas"tanya bu Mawar padaku. Aku :"ehh ,, Mmm MakSuud ibu ap..appa"pura pura bego. Bu Mawar :"udah lah jgn berlagak gitu ahh , ibu jg tau kok klo kamu..." Aku : "iii ..iiyaa Bbbu". Tanoa Basa Basi , Bu Mawar langsung membuka Selimut yg menutupi kami ber 2.Disini aku pun terus terang karena aku belum pernah melakukan hal seperti ini. Aku :"Bu , aa..n.u , sblumnya anjas blm pernah ngelakuin kaya gini". Bu Mawar :"ohh bagus donk , Pasti bisa banyak nih muncrat nya" Aku :"iii.y.a bu" Langsung saja bu Mawar membuka celana dalam ku , dan dia pun terkejut karna ukuran Penis ku yg lumayan besar , katanya sih punya suami bu mawar ini kalah jauh. Bu Mawar :"suka banget sama Penis mu sayang , punya suami ibu kalah jauh" Aku :"eemang iya bu? (sedikit senyuman)" Bu Mawar : "iya donk .." First , Bu Mawar langsung melumat bibir ku ,. Bu Mawar :"ayo mainin bibir mu njas". Aku :"emmh iya bu" setelah 10 menit kami Berciuman , Tangan bu indah pun langsung menuju ke penisku. Bu Mawar :"aduuh ibu jadi geregetan , penismu bagus sekali sayang" Aku :"hehe" Bu Mawar :"ini di BJ aja dlu ya , klo baru pertana kali , biasanya ga lama" Akukarna blm tau BJ , aku pun hanya mengangguk) Wow pintar sekali bu Mawar memainkan Penis ku , tak lama kemudian ..... Aku :"Bu ..aaakkk...uuu" semakin cepat saja bu Mawar mengocok Penisku,Dannn Ahhhh , Akhir Spermaku berceceran di muka Bu Mawar. Aku :"makasih buu , cukup kah segini saja?" Dia blm menjawab pertanyaanku , karna sedang sibuk membersihkan sperma yg ada di penis & menjilati seluruh Spermaku yg berada di Payudara nya. Bu Mawar :"eiits tunggu dlu donk sayang , ini mah belum apa apa" Aku : "maksud nya?" Lalu bu Mawar membuka BH & CD nya . Dan WOW aku terkagum kagum.Tak lama kemudian Bu Mawar Duduk & bersandar.Lalu dia menarik Kepala ku , tepat di hadapanku Vagna yang sangat bagus milik bu Mawar , Rapih gan tercuku dan masih lumayan karna jarang di sentuh suami nya. Bu Mawar :"Jilat Vagina Ibu Njas" Aku :"iya bu" Kemudian aku pun Menjilati Vagina Bu Mawar TERSAYANG (hehe). Bu Mawar :"Ahhh ,, Uhhh ,, "sambil menjambak rambutku. tak berapa lama , Bu Mawar menyuruh ku untuk berhenti , (shiit padahal lagi enak enaknya , tapi apa boleh buat). Bu Mawar :"masukin ya" Aku :"iya bu" karna baru pertama kali melakukan nya , aku pun masih kesusahan (hehe).Bu Mawar pun tersenyum melihat ku kesusahan memasukan Penisku ke dalam Lubang Vagina nya. Bu Mawar :"Yeee .. Susah ya?" Aku :"iiya nih bu ,,, maap ya karna baru pertama kali"sambil tersenyum. Bu Mawar pun memegang penis ku , dan mengarahkan nya ke Vagina milik nya.Sleeep Akhir nya masuk juga [] . Bu Mawar :"Tekan , lalu gerakin ya Njas". Aku :"iya bu , tapi sambil di ajarin ya" dan Bu Mawar pun Hanya mengangguk.Aku tekan tekan Penis ku dan Memain kan nya. Aku:"Begini bkn bu?" Bu Mawar :"iya sayang , nanti klo mau keluar di percepat dikit ya gerakan nya" Ahhh Ohhh ummmHHH ahhhh Anjaas ahhhh Uhhh Ummh ucap bu Mawar.. Aku:"ahh buuu ,, emmhh" Kemudian aku melepaskan Batang Penisku dari Vagina Bu Mawar. Bu Mawar :"Lho kenapa ?" Aku :"Ganti Posisi ya" Bu Mawar :"Y udh ... Anal aja ya" aKU :"apa itu bu" Bu Mawar :"Kamu tusukkan Penismu ke Anus Ibu" Aku:"Ohh .. iya bu" Kemudian Bu Mawar pun membalikan Badan nya , Disini aku sudah sedikit lihai karna tadi sudah di ajarkan oleh bu Mawar.Sleeep Masuk jg. Aku Mainkan Penisku , Aku:"ahhh buu ,, ummh nikmatt bu ahhh oouuhh" Bu Mawar:"ahhh .. terus sayang ahh woow .. buat ibu puas malam ini" Aku:"Buuu klo di keluarkan di dalam bagaimana?" Bu Mawar :"Keluarkan saja tidak apa apa .. Ouuuhh Ahhhh Emmmh Sayanngg" Sekitar 5 menit ..... Aku:"Buu Akkkuuuu KelllluuArrr" Bu Maya :"ahh ahhhhh ohhhhh ahhhh sayaangg emmmmhhh ahhhh" Crooot Croot ,, spermaku pun keluar di dalam. Bu Mawar:"jgn di lepas , biarkan saja , tunggu mengecil sendiri" Aku :"Ahhhh ,, Capek & Lemes nih Bu" Setelah Penisku mengecil sendiri , akhir nya kucabut.Lalu Kami ber 2 berbaring bersama. Bu Mawar :"Makasih banget Njas ,, malam ini ibu Puas"(kemudian mengecup bibirku). Aku:"Sama Sama Bu ,, baru pertama kali Anjas ngelakuin kaya gini ,, Makasih banget" Bu Mawar :"Iya sayangg"(dengan senyuman manja ny) Lalu Aku pun memakai Kaos & Celana ku kembali , tapi Bu Mawar masih Berbaring di tempat tidur nya mungkin dia kelelahan.Waktu sudah menunjukan Pukul 02.00. Aku:"Aku ke kamar TOMO dlu yah Bu , takut dia marah" Bu Mawar :"iya sayang , jgn bilang bilang ya (senyum gembira nya ) , sini mendekat sebentar. Kami melakukan Kissing sekitar 5 menit , aku pun bergegas ke kamar Tomo & melambaikan tangan ku ke arah Bu Mawar , dan dia pun hanya tersenyum

Nonton BF Bersama Istri Tetangga

Jika malam itu adalah malam sial bagiku, mungkin benar… pasalnya siangnya Puspa istriku berangkat ke Semarang dijemput mas Tono kakak lelakinya, untuk menghadiri pernikahan sepupu mereka, sedangkan aku memang ga ikut karena ga mungkin meninggalkan tugas kantor yang memang sedang tinggi loadnya di akhir tahun ini… Yang pertama malam ini aku bakal kesepian di rumah, yang kedua baru tadi pagi menstruasi Puspa istriku berhenti, seharusnya malam ini aku dapat jatah setelah selama hampir seminggu kejantananku ga ketemu musuh … Makanya sepulang kantor aku mampir ke Glodok tempat yang memang sehari-hari aku lewati… kubeli beberapa filem bokep… pikirku lumayan untuk menghabiskan week end ini…. Menjelang memasuki gerbang perumahan yang masih sepi dari penghuni ini, hampir aku mengumpat keras, ketika ingat kalao DVD playerku masih berada di tukang service yang seharusnya sudah bisa diambil beberapa hari yang lalu dan sekarang, gila aja kalau aku harus putar balik menembus kemacetan Jakarta hanya untuk mengambil benda itu…. Aaaah… aku ingat mas Budhi satu-satunya tetangga terdekatku yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku, aku bisa pinjam dia… kembali aku bernafas lega. Sehabis mandi, segera aku bertandang ke rumah sebelah, aku sempat heran, ga biasanya masih jam 20.30 ruang tamunya sudah gelap, padahal mobil Avanza hitam miliknya ada di rumah, berarti mas Budhi ada dirumah… simpulku sederhana…

“ Mas Budhii… maaas…” panggilku dari luar pagar, sesekali kuketok-ketokkan gembok ke pagar besi, sehingga terdengar suara besi beradu nyaring… Agak lama kulihat lampu ruang tamu menyala, tapi pintu tidak segera dibuka, kulihat tirai sedikit tersingkap dan ada yang mengintip dari dalam, tumben pake diintip segala…. Biasanya mas budhi langsung buka pintu.

“ Eeeiii… Bimooo… sorry ya…ayo masuk pagar ga dikunci kan..?” seru suara wanita yang sangat aku kenal, mbak Astrid istri mas Budhi keluar dari pintu dengan pakaian tidurnya dilapisi sweater

“ Lho mas Budhi mana mbak… sudah tidur..? waduu jadi ngganggu neeh..?” kataku agak kikuk ketika aku sudah duduk di ruang tamu itu mas Budhi ga muncul..

“ Mas Budhi sedang tugas ke Medan Bim… eh mau minum apa neeh..?” mbak Astrid wanita berwajah cantik ini menawarkan minum yang membuatku semakin jengah untuk duduk berlama-lama disitu, pasalnya mba Astrid dengan pakaian tidur yang tipis memperlihatkan bayangan celana G-String putihnya… aku yakin bagian atas jika tak tertutup sweater akan membayang BH nya… atau mungkin ga pake… yang aku tahu ibu ini buah dadanya sangat montok… Sebenarnya antara aku dan mbak Astrid sudah akrab sekali, bahkan kalo bercanda kadang-kadang agak seronok… tapi itu justru jika ada di depan mas Budhi atau ada Puspa istriku.. ketika berdua begini aku jadi kaya mati angin… sementara mba Astrid masih bersikap wajar…

“ Waah.. ga usah repot-repot mbak… aku hanya mau pinjem DVD player aja kalo bisa…” kataku dengan agak sungkan…

“ Ada kok Bim… bentar aku lepasin kabel-kabelnya yah… sendirian di rumah… mau nonton film jorok ya..?” Tebak mbak Astrid yang tengah berlutut di lantai mencabuti kabel DVD player yang berada dibawah kolong membelakangiku sehingga pantatnya yang montok itu ngepress di baju tidurnya yang tipis dengan celana G-String, terlihat pantat montok itu bagaikan tanpa celana…mau ga mau kejantananku yang sudah seminggu ga ketemu musuhnya merespon positif… mulai menggeliat bangun.

“ Waaah… eeehhh… anuu… buat nonton video pengantin temen yang baru diedit” jawabku sempat gagap…

“ Alllaaaaaa… ga usah ngelesslaaah… iya juga gapapa… udah gede ini…haa..haaa..” potong mbak Astrid sambil meletakkan benda elektronik tipis ini di meja… dengan posisi aga menunduk ini mataku menangkap dua gundukan montok putih mulus tanpa lapisan dari sela-sela sweaternya di dalam daster yang memang berleher rendah… dan mbak Astrid seolah ga merasa akan hal itu…

“ Haaa…haaa… mbak Astrid nuduh neeh… nonton bokep sendirian ga seru… kalo ditemenin mbak Astrid baru seruuu…” jawabku mulai terbawa gaya sembarangannya mbak Astrid…

“ Heeee..??? bener ya Bim..? seumur-umur aku belom pernah nonton bokep… soalnya mas Budhi ga pernah ngasih… kamu ada kan filemnya..?” cerocos mbak Astrid tanpa bisa kujawab… dan sebelum aku bisa jawab…

“ Ya udah sana kamu duluan aku ngunciin pintu sama matiin lampu dulu….” Tanpa menunggu jawabanku ibu muda ini sudah menghilang ke belakang…

Dengan gontai aku melangkah pulang sambil nenteng DVD player milik mba Astrid… pikiranku jadi kacau, karena mba Astrid kepengen ikut nonton bokep sama aku… Sampai dirumah sambil masangin kabel-kabel ke monitor aku bingung sendiri… aku bakal mati gaya, nonton bokep berduaan dengan istri orang… Lain semasa bujangan dulu, kalo nonton bokep justru cari pendamping yang bisa dijadikan pelampiasan… Lulu anak Fakultas Psikologi, pendampingku setia nonton bokep… ujung-ujungnya kami saling melampiaskan walaupun hanya sampe oral sex… Lulu ga mau aku setubuhi, katanya waktu itu dia masih perawan… Trus beberapa lagi Titiek, Anita, Mimi… kalo mereka bertiga memang sudah dapat predikat ayam kampus. Bahkan pernah aku dikeroyok mereka bertiga semaleman…

“ Heeeiii aku datang…! ko malah ngelamun Bim…?” Suara mba Astrid membuyarkan lamunanku. Mba Astrid datang dengan membawa tentengan berupa beberapa minuman kaleng dan makanan kecil..

“ Busyeeet bekelnya banyak bener…? Mau sampe pagi…?” seruku untuk menetralisir kebingunganku… Waddduuu… aku pikir mba Astrid tadi berganti baju yang lebih pantas, ternyata masih menggunakan baju tidur yang sama… ini namanya sial atau keberuntungan siiih..???

“ Heh..? siapa tau sampe pagi…? Bim aslinya… sebelum kamu datang tadi aku di dalam rumah sendirian, tuh takut… tau ga siih..? sepi bangeeet… makanya aku bawa banyak bekel, ntar kita ngobrol aja sampe pagi… setuju..?” celoteh mba Astrid panjang lebar bener-bener ga berubah sikapnya, ada atau ga ada suaminya…

“ Sekarang mau nonton yang mana dulu..? silakan nyonya Astrid menentukan pilihan…” kataku sambil menyodorkan segepok piringan DVD lengkap dengan sampulnya…

Pilihan mba Astrid rupanya tepat, pilihan filmnya masih yang XX… jadi sewaktu nonton kami masih bisa sambil santai bercanda mengkomentari adegan demi adegan, walaupun 2 jam kemudian setelah film pertama selesai aku lihat wajah mba Astrid agak memerah dan sesekali merapatkan sweaternya seolah-olah menyembunyikan dadanya yang montok….

“ Mmm… apa sih yang dikuatirkan mas Budhi dengan aku nonton Bokep, kalo beginian sih ga begitu ngaruh aku rasa Bim…?” kata mba Astrid sedikit arogan.. sambil milih-milih lagi film yang akan ditonton berikutnya…

“ Yang bener aja deeeh Nyonya Astrid..?? kalo nontonnya sama suami orang..?” Jawabku menggodanya.. entah kenapa aku bisa menemukan panggilan Nyonya Astrid untuknya yang selama ini ga pernah muncul..

“ Haa… haaa… suami Puspa sih anak kemaren sore mana berani macem-macem..?” sahutnya setengah menantang dengan bibir manisnya dicibirkan padaku… Memang usia mba Astrid lebih tua 2-3 tahun dari aku, makanya sering ledekannya kepadaku selalu menyangkut umur dan apalagi memang wajahku kata orang adalah baby face, innocent… seandainya orang tau kelakuanku di jaman kuliah dulu… pernah kencan ranjang dengan dosen manajemen… pernah pacarin anaknya sekaligus nidurin mamanya… ibu kospun pernah aku embat… mungkin akan lain kesannya padaku dan kebetulan Puspa istriku aku dapatkan ketika aku sudah di Jakarta dan sama sekali tak tahu masa laluku yang brengsek…

“ Biim… iihh asyik banget tuh mereka yak..?” Gumam mba Astrid yang memang dasar mulutnya ga bisa diem… melihat adegan pose 69 kayanya heran banget…

“ Emang kamu belum pernah mba..?” sahutku polos…
“ Eeeh… enggak… no comment.. sssst diem aja ya sekarang..” kudengar mba Astrid menjawab gagap dan suaranya agak bergetar…. Benar saja suasana jadi hening, apalagi volume film memang kecil supaya ga kedengaran dari luar…. Tapi kini yang aku dengar adalah suara nafas mba Astrid yang tidak teratur, seolah-olah terengah-engah… sedangkan aku juga sudah terhanyut dengan adegan syuuur yang terpampang di monitor dan film kali ini adalah XXX… celana pendekku yang gombrong, di bagian selangkanganku sudah menggembung akibat batang kemaluanku sudah menegang kencang, makanya kutumpangkan bantalan kursi agar ga terlihat oleh mba Astrid… awalnya aku ga begitu memperhatikan mba Astrid, karena aku sangat terbawa oleh adegan dan wajah-wajah seksi di film itu… tapi beberapa kali kudengar mba Astrid menghela nafas panjangnya… dan beberapa kali merubah posisi duduknya, seolah gelisah… mulailah aku memperhatikan tingkah wanita yang menahan gejolak birahi…. kulihat sering nyonya muda ini meregangkan jari-jari tangannya…. dan kulihat wajah yang cantik berkulit putih ini makin memerah, seperti layaknya orang habis minum arak… Satu setengah jam berlalu… sesekali kulirik mba Astrid yang duduk di sebelahku persis… kegelisahannya kulihat semakin hebat… dan hilang sudah komentar-komentar konyolnya seperti pada film pertama… Pada suatu saat menjelang film ini selesai… mata kami bertemu pandang… kulihat sorot mata yang aneh dari mba Astrid… sementara kurasa matakupun sudah aneh juga… dimata mba Astrid..

“ Biiiiiimmmm….” Kudengar suaranya mendesah memanggil namaku

“ Ya mbaa…” jawabku tak kalah lirih, dalam pandanganku saat itu yang dihadapanku bukanlah Astrid sebagai wanita yang sudah kukenal baik…tetapi Astrid sebagai wanita yang sangat menggairahkan sedang menggelar libidonya… entah siapa yang memulai… tahu-tahu tangan kami sudah saling menggenggam… kuremas lembut jari-jari halus mba Astrid. Mba Astrid menundukkan wajahnya ketika wajahku mendekat, kusibakkan rambut panjangnya yang jatuh menutup sebagian wajahnya… kembali dia mengangkat wajahnya dan wajah kami hampir tak berjarak, hembusan nafasnya terasa hangat dihidungku.. matanya menatapku penuh makna… Entah keberanian dari mana yang mendorongku mengulum bibir indah yang setengah terbuka milik mba Astrid… aah reaksi positif kudapatkan… kulumanku dibalasnya, sejenak bibir kami berpagutan mesra, sampe akhirnya dia melepaskan pagutan bibirnya dengan nafas terengah-engah.

“ Aaah Biimo… jangan… jangan diteruskan… bahaya…” katanya setengah berbisik sambil berusaha melepaskan rengkuhanku… tak akan kulepaskan nyonya cantik ini… kepalang tanggung..pikirku.

“ Kenapa mba..? apanya yang berbahaya..?” sahutku sekenanya sambil mendaratkan kecupan bibirku di lehernya yang jenjang… sejenak dia meronta-ronta kecil berusaha menghindari kenakalan bibirku pada leher mulusnya, sementara tanganku tengah meremasi kemontokan buah dada yang ternyata memang tak mengenakan bra… beberapa kali tangan halusnya menepiskan tanganku dari dadanya… tapi segera tanganku kembali ke tempat semula, sampai sesaat kemudian perlawanannya berhenti dengan sendirinya, berubah dengan desah nafas memburu dan geliatan tubuhnya… serangankupun kukendorkan.. kecupan bibirku kuperlembut demikian juga remasan tanganku berubah menjadi elusan lembut pada kulit payudaranya dan gelitikan mesra pada puting susunya yang sudah mengeras…

“ Bimo… ssss… aku ngga tahaaan..” bisiknya pendek, dekat sekali suara itu di telingaku… ooowww… daun telingaku dikulumnya… dijilatinya…

“ Ikuti aja mba… nikmati aja..” bisikku mesra sambil menarik tali daster yang tersimpul di pundaknya, sehingga memperlihatkan kesempurnaan bukit montok di dadanya.. begitu mulus dengan puting mungil mengeras berwarna merah kecoklatan… kudaratkan jilatan ujung lidahku pada benda itu, tubuh mba Astrid menggeliat sambil mendesah panjang…

“ Ssssssshhh… aaahh… Biimm..ooo.. aku.. takuut… mmmmmhh” Tak kupedulikan lagi kalimat-kalimat mba Astrid, karena nafsukupun sudah di ubun-ubun apalagi menghadapi kenyataan ternyata tubuh ibu muda ini memang tak layak untuk dilewatkan sesentipun… desah-desah resah berhamburan dari mulut mba Astrid, geliatan tubuhnya sudah menunjukkan kepasrahannya kepada birahinya sendiri… tangannya mulai melingkar di leherku, betapa rambutku digerumasinya, betapa kuatnya jari lentik mba Astrid mencengkeram kulit punggungku, manakala puting susunya kukulum dalam waktu yang lama….

“ Duuuh… ampuuunn…..” desahnya lirih, perutnya yang rata berkulit putih dihiasi lubang pusar berbentuk bagus ini menggeliat erotis, manakala bibirku mengecupinya… Tubuh atas mba Astrid sudah kutelanjangi, entah kemana daster dan sweaternya jatuh ketika kulempar tadi. Tubuhnya setengah rebah dengan kepala berada di sandaran tangan sofa, sementara kulihat tangannya meremasi payudaranya sendiri… Mba Astrid mengerang panjang dengan menggoyang-goyangkan kepalanya yang mendongak ketika lubang pusarnya kukorek-korek mesra dengan lidahku… tubuhnya menggeliat erotis sekali, rupanya disitu adalah salah satu daerah sensitifnya…

“ Owww… Biimmoo… jangaaan… aku ga mauu…” bisiknya sambil tangannya menahan daguku… ketika kukecupi gundukan kemaluannya dari balik celana G Stringnya yang sudah tampak bercak basah…

“ Kenapa mbak..?” tanyaku lembut..

“ Ssssshh… aku belum.. pernah… maluuu..” jawab mba Astrid, sambil berusaha menarik tubuhku ke atas… Busyeet jadi diapain aja tubuh indah ini sama mas Budhi..? Selanjutnya tanpa permisi celana G String itu kusingkap ke samping…. Fuuuiii..! sebuah gundukan kecil yang dibelah tengah dengan rambut kemaluan ga begitu lebat… sebuah bentuk luar kemaluan wanita yang masih orisinil… indah sekali belahan yang basah kulihat berdenyut-denyut… tak ayal lagi lidahku terjulur menyapu cairan yang membasahi belahan indah itu….

“Aaaaahhh… Biiiimmoooo… kamu bandeeelll…” Erang mba Astrid dengan tubuh semakin hebat menggeliat… sepasang kaki panjangnya semakin terkangkang lebar… kaki sebelah kiri terjuntai ke lantai yang beralaskan karpet tebal dan kaki sebelah kanannya ditumpangkan di atas sandaran sofa… setelah G Stringnya kutanggalkan. Rambutku habis diacak-acak tangannya yang gemas yang kadang mencengkeram erat kulit pundakku… hal ini membuat aku semakin kesetanan ditambah aroma vaginanya yang segar… bibirku menciumi bibir vaginanya selayaknya mencium bibir mulutnya dan lidahku menyelip-nyelip memasuki liang yang basah itu sampai sedalam-dalamnya…. sesekali kukulum clitoris mungil yang sudah mengeras…

“ Biiimmmmooo…. ampuuuunn… nikmaaaaat bangeeettt…” mba Astrid merintih-rintih dengan suara seperti orang mau menangis… pinggulnya bergerak-gerak merespon ulah lidah dan bibirku di selangkangannya…

“ Ooowwh… Biiimmm… sudaaaaahhhh aku ga tahaaaaan…” Suara mba Astrid semakin memilukan… Tiba-tiba tubuh mba Astrid bangkit dan mendorong lembut tubuhku yang tengah bersimpuh di karpet tebal kuikuti saja sehingga tubuhku telentang di karpet sedangkan tubuh mba Astrid mengikuti arah rebah tubuhku sehingga tubuhku kini ditindihnya…. payudaranya yang montok dan kenyal itu kini menempel ketat di dadaku… wajah kami begitu dekat dan wajah wanita yang tengah diamuk birahi memang akan semakin terlihat memikat, seperti wajah mba Astrid ini kulihat semakin mempesonaku…

“ Bimooo… ayo masukin yaaah..?” Desisnya dengan bibir indahnya kulihat gemetar…
Alis indah di wajah cantik mba Astrid mengerinyit dan matanya yang agak sipit semakin menyipit sayu…

“ Ouught… pelaaan Biiimm… ssssss… nyeriii…” keluhnya… sambil memepererat pelukannya… kurasakan liang sanggama ibu muda ini sempit sekali ketika palkonku berusaha menerobosnya… Tapi ibu muda ini sangat bersemangat untuk menuntaskan gairah binalnya… walaupun dengan ekspresi yang nampak kesulitan dan kesakitan…. diiringi geal-geol pinggulnya… akhirnya amblaslah seluruh batang kemaluanku tertanam di liang sanggamanya yang sempit..

“ Sssshhh… gilaaa… gede banget punya kamu… hhh… hhh… tunggu Biimm..” Tubuh sintal mba Astrid ambruk ke tubuhku ketika penetrasi itu berhasil… kudiamkan sejenak tubuh sintal itu diam tak bergerak di atas tubuhku dengan nafas memburu tak beraturan… besutan-besutan kecil kurasakan ketika mba Astrid mulai menggerakkan pinggulnya… dan gerakan itu semakin keras… dan besutan-besutan itu semakin nikmat kurasakan…. aku ga bisa menahan diri lagi untuk mengcounternya… aku mulai mengayun batang kemaluanku..

“ Biimmooo… oooohhh…sssshhhh” hanya itu desah-desah kalimat pendek yang sering terucap dari mulut mba Astrid yang dengan gemulai menarikan pinggulnya… diiringi erangan dan rintihan kami yang sangat ekspresif… sesekali bibir kami berpagutan liar… remasan gemas tanganku pada payudara montok yang terayun-ayun itu seakan tak mau lepas…

“ Biimm… Biimmoooo… ssssshh… aku hampiiirrr… ookkkhhh..” gerakan tubuh mba Astrid semakin tak beraturan… dan rasanya akupun ga perlu menahan bobolnya tanggul spermaku untuk lebih lama…

“ Tunggu mba..” desisku pendek.. dan bagaikan dikomandoin tubuh kami bisa serentak meregang dan aku terpaksa mengayunkan batang kemaluanku sehebat-hebatnya un tuk menghasilkan kenikmatanku secara maksimal…

“ Aaaaarrgh.. Biiiimmooo… aammmpuuuunn…” Tubuh mbak Astrid menggelepar hebat di atas tubuhku… betapa kejam kuku jarinya mencengkeram dadaku sebagai pelampiasan meledaknya puncak birahi betinanya….

Hening…. sesaat setelah terjadinya ledakan hebat… kulihat jarum jam didnding menunjukkan angka 11.30… tubuhku tetap rebah telentang… sedangkan tubuh mba Astrid tergolek disamping membelakangiku… Ketika deru nafas memburu kami mulai mereda… dan ketika keringat birahi kami mulai mengering…. kupeluk tubuh sintal mba Astrid dari belakang, tapi dengan lembut tanganku diangkat dan dipindahkan ke tubuhku sendiri… dan tubuh mbak Astrid beringsut menjauhiku… kudekati lagi tubuh itu dan kudaratkan kecupan di punggung berkulit mulus itu… kudengar isak tangisnya….

“ kenapa mba..?” tanyaku lembut… lama ga ada jawaban, isak tangis mba Astrid makin keras… kubelai lembut pundaknya.. tapi tanganku ditepisnya…

“ Bimo… aku sedih dengan kejadian ini… aku malu sama kamu.. dan aku merasa sudah melukai hati Puspa dan mas Budhi…” terdengar suara mba Astrid serak…

“ Malu kepadaku..? untuk apa malu…? justru aku merasa lebih dekat dan bahagia sama kamu mbak.. walaupun sebenarnya ga seharusnya dengan jalan seperti ini… selama kita bisa memposisikan masalah ini pada porsinya, kurasa mas Budhi ataupun Puspa ga akan merasa kita sakiti..” jawabku panjang lebar..

“ Aku takut mereka tahu apa yang telah kita lakukan..” sahut mba Astrid dengan suara yang semakin tenang…

“ Mereka ga akan tahu selama kita ga memberitahu… dan kondisi kita saat ini adalah seorang lelaki dan wanita yang punya keinginan yang harus terpenuhi saat ini juga… kita tidak bisa menghindari mbak..” sahutku lagi, sambil kutumpangkan tanganku dipinggul bulatnya… mba Astrid tak bereaksi walaupun masih mempunggungiku…

“Lebih tepatnya harus terpenuhi malam ini… bukan hanya sesaat…” sahut mba Astrid sambil membalikkan badannya, sehingga kembali payudara montoknya menempel di dadaku… matanya menatapku tajam penuh tantangan.. dan kini wajah sembab sehabis menangis ini tersenyum manis sekali…

“ sepanjang malam ini mba..?” tanyaku menegaskan, sambil kulingkarkan lenganku ke pinggangnya yang raping…
“ Yah… bukankah malam masih panjang Bim…?” bisiknya manja.. wajahnya ditengadahkan ke wajahku. Kupagut bibir bagus itu dan disambut dengan sangat bergairah…. Gairah liar birahi betina mba Astrid meletup dahsyat, aku benar-benar tak menyangka ibu muda yang kalem dan polos bisa berubah sedemikian agresip… Batang kemaluanku rupanya benar-benar membikin ibu muda ini gemas setengah mati… tak hentinya tangan berjari lentik ini mengocok dan meremas-remasnya..

“ Bimo aku pengen “ini” kamu..” bisiknya manja sambil meremas lebih keras saat mengucap kata “ini”…

“ Emang bisa..?” sahutku menggoda… wooww.. perutku digigit kecil mba Astrid dengan gemas…

“ Boleeeh enggaaa..?” rajuknya

“ Iyaaaa… habisiiin deeeh..” jawabku sambil kuremas pantat bulatnya… Awalnya kurasakan mba Astrid masih coba-coba… dengan sabar aku memberi arahan, karena beberapa kali palkonku terkena giginya… lumayan sakiit… Selanjutnya, tubuhku dibuat melintir dan menggeliat merasakan permainan lidah dan lembutnya bibir mba Astrid membasuk batang kemaluanku… kadang-kadang dengan nekadnya batang kemaluanku ditanamnya dalam-dalam sampai ujung kerongkongannya… sampai mba Astrid tersedak..

“ Eeeii.. jangan diabisin mbaa..” kataku lembut… melihat mba Astrid tersedak..

“ Abis gemeees aku Bim… punya kamu panjaaang bangeeet, gede lagi…” bisiknya manja, memberi alasan…
Akhirnya kami membuat posisi 69, mba Astrid menindihku dengan posisi mengangkangi wajahku… Kami sepakat dengan posisi ini sampai mencapai orgasme… kembali erangan dan rintihan kami bersahutan.. gerak tubuh kami sudah tak berirama, detik-detik akhir mba Astridpun kurasakan… beberapa kali kaki panjangnya meregang dan besotan mekinya di bibirku makin liar… aksi lidah dan bibirnya pada batang kemaluankupun makin liar, membuatku semakin mendekati titik kulminasi…

“ Eeeeeehhhkkk… Biiiimmmm… niiiikkkkmaaaattnyaaa…” rengek mba Astrid panjang, tubuhnya menggeliat hebat… kedua kakinya meregang.. besotan meki ke mulutkupun makin hebat… lidahku kujulurkan jauh kedalam liang becek yang kurasakan mengedut-ngedut…

“ Oooowww.. mbak akuu.. hampiiirr…” Desahku selang tak lama setelah palkonku kembali dihajar lidah dan mulut mba Astrid… busyeeet, bukannya melepaskan kuluman bibirnya di palkonku, mba Astrid malah memperhebat aksi mulut dan lidahnya ditambah kocokan tangannya pada batang kemaluanku… Apa dayaku… tak ampun lagi diiringi eranganku, tubuhku mengejang keras mengantarkan semprotan spermaku bertubi-tubi di dalam mulut mba Astrid yang makin lengket seperti lintah menempel di tubuhku… tak luput kantong pelerku diremas-remas lembut, seakan spermaku ingin diperas habis… setelah dirasa tetes terakhir… buru-buru mba Astrid bangun dari tubuhku dan menyambar botol aqua yang tadi dibawa dari rumah dan diteguknya sampai tandas…

“ Iiih… rasanya aneh… banyak banget, kentel lagi… kenyang deh aku Bim… tapi enaak kok, asin ada gurihnya..” komentar mba Astrid dengan pengalaman barunya… Kembali kami berbaring di karpet tebal merasakan lemasnya tubuh…

Setelah mengguyur tubuh dengan shower di kamar mandi kembali kami rebahan santai di karpet tebal di depan televisi, saat itulah mba Astrid menceritakan rahasia kehidupan ranjangnya dengan mas Budhi, yang monotone, mas Budhi terlalu polos dan lurus dalam soal sex.. sedikit-sedikit takut dosa. Dalam hal kepuasan sex sebenernya mba Astrid tidak merasa kekurangan, karena selain mas Budhi memang punya stamina tubuh yang bagus dengan hidup sehatnya, di sisi lain memang mba Astrid adalah type wanita yang gampang tersulut gairah seksualnya dan dengan cepat mencapai puncak orgasme…

“ Pernah hari Minggu pagi aku liat mas Budhi sedang nyuci mobil dengan kaos yang basah, sehingga nempel dibadannya yang atletis… seeerrrr… langsung.. basah juga deh CD ku… dan langsung kutarik mas budhi kekamar dan aku telanjangi…. haa.. haaa.. dapet dua kali…” tutur mba Astrid sambil menyuapi aku dengan anggur yang dibawanya tadi…

—-

Kembali kami nonton bokep yang belum kami tonton… belum seperempat jam Asia Carrera beraksi…

“ Biiiimmm… nggaaa tahaaan neeh… keburu pagi…” Desah mba Astrid manja dengan nafas yang sudah ngos-ngosan… apalagi dengan membengkaknya batang kemaluanku yang dari tadi ga lepas dari genggamannya.

“ Mba Astrid pingin diapain..?” bisikku sambil kudaratkan kecupan di lehernya

“ Pingin kaya di film itu…” jawabnya manja… tanpa disuruh mba Astrid menelungkupkan tubuhnya di sofa dengan kaki berlutut di karpet agak mengangkang… kuminta pantatnya ditunggingkan sehingga gundukan bukit kemaluannya mengarah keluar… mba Astrid kembali mengerang gemas ketika palkonku mulai merentangkan otot liang sanggamanya… ketika pantat montok itu mulai menggeol gemulai dan ketika batang kemaluanku mulai memompa… mulailah kuda jantan dan kuda betina ini berpacu birahi… Aku membuktikan mba Astrid memang wanita yang cepat mencapai orgasme dan cepat kembali berkobar birahinya… dan mba Astrid menghendaki berganti posisi setelah dia mencapai orgasme… saking seringnya dia mencapai orgasme… hampir-hampir kami kehabisan posisi dan di setiap posisi mba Astrid mengaku bisa mencapai orgasme dengan kenikmatan yang maksimal… Ketika pada orgasme mba Astrid yang kelima, aku juga merasakan orgasmeku hampir sampai… mba Astrid menyadari itu…

“ Biimm… tumpahkan dimulutku sayaaang… aku suka peju kentel kamu…” rengeknya disela-sela nafas kuda betinanya… dan dengan bernafsu sekali mba Astrid menyambut semburan demi semburan sperma kentalku dengan mulut terbuka lebar dan lidah yang menggapai-gapai… Tubuh mba Astrid kembali rebah telentang di karpet setelah menenggak setengah botol aqua… rambutnya yang panjang tampak kusut dan basah oleh keringatnya, tubuhnya yang berkulit putih juga tampak berkilat basah oleh keringat… terlihat sinar matanya yang kecapekan dan wajah agak memucat… Ketika aku keluar dari kamar mandi setelah kembali mengguyur tubuhku dengan shower, kulihat mba Astrid tertidur pulas dengan bibir tersenyum… kulihat jam menunjukkan jam 03.45… kurebahkan tubuhku disisinya… kubelai lembut rambutnya yang masih basah oleh keringat birahi… kukecup keningnya yang sedikit nonong… kuamati tubuh telanjang ibu muda ini, sebuah struktur yang sempurna… wajahnya berbentuk oval, bibir berbentuk bagus, hidung mancung berbentuk ramping, mata agak sipit tapi memanjang dengan kelopak besar… bulu mata yang lentik dan panjang… alisnya seperti di gambar… postur tubuhnyapun proporsional antara tinggi dan beratnya… sekitar 165 – 170 cm… buah dadanya yang montok kutaksir cup branya B…. memang masih kenyal menggemaskan dengan puting susu bak perawan, mencuat mungil ke depan, berwarna merah kecoklatan…
perutnya yang rata dengan lubang pusar berbentuk indah… pinggang ramping menyambung dengan pinggul yang padat ditopang sepasang kaki yang panjang berbentuk atletis…. Rupanya aku tak dapat menahan kantukku… Aku membuka mata kulihat mbak Astrid bersimpuh di sebelah tubuhku, dengan pakaian sudah lengkap membalut tubuhnya, rupanya dia yang membangunkanku kulihat jam dinding menunjukkan pukul 05.15…

“Biim, aku pulang dulu yaa..?” kata mbak Astrid, wajahnya sudah segar, rupanya sempat mencuci mukanya sebelum membangunkanku…

“ Eeeh… buru-buru sih..? kan masih pagi… “ jawabku sambil menarik pinggangnya…

“ Bimo kamu gila… liat tuh udah terang…” protesnya ketika tubuhnya menindih tubuhku akibat tarikan tanganku dan aku memang gha peduli karena seperti biasa kalo pagi hari, batang kemaluanku pasti ikut menggeliat bangun saat aku bangun…. kembali kugumuli tubuh indah yang kini sudah berdaster lengkap dengan sweaternya….

“ Aaaahhh Bimmooo… ga mauuk… bauuuk ga enak..” protesnya manja tapi tidak menolak bahkan kudengar desisan panjang ketika batang kemaluanku kembali menggelosor memasuki tubuhnya…

“ Biiimmo… asli aku ga mampu menolak yang begini iniii ooohhkk…” desisnya gemas merasakan pompaan batang kemaluanku ke liang sanggamanya yang sempit…

“ Ayyuu Biiimmm… keburu mbak Suti dateng…” bisik mbak Astrid di deket telingaku, setelah orgasmenya yang kedua, mbak Suti adalah tukang cuci yang tiap pagi datang ke rumahnya….

“Owwkk.. Biiimmm… giiilllaa kamuuu… aku berasaa lagiii…” rengek mbak Astrid lirih.. kurasakan tubuhnya mulai menegang…

“ Mmmhh… tuungguuu mbaakk..” Kupergencar pompaanku… tubuh mbak Astrid makin kuat menegang.. memperkuat pelukan dan cengkeramannya di tubuhku…

“ Oooowww… nggaaaaa tahaaaan Biiiimmm…!” teriakan keras mba Astrid menghantarkan geleparan tubuhnya yang tak terkontrol hal ini ternyata mendorong dengan cepat semburatnya spermaku kembali memenuhi liang sanggama mba Astrid…. Kembali kami terkapar di atas karpet… kali ini mbak Astrid ngga lagi telanjang… hanya dasternya aja tersingkap sampai ke perut… Setelah nafsnya kembali teratur mbak Astrid beringsut bangkit sambil memungut celana G Stringnya dimasukkan ke kantong dasternya…

“ Udah ya Bim… makasih banget untuk malam panjang ini… aku ga akan melupakan malam indah sama kamu ini, tapi aku berharap cukup sekali ini saja… jangan sampai kita ulang ya Biim… janji ya..?” kata mbak Astrid sendu… akupun mengangguk saja, ngga ada kalimat yang mampu terucap dari mulutku… Kuantar mbak Astrid sampai pintu ruang tamu, karena aku masih telanjang bulat… Nggak sampai setengah menit mba Astrid menutup pintu rumahnya, kulihat dari balik kaca jendela mba Suti tukang cuci itu datang…

Memang kejadian itu ga terulang lagi sampai saat ini dan hubungan keluarga kami tetap seperti sediakala sampai akhirnya mba Astrid dan Puspa istriku melahirkan anak dengan waktu hampir bersamaan, tapi kejadian semalam itu rupanya benar-benar menjadi ikon yang hidup di hati aku dan mbak Astrid… beberapa kali kami melakukan phone sex setiap kali mbak Astrid curhat tentang kehidupan seksnya yang tetap monotone… hanya sebatas itu…

Minggu, 04 Agustus 2013

Janda dan Abg

Kalau aku diam, orang akan mengatakan, ”Begitulah janda, tak bisa cari uang setelah ditinggal mati suaminya.” Kalau aku tidak keluar rumah, orang akan mengatakan, ”Selalu berkurung diri, pasti sudah kehilangan akal setelah dicerai suami.” Kalau aku keluar rumah dan tentu saja aku bersolek, orang berkata, ”Dasar janda, pasti keluar cari laki-laki, jelas saja dicerai oleh suaminya.” Apa saja yang kulakukan selalu saja salah di mata orang lain, terlebih para tetangga.

Namun aku tak peduli lagi. Apa pun kata tetangga, aku akan keluar rumah dan mencari uang untuk anak semata wayangku. Dia sudah SMP dan dia butuh biaya. Aku harus menyekolahkannya setinggi mungkin, agar kelak hidupnya bahagia.

Ketika aku keluar rumah dalam usiaku yang 37 tahun, banyak saja laki-laki iseng menggodaku. Mata mereka membelalak melihat tubuhku, terutama belahan dadaku. Atau mungkin perasaanku saja. Aku semakin sensitif setelah aku jadi janda. Tapi salahkan aku, kalau aku membutuhkan laki juga? Aku adalah perempuan normal dan kebutuhan seks-ku masih tinggi.

Aku sengaja tidak menyewakan lagi kios di pasar. Dulunya aku berjualan di sana, kemudian suamiku melarangku jualan, karena banyaknya laki-laki iseng menggodaku. Akhirnya kuputuskan untuk tidak berjualan lagi. Setelah suamiku menggila dengan perempuan lain, aku minta cerai dan aku ingin berjualan kembali. Aku mulai membenahi kios tempatku berjualan. Aku berjualan garmen (pakaian jadi). Aku mengikuti selera anak muda dan remaja yang suka pada mode-mode pakaian terbaru.

Setelah membuka kios, aku mendapatkan pelanggan. Seorang laki-laki berusia 19 tahun. Ganteng dan entah kenapa aku begitu cepat tertarik kepadanya. Wajahnya begitu baby face dan rapi. Aku mulai menggodanya. Aku lupa siapa diriku yang sudah berusia 37 tahun. Ah, senyumnya begitu memikat. Ketika dia masuk ke sebuah sudut yang hanya ditutupi oleh kain tirai untuk mencocokkan celana jeans yang dia beli, aku mengikutinya. Aku yakin dia sudah membuka celananya dan aku masuk ke dalam. Aku pura-pura terkejut. Dia tersipu malu.

"Bagaimana, pas?" tanyaku.

"Kurang besar sedikit, Mbak," katanya.

"Apanya yang kurang besar? Mungkin ’anu’ nya yang kegedean?" tanyaku mengarah. Dia tersenyum.

"Pasti pacarmu puas pacaran denganmu," kataku.

"Kenapa, mbak?" tanyanya lagi.

"Habis, besar dan panjang," kataku melirik kontolnya dan memekku sudah mulai berdenyut-denyut. Yah, sudah tujuh bulan aku tidak merasakan ada kontol yang masuk ke memek-ku lagi.

"Aku belum pernah punya pacar mbak. Apa mbak mau?" katanya merayu. Aku terkejut atas jawabannya yang to the point itu.

"Apa kamu sudah pintar?" kataku.

"Belum sih. Tapi mbak kan bisa mengajari aku nanti," katanya, seperti serius.

"Boleh juga," kataku pula to the point.

Hari pertama buka, aku sudah banyak laku. Mungkin penataan pakaian yang kuletakkan di kios berukuran 4 X 4 meter itu membuat para remaja terpikat. Inilah saatnya, pikirku pula. Aku tak boleh melepaskan kesempatan ini, bisik hatiku pula. Aku akan menjaga diriku tidak hamil dengan meminum jamu peluntur yang ampuh, Rumput Fatimah yang manjur itu.

Denny, begitu namanya dan katanya baru setahun lulus SMA dan tidak melanjutkan kuliah, karena kalah ujian UMPTN dan akan akan mencoba lagi tahun depan. Aku masuk ikut ke dalam kamar pas. Setelah pakaiannya pas, aku tak melepaskan kesempatan itu. Aku langsung memeluknya dan mencium bibirnya dan mengelus-elus kontolnya. Dia gelagapan membalas ciumanku. Aku mempermainkan lidahku di dalam mulutnya. Dengan cepat kulepaskan ciumanku, begitu mendengar ada mobil parkir di depan kiosku. Ah, ternyata mobil orang yang mau belanja ke kios lain.

Denny keluar dari kamar pas dan membayar celananya. Rasanya enggan aku menerimanya. Tapi mana tahu dia tidak suka padaku, maka sia-sialah sebuah celana. Kalau dia suka kepadaku, besok lusa, aku bisa memberinya lebih.

Kami cerita-cerita di kios dan aku memesan segelas juice orange agar obrolan sedikit lama dan aku bisa mengorek sedikit banyak tentang dirinya. Akhirnya kami berjanji untuk pulang sama-sama. Aku cepat menutup kiosku dan kami pulang naik bus. Di sebuah persimpangan kami turun dan memasuki sebuah hotel kecil yang bersih. Kami menyewa kamar yang termurah. Begitu pintu kukunci, aku langsung menyerbunya dan menciumi kembali bibirnya dan mempermainkan lidahku di dalam mulutnya. Tak kulupa kuelus-elus kontolnya dari balik celananya. Begitu cepat kontolnya bangkit dan berdiri. Denny harus mendapatkan kenikmatan yang pertama dariku. Dia harus merasakan bagaimana nikmatnya bersetubuh dengan seorang perempuan. Aku juga harus mendapatkan segalanya darinya.

Dengan cepat kubuka pakaianya dan pakaianku juga. Tak kusia-siakan kesempatan itu. Aku mulai beraksi dan menjilati sekujur tubuhnya yang atletis itu. Langsung saja kuhisap kontolnya. Aku menyaksikannya menggelepar-gelepar, seperti ikan yang tertangkap. Sebentar lagi dia akan sampai ke puncak nikmat. Aku tak ingin menyia-nyiakannya. Dengan cepat lidahku bermain di kepala dan batang kontolnya. Lalu aku merasakan spermanya keluar dari batangnya. Terasa penuh rongga mulutku. Banyak sekali spermanya. Gleeekkk... aku menelannya.

Yah, aku sendiri merasa heran, kenapa itu aku lakukan, sementara kepada suamiku sendiri, aku tak pernah melakukannya. Ternyata sperma itu, enak juga rasanya. Aku menjilati sisa sperma di batang kontolnya dan kami rebahan dengan senyum yang mengembang.

Dua jam lamanya kami istirahat di atas ranjang. Kami ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku menyabuni kontolnya sampai bersih. Dari kamar mandi ke ranjang, aku memeluknya. Aku sudah sangat ingin kontolnya memasuki memekku. Di atas ranjang aku kembali menciuminya. Aku minta dia mengisap-isap tetekku. Mulanya, dia agak kaku mengisapnya. Aku yakin sekali kalau dia belum pernah mengisap tetek pacarnya, apalagi bersetubuh dengan pacarnya. Berciuman saja dia masih kaku, apa lagi bersetubuh. Dia belum tahu bagaimana caranya memuaskan perempuan. Aku harus mendidiknya dalam beberapa kali lagi. Tapi kali ini, aku ingin sekali kontolnya bisa memasuki lubang memekku.

Setelah kontolnya mengeras, dengan cepat aku menaiki tubuhnya dan mengangkangi kedua kakinya, lalu memasukkan kontolnya ke dalam memekku. Dengan cepat aku menggoyangnya dari atas tubuhnya. Aku mencari-cari titik-titik sensitif di dalam memekku. Begitu ketemu, aku memusatkan gerakanku khusus untuk itu. Aku harus sampai ke puncak lebih dahulu. Benar saja. Denny sudah kembali merasakan sensasi nikmat dari goyanganku. Sebentar lagi dia akan sampai dan aku harus mendahuluinya jika tak ingin kehilangan kenikmatan.

Kujilati lehernya dan tetekku kugesek-gesekkan ke dadanya. Lidahnya yang dia julurkan aku isap-isap dengan lembut, sementara tanganku mengelus-elus kepalanya. Laki-laki mana yang tak senang kepalanya dielus-elus dengan lembut. Aku lebih cepat lagi menggoyang dan menggoyang. Kutekan kuat-kuat, hingga batangnya mentok di ujung paling dalam memekku. Aku memutar-mutar pantatku hingga aku merasakan ujung kontolnya menggesek-gesek ujung memekku yang terdalam. Dan... aku pun sampai ke puncak kenikmatan. Aku memeluknya kuat sekali dan terus menekan lebih dalam lagi kontolnya ke dalam memekku. Kugigit-gigit lehernya, membuat dia kelimpungan. Dan aku merasakan semburan lahar panas dari dalam batang kontolnya. Denny sampai ke puncaknya.

Sejak saat itu, kami selalu melakukan persetubuhan kami. Denny semakin hari, semakin pintar bersetubuh.

Aku bukan haus seks namanya, kalau aku puas hanya dengan Denny. Setelah aku muak dengannya, aku mencari mangsa lain. Paling setiap dua minggu sekali aku memberinya sebuah celana jeans model terbaru. Makan atau minum serta rokok sebungkus setiap kali kami pergi ke hotel. Untuk anak-anak pemula, biayanya tak perlu banyak. Yang penting rayuan kita dan pintar memujinya.

Terserah apa kata orang lain terhadapku. Aku butuh kontol dan seks. Aku butuh kenikmatan. Yag penting aku tidak hamil.

"Mau beli apa, Dik?" tanyaku kepada seoang pembeli yang berseragam SMP.

"Mau beli sepatu untuk Basket, Tante." katanya sembari melihat-lihat contoh sepatu yang kupajang. Seketika itu juga hatiku berkata. Alangkah gantengnya anak ini, masih kecil sudah begini gantengnya, bagaimana kalau sudah dewasa, bisik hatiku.

"Untuk anak ganteng seperti kamu, akan Tante berikan harga yang termurah." kataku merayu. Dia melirikku dengan senyumnya.

Ah, hatiku bergetar. Apakah aku sudah gila, aku harus mencintai laki-laki berusia 15 tahun, hanya dua tahun di atas usia anakku? Kudekati dia dan aku bantu memilihkan sepatu yang cocok untuknya. Tingginya sebahuku. Aku sengaja mendekatinya agar aku bisa mengukur tingginya. Namanya Andri.

"Kamu sendirian saja belanja? Kenapa enggak ditemani pacar?" kataku menggodanya.

"Belum punya pacar, tante." katanya malu-malu.

”Nanti kalau pakai sepatu baru, pasti ada perempuan yang suka kepadamu," kataku memuji.

"Siapa, Tante? Tante ya?" katanya dengan bijak, tapi matanya terus memilih sepatu.

"Kalau iya, apa kamu mau sama tante. Tante kan sudah tua? Tapi namanya cinta kan tidak membedakan umur, kan?" kataku pula bergenit-genit.

"Katanya cinta itu buta kok, Tante," katanya pula sok pintar. Sewaktu dia mau mengambil sepatu yang terletak agak di atas, aku sengaja membantunya mengambilkan dari belakang. Sengaja kugesekkan tetekku ke punggungnya dan menyentuhkan perutku ke pinggangnya. Ah, lagi-lagi memekku berdenyut kencang.

"Ah, anak ganteng. Andaikan kamu pacar tante, akan tante ajari kamu berciuman," kataku setengah berbisik, tapi aku sengaja dia mendengar ucapanku. Aku lihat dia tersenyum, walau dia sengaja menyembunyikan senyumnya.

Entah kenapa aku yakin sekali, mampu memperoleh anak ini sebagai teman kencanku. Aku tak mau berkencan dengan laki-laki tua yang egois. Aku mau anak muda yang bau kencur, manja dan masih baru belajar. Aku bangga mengajarinya pintar soal seks. Dia harus mendapatkan pelajaran seks pertama dariku. Itulah tekadku.

Aku buka tali sepatu dan aku masukkan ke kakinya. Dia duduk di kursi dan aku berjongkok di lantai. Dengan menunduk aku memperlihatkan buah dadaku dan selangkangan pahaku kepadanya. Aku tahu dia mulai melirik ke sela-sela pahaku dan sesekali matanya juga menatap tajam ke belahan dadakui. Anak laki-laki sekarang memang cepat sekali mengetahui soal seks. Apakah soal gizinya yang sudah cukup atau dia sudah mampu mengakses internet, hingga sudah bisa mengetahui banyak hal tentang seks? Entahlah. Aku tak perduli dan aku harus mendapatkannya.

"Kamu ganteng sekali, Andri. Mau ya jadi pacar tante?" kataku.

"Tante enggak punya suami?" tanyanya sembari mengikat tali sepatunya. Pertanyaan anak kecil kah ini? Atau pertanyaan orang dewasa.

"Tante sudah bercerai. Tante nggak mau dimadu, tante minta cerai," kataku bergenit-genit.

"Pacaran itu enak nggak, Tante?" tanyanya.

"Wah, tentu enak. Kalau tidak, mana mungkin orang pacaran," kataku sembari memasukkan satu lagi sepatu ke kakinya. Pembeli memang lagi sepi sore itu.

"Kalau tante jadi pacarku, kita ciuman?" katanya bertanya. Tapi tangannya terus membetuli sepatunya, seperti dia sedang bicara sesuatu yang lain. Orang lain tidak akan tahu apa yang sedang kami bicarakan.

"Tentu dong. Kalau kamu belum pernah ciuman, nanti tante ajari," kataku meyakinkannya.

Harga sepatu sudah jadi. Harganya pas sesuai harga beli. Aku tidak beruntung sedikitpun. Dia membayarnya dan menuliskan sesuatu di atas kertas. Ternyata dia menulis nomor phone cell-nya. Aku tersenyum.

Sorenya aku iseng menekan tuts HP-ku ke nomornya dan mengirimkan SMS padanya. "Hallo, Sayang. I Love u," tulisku.

Tak lama, SMS-ku terbalas. "I Love u 2" katanya. Dari SMS, dia mengatakan akan datang ke kiosku sebelum aku tutup, dia mau menciumku dan memintaku agar mengisap kontolnya seperti yang dia tonton di VCD porno.

Aku langsung menjawabnya, ”Ok, aku pasti menunggumu.”

Benar saja. Ketika aku mau tutup, dia sudah berada di depanku dengan pakaiannya yang lain dan sudah mandi bersih. Dia masuk ke dalam kios dan duduk di sebuah sudut. Nekat juga anak ini, pikirku. Apakah dia serius atau ini sebuah jebakan? Aku melihat ke sekitar, ternyata tak ada tanda-tanda dia membawa orang lain. Cepat kututup pintu kios dan melihat kondisi, meyakinkannya benar-benar aman. Setelah pintu kukunci, aku mematikan lampu dan langsung menyerbunya. Kuciumi bibirnya dan aku memeluknya sembari meraba-raba kontolnya. Aku merasa kontolnya sudah tegang dan keras. Andri meremas-remas tetekku dari balik pakaianku. Setelah puas meremas-remas tetekku dan tangannya dia masukkan ke dalam bra-ku, dia memelukku.

"Aku berdiri yang tante," katanya.

"Untuk apa, Sayang?" sahutku.

Dia tak menjawab pertanyaanku. Langsung saja dia berdiri dan aku masih duduk di kursi pendek, dia keluarkankan kontolnya dan ia rahkan ke mukaku. Cepat kutangkap kontolnya dan segera menghisap-hisap serta menjilatinya penuh nafsu. Dia memegangi kepalaku saat aku memaju mundurkan kontolnya di dalam mulutku.

Aku tak mau dia mengeluarkan spermanya di dalam mulutku, karena aku butuh kontolnya masuk ke dalam memekku. Jadi kubuka celana dalamku dan kuangkat rokku ke atas.

"Kamu duduk di kursi, Sayang," pintaku. Setelah dia duduk, aku menaikinya. Kedua telapak kakiku bertumpu ke sisi kursi dan aku jongkok mengarahkan memekku ke kontolnya. Perlahan kontolnya memasuki memekku yang sudah sangat basah. Aku segera menggoyangnya dan memutar-mutar pantatku hingga kontolnya berada pada ujung memekku yang paling dalam. Ternyata anak ini jauh lebih pintar dari Denny. Walau usia Denny sudah 19 tahun, tapi Andri memang pemuda yang kelihatan banyak menonton film porno. Dia memelukku kuat-kuat dengan gemas.

"Cepat, Tante, Andri sudah mau keluar," bisiknya takut didengar orang dari luar kios. Aku juga harus lebih dulu keluar dan mencapai puncak kenikmatanku. Kuputar dan kugoyang pantatku semakin cepat sampai akhirnya aku merasakan suatu getaran halus dari dalam diriku. Aku sampai ke puncak nikmatku. Kutekan kuat-kuat tubuhku sampai Andri merasa terbebani oleh tubuhku. Lalu dia juga menyemprotkan spermanya ke dalam memekku. Kami berpelukan erat.

Andri seorang anak laki-laki yang masih sangat remaja. Orang-orang selalu berkata, kalau bersetubuh dengan anak remaja tingting, kita harus sabar dan harus pandai meuji-mujinya. Pujian, adalah kesukaan mereka dan pujian adalah keinginan setiap laki-laki remaja.

"Kapan lagi, Tante?" katanya sambil meremas-remas tetekku.

"Kapan saja, Sayang. Tapi kalau bisa, kita harus di hotel biar bebas," kataku. Dia menyanggupi

Mbak Darsih

Aku lahir dari keluarga yang sederhana, di sebuah desa yang masih dipenuhi persawahaan dan semak belukar. Aku anak pertama dari dua bersaudara, selisih usiaku dengan adikku kurang lebih sekitar tiga tahun. Kami tak punya rumah sendiri, sehari-hari kami hanya tinggal di gubuk kecil milik tetangga. Tapi saat ayah pergi ke kota besar untuk mencoba merubah nasib sebagai pedagang nasi goreng, kami dititipkan di rumah nenek yang ada di kampung sebelah. Saat itu aku kelas tiga SD.

Sehari-hari, aku biasanya membantu kakek. Kakek mempunyai ladang yang meski tak begitu besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Ladang itu sebagian dia jadikan tempat memelihara ikan, dan sebagian lagi ia jadikan tempat bercocok tanam segala macam jenis sayuran, mulai dari kol, sawi, bawang merah, kacang panjang, tomat, bahkan cabe. Kampung kami memang sangat sepi, saat itu belum ada listrik.

Di pertengahan kelas lima SD, nenek meninggal. Hal itu sempat membuat keluarga kami shock, khususnya kakek, dia tak menyangka akan ditinggal oleh nenek secara mendadak. Kakek sempat murung dan berubah jadi pendiam selama beberapa bulan. Aku sempat sedih juga karena kehilangan tempat main dan panutan kalau lagi ada masalah di sekolah. Ibu yang merasa iba pada kakek akhirnya berusaha menjodohkan kakek dengan seorang perempuan, sebut saja mbak Darsih, seorang wanita parobaya yang masih kelihatan cantik di usianya yang sudah lewat 30 tahun.

Perkenalan ibu dengan mbak Darsih terjadi saat wanita itu ingin membeli ikan milik kakek untuk acara hajatan ultah putra sulungnya. Mengetahui kalau mbak Darsih adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya -sama dengan kakek yang ditinggal mati oleh nenek- ibu berusaha menjodohkan mereka. Dan di luar dugaan, mbak Darsih menerimanya, padahal selisih usia mereka sekitar 30 tahun. Mungkin karena melihat kakek yang masih kelihatan gagah di usianya yang sudah lanjut, mbak Darsih jadi kesengsem. Kakek memang masih kelihatan berotot dan awet muda meski kulitnya agak sedikit gelap, itu akibat kebiasaannya bekerja keras di ladang setiap hari.

Begitulah, sekitar tujuh bulan setelah ditinggal oleh nenek, kakek menikah lagi. Mbak Darsih yang dulunya tinggal di desa sebelah, setelah menikah dengan kakek, sepakat untuk tinggal bersama kami. Dia membawa serta dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Mbak Darsih ternyata orangnya baik, diapun secara ekonomi sangat mapan, jauh dibanding kakek, hingga tak jarang akhirnya sering membantu keuangan keluarga kami, khususnya ibuku yang memang tak tentu mendapat kiriman dari ayah. Mbak Darsih mempunyai beberapa rumah peninggalan almarhum suaminya yang dia kontrakkan.

Sebagai rasa terima kasih, aku berusaha tidak menolak jika disuruh apapun olehnya, karena kadang mbak Darsih juga memberiku upah, meski kadang aku harus pergi melintasi kampung lain untuk berbelanja memenuhi permintaannya.

Sifat lain dari mbak Darsih yang aku suka, dia bukan tipe orang yang malas. Tak jarang dia mencucikan pakaian milikku saat ibuku terlalu sibuk bekerja. Saat dia mencuci, aku sering kali membantunya menimba air, hal yang memang sudah rutin aku lakukan kalau mencuci bersama ibuku. Hal itu makin membuat mbak Darsih sayang kepadaku. Aku yang kadang suka diledek oleh teman-temanku -bahkan saudara-saudaraku- sebagai anak yang sedikit bodoh dan polos, tapi di mata mbak Darsih, aku adalah anak yang baik. Tapi ada satu kebiasaanku yang sering membuat ibuku marah; jika sudah tidur, aku akan sulit sekali dibangunkan. Apalagi kalau baru saja terpejam, mungkin butuh satu ember air, baru aku bisa bangun.

Sampai akhirnya, saat aku di akhir kelas enam SD, ayah meminta ibu untuk pindah mengikutinya. Kata ayah, usahanya sudah lumayan rame, daripada membayar orang untuk membantu, mending mengajak ibu saja. Alasan lainnya, karena ayah tak kuat kalau harus terus jauh dari ibu. Saat itu aku masih belum mengerti apa maksudnya. Ibu yang tampaknya juga merindukan ayah, akhirnya setuju.

Rencana awalnya, aku dan adikku akan dibawa. Tapi kakek melarang, katanya: mending kami ditinggal dulu, karena ayah belum benar-benar mapan, sayang kalau buang-buang uang untuk biaya kami pindah sekolah. Saat itu, aku memang sudah mendaftar ke SMP di kotaku. Adikku saat itu masih kelas lima SD. Alasan kakek cukup masuk akal. Tapi adik perempuanku yang memang sangat dekat dengan ibu, tidak mau ditinggal, dia ngotot untuk ikut dengan ibu pergi ke kota menemani ayah. Akhirnya, setelah berembug cukup lama, kakek memutuskan; adikku boleh ikut ibu, sedangkan aku akan tetap di kampung bersama kakek. Aku sendiri tidak keberatan karena selama ini aku memang dekat dengan kakek. Jadilah aku berpisah dengan ibu dan adikku.

Kepindahan ibu tidak membuatku merasa kehilangan karena kadang tiap bulan ibu pulang. Selain untuk menengokku, ibu juga memberi uang sekedarnya untuk kakek. Selama kepergian ibu, mbak Darsih lah yang ganti menjagaku. Dia sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Kalau dulu aku sering tidur di bale-bale, sekarang aku lebih leluasa tidur di kamar. Mbak Darsih memberiku kamar belakang yang dulu ditempati oleh ibu. Sedangkan kakek dan mbak Darsih tetap di kamar depan, bersama anak-anaknya yang masih kecil. Kamar di rumah kakek memang hanya dua, berhadap-hadapan, walau kamar kakek sedikit lebih besar.

Akhirnya, aku lalui hari-hari bersama kakek dan mbak Darsih dengan penuh suka cita. Seringnya di rumah berdua membuatku dekat dengan mbak Darsih, dia pun jadi tahu dengan salah satu kebiasaan burukku.

”Kenapa sih kamu kalau dibangunin susah sekali? Semalam mau mbak suruh pindah ke kamar karena udara dingin banget, takut kamu sakit.” kata mbak Darsih pada suatu hari, saat dia kesulitan membangunkanku.

“Yah, dia mana bisa dibangunin! Ada bom meledak juga tetap ngorok,” sahut kakek sebelum aku sempat menjawab.

Aku cuma tertawa menanggapinya.

Tak terasa, sudah satu tahun kami hidup bertiga. Kini aku sudah naik ke kelas 2 SMP. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku mengalami mimpi basah, itu sebenarnya membuatku sangat heran dan bingung. Ingin bertanya, tapi tak tahu kepada siapa. Seiring dengan itu, suaraku juga mulai berubah, membuat aku malas bermain dengan teman-teman lain. Ditambah bulu-bulu halus di bawah hidungku yang juga mulai tampak, aku makin menjadi bahan ledekan teman-temanku. Aku yang awalnya anak yang jarang suka bermain, sekarang jadi makin malas keluar. Paling hanya ke sawah tak jauh dari rumahku, itupun kalau pas musim layangan saja. Selebihnya, aku lebih suka melihat kakek berkebun atau memberi makan ikan.

Biasanya, setelah adzan maghrib berkumandang, kampung kami menjadi sepi. Kegelapan terlihat dimana-mana, hanya lampu-lampu minyak yang menyala, atau kadang juga petromak yang menjadi penerang bagi warga kampung yang letak rumahnyapun tak begitu berdekatan. Hanya masjid yang biasanya ramai hingga sekitar jam tujuh malam. Setelah itu, desa kami benar-benar sepi dan kebanyakan penghuninya langsung terlelap dalam mimpi.

Di pertengahan kelas dua, kulihat kakek suka mulai merasa kelelahan, mungkin karena usianya yang makin merambat senja. Aku memang kadang suka diminta kakek, atau bahkan mbak Darsih, untuk memijat mereka. Tapi di saat itu, hampir seminggu sekali kakek menyuruhku melakukannya. Aku pun kadang meminta pertolongan mbak Darsih, terutama jika aku ingin dikerok. Mbak Darsih memang kadang melakukan itu jika aku masuk angin.

Pagi itu, kulihat kakek tidak ke ladang. “Sakit lagi ya, mbak?” tanyaku.

”Ah, biasa. Memang harus istirahat dulu. Seminggu lalu baru kuras kolam, eh kemarin malah tanam tomat.” katanya. Kulihat mbak Darsih menatapku penuh arti, saat itu aku sedang menimba air hanya dengan bercelana dalam saja. Aku tak merasa aneh karena aku sudah sering melakukan itu. Dan selama ini tidak pernah ada masalah.

Hingga suatu hari, secara tak sengaja, handuk yang kupakai untuk melilit tubuhku jatuh saat aku sedang asyik menimba, padahal saat itu aku sedang tidak memakai celana dalam, hingga terlihatlah burung mudaku di depan mata mbak Darsih. Dia tertawa cekikikan saat melihatnya, ”Cepetan ditutup, nanti burungnya kabur lho!” dia berkata sambil melengos ke samping, kulihat mukanya jadi agak pucat dan memerah.

Aku yang tak merasa risih sama sekali, hanya bersikap biasa saja. ”Iya, mbak.” kuraih handukku dan kusampirkan lagi ke pinggangku. Kuteruskan lagi menimba air. Di pikiranku; karena saat SD dulu mbak Darsih sering memandikanku jika ibu lagi repot, tentunya dia sudah sering melihat tubuh telanjangku, jadi buat apa malu. Aku tak pernah menyangka, kalau peristiwa sore itu ternyata begitu berkesan bagi mbak Darsih.

Sampai kemudian, saat itu aku baru saja menyelesaikan ujian akhir kelas dua SMP, usiaku mungkin sekitar 14 tahun. Hari itu, kakek lagi pergi ke kota untuk membeli benih. Jam tujuh malam, saat mbak Darsih masih asyik mendengarkan radio, aku sudah terlelap. Tidak seperti biasa, malam itu aku bermimpi. Mimpi yang sangat aku nantikan. Mimpi basah. Tapi entah, malam itu mimpiku terasa begitu nyata. Aku merasa kontolku memasuki lubang yang sangat hangat. Enaaak sekali! hingga tak lama kemudian, aku pun mengejang. Saat itu aku merasa ada orang duduk diatas pangkuanku, tapi dasar aku kalau tidur lelap sekali, aku tidak bisa mengetahui itu beneran atau cuma mimpi.

Paginya, aku langsung memeriksa celanaku. Heran, tak ada kerak kering bekas air maniku, hal yang biasanya aku temukan jika habis bermimpi basah. Yang membuatku makin bingung, mimpiku sepertinya terasa sangat nyata. Nikmatnya berkali-kali lipat daripada biasanya. Aku ingin mengulanginya lagi.

Dan keberuntungan membuatku merasakannya tak lama kemudian. Tepatnya kurang dari dua minggu sejak mimpiku yang pertama. Tapi kali ini aku agak sedikit sadar karena aku memang belum benar-benar terlelap. Kembali kurasakan seperti ada orang duduk di atas pinggangku, tapi penyakit lelapku membuatku tak bisa membuka mata. Aku hanya bisa menikmati rasa nikmat yang menjalar cepat di batang kontolku, rasa hangat dan geli seperti dipijit-pijit oleh benda yang sangat lembek dan empuk, membuatku meringis dan merintih dalam tidur. Cukup lama aku menikmatinya, sampai akhirnya aku mengejang tak lama kemudian. Sebenarnya aku tak ingin rasa itu cepat berakhir, tapi mau bagaimana lagi, kutahan sekuat apapun, aku tetap tidak bisa mencegah rasa nikmatnya. Terpaksa kubiarkan spermaku menyembur keluar sebelum aku kembali terlelap beberapa detik kemudian.

Hal itu terus berlangsung selama beberapa minggu berikutnya. Meski cukup menggangu pikiranku, tapi jujur, aku sangat menikmatinya. Mimpi itu terasa nyata sekali, seperti aku benar-benar melakukannya. Sampai akhirnya, kembali kakek harus pergi ke kota untuk membeli bibit. “Besok senin, pagi-pagi aku sudah pulang.” katanya kepada mbak Darsih. Dia lalu menoleh kepadaku. “Kamu istirahat aja, besok kan sekolah.” katanya. Ya, saat itu badanku memang sedikit kurang enak. Sepertinya masuk angin.

Kakek menyuruh mbak Darsih untuk mengerokiku, tapi aku tidak mau. ”Bentar juga enakan sendiri.” kataku.

Tapi sorenya, saat aku masih meringkuk di kamar dengan badan lemas, mbak Darsih menghampiriku. “Sini, kukerok aja. Kamu juga nggak usah mandi dulu, takut nanti tambah parah.” katanya.

Aku hanya diam dan tetap berbaring tengkurap. Mbak Darsih kemudian mengangkat kaosku. Sambil mengurut punggungku dengan uang koin, dia berkata. “Kamu tuh udah gede, kalau mandi tutup pintunya, jangan seenaknya gitu, apa nggak malu?” tanyanya.

“Malu sama siapa, mbak? Kan nggak ada orang, paling cuma kakek.” kataku.

“Iya, tapi kali aja ada tetangga yang datang.” kata mbak Darsih. ”Ah, nggak merah. Kamu mungkin telat makan aja, jadinya kembung. Makanya jangan telat makan.” dia menasehati dan akhirnya memijat punggungku.

Setelah punggung selesai, ia kemudian menyuruhku berbalik. ”Biar kupijat dada sama perutmu.” katanya.

Kubalikkan badan. Aku mulai merasa geli saat mbak Darsih perlahan mengurut perutku. Tanpa sadar, kontolku mulai bergerak menegang.

”Kamu tuh yang bener kalau pake celana. Celana rusak masih aja di pake.” katanya. Aku saat itu memang memakai celana bekas SD-ku dulu yang bagian resletingnya sudah rusak, hingga menampakkan sedikit kulit batang penisku.

Saat mbak Darsih memijat bagian bawah perutku, kontolku makin tak karuan tegangnya, mbak Darsih hanya tersenyum saat melihatnya. ”Ih, tuh kan, saking sempitnya sampe nonjol gitu.” katanya dengan halus. ”Kayaknya sesak banget ya?” tanya mbak Darsih.

Aku kira dia membicarakan celanaku, jadi aku menyahut enteng saja. ”Iya, mbak.” jawabku.

”Dibuang saja,” kata mbak Darsih.

”Dibuang gimana, mbak?” kataku tak mengerti.

Tidak menjawab, perlahan mbak Darsih memijat pangkal pahaku. Dan entah sengaja atau tidak, dia berkali-kali menyenggol bagian selangkanganku. ”Ih, bener. Sesak banget! Kayaknya pengen dikeluarin tuh.” katanya.

”Dikeluarin?” aku semakin tak mengerti.

”Bener-bener harus dibuang, hehe.” sahut mbak Darsih sambil terkikik.

“Terserah ah, gimana enaknya mbak aja.” jawabku pada akhirnya. Pasrah, percaya sepenuhnya kepadanya.

“Iya, tapi kamu jangan bilang-bilang kakek ya?” bisiknya.

“Iya, mbak, masa mau bilang kakek,” kataku mengangguk, masih berfikir dan tak mengerti apa yang ia maksudkan.

”Ehm... sekarang, tutup muka kamu dengan bantal.” kata mbak Darsih kemudian.

Aku menurut, walau sedikit heran. Masa lepas celana aja harus pakai tutup muka segala? Tapi aku tetap melakukannya. “Gini ya, mbak?” kutindihkan bantal ke mukaku hingga aku tidak bisa melihat apa-apa.

”Aku buang semuanya ya?” kata mbak Darsih.

Aku masih tak mengerti, tapi aku tetap menjawab, ”Terserah, mbak.”

Akhirnya kurasakan celanaku ditarik ke bawah. Dan tidak cuma celana pendek, kurasakan celana dalamku pun ikut ia tarik hingga terlepas semuanya. Sungguh, aku merasa kikuk, malu, dan agak risih telanjang di depan mbak Darsih. ”Mungkin mbak mau mengganti semuanya karena aku nggak mandi,” bisikku dalam hati untuk menenangkan pikiranku yang mulai bergejolak. Di bawah, kontolku yang sudah menegang kini makin mengacung tegak ke atas saat tangan mbak Darsih mulai merabanya, memperlihatkan segala kejantanan dan kekuatannya.

”Ih, keras amat” katanya sambil mulai mengocok pelan. Rasa geli dan nikmat langsung kurasakan, aku tidak sanggup untuk menolak. Apalagi saat tak lama kemudian, kurasakan tubuh montok milik mbak Darsih mulai mengangkangiku, membuatku makin terbuai dan terpesona. Batang kontolku kini tepat menempel ke belahan vaginanya. Bahkan sesaat kemudian, kurasakan ujung kontolku perlahan menembus, memasuki belahan dagingnya yang sangat hangat, yang mengingatkanku akan nikmat mimpi basahku beberapa minggu terakhir. Sungguh, seperti ini rasanya, sangat mirip sekali!!

”Kamu diam saja, jangan dibuka bantalnya!” mbak Darsih berkata sambil terus menekan pinggulnya ke bawah. Dinding vaginanya yang lembek dan lengket semakin menggerogoti batang kontolku. Ya Tuhan, apa mbak Darsih sedang menyetubuhiku? Tanyaku dalam hati, namun tidak bisa menolak. Begitu nikmat rasa ini hingga aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa diam dan menikmati apapun yang ia berikan.

Di sela-sela kebingunganku, perlahan tapi pasti, kontolku semakin masuk ke dalam, menghunjam dan menembus memek mulus mbak Darsih, bahkan kini sudah mentok di mulut rahimnya. Kontolku kini sudah menancap sepenuhnya, mengisi rongga memek mbak Darsih yang kurasa sangat sempit dan legit. Aku hanya bisa menutup mata dan menyembunyikan mukaku di balik bantal saat perlahan mbak Darsih mulai menggerakkan badannya naik turun. Goyangannya itu membuat alat kelamin kami yang saling bertaut erat mulai bergesekan pelan. Rasanya sungguh nikmat sekali. Kudengar nafas mbak Darsih semakin berat dan tak teratur, membuatku semakin tak kuasa menahan gejolak. Akhirnya akupun mengejang. Perlahan cairan hangat keluar dari kontolku, menyemprot deras di liang memek mbak Darsih, yang dibalas olehnya dengan denyutan nikmat dinding-dinding rahimnya.

Setelah muncrat semuanya, barulah mbak Darsih melepaskan himpitannya dan merapikan kembali celanaku. Kontolku yang basah oleh cairan kental, ia lap dengan menggunakan kain lembut. Kutebak itu adalah celana dalamnya. “Udah, boleh dibuka sekarang.” kata mbak Darsih kemudian. ”Sudah nggak sesak lagi kan?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Persetubuhan pertamaku dengan mbak Darsih membuatku kehilangan kata-kata. Tapi, benarkah ini yang pertama? Setelah merapikan kembali pakaiannya, kuperhatikan mbak Darsih yang melangkah pergi meninggalkan kamarku.

Keesokan harinya, kakek masih belum kembali. Di sekolah, aku jadi sering melamun, membayangkan apa yang telah aku dan mbak Darsih lakukan kemarin. Aku tahu bahwa itu terlarang dan tidak boleh, tapi entahlah, aku menyukainya. Dan aku tidak ingin berhenti, aku ingin mengulanginya lagi kalau ada kesempatan. Sepertinya aku telah ketagihan dan merindukan memek mbak Darsih. Aku telah dewasa sebelum waktunya.

Pulang sekolah, meski lagi konak berat, aku cuma tiduran di kamar. Aku tidak berani mendekati mbak Darsih yang sedang asyik nonton teve di ruang tengah. Aku sedang mengusap-usap batang kontolku yang sudah tegang saat dia menyapaku dari pintu kamar.

“Kamu sakit?” tanya mbak Darsih yang tahu-tahu sudah berada disana.

”Nggak, mbak.” kataku salah tingkah karena sudah dipergoki seperti itu.

”Kok di kamar aja,” kata mbak Darsih sambil tersenyum.

Aku hanya diam, tak tahu harus memberikan jawaban apa.

”Apa sesak lagi?” dia bertanya lagi, matanya menatap penuh pengertian.

”Ah, nggak juga, mbak.” kilahku untuk menutupi rasa malu, untungnya saat itu aku juga mengenakan celana longgar yang sedikit banyak bisa menyembunyikan tonjolan penisku.

“Ya udah, sini perutnya mbak minyakin biar nggak masuk angin lagi.” katanya, dan tanpa disuruh, dia pun meminyaki perutku, lalu memijatnya perlahan. Hal itu kembali membuat kontolku terbangun.

”Ih, dari luar memang nggak kelihatan, tapi dalamnya kelihatan sesak tuh,” mbak Darsih menunjuk daerah kontolku yang perlahan-lahan berubah menjadi semakin munjung.

“Ehm, iya kali, mbak.” kataku pasrah karena aku memang tidak bisa menutupinya lagi.

”Tegang ya?” bisik mbak Darsih sedikit genit.

”Iya, kenapa ya, mbok?” kataku polos.

“Nggak apa-apa, normal.” katanya sambil dengan tangan mulai mengusap-usap perlahan. Aku mulai merasa nikmat di batang kontolku akibat belaiannya. ”Mau dibuang?” tawarnya.

”Jangan, mbak, sayang.” kataku bodoh.

”Nggak apa, nanti juga ada gantinya.” ia tersenyum.

Aku terdiam, berusaha mencerna ucapannya. “Ehm, terserah mbak aja deh.” kataku pada akhirnya.

Kembali mbak Darsih menutup mukaku dengan bantal. Dan perlahan, kembali kurasakan nikmat menjalari batang kontolku saat dia menduduki dan menjepit batang kontolku di belahan lubang vaginanya.

“Mbak, kalau kakek pulang bagaimana?” tanyaku sambil merintih keenakan menikmati genjotannya.

”Tenang saja, nanti juga gedor pintu.” jawab mbak Darsih. Kurasakan goyangannya menjadi semakin cepat sekarang.

”Mbak, maksud mbak sesek itu apa?” tanyaku dengan tangan berpegangan erat pada sprei, berusaha menahan desakan nikmat dari batang penisku agar tidak cepat memancar keluar.

”Ah, kamu pura-pura nggak tahu ya?” kata mbak Darsih.

”Beneran, mbak.” sahutku masih dengan muka tertutup bantal. Tidak bisa kuketahui bagaimana raut muka mbak Darsih sekarang, tepai dari erangan dan rintihannya, sepertinya dia merasa nikmat sekali, sama seperti yang aku rasakan sekarang.

”Maksud mbak, ininya kamu sudah penuh.” katanya sambil meraba biji pelirku.

“Oh, kirain celanaku yang sesek.” kataku baru mengerti. Saat itulah mbak Darsih tersadar, ternyata kami telah salah paham. Dia langsung menghentikan gerakannya diatas kontolku. ”Mbak, kenapa?” tanyaku bingung, tak ingin kenikmatan ini terputus di tengah jalan.

”Aduh, gimana dong?” kata mbak Darsih sedikit panik. ”Maaf ya, kukira kamu mengerti...” dia sudah akan mencabut vaginanya, tapi segera kutahan pinggulnya.

“Nggak apa-apa, mbak. Aku nggak akan cerita sama kakek.” kataku menenangkan.

Mbak Darsih terdiam, seperti masih berusaha mencerna kata-kataku. ”Beneran ya?” ia bertanya memastikan.

”Iya, mbak. Asal mbak mau beginian terus sama aku.” kataku dari balik bantal. Selama dia tidak menyuruh, aku akan tetap bersembunyi.

“Baiklah, mbak juga sudah tanggung. Mbak pinjam sebentar inimu ya?” katanya sambil memegangi penisku yang kini cuma kepalanya saja yang masih menancap.

”Iya, mbak.” sahutku dengan senang hati.

Akhirnya mbak Darsih pun melanjutkan gerakan naik turunnya di atas batang kontolku, hingga tak lama kemudian, aku kembali memuntahkan cairan kental ke dalam memeknya.

”Terima kasih ya,” dia mencium pipiku dan kembali merapikan pakiannya.

”Sama-sama, mbak.” Aku yang kelelahan, dengan tetap telanjang, terlelap tak lama kemudian.

Sejak itu, sesekali, jika mbak Darsih lagi pingin, dia suka berbisik; ”Boleh pinjam nggak?” Atau jika aku yang pingin, aku terkadang berkata, ”Mbak, kayaknya sesek.” itulah kode yang kami sepakati.

Begitulah, hubungan terlarang kami terus terjalan. Bahkan kami seakan tak peduli tempat dan waktu, jika hasrat kami sudah tak terbendung, kami selalu berusaha menuntaskannya, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pernah, di malam hari, mbak Darsih masuk ke kamarku dan naik ke atas tubuhku, padahal saat itu kakek lagi ada di rumah. Nekat sekali dia, tapi aku juga tidak bisa menolak karena aku tahu kalau kakek sudah terlelap.

Yang lebih gila, pernah kusetubuhi mbak Darsih di gubuk tengah ladang saat ia tengah mengantarkan makanan buat kakek. Sementara kakek mencangkul untuk membuat bedengan, kutindih istrinya yang masih nikmat dan cantik itu hanya dengan beralaskan tikar lusuh. Kakek sama sekali tidak curiga karena matanya memang sudah sangat rabun, ia tidak bisa melihat jelas ke gubuk dimana kami berada.

Sering juga saat kakek nonton teve di ruang tengah, kuseret mbak Darsih ke dapur. Hanya dengan bertumpu pada meja, kutusuk tubuh sintalnya dari belakang. Mbak Darsih berusaha menutupi mulutnya dengan tangan agar rintihan dan teriakannya tidak sampai terdengar oleh kakek. Tapi aku yakin itu tidak akan terjadi karena kakek juga sedikit tuli.

Tapi selama kami bercinta dan bersetubuh, aku dan mbak Darsih tidak pernah melakukan kontak lain selain pertautan alat kelamin kami. Aku tak pernah mencium bibirnya, juga meraba tubuh sintalnya. Paling banter aku cuma sedikit memeluknya kalau sudah konak banget. Jika lagi pingin, aku biasanya langsung menusukkan kontolku ke memek mbak Darsih tanpa melakukan foreplay atau pemanasan terlebih dahulu. Gairah kami yang meluap-luap sudah cukup untuk membuat memek mbak Darsih jadi basah dan lengket.

Jika mbak Darsih yang pingin, biasanya dia meremas-remas dulu batang penisku, baru memasukkannya ke dalam lubang kenikmatannya. Sesekali aku memang kadang meremas payudara montok milik mbak Darsih disela-sela genjotan kontolku, tapi tak pernah lebih dari itu. Bahkan melihat bagaimana warna dan bentuknya saja, aku juga tidak pernah. Bagiku yang penting kontolku bertemu dengan memeknya, itu sudah lebih dari cukup.

Sungguh, walau diperlakukan begitu, aku tetap puas. Begitu juga dengan mbak Darsih. Jika aku datang, menusukkan kontolku, dan pergi meninggalkannya jika sudah usai, baginya itu sudah merupakan hal yang paling nikmat. Rupanya setelah hampir setahun tak pernah merasakan kepuasan dari kakek, ia jadi gampangan seperti itu. Tapi untungnya ada aku yang siap memuaskannya sewaktu-waktu, hingga disela-sela kesepiannya, dan kesepian di kampungku, mbak Darsih tetap bisa meraih kenikmatan ragawi dan berpacu di malam-malam gelap dan sunyi bersamaku.